From The Future
Disclaimer : Katekyo Hitman Reborn! © Akira Amano
Rate : masih T meskipun nyerempet M
Genre : Romance/Tragedy(?)
Warning! Yaoi, super OOC, typo, lime, dll.
.
.
.
— Extra —
.
.
.
Hibari duduk di sofa yang ada di ruangannya, tepat di hadapan Tsuna yang menunduk sambil memegangi kemejanya yang sedikit terbuka. Kesunyian menyelimuti mereka. Tak ada satupun yang memulai percakapan. Keduanya masih sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Tsuna mengangkat kepalanya sedikit—memberanikan dirinya untuk menatap lawan bicaranya. Tetapi sepertinya ia lebih memilih menatap ujung sepatunya sekarang. Ia tak sanggup untuk menatap Hibari sekarang. Ia terlalu takut.
"Jelaskan semuanya."
Suara Hibari sedikit mengagetkannya. Refleks ia mendongak dan tanpa sengaja iris karamelnya bertemu dengan iris biru-keabuan milik Hibari. Dengan cepat ia kembali menunduk. Ia merasa suhu disekitarnya naik secara tiba-tiba. Peluh membasahi wajahnya yang semakin memerah. Ia meremas kemejanya. Tepat di bagian dada di mana jantungnya berdetak semakin cepat.
"A-aku—" Tsuna mencoba untuk berbicara. Suaranya bergetar. Ia tak tahu harus menjelaskan apa. Ia sama sekali tak tahu akan berakhir seperti ini.
"Cepat katakan."
"B-baik," Tsuna menelan ludahnya. Lebih baik jujur dibandingkan harus mati sekarang. Ia tak punya pilihan lain. Ia mengambil napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya kembali. Ia mencoba untuk berbicara dengan tenang.
"Pada awalnya aku melakukan hal yang biasanya aku lakukan saat pulang sekolah. Hari ini aku sendirian tanpa Gokudera-kun dan Yamamoto. Entah apa yang mereka berdua lakukan. Tetapi tiba-tiba Lambo muncul dan mengejarku sambil mengacungkan Ten Years Bazooka." Tsuna berhasil mengatakannya dengan jelas. Tiba-tiba ingatan yang ingin ia lupakan muncul. Semburat merah yang sudah sedikit memudar kembali muncul di wajahnya. "L-lalu—"
Hibari menghela napas. "Bukan itu. Jelaskan mengapa kau berakhir seperti itu."
"E-eh?" Tsuna terlihat bingung. Tetapi ia menyadarinya dengan cepat. Wajahnya bertambah merah. Ia tak mau membahas hal itu. Ia ingin melupakannya. "I-itu—"
.
.
.
—Flashback—
Tsuna memejamkan matanya. Ia terus berdoa dalam hati agar ia selamat dan dapat kembali ke masanya secepat mungkin. Ia membuka matanya perlahan saat ia merasa kalau dirinya sudah sampai. Ia melihat ke sekelilingnya. Ruangan yang gelap membuat Tsuna sulit untuk melihat. Penerangan satu-satunya hanyalah cahaya rembulan yang mengintip dari balik tirai tipis. Ia menelusuri setiap sudut ruangan itu. Setelah melihat-lihat, ia menyimpulkan bahwa ini adalah kamarnya sepuluh tahun mendatang. Dan sekarang ia terduduk di atas ranjang miliknya. Ia menarik napas lega. Setidaknya ia aman di sini.
Tapi tunggu. Sepertinya ia merasa ada yang bergerak di sampingnya. Ia menoleh dengan gerakan slow-motion dan berharap ia tidak menemukan sesuatu yang menyeramkan. Ia mengedipkan matanya beberapa kali sambil berharap ia salah lihat. Tetapi takdir berkata lain. Di sampingnya terbaring seseorang yang sepertinya ia kenal. Tapi ia masih belum dapat memastikan sosok yang ada di sampingnya tersebut. Ia memicingkan matanya dan menatap sosok itu lekat-lekat. Rambut hitam, kulit putih, wajah itu—
"HIIIIIEE!"
—orang yang paling ia takuti. Cloud guardiannya.
"Hi-Hibari-san!"
Orang dipanggil Hibari itupun terbangun dari tidurnya karena teriakan Tsuna. Ia mengambil posisi duduk lalu menyalakan lampu kecil di meja samping tempat tidur. Mata Hibari sedikit menyipit untuk mengurangi intensitas cahaya yang masuk ke dalam matanya. Hibari memandangi Tsuna beberapa saat. Ia menyeringai saat mengetahui bahwa yang di hadapannya ini bukan Tsuna-nya, melainkan Tsuna dari masa lalu.
Tsuna memandang Hibari dengan tatapan horor. Apalagi saat ia mendapati tubuh Hibari yang putih—dan entah mengapa terlihat seksi di mata Tsuna—terekspos dengan jelas. Hibari sama sekali tak memakai atasan—atau mungkin ia memang tak memakai apapun sekarang. Untung saja bagian bawahnya tertutupi selimut. Tidak—Tsuna sama sekali tidak penasaran dengan apa yang ada si balik selimut itu. Ia sama sekali tak ingin mengetahuinya.
"Sepertinya kau melupakan hukuman bila mengganggu tidurku," Hibari mendekatkan dirinya ke arah Tsuna. Tangan kanannya menggenggam pergelangan tangan kiri Tsuna agar Tsuna tak mencoba untuk kabur. Hibari mendekatkan bibirnya ke telinga Tsuna lalu membisikkan sebuah kata yang membuat Tsuna bergidik. "Tsunayoshi."
Wajah Tsuna memerah saat napas Hibari menggelitik telinganya. Ia sangat menyukai suara Hibari saat memanggil namanya. Jantungnya berdetak sangat cepat. Ia tidak mungkin menyukai Hibari, 'kan?
Belum sempat Tsuna memulihkan detak jantungnya, Hibari sudah menarik dagunya dengan tangannya yang bebas lalu menciumnya. Tsuna membelalakkan matanya. Ia berusaha mendorong Hibari menggunakan tangan kanannya. Tapi percuma saja. Alih-alih menjauh, Hibari malah semakin mendekatkan dirinya. Refleks, Tsuna menarik tubuhnya mundur untuk menjauhi Hibari. Sayangnya ia tak dapat mundur lagi. Selain karena Hibari yang menariknya, tubuhnya juga sudah mengenai headboard di belakangnya.
Mulut Tsuna terbuka sedikit saat ia hendak mengaduh karena punggungnya membentur headboard. Tapi sebelum ia sempat mengaduh, Hibari langsung mendorong lidahnya masuk ke mulut Tsuna. Ia mengeksplorasi setiap sudut dari mulut Tsuna. Tsuna berusaha untuk mendorong lidah Hibari keluar dari mulutnya menggunakan lidahnya. Tapi hal itu malah dimanfaatkan oleh Hibari untuk berdansa dengan lidah Tsuna.
Tsuna merasa tubuhnya lemas. Ia tak dapat melawan lagi. Hibari yang menyadari hal itu mulai melepas cengkraman tangannya. Ia menggerakkan tangannya untuk membuka kancing kemeja putih Tsuna secara perlahan.
"Hi—Hibari-san…," ucap Tsuna setelah Hibari melepaskan ciumannya. Hibari memperhatikan Tsuna sejenak. Kedua belah bibir yang basah dan memerah, tatapan mata itu… ia sangat menyukainya.
Seringai terlukis di wajah Hibari. Ia mendekatkan wajahnya ke leher Tsuna. Ia mengecup setiap jengkal dari leher Tsuna. Setelah puas mengecupnya, ia mulai menjilati, menghisap, dan menggigit pelan daerah itu.
"Nggh… H-Hibari-san…."
Oh, betapa Hibari menyukai suara itu. Suara erangan yang keluar dari kedua bibir mungil Tsuna. Suara yang ditujukan hanya untuknya.
Di saat Hibari sedang asyik bermain dengan 'mangsa'nya, kepulan asap berwarna merah muda kembali menelan Tsuna. Entah Hibari harus kesal atau senang, ia tak tahu. Ia kesal kegiatannya diganggu, tapi ia juga senang Tsunayoshi-nya kembali.
Yang jelas, Tsuna sangat bersyukur ia kembali. Meskipun ia tahu Hibari sedang menunggunya di masanya. Siap untuk 'menggigit'nya.
—Flashback ends—
.
.
.
"Begitu ceritanya…," Tsuna menunduk, berusaha menyembunyikan wajahnya yang sudah semerah kepiting rebus. Ia berharap Hibari tidak akan 'menggigit'nya. Setidaknya tidak sekarang.
"Hn. Cerita yang cukup menarik," Hibari menyeringai. Tsuna yang tidak sengaja mendongak dan menatap wajah Hibari ingin langsung pergi dari sini. Ekspresi Hibari lebih meyeramkan dari setan manapun di dunia ini. Setidaknya begitu menurut Tsuna.
"Tsunayoshi," panggil Hibari. Yang dipanggil refleks mendongak dan menemukan wajah Hibari sangat dekat dengan wajahnya. Tanpa buang-buang waktu lagi, Hibari langsung mencium bibir Tsuna. Ia melumat kedua belah bibir Tsuna. Ia juga mengajak lidah Tsuna untuk berdansa dengan lidahnya. Kebutuhan akan oksigen membuat keduanya berhenti sejenak untuk bernapas.
"Aku akan menyelesaikan apa yang telah aku mulai."
"Eh? HIIIIEE!"
.
.
.
Owari
.
.
.
A/N : Maaf lama. Saya tahu ini lama banget. Udah lama, jadinya abal lagi. Maaf! Maaf buat yang minta lemon, saya gak bisa bikin lemon. Saya masih di bawah umur.
Silakan pikirkan sendiri apa yang akan terjadi selanjutnya. Saya gak berani buat. Saya masih polos. /bohong/
Terima kasih yang udah baca sampai sini. Kalian gak muntah. 'kan? Yang baik hati silakan tinggalkan review.