Setelah 4 tahun menunggu... sebuah multichap yang sepertinya nyaris discontinue... saya, author-sama dengan bangga mempersembahkan.


Time Traveler
by ariadneLacie

.

Disclaimer

BLEACH by Kubo Tite

.

Warning : typo(s)?, AU, OOC?, Don't Like-then review, tell me what's on your mind XD


Chapter 6

"A Glimpse of The Past."


Kurosaki Isshin menghisap rokoknya lama, lalu menghembuskannya dalam kepulan asap yang segera menghilang di bawah air hujan. Salah satu tangannya masuk ke dalam saku jasnya, sementara punggungnya bersandar pada tiang kuil. Keadaannya kurang lebih selalu seperti ini. Hujan, rokok, jas, dan kuil. Ritual mengunjungi makam mendiang istrinya sehari sebelum ia pergi bersama keluarganya selalu seperti itu.

Isshin membuang rokoknya ke tanah, lalu menginjaknya. Sebagai gantinya, tangan kanannya meraih sebuah harmonika dari saku jasnya. Ia pun mulai memainkan beberapa nada yang nyaris terkalahkan oleh suara derasnya hujan, yang akhirnya terhenti karena suara langkah kaki.

"Kurosaki Isshin."

"..."

Langkah tersebut terhenti tepat di sampingnya. Isshin menoleh tanpa membalas sapaan orang tersebut, dan mendapati sesosok pria tinggi dengan rambut hitam panjang tengah menatap ke arahnya dengan ekspresi datar. Payung hitamnya senada dengan jas hitam yang dipakainya, bahkan cocok dengan jas yang Isshin pakai.

"Kau mau melayat Masaki juga, Byakuya?"

Byakuya terdiam, masih dengan ekspresi yang datar. Pria berumur 30 tahun itu mendadak tampak lebih tua sepuluh tahun—hal yang nyaris tak bisa dibayangkan karena ia tampak awet muda—yang membuat Isshin mengerutkan dahinya. Ia tampak sangat lelah.

"Rukia tidak ada di sini, jika kau mencarinya," kata Isshin. "Dia sudah pergi bersama Ichigo."

Mendengar hal itu, ekspresi Byakuya berubah sekilas. Namun segera berubah ke ekspresi datar secepat kilat. "Aku sudah menduganya. Aku hanya memastikan."

"Jadi tujuan Rukia kemari bukan mencarimu?" Isshin mulai memainkan harmonikanya lagi.

Byakuya terdiam sejenak, sebelum akhirnya berbalik.

"Sebenarnya sebaliknya. Aku yang mencarinya."

.

.

Meskipun pada suatu waktu Ichigo dapat kembali ke tahunnya, tetapi ia tidak dapat memilih tanggal. Waktu yang berjalan dengan masa lalu dan saat ini merupakan waktu yang sama, sehingga jika ia ingin kembali ke tanggal di mana ia pergi sebelumnya... ia harus menunggu satu tahun.

Hal ini cukup menjelaskan kenapa ia bisa menghilang selama dua tahun. Kemungkinannya, selama dua tahun itu ia belum berhasil untuk kembali ke tahunnya. Atau masih menunggu hingga tanggalnya tiba...? tapi bukankah—"ARGH! Semua ini membuatku pusing."

"Shh! Kita sudah sampai." Rukia menyenggol Ichigo yang tengah menjambak-jambak rambutnya sendiri.

Ichigo dan Rukia menghentikan langkah mereka di depan sebuah klinik tua yang sudah tutup. Asap mengepul dari bakpau yang tengah mereka makan—hasil dari street performance dadakan Rukia, sayangnya tak cukup untuk menyewa sebuah penginapan—memberikan kesan bahwa malam itu sangatlah dingin. Memang kenyataannya nyaris begitu, sih.

Setelah berdiam diri tanpa berkata apa-apa, Rukia menyenggol Ichigo. Ia sudah mulai tak tahan dengan dinginnya malam. Lagipula jam sudah menunjukkan pukul sepuluh lebih lima belas menit.

"Apa?" tanya Ichigo.

"Ini rumahmu, kan? Kenapa kita tidak masuk saja?"

Ichigo terdiam sejenak, lalu mencoba membuka pagar. Ternyata terbuka begitu saja. Ayahnya memang ceroboh seperti biasa.

"Kita... tidak berencana memperlihatkan diri di hadapan keluargaku, kan?" bisik Ichigo.

Rukia melahap potongan terakhir bakpaunya. Setelah benda putih tersebut berhasil ditelannya, ia balas berbisik. "Tentu saja, kita kan bisa masuk lewat jendela?"

Ichigo mengangguk sambil menelan ludah. Bagaimanapun, hal ini cukup beresiko. Bagaimana jika ayahnya tiba-tiba datang ke kamarnya di tengah malam dan mendapati anak sulungnya tengah tertidur dengan nyaman, padahal sudah menghilang selama dua tahun? Bagaimana jika sebenarnya ia memang telah meninggal? Bukankah akan sangat aneh jika ia muncul?

Segala kekhawatiran Ichigo buyar ketika Rukia memakaikan sebuah topeng Chappy ke wajah Ichigo. Ichigo langsung membukanya, tetapi kembali memasangnya ketika melihat Rukia juga memakai topeng yang sama. Mungkin, maksud Rukia adalah menggunakan topeng itu agar wajah mereka tidak terlihat.

"Hahaha, sejak kapan kau memiliki topeng ini?" Ichigo nyaris terbahak, tetapi dia menahannya karena akan menyebabkan orang rumah terbangun.

"Topeng merupakan salah satu hal yang sangat dibutuhkan jika salah satu pekerjaan utamamu adalah mencuri partitur." Rukia mengedikkan bahu. "Baiklah, sudah semakin dingin, di mana jendela kamarmu?"

Ichigo mengangguk lalu berjalan pelan-pelan ke pekarangan yang terletak di samping rumahnya. Semua lampu memang sudah dimatikan dan gorden-gorden tertutup. Dalam hati Ichigo bersyukur, meskipun sebenarnya ia juga merasakan rasa rindu yang sangat besar pada anggota keluarganya. Mengesampingkan pemikiran itu, ia mencari-cari jendela kamarnya. Tepatnya, di atas sebuah pohon mangga yang tertanam di pekarangannya.

"Baiklah, kau bisa memanjat kan, Rukia?" tanya Ichigo sambil menunjuk jendela kamarnya. Rukia mendongak, mengikuti arah yang ditunjuk oleh jari Ichigo lalu mengangguk.

"Seorang penjejalah waktu telah mendapat berbagai jenis pelatihan agar dapat bertahan hidup, ayo!"

Tidak meragukan sedikit pun perkataan Rukia—meskipun gadis itu memiliki postur tubuh yang sangat mungil—Ichigo pun memanjat pohon lebih dulu. Ia dengan mudah memanjatnya dan sampai di jendela kamarnya. Seingatnya, ia memang tidak pernah menguncinya karena ia sering pulang malam dan tidak ingin membangunkan orang rumah. Berharap setengah mati, ia menggeser jendelanya dan...

Klek.

Huf. Dia benar-benar tidak pernah menguncinya.

Ia pun segera membuka jendelanya lebar-lebar dan masuk. Setelah memastikan keadaan di dalam aman, ia melongokkan kepala keluar dan nyaris terjatuh ketika mendapati Rukia sudah berada beberapa sentimeter di depannya.

"Apa yang kau lakukan! Kau seharusnya menunggu di bawah sampai aku bilang bahwa keadaan aman!" gerutu Ichigo, nyaris ingin berteriak namun ia urungkan. Sebagai gantinya ia malah memegang tangan Rukia untuk membantunya masuk ke dalam kamarnya.

"Aman? Memangnya apa yang tidak aman di sini, Ichigo? Jika ternyata keluargamu ada kita hanya tinggal bermain sandiwara saja," kata Rukia dengan tenang. "Oh, tapi kurasa keberadaanmu di tengah malam begini bersama denganku di sebuah kamar bisa dibilang tidak aman..."

Ichigo nyaris menjatuhkan rahangnya mendengar kalimat yang entah kenapa bisa keluar dari seorang gadis mungil yang tampak lugu itu. Sementara gadis yang berada di depannya itu dengan santai melepas sepatu dan topengnya tanpa ekspresi bersalah.

"Hahaha, tenanglah! Aku akan tidur di lantai, tenang saja."

"Tidak, kita bisa berbagi kasur dan akan kubuktikan bahwa aku sama sekali tidak 'berbahaya', Kuchiki Rukia..."

Rukia menatap Ichigo dengan tatapan 'oh ya?' sementara Ichigo menyeringai dari balik topeng Chappynya.

.

.

Sudah tiga jam berlalu sejak kedua insan itu membaringkan diri di atas kasur Ichigo—yang untung saja, merupakan ukuran untuk dua orang. Keduanya terdiam, seakan sibuk dengan pikiran masing-masing. Beberapa guling dan tumpukan bantal memisahkan mereka. Rukia mungkin memang hanya menggoda dengan kalimat awalnya, karena ia sendiri yang memprotes tidak mau Ichigo tiba-tiba mengigau dan memeluknya di tengah tidurnya. Bagaimanapun, perilaku ketika dirimu sedang tertidur merupakan perilaku di bawah alam sadar.

Ichigo membiarkan gorden jendelanya terbuka, membuat kamarnya diterangi oleh sinar rembulan yang terasa seakan mistik. Rukia yang tidur di bagian kasur yang menempel pada jendela memilih untuk menatap langit hitam itu dan menghitung bintang yang ada di sana.

"Rukia? Masih belum tidur?"

Kepala Rukia menyembul dari balik guling dan tumpukan bantal, memperhatikan Ichigo yang tengah tidur telentang dengan tangan bersedekap di depan dada. Pandangannya menerawang ke langit-langit kamarnya. "Kurasa kita sama-sama tidak bisa tidur."

"Dengan kepergianku, rumah pasti akan sangat sepi. Karena... di rumahku hanya ada empat orang. Aku, ayahku, dan dua adik perempuanku."

Rukia yang sudah kembali merebahkan kepalanya di atas bantal membelalakkan matanya mendengar pengakuan Ichigo itu. Itu berarti...

"Ya, ibuku meninggal ketika aku berumur 10 tahun. Sekitar 8 tahun yang lalu—ah, berarti kalau dihitung dari sekarang itu 12 tahun yang lalu." Ichigo melanjutkan ceritanya. Seakan tahu bahwa Rukia tengah mendengarkan meskipun gadis itu tidak merespon.

"Sebenarnya bukan meninggal... lebih tepatnya menghilang. Ibuku merupakan seorang pemusik, bahkan sepertinya darah pemusiknya mengalir dalam diriku. Dan itu adalah suatu malam ketika ibu menjemputku dari kursus piano... ia bercerita bahwa ia baru saja membuat sebuah lagu yang sangat hebat. Aku tidak sabar untuk mendengarnya karena itu kuajak ibu untuk buru-buru pulang.

Malam itu hujan deras, dan jarak pandang kami bisa dibilang hanya beberapa meter ke depan. Seharusnya kami menunggu hujan agak reda baru pulang... tapi karena aku sangat ingin mendengar lagu baru ibu, kami tetap berjalan. Haha, mengingatnya saja rasanya ingin membuatku tertawa pahit. Hal ini nyaris seperti sinetron murahan di TV.

Ketika menyebrang, sebuah mobil meluncur cepat dan menabrak kami. Aku dan ibu terlempar. Aku yang saat itu masih 10 tahun langsung tidak sadarkan diri... bahkan aku terbangun dengan beberapa jahitan di kepalaku. Ketika aku terbangun, ibu sudah tidak ada.

Belakangan ini aku baru tahu, bahwa mayat ibu tidak pernah ditemukan."

Ichigo menghentikkan ceritanya. Dan tanpa Rukia sadari, gadis itu sudah menggeser tumpukan bantal dan memandang Ichigo dengan tatapan sendu. Tangannya bergerak perlahan mengelus pipi pria di sampingnya itu. "Aku tahu, Ichigo. Aku tahu."

Suara Rukia nyaris terdengar seperti hembusan nafas seorang malaikat. Di bawah cahaya rembulan, kulit putih porselen Rukia nampak bersinar. Sangat kontras dengan rambut hitam dan mata violetnya. Namun, Ichigo tidak mengerti dengan kalimat yang baru saja gadis itu katakan.

"Tidurlah, Ichigo. Besok kita harus pergi pagi-pagi sekali agar keluargamu tidak menyadari keberadaan kita."

Tangan Rukia pun terlepas dari wajah Ichigo. Gadis mungil itu tersenyum sekilas, lalu berbalik.

Ichigo masih terpaku pada sosok Rukia yang kini sudah berbalik. Apakah maksud perkataan gadis itu tadi adalah dia tahu apa yang dirasakan Ichigo? Apakah gadis itu juga telah kehilangan orang tuanya?

Rukia menyadari kegelisahan Ichigo dan pertanyaan-pertanyaan miliknya yang menggantung di udara. Namun, ia memilih untuk diam dan pura-pura tertidur. Tanpa disadarinya, beberapa saat kemudian setetes air mata mengaliri pipinya.

.

.

"Rukia-sama benar-benar hebat! Dalam waktu hanya dua tahun ia sudah nyaris menyaingi kemampuan Byakuya-sama!"

"Shh! Menggosip di pagi-pagi begini, jika Byakuya-sama mendengar kita ribut-ribut begini, bisa-bisa kita dipecat!"

Kediaman Kuchiki merupakan sebuah kediaman yang selalu menomorsatukan ketenangan, terutama di pagi hari. Hal ini dikarenakan sang Ketua Klan merupakan seseorang yang nyaris seperti air yang tak beriak. Tenang, dan dingin. Rasanya belum ada dalam sejarah orang yang melihat wajah bak porselen itu menghasilkan kerutan—baik karena tersenyum maupun marah.

"Nii-sama! Aku baru saja menyelesaikan salah satu partitur yang kemarin nii-sama berikan padaku!" seru Rukia sambil menghambur ke ruang kerja kakaknya. Meskipun para pelayan seringkali menggosip bahwa Byakuya merupakan seseorang yang sangat dingin, namun mungkin hanya tinggal tersisa satu orang di dunia ini yang ia izinkan untuk melihat senyumnya.

"Ah... Rukia, lagi-lagi kau masuk tanpa mengetuk." Byakuya bangkit dari meja kerjanya lalu menghampiri adik mungilnya itu. Beberapa hari yang lalu, adik semata wayangnya itu baru saja menginjak umur 8 tahun. Ia menghadiahinya sebuah partitur lagu yang dibuatkan oleh istri dari sahabat karibnya.

"Ma—maafkan aku, nii-sama!" Rukia langsung menunduk malu. Byakuya tersenyum lalu mengusap-usap puncak kepalanya.

"Mungkin sekarang kau bisa berkenalan langsung dengan orang yang membuatnya?"

Rukia mendongak, baru menyadari kakaknya tidak seorang diri di dalam ruang kerjanya. Seorang wanita yang ternyata sejak tadi tengah duduk sambil memunggungi mereka pun menoleh. Ia tersenyum manis.

"Rukia-chan? Sudah kuduga, ternyata kau sangat manis!"

Rukia menoleh lagi, mendapati seorang pria yang sepertinya berada di umurnya yang ke-30 menghambur ke arahnya. Terkejut karena mendadak diangkat tinggi-tinggi, Rukia tidak berhasil mengeluarkan respons apapun. "Kau akan sangat cocok jika dijodohkan dengan anakku!"

Kali ini, kedua violet Rukia membesar. Dijodohkan? Apa?

Dengan ekspresi horror, Rukia meronta-ronta dari pelukan paman asing itu. Namun, kakaknya sama sekali tidak berniat menolongnya, melainkan hanya menghela nafas dan mengutarakan kalimat singkat. "Jika Rukia sampai terjatuh, kau tidak akan pernah pulang."

Di tengah keadaan yang membuat gadis mungil itu pusing, seorang anak yang kurang lebih seumuran dengannya tiba-tiba menyembul dari balik kaki sang paman-tidak-dikenal itu. Tatapan matanya yang sangat menggambarkan musim gugur menatap Rukia dengan polos.

"Ayah! Turunkan dia! Aku ingin berkenalan dengannya!"

.

.

"Huh..?"

Entah kenapa Rukia tiba-tiba terbangun di tengah mimpinya, padahal sama sekali tidak ada yang membangunkannya. Di luar sana sang surya sudah naik cukup tinggi, sinarnya yang hangat masuk ke kamar Ichigo. Mungkin ia terbangun karena matahari.

Tunggu, berarti sudah siang? Bagaimana dengan kepulangan mereka?

Panik, Rukia menoleh dan mendapati Ichigo sudah tidak berada di sampingnya. "Ichigo?"

Baru saja Rukia akan bangkit dari tempat tidur, pria yang baru saja dipikirkannya itu masuk sambil memegang handuk di atas kepalanya. Aroma citrus menguar dari tubuhnya yang sudah berganti pakaian menjadi sehelai kaus hitam dan celana jeans panjang. Tampaknya ia baru saja selesai mandi. "Oh, kau sudah bangun rupanya. Kamar mandinya kosong dan aku tahu kau merasa badanmu sangat lengket."

Tersadar dari keanehan yang baru saja terjadi, Rukia langsung menyambar. "Apa? Lalu, keluargamu...?"

"Hari ini mereka sedang tidak di rumah. Aku baru saja ingat bahwa ini adalah tanggal 17 Juni, tanggal ritual keluargaku."

"Ritual?"

"Mengunjungi makam ibu. Mereka akan berada di sana paling tidak sampai matahari terbenam, tenang saja. Aku turun begitu mereka keluar dari rumah."

"Oh..."

Ingatan Rukia kembali ke malam kemarin, ketika Ichigo tiba-tiba menceritakan tentang mendiang ibunya. Bermaksud untuk tidak membuat Ichigo mengingat ingatan sedih itu lagi, ia tidak berniat bertanya lebih banyak. Kakinya pun segera dilangkahkan menuju kamar mandi.

Aliran air dingin yang menyapu seluruh badannya dimulai dari kepala membuat gadis itu merasa pikirannya kembali menjernih. Beberapa hari ini rasanya sangat melelahkan, sudah lama ia tidak mengalami hal seperti ini. Jika seperti ini terus, lama-lama kegiatannya mencari partitur bisa—

"Ah!"

Rukia langsung mematikan shower. Perasaan ini... tidak salah lagi... di rumah ini, terdapat partitur waktu.

Terlebih lagi, dalam jumlah banyak.


To Be Continued


HAIYAAA MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN MINNA-SAN!

Karena itu tolong maafkan author tidak bertanggung jawab yang menelantarkan fic ini selama kurang lebih 4 tahun hiks... lagipula saya memang meninggalkan dunia FFn di kala itu :')) sekarang saya berusaha kembali karena memang sedang libur dan sedang mencari jiwa penulis saya kembali. Meskipun sepertinya sebentar lagi hype Bleach akan sangat hilang dan fandom ini juga sudah sangatlah sepi... tapi saya tidak bisa memungkiri fakta bahwa I grew up with this anime, with the characters in it, and how they've changed my life so much. Untuk alasan inilah saya bisa dibilang hanya bisa bikin fic dari karakter-karakter Bleach. Karena mereka sudah sangat melekat di hati saya #HAHA yah, selain itu saya juga bikin fic Kuroshitsuji tapi lebih karena enak dibikin fic humor.

Well, mungkin dulu gak niat jadi gini jalan ceritanya... tapi seperti yang saya bilang di Anacampserote hal ini dikarenakan lupa gimana plotnya... semoga tidak mengecewakan...

Akhir kata, mohon maaf lahir dan batin. Selamat hari raya idul fitri bagi yang merayakan! Selamat hari makan opor dan kupat sedunia! Selama me-review di bawah HOHOHO pretty please? =3=

And, very special thanks to those whom have reviewed for chapter 5:

waffleandcream, anda7, Uki The Great, Reiji Mitsurugi, plovercrest, Izumi Kagawa, krystaleire, Naruzhea Aichi, chappy, Nakamura Chiaki, , Hendrik Widyawati

Mungkin jika sempat saya mau balas besok habis lebaran dll yah, sekarang sudah malam ahaha dan kesambar ide apa saya update di malam takbiran begini emangnya siapa yang mau baca :'))

Udah ah! Review, maybe?