Disclaimer : Naruto Punya Masashi Kishimoto

Pairing : Sasuke Uchiha x Hinata Hyuuga

And many other

Genre: Romance.

Rate : M

Warning : OOC, Typo(s), Bahasa tidak sesuai EYD, AU, Incest(Maybe),GaJe alur maupun ceritanya, DON'T LIKE? DO'NT READ.(titik)

Happy Reading..^^

"Nee-san, benar tak apa kami tinggal?" tanya Hanabi khawatir. Hinata tersenyum kecil kemudian mengangguk pada Hanabi, memberitahukan pada adik satu-satunya itu kalau dirinya baik-baik saja.

Hanabi menghembuskan napasnya pelan, kalau bisa ia tidak akan pergi. Hanya saja acara ini benar-benar penting untuknya dan ia memang punya kewajiban untuk menghadirinya. Ia sungguh sangat khawatir pada kakaknya ini, tapi ia pun tidak berada dalam posisi memilih saat ini. "Baiklah, kami pergi dulu, nee-san." Hanabi menggenggam erat tangan Hinata, menyalurkan energi positif yang sedikit dimilikinya.

"Kalau terjadi sesuatu, segera hubungi aku atau Hanabi." Ucap Neji. Meskipun dengan nada datar, Hanabi dan Hinata tahu kalau saudara laki-laki mereka satu-satunya itu sangat khawatir tentang keadaan Hinata yang kembali drop.

Hinata tersenyum sekali lagi, "Maaf Hanabi, nee-san tidak bisa ikut hadir diacara wisudamu." Ucap Hinata penuh penyesalan. Kalau saja ia tidak terkurung dalam keadaan ini, ia tidak ingin melewatkan moment Hanabi melepas masa remajanya. Setelah adiknya itu berhasil lulus dengan menjadi juara umum di SMP-nya. Hinata sungguh tidak rela melewatkan kesempatan membanggakan itu.

Melihat raut wajah Hinata, Hanabi segera memeluk kakak perempuannya itu, "Tidak apa-apa, nee-san. Sungguh," ia merasakan Hinata tengah membelai punggungnya. "Asalkan nee-san baik-baik saja, dan cepat sehat itu sudah membuat kami bahagia," Hanabi mengarahkan pandangannya pada Neji. "Benarkan, nii-san..?"

Sulung Hyuuga itu mengangguk mantap. Senyum tipis ia perlihatkan pada adik-adiknya itu. "Benar." Ia melihat waktu dari jam tangan yang melingkar ditangan kirinya, " Sudah waktunya, Hanabi." Ucap Neji mengingatkan.

"Baiklah, nee-san... sepertinya kali ini kami benar-benar harus pergi," Hanabi membantu Hinata membaringkan tubuh lemahnya. "Janji, kami tidak akan lama." Ia selimuti tubuh Hinata dengan selimut warna ungu muda itu sampai sebatas dagu. Hinata tersenyum kecil, merasa dirinya kembali menjadi seorang bayi.

"Nee-san, harus istirahat." Pesan Hanabi tegas.

Hinata mengangguk, "Baiklah... sebaiknya kalian lekas." Kali ini Hinata yang mengingatkan. Hyuuga sulung dan bungsu itu saling berpandangan, kemudian menghembuskan napas.

Hanabi bangkit dari ranjang Hinata kemudian mencium kening Hinata sesaat, "Aku sayang sekali sama nee-san."

"Nee-san tahu." Ucap Hinata tulus, ia membelai lembut rambut Hanabi. Ia mengarahkan pandangannya pada Neji yang tengah mengelus pelan rambut indigonya.

"Ayo Hanabi." Ajak Neji kemudian berlalu dari kamar Hinata setelah berpamitan.

Setelah pintu tertutup dan tidak ada lagi tanda kedua saudaranya lagi, senyum Hinata memudar seiring dengan kesunyian yang merayap kedalam kamarnya. Membuat dirinya yang telah terjerat sepi merasakan dirinya tenggelam semakin dalam pada rasa sepi itu.

"Haa~h..." Hinata menghembuskan napasnya berat. Ia kemudian menyibak selimut yang tadi membelitnya dan berjalan menuju balkon kamarnya.

Ia menghirup udara malam yang menyejukan raganya, tapi jiwanya tetap tak bisa terasa sejuk. Ada yang membara, meskipun bukan sebuah amarah. Ada yang menyala, meski bukan kecewa. Ada rasa yang tidak mapu diungkapkannya. Terlalu menyakitkan bahkan ia tidak mampu untuk menggambarkannya. Sekali lagi ia hembuskan napasnya bersamaan dengan matanya yang semakin terasa berkabut, "A-apa, yang harus kulakukan?" gumam Hinata begitu lirih. Ia kembali tesenyum getir saat mengingat ia tidak akan mendapat jawaban dari semua tanyanya.

Tangan mungilnya kembali mengotak-atik ponsel yang setiap hari menjadi mainannya. Sudah lebih dari tiga puluh pesan ia kirim, belasan e-mail ia juga kirimkan. Lebih dari seratus kali–jika ia menghitung– ia telah berusaha menghubungi satu orang itu. Mata lavendernya kembali menemukan nama itu, kontak nomor satu di ponselnya, satu-satunya orang yang ia rindu. "Sasuke-kun..." air matanya luruh begitu saja seiring dengan nama itu yang terucap lagi, dan lagi dari bibir tipisnya.

Ya Tuhan... Ia tidak tahu apakah ada rasa sakit yang lebih dari rasa sakit yang dirasakannya kini.

Memang ada...

Dan pasti ada.

Hanya saja...

Hanya saja mengapa ia merasa begini sakit, saat ia harus merelakan anak, kemudian suaminya terlepas dari dirinya. Dari genggaman kehidupannya.

Ia bahkan tak mampu melakukan apapun untuk mempertahankan kedua orang yang menjadi cahaya kehidupannya.

Memangnya apa yang bisa dilakukan olehnya? Wanita lemah yang selama ini hanya bersembunyi dibelakang kuatnya nama marga yang disandangnya. Sebelum, sesudah dan saat kembali pada marganya. Sebagai seorang Hyuuga. Ia bahkan terlalu takut untuk menatap dunia yang semestinya ia tahu dan semestinya ia hadapi. Benar. Mungkin memang benar jikalau hanya dirinya yang terlalu cengeng akan kehidupan, yang bahkan mungkin jauh diluar sana ada banyak luka dan siksa yang jauh lebih dalam dari apa yang saat ini dirasakannya...

###SasuHina###

'Bug. Bug. Bug'

Suara benturan tangan berbalut sarung tinju dengan kantung pasir yang menggantung itu menggema dilengangnya ruangan yang tidak terlalu luas.

Sesosok tinggi tegap dangan balutan kulit berwarna putih porselen, mata onyx yang menyorot tajam sebagai pencipta suara benturan itu terlihat semakin bringas menyarangkan tinjunya. Begitu cepat. Terlihat penuh dengan rasa marah, kecewa, sesal dan juga, luka?

Entahalah karena terlalu banyak. Terlalu banyak emosi itu tersimpan dari setiap pukulan yang dilakukannya.

Sosok itu bahkan sudah tidak perduli lagi dengan penampilannya yang kini, sangat kacau. Rambutnya yang biasa menentang grafitasi itu telah jatuh hingga mencapai pundaknya karena lepek dan basah akibat keringat yang terus diproduksinya.

Ia sungguh tidak perduli dengan semua itu.

Sementara makin tidak ada rasa dalam jiwanya yang kini terasa kian kering, hatinya yang semakin kosong, raganya yang tidak lagi memiliki pelengkapnya. Semuanya terasa trenggut begitu saja. Saat 'ia' yang begitu mengerti akan dirinya terpaksa pergi dari sisinya.

Haruskah? Haruskah ia juga keluarkan air matanya? Menunjukan pada dunia tentang bagaimana lemah dan tidak bergunanya ia sebagai kepala keluarga? Namun ia tidak bisa. Sungguh tidak bisa melakukan hal itu. Terlalu banyak hal yang harus ia jaga. Kalau saat ini dirinya juga lemah dan kalah. Siapa lagi yang akan bangun dan mengembalikan keadaan seperti sebelumnya.

Belum, belum saatnya ia menyerah.

Memaksakan diri, huh?

Tak mengapa jika dengan memaksakan dirinya semuanya akan kembali seperti semula. Hanya itulah pilihan yang dimilikinya. Seperti tidak berdaya? Iya, benar. Dirinya memang begitu tidak berdaya meskipun ia memiliki kekuatan, ia tidak cukup memiliki keberanian. Ia miliki yang ia percayai, tapi ia terlalu banyak memiliki keraguan karena semua hal yang harus dijaganya. Ia begitu tahu akan apa yang terbisik dihatinya, namun harus ia kembali abaikan.

Lelah. Dirinya sungguh sudah sangat lelah denga semua keadaan ini...

"Aaaargh..." teriaknya lantang saat pukulan terakhir ia sarangkan. Berharap mampu melepaskan beban yang selam ini membelenggunya.

Sasuke manatap miris pada telepon genggamnya. Ia tahu dan yakin pasti benda yang tercipta untuk membantu berkomunikasi dalam jarak yang jauh itu kini telah berisi penuh akan pesan, email maupun kotak mailbox panggilan dari'nya'. Tapi, bahkan untuk sekedar membalasnya ia tidak bisa. Ia selalu mengingat bagaiman lincahnya 'ia' ketika mengetik pesan. Begitu berbekas dalam ingatannya hal sekecil apapun tentang 'dirinya'. Apapun tentang wanitanya –Hinata–memang telah begitu lekat dengan dirinya. Tidak perlu lama senyum getir kembali tercetak diwajah tampannya.

"Nii-san... Hosh... Hosh..." suara yang keluar dari bibir yang biasanya menyunggingkan senyum palsu itu mengalihkan perhatian Sasuke dari berbagai jenis masalah yang yang menyakitinya. Masalah yang membawa luka. Masalah yang penuh siksa yang sayangnya bukan hanya dirinya saja yang merasakannya. Ada satu orang lagi yang merasakannya, mungkin justru jauh lebih dari apa yang dirasakan olehnya.

Onyx Sasuke bertemu dengan bola mata yang sama dengan miliknya. Ia menatap pemuda berkulit pucat yang dua tahun lebih muda darinya itu dengan tatapan datar, "Kau tidak bermaksud merusak pintu kan... Sai?" ucap Sasuke datar.

Sebenarnya mungkin tidak ada yang aneh jika adik bungsunya yang suka membaca buku ini membuka pintu dengan kasarnya. Kadang kesopanannya memang perlu dipertanyakan. Tapi, mengingat kebiasaan sang adik yang kadang kala juga suka seenaknya sepert dirinya ia jadi sudah tidak heran dan sudah terbiasa dengan hal itu.

"Ada apa?" tanya Sasuke datar pada Sai yang tengah mengatur napasnya.

Sai mengatur napasnya yang terputus-putus. Berlari dari lantai dua rumahnya ketempat yang berada diluar rumah yang harus melewati kolam renang sepanjang sepuluh meter dalam keadaan panik tentu saja bukan suatu pilihan yang tepat. Hal itu tentu saja membuat lelahnya menjadi dua kali lipat. Belum lagi dengan rasa khawatir dan cemas yang melingkupinya.

Melihat nii-sannya masih menunggu apapun yang akan diucapkannya, "Hinata nee-san pingsan lagi." Ucap Sai setelah napasnya sudah sedikit teratur.

Sai diam menunggu reaksi apa yang akan ditunjukan oleh Sasuke yang juga masih diam. Membuat ruangan yang penuh dengan alat olah raga dari berbagai jenis itu terasa sunyi.

Mematung. Mungkin itu lebih tepat ditujukan pada Sasuka saat ini setelah mendengar apa yang baru saja Sai katakan. Ekspresi datar yang biasanya mampu dibaca oleh anggota keluarga dan orang terdekatnya itu bahkan sampai tidak bisa Sai ketahui. Seperti apa sebenarnya perasaan nii-sannya ini. Bahkan untuk sebatas menyampaikan emosinya saja seakan Sasuke sudah tidak mampu.

Sai mengerti meskipun tidak mampu merasakannya, apa yang menimpa Sasuke –sosok yang dikaguminya– sangatlah berat. Hanya saja ia masih berharap Sasuke tidak hanya tenggelam dalam rasa sakitnya. Ia berharap Sasuke tidak lagi keras kepala dan segera mungkin mengurangi sakit yang juga diderita oleh Hinata–kakak iparnya.

Sai mendecih pelan saat melihat Sasuke yang hanya terdiam, dan terdiam. Tidakkah Sasuke tahu apa yang menimpanya juga menyakiti hati orang yang disekelilingnya.

Sai menutup kembali mulutnya ketika ia ingin menumpahkan segala macam apa yang dipikirkan olehnya saat tiba-tiba Sasuke dengan secepat yang bisa dilakukannya berlari melewati Sai begitu saja.

Sai tersenyum tulus, "Paling tidak... Seharusnya kau tanya dahulu dimana Hinata nee-san." Gumam Sai lirih masih disertai senyumannya.

Sai menengadah menatap langit-langit ruangan itu untuk sesaat. Tangan pucatnya terulur meraih ponsel dari saku celana hitam yang dikenakannya kemudian menetik pesan. "Kuharap kau mulai berani dan bertindak, Sasuke nii..." ia memasukan kembali ponselnya kesaku celana. "Jangan gegabah dan tetap waspada." Gumamnya pelan. Berharap gumamanya kali ini akan Sasuke banar-banar lakukan. Kemudian kakinya yang jenjang melangkah meninggalkan tempat itu dalam keadaan sepi dan sunyi.

###SasuHina###

"Hanabi... Tidak bisakah kau tidak mondar-mandir seperti setrika?" tegur Neji dengan suara datar.

Patuh. Hanabi yang memiliki warna rambut senada dengan sulung Hyuuga itu berhenti dari 'kegiatan'nya. Ia menatap pada Neji yang tengah memijit pelipisnya, kemudian menempatkan diri duduk dihadapan Neji.

"Seperti itu lebih baik. Jangan melakukan hal yang tidak penting seperti itu. Kepala nii-san semakin berdenyut." Ucap Neji yang tengah mencoba menghubungi adik iparnya–sasuke.

Jujur Neji juga sangat panik. Sejak menemukan Hinata dalam keadaan pingsan didepan pintu kulkas yang terbuka perasaanya begitu kalut. Ia sudah berjanji pada almarhum ayah dan ibunya untuk menjaga adik-adiknya ini. Terlebih Hinata yang memang sejak dahulu yang paling dilindungi dikeluarga Hyuuga karena kekurangannya.

Kekhawatirannya makin menjadi saat dua puluh menit, Dokter yang memeriksa keadaan Hinata belum juga keluar dari kamar adiknya.

Hanabi yang melihat Neji begitu terlihat frustasi berpindah tempat kesamping Neji, ia mnepuk pelan bahu kakanya itu dan tersenyum, berusaha terlihat tegar. "Nii-san sudah menghubungi, Sai nii-san?" Tanya Hanabi. Neji mengangguk masih mencoba menghubungi Sasuke.

Hanabi mendesah kemudiaan menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, "Sementara ini... Percayakan Sasuke nii-san pada Sai-niisan dulu, nii-san..." Hanabi menekuk lututnya didepan dada kemudian memeluknya. "Aku yakin Sai nii-san tahu bagaimana cara ia bertindak pada Sasuke nii-san." Neji menatap aneh pada Hanabi.

Hanabi yang merasa dipandangi oleh Neji menatap balik pada Neji, matanya menatap polos pada Neji, "Kenapa?" tanya Hanabi risih.

Neji menggeleng, "Tidak. Hanya merasa aneh saja kau berkata seperti itu. Seperti kau dekat dengan Sai."

Hanabi nebgerjab, "Benarkah?" Neji menatap Hanabi sekilas tanpa bermaksud menjawab pertanyaan Hanabi.

Neji dan Hanabi terdiam, membuat ruangan itu sunyi. Dalam hati mereka merutuki diri mereka sendiri. Perasaan bersalah meliputi sebagian besar dari diri mereka. Seharusya paling tidak salah satu dari mereka tidak perlu pergi. Padahal mereka tahu jika keadaan Hinata tengah dalam keadaan tidak baik mental maupun raganya. Bagaimana jika sesutau hal yang lebih buruk dari ini terjadi. Bagaiman mereka harus mengatakan ini pada Sasuke? Padahal mereka sudah berjanji untuk menjaga Hinata selama Sasuke tidak bisa berada disisi Hinata. Apalagi ini bukan pertama kalinya Hinata jatuh pingsan.

'Cklek'

Terdengar suara pintu yang terbuka. Menyadarkan Hanabi dan Neji yang tengah berkelana dalam rasa bersalahnya. Mereka segara bangkit dari duduknya. Seorang Dokter wanita paruh baya berambut pirang yang terlihat masih begitu muda itu memunculkan(?) dirinya dibalik pintu kamar Hinata yang baru saja dibuka.

"Bagaimana keadaannya?" pertanyaan dengan nada cemas itu keluar dari bibir salah seorang yang ada disana. Orang yang baru saja sampai dikediaman utama Hyuuga.

Tbc/ Delete?

Saya hadir difandom ini dengan cerita GaJe diatas...

Hanya seperti diataslah yang saya bisa saya tulis...

Semoga ada yang menikmati tulisan saya...

Kalau boleh, saya ingin pendapat kira-kira konfliknya apa yang tepat untuk kedaan SasuHina...

Last, Arigattou Gozaimasu... ^^ *bow

Sign: Ho.