"Pagi Ciel..."

"Pagi, Alois..." Ciel menjawabnya dengan setengah tak sadar. Dilihatnya Alois yang tersenyum lebar kepadanya. Sekarang matanya telah terbuka sepenuhnya. Tentu saja dengan usaha yang berat. Ia menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.

Jalanan?

Dan...ah...rupanya ada suara mesin juga ya...

Oh...rupanya Ciel sedang mencerna keadaan saat ini...

Kedua mata Ciel terbelalak lebar setelah sadar ia tak berada dalam ranjang empuknya

"Selamat merayakan Natal dengan kami Ciel..." Teman-temannya yang duduk di kursi depan berkata dengan serempak sambil nyengir

...

...

...

"APA YANG KALIAN LAKUKAN PADAKUUU!"

Semuanya pun tuli seketika setelah mendengar teriakan Ciel. Bahkan pak sopir saja hampir menabrak mobil didepannya...

.

.

*.*

KIMI TO BOKU! YOU AND ME!

.

Chapter 6

.

Kuroshitsuji© Yana Toboso's

.

.

SebastanXCiel

.

Enjoy read!

.

.

.

*.*

"Yah...maafkan kami deh, Ciel..."

"Kami tak bisa membiarkan kau tak ikut"

"Ya...ayolah Ciel...nikmati saja semua ini"

Ciel menghiraukan ucapan teman-temannya. Ia membuang muka ke arah jendela di sampingnya dengan tatapan malas. Mata birunya memandang bosan ke arah pemandangan yang dilihatnya. Langit di luar tampak mendung dan salju masih saja turun untuk membuat Inggris menjadi putih. Huh...kenapa ia bisa berada di sini? Kenapa anak-anak di kostnya ini ngotot kalau ia harus ikut? Hah...dan juga, bagaimana ia dipindah dari kasur di kamarnya ke kursi mobil yang empuk sekarang ini? Hah...benar juga. Kalau Ciel sudah tidur, ia sudah seperti beruang kutub yang hibernasi. Sama sekali tak sadar kalau ada yang memindahnya!

"Yah...ini adalah usulan dari Madam Red kok...Bukan seratus persen ulah kami" Terang Alan sambil tertawa miring. Merasa tak enak karena ulah teman-temannya yang sinting

Madam Red?!

Sialan...ternyata bibinya sendiri yang menjerumuskannya di dalam mobil besar ini! Ciel tiba-tiba murka!

Hah...kalau begini sih...mau tak mau Ciel harus bersama-sama teman-temannya dalam satu minggu yang akan datang mungkin?

Satu minggu?!

Lama sekali!

"Yah...habisnya kami benar-benar ingin merayakan natal denganmu sih..." Terang Alois tersenyum maklum sambil menyatukan telapak tangannya di depan dada. Diiringi anggukan teman-temannya. Dilihatnya teman-temannya yang nyengir tanpa dosa dengan pandangan heran. Hah...memang ia ini apa? Sampai sebegininya mereka peduli? Entahlah...seingatnya baru kali ini ia diperlakukan seperhatian ini oleh orang lain selain keluarganya.

"Doushita no, Ciel?" Tanpa sadar Alois berkata bahasa Jepang sambil melihat Ciel yang pandangannya menjadi kosong. Seperti melamun?Entahlah, Alois tak bisa memastikannya.

"Ah...tidak kok...hanya saja...aku tak menyangka kalau aku jadi ikut dengan kalian" Lirih Ciel dengan perasaan senang dan juga sedikit sesak. Entah bagaimana kedua perasaan yang bertolak belakang itu menghampiri dirinya. Untung saja asmanya tak kumat lagi ketika merasakan sesak di lubuk hatinya. Tapi, perasaan sesak ini berbeda dibanding perasaan sesak yang sering ia rasakan sebelumnya. Entahlah, ia tak bisa menyiratkan bagaimana perasaan sesak namun aneh ini terjadi di dalam hatinya.

"Tidak semua hal terjadi sesuai perkiraan kita" Sebastian berucap sembari menatap tajam Ciel. Tapi bukan tajam menusuk, melainkan tajam seperti dirinya mencoba memperlihatkan keseriusan akan kata-katanya. "Seperti keadaanmu saat ini." Lanjutnya menghela napas—pendek sembari memalingkan mukanya ke arah depan.

"Yap...itu benar! Mau tak mau—" Ucapan Alois menggantung dan kemudian ia merangkul Ciel yang disebelahnya dengan tangan kirinya. Tanpa merasa sungkan sedikitpun. Kenapa? Karena bagi Alois Ciel adalah teman? Bukan, itu terlalu dangkal. Sahabat? Mungkin sih...Alois menganggap Ciel sahabatnya—meski baru beberapa minggu bertemu—tapi, mungkin saja Ciel masih belum menganggapnya sahabat bukan? Makanya, dikatakan sahabat juga tak sepenuhnya benar. Ah...ia tahu! Bukan teman ataupun sahabat yang menjadi status hubungan mereka saat ini. Melainkan,

Ikatan

Ya...hanya kata itu yang sangat pas!

"Kau pun harus mengikuti alur kegiatan bersama kami" Lanjutnya ceria—seceria hati dan pikirannya yang berpikir tentang hubungannya dengan Ciel

Ciel tak bisa berucap apa-apa. Ia hanya hanya memperlihatkan raut wajah yang seakan-akan ia terlihat tak terima dengan keputusan teman-temannya yang ia memalingkan mukanya ke arah jendela kaca mobil di samping kirinya ketika teman-temannya yang lain mulai berceloteh ria kembali. Sepertinya hawa di luar sangat dingin. Pikirnya yang menurutnya tak penting. Yah...itu memang benar sih...Bahkan saking dinginnya kaca mobilnya saja sampai beruap seperti ini. Tanpa sadar tangan kanan Ciel terangkat. Lalu telunjuknya mulai menyentuh dan menggoreskan goresan-goresan tak beraturan pada dinding berembun pada permukaan kaca tersebut. Menimbulkan perbedaan warna pada daerah yang telah disentuh Ciel dan yang belum disentuhnya. Yah...biasanya kebanyakan orang menuliskan suatu kalimat kalau sudah bertemu dengan kaca berembun seperti ini. Tapi entah mengapa sejak tadi Ciel hanya membuat lingkaran-lingkaran tak beraturan sehingga menjadi ruwet.

Ciel menghela napas—pasrah dengan keadaan. Yah...mau bagaimana lagi. Mau tak mau, ia harus duduk diam di mobil ini sampai tujuannya tiba. Tentu saja ia tak mungkin meminta turun dari mobil dengan alasan ia tak mau ikut merayakan Natal kan? Memang ia mau seperti orang bodoh yang tak tahu harus apa setelah diturunkan?

Ha—ah...Selain itu, kali ini ia juga tak mau egois

Dipalingkannya mukanya menghadap ke depan. Dilihatnya teman-temannya yang sedang berceloteh ria (entah tentang apa) dengan pandangan datar. Tanpa menunjukkan emosi sedikitpun. Mulutnya tertutup, meskipun tak rapat. Sedangkan matanya terarah sayu namun sama sekali tak menunjukkan kebosanan.

Mulut Ronald yang sangat lebar ketika meneriaki Eric sementara Eric yang juga membalas teriakan Ronald, Alois yang tertawa-tertawa sendiri di sampingnya sambil membaca komik, Sebastian yang berebutan snack dengan Claude yang tak mau berbagi, Grell yang sibuk berdandan dan langsung tersulut emosi ketika bedaknya tak sengaja dijatuhkan oleh Eric,

Melihat teman-temannya yang ramai saat ini...

Cukup untuk membuat Ciel berpikir untuk menghargai usaha teman-temannya

Dengan ikut merayakan Natal

.

.

*.*

Siang yang begitu dingin. Bahkan jika kita tak tahu kalau saat ini masih pukul dua siang, orang-orang pasti akan menganggap kalau ini sudahlah sore karena tak ada satu pun titik cahaya matahari di kota ini. Yang terlihat hanyalah gumpalan-gumpalan awan mendung yang bergerak dengan lambat karena angin tak berhembus kencang. Namun, tampaknya awan-awan itu sudah lelah untuk menurunkan butiran-butiran es yang sangat disukai oleh Ciel. Hingga yang saat ini terlihat di matanya hanyalah tanah, jalan maupun rumah-rumah tengah terselimuti oleh gumpalan salju.

"Hah...akhirnya selesai juga..." Lega Alois yang duduk disampingnya—menikmati pemandangan rumah-rumah di bawahnya lewat beranda di lantai tiga rumah Ronald.

"Huh...kau terlalu membawa banyak barang" Sindir Ciel—tak melihat ke arah Alois

"Hehehe...Yah...komikku memakan banyak tempat sih" Alois hanya nyengir sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya yang tak gatal. "Tapi ngomong-ngomong, rumah Ronald besar sekali ya..." Tuturnya sambil melihat-lihat langit-langit pada ruangan yang saat ini ditempatinya.

"Tapi, kuperhatikan kok tak ada orang tuanya?" Tanya Ciel bingung

"Emm...yah, aku juga tak tahu sih..." Jawab Alois yang sudah diduga oleh Ciel

...

...

...

Hening

...

Tak ada pembicaraan sama sekali antar Ciel dan Alois. Saat ini mereka tengah menikmati angin yang semilir-milir mengayunkan helaian rambut mereka. Alois memejamkan kedua matanya. Hendak mencoba lebih menikmati angin yang saat ini berhembus pelan. Sedangkan Ciel lebih suka membuka matanya ketika merasakan angin dingin yang perlahan menerpanya.

"Hei...makan siang sudah jadi lho...ayo turun"

Suara dari Claude membuyarkan kenikmatan mereka dalam merasakan angin. Dilihatnya Claude yang sedang berdiri di ambang pintu yang menjadi jatah kamarnya di rumah Ronald. Wah...kebetulan sekali. Ciel dan Alois sudah mulai keroncongan perutnya karena perjalanan dari Oxford ke St Ives memakan waktu beberapa jam. Hingga pantat mereka juga agak sedikit kaku. Dengan semangat, Ciel dan Alois mengikuti Claude yang sudah berjalan lebih dulu.

.

.

*.*

Pantai

Baru kedua kali ini Ciel berkunjung ke pantai. Ya...setelah makan siang yang dimasakkan Sebastian tadi, Ciel dkk memutuskan untuk pergi ke pantai. Dan yang saat ini dilihat mereka bukan pantai biasa.

Tentu saja!

Baru pertama kali ini mereka melihat pantai yang seperti ini. Semua pasir putih dari pantai ini digantikan dengan salju. Dan juga airnya tidak berwarna biru bening seperti pada saat musim panas berlangsung. Sekarang ini, warna airnya biru kelam karena sama sekali tak ada cahaya matahari yang menyinari. Membuat pantai ini terlihat dalam kedalamannya karena berwarna biru kelam. Seperti samudra atlantik. Mengingatkan Sebastian pada bola mata Ciel yang berwarna persis seperti air di pantai ini. Mereka tak berani bermain air bahkan menyentuh air itu walaupun sekarang mereka berada di pantai. Terlihat dari luar saja, pasti suhu air itu sangatlah rendah. Makanya sedari tadi mereka hanya duduk-duduk di luar cafe yang terletak di pinggir pantai ini. Ditemani dengan secangkir kopi dan beberapa dari mereka yang memesan susu coklat panas.

Ciel menyeruput susu coklatnya dengan khidmad. Dilihatnya pengunjung cafe ini yang lumayan banyak. Dan rata-rata mereka semua memesan kopi hangat sambil menikmati pemandangan pantai ini. Pantas saja tak ada satu pun orang yang bermain air di pantai. Mereka semua tengah berdiam di cafe-cafe yang terletak di pinggir pantai sambil menikmati pemandangan. Hah...tetapi gila juga mungkin, kalau melihat ada orang yang bermain air pada musim ...padahal Ciel ingin!

Alois membenarkan letak syalnya. Hawa di pantai ini memang benar-benar dingin. Dan Alois yakin kalau mug susu coklat yang saat ini tengah digenggamnya perlahan akan kehilangan kehangatannya kalau ia tak segera menghabiskannya. Dilihatnya Ciel yang tampak santai-santai sambil memandang ke arah ombak-ombak yang bergulung-gulung kecil. Alois heran, apakah Ciel tak kedinginan tidak memakai syal di lehernya? Padahal semua anak kostnya memakainya. Yah...pemuda atau bocah berambut pirang ini sudah menanyakan perihal itu tadi pada saat masih di rumah Ronald. Tapi jawaban yang didapatkannya membuatnya heran. Ciel bilang kalau ia tak memakai syal karena tak punya. Lalu, Ronald meminjamkan salah satu syal miliknya kepada Ciel. Dan apa yang Alois dapat? Ciel menolak pinjaman dari Ronald karena alasannya malah ia ingin kedinginan. Ha—ah...sepertinya Ciel menyukai musim dingin. Pikir Alois menebak.

"Ayo..." Suara ajakan Ronald membuyarkan lamunan Alois.

"Ayo kemana?" Dilihatnya teman-temannya yang sudah beranjak dari kursi mereka—entah mau kemana. Bahkan Ciel juga

"Ke sana" Tunjuk Ronald ke arah pantai di seberang

"Ha?" Pekik Alois tak pecaya. Ia berpikir kalau saat ini teman-temannya sedang kerasukan kappa(Salah satu makhluk astral di Jepang yang sering berdiam di air)

"Sudahlah, ayo..." Eric menyeret lengan Alois yang saat ini mulai percaya kalau teman-temannya ini sedang kesurupan kappa! Astaga!

.

.

.

"Hah...segar!" Teriak Ciel yang suaranya langsung teredam oleh suara-suara ombak. Ia merentangkan kedua tangannya sambil menghirup udara di pantai. Yah...aroma seperti es lebih dominan memasuki indra penciumannya dari pada aroma pantai. Yah...namun Ciel menghiraukan hal itu. Saat ini, ia menerima apa adanya saja. Ombak yang tenang pun mencoba menggapai kaki Ciel yang terbalut sepatu kets berwarna coklat. Lalu Ciel pun yang ingin merasakan air di pantai ini mencoba lebih mendekati gulungan-gulungan ombak yang sejak tadi tak bisa menggapai kakinya. Tentu saja, ia melepaskan sepatunya terlebih dahulu. Dan Ciel merasakan seperti tersengat listrik bertegangan rendah ketika air pantai ini membasahi kedua kakinya yang telanjang. Yah...walaupun kakinya yang tenggelam oleh ombak hanya sebatas mata kakinya, Ciel sudah cukup puas. Cukup…

SPLASH

"Ah!" Ciel memekik kaget. Matanya langsung terbuka lebar setelah merasakan sebuah rangsangan yang diterima oleh kulitnya. Serentak ia langsung bergidik kedinginan. Gila! Airnya dingin sekali! Ia melirik tajam pada Sebastian yang saat ini tengah menyibak-nyibak air dan menyiramnya kepada Ronald—pura-pura tanpa dosa kepada Ciel rupanya.

"Sebastian!" Teriak Ciel sebal sambil membalas perlakuan pemuda berambut raven tadi. Karena Sebastian yang masih sibuk menyerang teman-temannya yang lain, cipratan air dari Ciel terkena telak pada bagian belakang jaket yang dikenakan Sebastian. Tak lupa senyum kemenangan pun terulas pada kedua belah bibir Ciel. Dan senyumnya pun semakin melebar ketika Sebastian bergidik kedinginan. Spontan, Sebastian membalikkan badannya dan hendak melihat siapa pelaku di balik baju basahnya.

Dan?

Kedua ruby Sebastian pun memandang datar pada Ciel yang saat ini memandangnya dengan pandangan 'aku menang'. Ia pun melempar air kepada Ciel yang telah membuat bajunya basah. "Apa maksudmu Ciel?" Ujarnya menatap bingung pada Ciel yang menghindari cipratan darinya. Tapi tetap saja baju Ciel terkena sedikit air.

"Apa? Jangan berlagak tak tahu! Kau kan yang menyiram air kepadaku tadi" Protes Ciel yang mulai membalas cipratan air dari Sebastian

"Ha? Kapan?" Sebastian diam tak membalas cipratan Ciel. Ia benar-benar bingung saat ini.

"Sudahlah...akui saja" Ciel menyisir poninya kebelakang menggunakan celah-celah pada jari tangannya. Baginya saat ini Sebastian sedang berlagak akting.

"Bukannya kau yang menyiramku duluan?"

"Ha? Enak saja! Kau tadi yang—"

"So—sorry tadi itu aku" Sebastian dan Ciel menoleh ke arah Claude yang nyengir bersalah sambil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. Ia sengaja memotong perkataan Ciel karena merasakan pertengkaran akibat salah paham dari Ciel dan Sebastian semakin memanas.

"Yah...maaf deh, Ciel...tadi rencanaku aku mau menyiramnya ke Sebastian, tapi karena kau berada di dekatnya...yah...kau jadi yang kena deh..." Claude tertawa garing

SPLASH!

"Aaa..." Claude membungkam mulutnya melihat bajunya basah karena ulah Sebastian dan Ciel

"Rasakan itu" Seru Sebastian dan Ciel bebarengan—sebal karena baju mereka jadi basah dibeberapa bagian karena kesalahpahaman semata.

"Jangan senang dulu Sebs!" Ronald menyipratkan air ke arah Sebastian—hendak membalas dendam kepada perlakuan Sebastian tadi. Dengan volume air yang lebih besar. Alhasil, karena posisi Sebastian dan Ciel berdekatan, secara otomatis cipratan dari Ronald mengenai Ciel juga. Namun Sebastian-lah yang dominan terkena cipratan itu—karena Ronald memang menargetkannya pada si raven.

"Ron! Aku tadi tak sebanyak itu!" Geram Sebastian, merasa balasan Ronald tak adil. Dan juga kini ia merasa kedinginan. Ia mulai membalas serangan Ronald dan begitu pula Ronald yang juga kembali membalas Sebastian.

Ciel yang masih merasa kesal dengan Claude mulai menyiram air di bawahnya ke arah pemuda bermata emas itu. Dan kena telak! Sekarang baju Claude lebih basah dari sebelumnya. Claude yang mulai tak terima dengan perlakuan Ciel mulai membalasnya. Kini peperangan antara empat kubu telah dimulai.

Ciprat—Balas—Ciprat—Balas

Ciel tak peduli kalau ia seperti orang gila yang bermain air pada musim ini!

Bahkan sekarang Ciel mulai menyerang Ronald yang tak sengaja mengenai Ciel. Sebastian dan Claude juga mulai menyiramkan air di bawah mereka tak tentu arah. Mereka mulai menyerang satu sama lain. Tak peduli dengan sasaran pertama mereka. Saat ini, semua adalah musuh!

Sejenak Sebastian diam melihat Eric yang berdiri di belakang Ronald. Ia heran dengan tingkah Eric yang mengambil air dengan tempurung buah kelapa—yang entah dimana ia menemukannya. Namun, ketika ia mulai menyadari maksud dari gelagat Eric ia mencoba untuk menghindar dari dekat Ronald.

"MATI KAU RON!" Seru Eric yang baru nongol. Ia menyiramkan air di dalam tempurung itu dengan cepat ke arah Ronald

Sebenarnya, Sebastian mempunyai reflek yang bagus untuk menghindari serangan Eric. Namun karena kendala air yang menenggelamkan seperempat kakinya membuat ia kehilangan keseimbangan karena gerak cepatnya. Dan juga sepertinya pasir putih yang licin dibawahnya juga membuatnya terpeleset. Alhasil, Sebastian mencoba meraih pegangan apapun agar ia tak terjatuh.

Dan...

BYUR

Ronald yang baru saja terkena serangan dari Eric menolehkan kepalanya ke sumber suara. Sedangkan Eric bingung. Memang air yang disiramnya ke Ronald begitu banyak ya? Sampai suaranya keras begitu? Sementara pemuda-pemuda lainnya hanya melongo. Pengunjung yang lain juga.

"U—ukh..." Rintih Ciel membuka matanya. Dan yang di dapatinya adalah...

Telinga?

.

.

.

Alois mengedipkan matanya. Ia hanya bisa melongo sekarang. Merasa kasihan terhadap Ciel dan Sebastian yang terendam ke dalam air saat ini. Ya...ia merekam dengan jelas kejadian yang baru saja terjadi dengan kedua bola matanya. Sejak tadi ia hanya berdiri diam sambil melihat teman-temannya yang sedang bermain air sih. Waktu Sebastian mencoba menjauh dari Ronald—yang akan disiram air oleh Eric, ia malah terpeleset karena kendala air dan pasir yang membuatnya kehilangan keseimbangan karena ia bergerak dengan cepat. Sebastian reflek mencari pegangan pada sekitarnya agar ia tak terjatuh ke air. Ya...karena Ciel yang berada di dekatnya, reflek ia memegang kerah baju Ciel yang agak basah. Dan, tentu saja Ciel tak punya persiapan apa-apa. Tubuhnya yang jauh lebih kecil dari Sebastian akhirnya tak kuat menahan beban yang diterimanya.

Dan ia terjatuh bersama Sebastian.

Namun, kemudian Alois menjerit senang dalam hati. Bagaimana tidak? Sebastian yang merasa Ciel ikut jatuh, reflek ia mengalungkan tangannya ke pinggang Ciel—bermaksud melindungi. Namun,untung di bawah mereka ada air dan pasir yang empuk. Membuat Sebastian tak merasakan sakit pada punggungnya yang bertabrakan dengan air dan pasir. Hanya saja, tubuh Sebastian dan Ciel terendam oleh air.

"UWAAAA" Jerit Alois yang ternyata seorang Fudanshi. Bagaimana tidak? Fudanshi maupun Fujoshi yang melihat posisi Ciel dan Sebastian sekarang ini pasti menjerit kesenangan! Ehem...Yah...meskipun bukan ciuman melainkan hanya Sebastian yang terbaring sambil memeluk Ciel di atasnya namun, hal itu pasti membuat para Fujodanshi manapun histeris karena nyata plus tepat di depan mata!

"Ciel, kau tak apa?" Tanya Sebastian yang baru sadar akan posisinya dengan Ciel. Suhu dari air pantai yang membasahinya dihiraukannya. Ah tidak, bukannya ia menghiraukan dinginnya air ini, tapi...ada sesuatu yang membuat Sebastian tak merasakan kedinginan walaupun baju, jaket dan celana jeansnya basah pada bagian belakang.

Sesuatu?

Apa?

Hmm...Aroma tubuh Ciel seperti—

Lavender

Batin Sebastian, gila. Ia menikmati aroma tubuh Ciel yang memanjakan indra penciumannya. Ia tetap saja memeluk Ciel yang berada di atas tubuhnya. Bahkan Ciel juga tak berkutik sama sekali. Mungkin, ia masih terlalu syok akan posisinya dengan Sebastian? Mungkin! Sebastian pun meresapi leher Ciel yang tak terbalut oleh syal. Namun, ia hanya meresapinya perlahan dan tak berlebihan seperti om-om hidung belang yang mesum. Sehingga Ciel tak menyadarinya. Ah...aroma lavender yang sangat eksotis. Meskipun Sebastian berulang kali pernah mencium aroma lavender dari pengharum ruangannya, namun...aroma lavender yang menguar dari tubuh Ciel berbeda. Ini lebih menenangkan.

Oh tahukah kau Sebastian, perilakumu saat ini tak jauh beda dengan om-om hidung belang mesum!

"Se—sebastian?" Ciel memanggil Sebastian pelan. Ia menoleh pelan dan perlahan ke wajah Sebastian yang berada tepat di sampingnya. Dan juga, karena merasakan panggilan Ciel, Sebastian menoleh ke arah Ciel.

Dan?

Dekat

Mereka saling bertatapan ketika keduanya bertatap muka pada jarak yang sangat dekat. Bahkan hidung Ciel nyaris menyentuh hidung Sebastian.

Nyaris!

Saphire bertemu Ruby

Ciel dan Sebastian sama-sama mengagumi bola mata yang ada di hadapan mata mereka. Tak disangka oleh Ciel, ternyata bola mata ruby milik Sebastian benar-benar merah. Ya...merah seperti merah hati. Ia bahkan bisa melihat pantulan dirinya pada bola mata jernih Sebastian. Tak disangkanya, ruby Sebastian begitu...begitu indah. Yah...baru pertama kali ini sih, ia benar-benar tenggelam oleh iris mata ruby milik Sebastian. Ia bahkan tak pernah sebegitunya melihat dalam-dalam pada kedua ruby milik bibinya sendiri—yang berwarna sama dengan si raven.

Dan sementara Sebastian, ia merasa mulai terjatuh ke dalam samudera yang dimiliki oleh mata kiri Ciel. Warna biru ini—begitu dalam. Seperti samudera yang tak memiliki dasar. Begitu dalam dan...kelam. Ya...kelam. Entah mengapa ada sorot kelam dalam bola mata Ciel yang saat ini tengah menatapnya. Ah...ia ingat! Sorot mata ini juga yang diperlihatkan oleh Ciel pada saat mereka pertama kali bertemu.

"Ciel?" Entah mengapa tiba-tiba Sebastian jadi gugup. Ia membangkitkan tubuh Ciel dengan perlahan dan mendudukkannya. Sedangkan Ciel hanya menurut.

"Maaf Ciel...aku tak sengaja menarikmu" Ucap Sebastian cepat. Hanya kata-kata itu yang terlintas di benaknya barusan

"Tak apa" Lirih Ciel membuat kedua bola mata Sebastian melebar

Ci—Ciel tersipu?

Apa yang dilihat Sebastian tak salah bukan?

"A—ayo, baju kita sudah basah" Ajak Ciel sambil bangkit dengan cepat. Sial! Rupanya ia baru sadar kalau ia tersipu saat ini dan juga brr...lama-lama ia kedinginan juga.

Sebastian beranjak dari posisi duduknya. Ia benar-benar tak salah lihat kan? Tadi, kedua lesung pipi Ciel ada semburat pinknya. Tapi, apa itu memang benar? Ciel yang cuek, galak, pemarah masa' tersipu? Sebastian berdebat dengan pikirannya.

"Dasar...masih sempat-sempatnya bermesraan...ayo kita juga Alan" Eric iri kepada Sebastian dan Ciel. Lantas, ia merentangkan kedua tangannya lebar-lebar ke arah Alan yang sweetdrop saat ini.

"Ha—ah...kita sudah basah..." Keluh Ronald—yang baru menyadari tingkahnya.

"Ya" Tanggap Sebastian pendek. Ia mulai mendekat ke arah teman-temannya berkumpul

"Kalau kau sih sudah benar-benar basah" Tutur Alan sambil tersenyum miring

"Ha! Kenapa kalian berempat tak ikut ha?" Tunjuk Ronald kepada Alois, Grell, Will dan Alan yang bajunya kering

"Aku tak mau kedinginan" Ucap Alois yang sibuk memperhatikan Ciel dan Sebastian

"Bedakku nanti luntur!" Tanggap Grell galak

"Yah...aku sama seperti Alois" Balas Alan. Sedangkan Will hanya memalingkan wajah

"Ada apa Will? Kau kecewa karena tak ada wanita yang pakai bikini di pantai ini?" Goda Ronald sambil menyenggol sikut Will. Tak lupa senyuman usil terulas pada bibirnya. Lalu Eric pun mulai menambahi ucapan Ronald barusan

"Ah...kasihan sekaliiii...huh...aku tahu perasaanmu kok. Sayang sekali ya tak melihat hal itu kalau di pan—"

Alan menghela napas—kasihan

"U—ukh le—lepas" Rintih Ronald yang meminta Will untuk melepaskan telapak tangannya yang mencekik lehernya—erat. Sementara Eric tak bisa berucap apa-apa. Cekikan dari Will untuk mereka berdua terlalu kuat!

"Kalian jangan seenaknya menuduhku, dasar penggemar majalah porno!" Desis Will melepaskan cekikannya pada leher Ronald dan Eric—kasar. Tak peduli sampai Ronald dan Eric jatuh dan terbatuk-batuk pada gumpalan salju di tanah.

"Ha—ah...untung aku tak ikut-ikutan" Gumam Claude merasa beruntung

Angin pun berhembus. Menyapu surai rambut pemuda-pemuda ini ke arah belakang. Alois merapatkan jaketnya dan spontan menutup matanya ketika angin kencang itu menghantam tubuhnya.

Dan?

"Hah...dingin sekali..." Perlahan Alois membuka matanya setelah angin berlalu

"Ada apa dengan kaliaann?!" Serunya dengan mata terbelalak ketika matanya melihat tubuh kelima temannya bergetar hebat. Namun yang mengherankan bagi Alois adalah meskipun mereka bergetar hebat, tapi...mereka juga nyengir pula! Seperti mayat hidup nan gila!

"Dingin..." Serentak Sebastian, Ciel, Claude, Ronald dan Eric bergumam pilu. Mereka masing-masing merangkul tubuh mereka yang basah—karena permainan air tadi

Salah sendiri!

"Ha—ah...dasar...ayo pulang, sebelum kalian terkena flu" Alan pasrah dengan kelakuan teman-temannya

.

.

*.*

"Ha—ah...hangat" Ronald tersenyum lebar sambil menikmati kopi buatan Alan. Mereka semua telah kembali ke kediaman Ronald yang lumayan dekat dengan pantai. Yah...untunglah tak ada satu pun dari mereka yang terkena flu.

"Lain kali, kalau ke pantai pada musim dingin lagi...bermain-mainlah dengan air sepuasnya lagi ya..." Sindir Alois dengan senyuman usil. Ronald pun membalasnya dengan tatapan sinis.

"Ah...hei...mungkin ini masih terlalu cepat untuk makan malam, tapi ayo...kuajak ke kedai milik orang tuaku" Ronald dengan cepat menghabiskan kopinya dan beranjak dari sofa empuknya.

"Oh...pantas saja sejak tadi orang tuamu tak kelihatan" Gumam Ciel menyeruput coklat hangatnya

"Rupanya orang tuamu di kedai?" Lanjut Sebastian yang direspon anggukan singkat dari Ronald

"Kedai apa? Ramen-kah?" Tanya Alois dengan mata berbinar-binar

"Emm...yah...nanti lihat saja!" Balas Ronald sambil mengambil jaket di sandaran kursinya

"Wahh~aku jadi tak sabar! Iku ze minna!" Alois kegirangan dan berdiri dengan semangat dari duduknya

"Aduh!" Rintih Ciel reflek ketika kaki Alois yang memakai sandal rumah menginjak kakinya yang telanjang

"Eh? Ada apa Ciel?"

"Ukh...kalau berdiri lihat-lihat!" Keluh Ciel sambil menjitak kepala Alois

"Yah...maaf deh" Alois nyengir lima jari sambil memegang kepalanya

Dan...anak-anak kost itu pun mulai berangkat menuju kedai Ronald

.

.

*.*

"Kedai ini..." Ucap Alois menganga. Ia mencoba untuk menahan mulutnya agar tak membuka lebih lebar lagi.

"Ya...ah...ayo kita masuk dari samping saja" Ronald berjalan santai—hendak menjadi penunjuk arah untuk teman-temannya yang masih diam di tempat

"Tu—tunggu...katamu kita ke kedai?" Eric menyentuh bahu kiri Ronald dan membalikkan badan pemuda berambut blonde ini

"Ha—ah...sudahlah. Ayo ikut aku, waktu makan malam masih agak lama. Kita menunggu saja di rumah orang tuaku" Ronald melepaskan tangan Eric dari bahunya dan mulai menggiring teman-temannya—dengan mendorong kecil punggung mereka. Entah apa yang membuat teman-temannya sejak tadi diam di tempat.

"Bukan itu masalahnya!" Seru Ciel mengepalkan tangannya

"INI RESTORAN BINTANG LIMA! BUKAN KEDAI MAKAN ROONN!" Teman-temannya berseru serempak sambil mendorong tubuh Ronald ke depan

"Huh...dasar" Will membetulkan letak kacamatanya yang tak melorot. Yah...ia kebiasaan selalu membenarkan letak kacamatanya sih...walaupun kacamatanya itu tak melorot sekalipun. Dan tentu saja ia tak ikut-ikutan berteriak heboh seperti teman-temannya barusan. Memalukan! Masa' teman-temannya ini lupa daratan apa? Berteriak di parkiran restoran orang tua Ronald dengan tampang terkejut. Sampai-sampai ada pengunjung yang tersedak makanannya. Ha—ah benar-benar deh...

.

.

.

"Kalian tunggulah disini. Kalian boleh lihat TV atau membaca buku. Aku mau bilang sama Ibuku dulu" Ronald pamit sambil menutup pintu ruangan—tempat Sebastian dkk saat ini hanya duduk di sofa. Saat ini mereka tengah berada di ruang santai milik kediaman orang tua Ronald. Pantas saja, mereka tak melihat orang tua Ronald sepintas pun waktu di kediaman Ronald—tempat mereka menginap dan menaruh barang-barang mereka saat di St Ives. Ternyata di kota ini keluarga Ronald mempunyai dua rumah besar. Dan yang saat ini ditempati Sebastian dkk adalah rumah utama. Rumah yang mereka pakai menginap di kota ini adalah rumah Ronald yang diberikan oleh kedua orang tua bocah playboy itu sendiri. Dan juga rumah utama ini lebih besar daripada rumah Ronald. Padahal rumah Ronald yang menjadi penginapan mereka saja sudah termasuk besar!

Anak orang kaya!

Terlebih lagi, ternyata kedua orang tua Ronald adalah pemilik restoran bintang lima yangcukup terkenal di Inggris. Lucida Restaurant namanya. Setahu Sebastian, Lucida memiliki beberapa cabang di Inggris. Namun, menurut rumor di Oxford akan didirikan cabangnya juga. Masih rumor sih...

Benar-benar di masa naik daun

Tapi! Apa mata Ronald rabun? Restoran bintang lima seperti ini katanya kedai? Hah? Jauh—banget! Yah...mata Ronald memang rabun sih, makanya ia pakai kacamata. Tapi! Masa' rabunnya parah banget. Sampai bedain kedai sama restoran apik saja tidak bisa?!

Sebastian menghela napas—kesal. Tak disangkanya juga, ia bertemu dan berteman akrab dengan anak-anak kostnya yang punya sifat langka! Kalau langka biasa sih tak apa. Tapi yang satu ini langkanya luar biasa! Sampai-sampai restoran dibilang kedai! Ampun deh...

"Wooaa...ada manga!" Teriakan Alois membuat semuanya menoleh kearahnya. Bocah atau pemuda pirang itu langsung membawa banyak bacaan komik di tangannya dan mulai membacanya di kursi terdekat. Kenapa juga di ruang baca seperti ini ada komik? Memang salah satu keluarga Ronald ada yang otaku seperti Alois? Setahu Sebastian Ronald itu mulai suka manga sejak Alois meminjaminya.

Ciel beranjak dari tempat duduknya dan mendekat ke arah Alois yang sepertinya tak bisa diganggu.

"Itu komik apa?" Tanyanya datar namun terselip sedikit nada penasaran dalam suaranya

"Hunt*r X Hunt*r. Kamu suka manga ya Ciel?" Tanya balik Alois yang menurut Sebastian terlalu antusias

"Yah...begitulah" Jawab Ciel tak jelas menurut Sebastian

"Wahh...ini ini bacalah. Otaku pasti kenal dengan manga ini kan..." Alois memberikan sebagian komik yang dibawanya tadi ke arah Ciel. Padahal kan tadi Ciel tidak memberikan jawaban 'ya'. Atau mungkin saja jawaban Ciel adalah 'tidak'? Kenapa Alois tak memastikannya dahulu? Dasar otaku...

Tak disangka Sebastian juga. Ciel menerima komik dari Alois! Berarti jawaban Ciel tadi termasuk 'ya'?

Entahlah!

Sebastian jadi bingung!

.

.

.

"Oi...ayo ikut aku" Ronald menjulurkan kepalanya dari pintu yang baru saja dibukanya. Dan yang dilihatnya pertama kali adalah?

Pertengkaran!

Pantas saja sebelum Ronald membuka pintu ia mendengar suara teriakan dari ruang baca. Ternyata teman-temannya saat ini sedang bertengkar? Ah tidak, ternyata ia salah! Bukan cuma bertengkar saja, tapi adu mulut pun menyertai teman-temannya. Ia heran. Kenapa suasananya jadi seperti ini? Karena merasa ucapannya dihiraukan oleh teman-temannya, Ronald mulai melangkahkan kakinya ke arah teman-temannya saat ini.

"Oi...ada apa dengan kalian?" Tanyanya yang kalah keras dibandingkan suara teman-temannya yang beradu argumen.

"Kalau sekali lagi kau bilang Hunter X Hunter itu tak seru, aku tak akan segan-segan merobek mulutmu Claude" Suara nyaring dari Alois meredam suara Ronald. Bocah pirang pucat itu menatap tajam pada Claude yang berada di depannya. Entah sejak kapan mereka berdua tak berada di kursi masing-masing.

"Ya...menurutku ceritanya memang biasa" Ucap Claude pendek namun keras. Meskipun suara baritonnya tak sekeras suara Alois sih...

"Kau jangan sok tahu! Kau saja bukan otaku jadi jangan sembarangan menilai anime!" Balas Alois meninggikan satu oktaf pada suaranya

"Aku memang bukan otaku tapi aku pernah melihat beberapa anime"

"Tidak usah mengaku yang tidak-tidak Claude!"

Ronald memalingkan mukanya ke kiri dari pertengkaran Claude dan Alois. Namun, tak disangkanya juga ia malah melihat pertengkaran dari Sebastian dan Ciel.

"Kau itu kalau tidak bisa menggambar jangan menjelek-jelekkan gambar orang lain!" Ciel berseru kepada Sebastian

"Aku tak menjelekkannya, aku kan hanya berkata kalau penataan sudut pandangnya kurang pas. Nih...lihat" Sebastian mengambil komik dari tangan Ciel dan menunjuk bagian yang dimaksudnya.

"Penataannya memang seperti itu agar membuat suasana di gambar ini semakin dalam. Kau saja yang tak mengerti" Balas Ciel

"Tidak...ini malah membuat suasana yang digambarkan salah. Seharusnya suasananya sedang mencekam. Tapi ini malah memperlihatkan suasana kaget"

"Kau ini banyak omong! Sudahlah kubilang pas ya pas!"

"Tidak...ini kesalahannya ketara sekali"

"Cerewet! Kau yang tak tahu apapun tentang menggambar jangan menilai gambaran komikus profesional"

"Justru seorang komikus yang bisa jadi pro itu karena tanggapan orang yang menilai gambarannya"

Ronald menutup mukanya dengan telapak tangan. Tak ingin melihat lebih jauh pertengkaran SebasCiel di hadapannya.

"Lihat! Gara-gara kau memanas-manasi Alois dia jadi bertengkar dengan Claude kan!"

"Tapi kan bukan hanya aku saja! Tadi Claude kan juga memanas-manasinya. Bahkan lebih parah daripada aku. Aduh...sakit Alan" Eric memegangi kepalanya yang baru saja terkena pukulan mulus dari Alan. Tapi...bagi Eric sih itu sama sekali tak mulus! Ya iyalah...masa' dipukul dengan kamus sangat tebal itu dibilang mulus? Yang ada malah kasar! Dan yang membuat Eric heran, sejak kapan Alan memegang dan mengambil kamus itu?

"Tetap saja kau terlibat kan! Lihat, Alois sudah seperti cacing kepanasan!" Alan menjitak Eric lagi

"Hei hei...kalian berisik tahu! Aku jadi tak bisa membaca dengan tenang! Padahal aku susah-susah mencari buku ini!"

"Alah...paling judulnya 'Cara membuat wajah bersinar seperti matahari dalam waktu lima menit' kan?" Sahut Alan dan Eric—geram

"Lho? Kalian kok tahu?" Grell nyengir seperti banci. Bibirnya dimanyunkan sedikit. Matanya ia kedip-kedipkan ke atas—bawah sok imut.

"BANCI" Seru Alan + Eric menahan muntah

"APA KALIAN BILANG?"

.

"Sudah kubilang, suasana yang digambar tidak salah. Ini sudah pas!"

"Tidak...bahkan komikus pro saja bisa juga membuat kesalahan yang besar sekalipun"

"Kau itu tak usah banyak bicara Sebs! Yang penting cerita yang digambarnya menarik!"

"Kalau suasana yang digambarkannya tidak pas, pasti ceritanya semakin—"

"Kau ini lelaki tapi cerewet sekali!"

"Tidak! Kau yang memulainya, Ciel!"

"Diam, atau kugigit mulutmu!" Ciel menghentakkan kaki kanannya

"Silahkan!" Sebastian melipat tangan di depan dada

Hening

Hening

Hening

Hen—

"Eh?" Semuanya memandang heran ke Ciel. Dan Ciel yang merasa dipandangi pun memandangi teman-temannya yang tengah memandangnya pula. Ada apa dengan tatapan mereka? Kok tiba-tiba semuanya jadi diam seperti ini? Aneh

"Ah...tidak-tidak, bukan seperti itu maksudku! Tidak-tidak!" Ciel gelapan setelah menyadari ucapannya barusan. Mukanya memerah dan telapak tangannya ia goyang-goyangkan di depan mukanya. Tak ingin membuat teman-temannya salah paham.

"Wuah...benarkah kau akan menggigit Sebastian? Wuaahh..." Jeris Alois—gilanya kumat.

"Uhh...aku kelepasan bicara" Ciel menutup mukanya—mencoba pasrah. Ronald yang tadinya stress melihat teman-temannya bertengkar, kini malah bersiul-siul jahil ke arah Sebastian. Tapi Sebastian entah kenapa malah bengong. Mungkin ia tak percaya pada dirinya sendiri kalau ia tadi mempersilahkan Ciel. Padahal ia juga kelepasan bicara!

Ronald yang merasa menjadi teman yang baik menghentikan siulannya sambil membungkam mulut Alois mulai mengoceh 'seme', 'uke', atau apalah itu. "Ayo ayo...kita makan malam saja" Ucapnya santai sembari mendorong punggung Sebastian dan Ciel agak keras—bermaksud untuk membawa mereka keluar ruangan.

*.*

.

"Sial...aku kenyang sekali..." Claude menepuk-nepuk perutnya—yang menurut Eric seperti Ibu-ibu hamil yang mengelus-elus perut besarnya. Eric pun duduk disebelah Claude yang baru saja menghempaskan dirinya di sofa. Dan itu pun disusul oleh teman-temannya pula.

Ya...mereka baru saja pulang dari rumah orang tua Ronald. Dengan perut kekenyangan dan diberi makan gratis pula! Apalagi makanan yang mereka makan adalah makanan dari restoran bintang lima milik orang tua Ronald. Benar-benar sangat menggiurkan deh. Ibunya Ronald yang menjadi kepala chef disitu benar-benar membuat kesembilan bocah kost ini hampir tak bisa berjalan saking kenyangnya! Hah...tapi, kalau masakannya seenak itu tadi sih, mereka sama sekali tak keberatan. Tentu saja kan!

Dan yang membuat Ronald dkk tertahan di rumah orang tua Ronald adalah mereka sempat tak diizinkan pulang ke rumah Ronald (yang mereka buat menginap di kota ini). Alasannya adalah kedua orang tua Ronald ingin ditemani oleh anak-anak kost ini di rumah mereka. Sebastian dkk sih, setuju saja. Tapi yang tak setuju hanya Ronald! Ya...akhirnya terjadilah perdebatan antara orang tua dan anaknya yang bandel. Ronald yang ngotot tak mau tinggal di rumah utama dan kedua orang tuanya yang menginginkan mereka tinggal.

Dan saat itu, perdebatan antara keluarga kecil tadi membuat semuanya menahan tawa. Siapa sangka, Ronald yang di kampusnya terkenal playboy ternyata masih dianggap bocah ingusan dan masih dibawah umur oleh kedua orang tuanya. Tentu saja Ronald tak terima dikatai seperti itu. Gengsi mungkin! Akhirnya perdebatan yang bermula dari 'teman-temannya yang disuruh tinggal di rumah utama' menjadi keluar topik kemana-mana. Pantas saja Ronald termasuk tipikal orang yang ramai. Ternyata sifat itu menurun dari kedua orang tuanya. Yah...kalau sifatnya yang playboy sih...entahlah.

"Sial...akhirnya pulang juga" Gumam Ronald yang masih teringat akan perdebatannya dengan orang tuanya.

"Kau ngotot sekali sih..." Grell mengibaskan rambutnya ke belakang dan duduk dengan kaki menyilang—yang menurut Alois sok anggun

"Habis mau gimana lagi? Mereka itu menganggap kita masih bocah" Ronald menyahut

"Yah...diantara kita memang ada yang masih bocah kok" Eric menyahut—keceplosan dan Ciel langsung memberi aba-aba akan melempar sandalnya ke muka Eric.

"Yah...mungkin mereka kesepian semenjak kau kuliah di Oxford. Kau kan anak satu-satunya Ron" Sebastian berucap paling bijak diantara teman-temannya yang daritadi hanya mengeluh. "oh iya, kau pernah bilang kalau masakan ibumu kalah dengan masakanku kan..." Lanjutnya memandang Ronald tanpa ekspresi

"Iya. Memang kena—"

"Dasar super idiot! Idiot idiot idiot idiot!" Tiba-tiba saja Sebastian mencengkram bahu kanan dan kiri Ronald. Yah...sebenarnya Ronald itu cukup kuat sih...tapi kali ini ia meringis kesakitan. Gila! Tenaga Sebastian sangat kuat sih...

"Sakit Sebs! Kenapa sih..." Rintih Ronald

"Dasar idiot! Aku saja ingin menjadi koki hebat seperti Ibumu! Dia itu panutanku bodoh!"

"Lalu kenapa kau menyalahkanku hah. ADUH!" Sebastian mempererat cengkramannya

"Sakit BODOH!" Umpat Ronald benar-benar kesakitan

"Sudahlah Sebs, kau ini gaje sekali..." Claude merasa kasihan pada Ronald. Yah...ia pernah dibuat seperti itu oleh Sebastian sih. Berulang kali malah!

"Biarin" Jawab Sebastian pendek

"Dasar, mereka berdua seperti anak kecil saja" Ciel menggumam pelan

"Bukannya malah kau yang masih anak kecil?" Sahut Eric sambil mengeluarkan rokoknya. Sedetik kemudian, ia pun mendapat tamparan sandal dari Ciel. Aduh...tak disangkanya juga. Alas kaki ukuran kecil itu kalau kena muka sakit juga.

"Aku mau tidur, ngantuk!" Grell menguap

"Dasar, banci kaleng tiduran. Masa' jam segini sudah tidur" Sindir Alois mengerucutkan bibirnya

"Tutup mulutmu bocah!" Grell berteriak keras—memperlihatkan gigi-gigi lancipnya dan membuat Alois merasa heran setengah mati.

"Oh ya, sejak dulu aku ingin bertanya, kenapa gigimu gingsul seperti itu yah?" Tanyanya dengan wajah innocent. Membuat Grell ingin memakannya sekarang juga

"Ini bukan gingsul. Tapi RUNCING!" Balasnya tak terima

"Itu malah jadi aneh tau!" Sahut Ciel

"Benar. Seaneh penampilanmu itu" Alois pun tak mau ketinggalan.

"DASAR BOCAH!" Jerit Grell marah—ubun-ubunnya telah berasap. Ia siap untuk memakan Ciel dengan Alois sekarang.

.

Sekarang kita tahu. Walau terkadang kedamaian dan keheningan mendominasi anak-anak kost itu, paling itu cuma bertahan sementara. Karena digantikan oleh pertengkaran-pertengkaran masalah sepele sih...

*.*

.

Sehari berlalu kembali

Cuaca terbilang masih tak tampak setitik pun cahaya matahari. Malah ini bisa dibilang tambah dingin. Entahlah...daridulu kalau sedang musim dingin di Inggris, ia (musim dingin) benar-benar memperlihatkan kekuatan pendinginannya yang hebat. Lihat saja, sekarang ini Alois memakai baju berlapis-lapis dan memakai syal meskipun didalam umah. Yah...ia memang tak suka udara dingin sih. Keadaaannya itu sangat kontras dengan Ciel saat ini. Si bocah kelabu itu malah memakai kaos T-shirt berlengan sampai sikunya. Ditambah dengan celana jeans se-lututnya. Anak ini benar-benar suka dingin!

Hari natal pun akan tiba besok. Namun, saat ini anak-anak kost itu sedang bermain permainan yang berbeda-beda di ruang rekreasi. Ingin tahu? Mari kita ulas setelah ini.

.

Catur

Oh tentu saja para readers bisa menebak kan siapa orang yang memainkan permainan asah otak ini

"Hmm...ternyata kau lumayan juga ya Sebastian..."

"Aku tahu kau mengucapkan itu dengan tak tulus. Ya kan, Ciel?"

Yap...orang itu adalah SebasCiel! Yah...yang otaknya paling meyakinkan diantara teman-teman kostnya sih hanya mereka berdua saja. Ups...pengecualian untuk Will ya.

Ciel memandang Sebastian sengit. Namun, Sebastian memandang Ciel dengan tatapan yang sulit diartikan. Entah mesum, entah iba, entah sedih, entah sayang. Tak ada yang bisa menebaknya. Bahkan Ciel juga tak bisa menebaknya. Ah...sudahlah. Bocah kelabu ini masa' terus-terusan peduli dengan hal itu? Yang terpenting sekarang baginya, ia bisa mengalahkan si raven ini! Dilihatnya Sebastian yang menggerakkan bishopnya dengan diagonal ke depan. Entah apa strategi Sebastian. Kali ini, Ciel tak dapat menebaknya. Ah bukan hanya kali ini saja! Bahkan sedari awal Ciel tak bisa menebak strategi yang digunakan oleh Sebastian! Cih...Ciel tak menyangka, ia akan kesulitan seperti ini saat melawan Sebastian.

Sementara Sebastian tersenyum simpul—setelah menggerakkan salah satu bidak caturnya. Ia memperhatikan gerak-gerik Ciel saat ini—yang kelihatannya masih berpikir. Namun sayang, tak lama kemudian Ciel memergoki Sebastian yang tengah memandangnya

"Apa lihat-lihat!" Ucap Ciel galak—meskipun tak berteriak. Bocah ini memasang wajah sejudes-judesnya kepada Sebastian yang saat ini sedang tersenyum kearahnya. Membuat Ciel makin kesal dengan senyuman Sebastian yang seperti merendahkannya dan meremehkannya

Aduh Ciel...kau salah tanggap!

Sebastian hanya diam dan memalingkan muka. Yah...ia mengerti kok. Bahwa Ciel memang tak suka dilihat-lihat. Entah sejak kapan Sebastian menemukan sifat Ciel yang satu ini.

.

PS 3

"Ah! Sial!" Umpat Ronald yang hampir membanting stick ps yang dipegangnya. Sedangkan Eric tersenyum miring melihat kelakuan temannya ini. Haha Eric mengerti perasaan Ronald saat ini kok. Siapa yang tak kesal coba? Jika tim yang kau mainkan tak berhasil mencetak gol padahal ada kesempatan? Eric juga bingung. Tumben ia bisa mengimbangi permainan Ronald di sebelahnya ini.

Tak lama kemudian, Ronald kembali fokus dengan permainan. Ia mengutak-atik sticknya dengan lincah selincah pemain yang saat ini sedang dikendalikannya. Ia yakin, ia bisa membuka peluang untuk memasukkan gol di gawang tim Eric.

"Jangan serius begitu dong, ini kan cuma permainan" Ucap Eric—santai

"Cuma permainan apanya kalau taruhannya majalah kesayanganku hah?" Seru Ronald tepat di wajah Eric.

"Siapa suruh taruhan majalah ha? Kau sendiri yang mengajukan taruhannya kan?" Ucap balik Eric

"Lihat saja kau! Akan kuambil majalah edisi sebelas yang paling kau gemari itu!" Geram Ronald

"Tidak. Akulah yang akan mengambil majalah edisi ke empat yang paling kau sukai itu!"

Yah...mereka pun akhirnya mau tak mau harus menggunakan jari tangan mereka selincah mungkin pada stick. Mau bagaimana lagi? Taruhannya saja sangat penting dan berharga—menurut mereka sih.

.

Kartu

"Ah~Aku kalah lagi!" Jerit Grell melengking

"Urusai kono okama!*" Kali ini Alois (*Arti : Diamlah dasar banci!)

"Shut up gaki! Kau pasti berbuat curang kan?!" Tuduh Grell seenak perutnya

"Jangan asal tuduh! Memang kau yang tak bisa memainkannya! Sedari tadi kau kan selalu memilih queen. Padahal kartu tertinggi adalah ace dan joker!" Ceramah Alois

"Queen adalah lambang kecantikan...Seperti aku~" Hentikan Grell, jangan membuat tangan Alois gatal untuk menonjokmu!. Hentikan berkata-kata menjijikkan seperti itu didepan Alois yang masih murni!

Ups...ralat. Alois sudah tercemar virus fudanshi

"Cepat main kembali. Grell acak kartunya"

Baik Grell maupun Alois diam di tempat. Mereka berdua tak ingin melanjutkan perdebatan mereka di kala orang ini sudah bad mood seperti sekarang. Mereka berdua tak mau terdapat benjolan besar di kepala mereka dari orang itu kembali. Yah...mungkin dia ingin bermain kembali karena sedari tadi Alois yang menempati urutan pertama. Gengsi dong kalah sama anak kecil!

"Cepat banci"

"I—iya Will!" Ucap Grell kalut. Dengan cepat ia membereskan kartu-kartu yang tercecer dan mulai mengacaknya.

Alois dan Grell tak menyangka juga, kalau Will mau ikut dalam permainan kartu mereka!

.

Komputer

"Wah...kau mahir sekali ya, Alan" Puji Claude yang melihat Alan yang sedari tadi mengutak-atik komputer di kediaman Ronald.

"Ah...tidak kok. Ini biasa saja. Lagipula banyak yang lebih mahir dibandingkan aku" Alan tertawa kecil

"Kau itu sudah hacker ahli. Buktinya saja kau dulu bisa mengintip data-data di ruang data kampus sewaktu kita masih mencari identitas Ciel. Enak ya, bisa punya ilmu komputer yang luas seperti kau" Claude berceloteh

"Aku bukan hacker kok"

"Kau itu selalu bilang begitu. Jelas-jelas kau itu hacker kan..."

"Bukan"

"Apa maksudmu? Buktinya saja sudah jelas kan" Entah bagaimana sepertinya Claude mulai ngotot.

"Yah...para hacker itu memang tak pernah berkata kalau sebenarnya dia itu hacker" Sahut Eric yang mendengar pembicaraan dari Claude dan Alan.

"Begitu ya..."

"Ah!" Claude menoleh kepada Alan disampingnya

"Ada apa?" Tanyanya penasaran. Karena tak kunjung dijawab oleh Alan yang terpaku pada layar komputer, akhirnya Claude pun mengikuti arah pandangan Alan.

Sedetik kemudian...

"APA INI!" Seru Claude sangat kaget. Ya...didepannya saat ini terpajang layar monitor yang menunjukkan gambar-gambar tak senonoh. Setahunya tadi Alan tak membuka ini deh...Padahal ia itu mengira Alan cowok alim. Eh…ternyata sama saja.

"Tak kusangka kau juga suka yang beg—"

"Ada gambar, video, animasi bergerak, bahkan file documentnya juga ada!" Alan memotong ucapan Claude. Ia menggerak-gerakkan scroll mouse ke atas—bawah. Claude pun akhirnya sadar, kalau daritadi Alan tak benar-benar memperhatikan file-file dewasa yang terpajang di layar komputer. Lalu?

"Sebenarnya ada apa?" Claude kembali bertanya. Kali ini ia juga melirik sedikit ke arah monitor di hadapannya. Yah...sudah terlanjur terlihat, kalau tak diteruskan sayang kan? Rezeki tidak baik kalau dibuang! Batin Claude—sinting.

"Ini isi hape Eric" Balas Alan singkat

"APA?" Tiba-tiba Eric berseru kaget dan berdiri dari duduknya—meninggalkan permainan winningnya dengan Ronald setelah mempause-nya. Ia segera menghampiri Alan dan Claude yang tak jauh dari tempatnya bermain dengan tergesa-gesa.

"Alan! Kau ini semakin canggih saja! Jangan coba-coba mengintip isi hpku! Lagipula sejak kapan kau bisa mengintip data di hp milik orang?" Tanya Eric yang langsung menutup jendela file pada monitor.

"Tadi aku melakukan eksperimen dan ternyata berhasil" Balas Alan cuek

"Uh...kau jangan marah ya. Laki-laki mengoleksi hal-hal seperti ini kan wajar hukumnya. Jadi mengertilah diriku" Ucap Eric sambil memegang bahu Alan—yang menurut Alan terlalu dramatis. Sementara Claude terdiam. Ia seperti sedang menonton drama suami yang kepergok selingkuh oleh istrinya saja saat ini. Bedanya ini suami suami, bukan suami istri!

"AHAHAHA! Rasain kau, Eric!" Ronald tertawa terpingkal-pingkal. Sedangkan Eric hanya menggeram

"Ah...aku juga baru saja berhasil mengintip data hp milikmu Ron. Bahkan isinya saja lebih banyak dan lebih hot dari hp Eric" Alan berucap dengan ekspresi datar. Sangat kontras dengan ekspresi Ronald yang menatap horror pada pemuda manis ini.

"HA?"

*.*

.

"Baiklah! Ayo mulai!" Seru Ronald semangat dan ditanggapi respon positif dari teman-temannya. Saat ini mereka sedang berada di halaman belakang kediaman Ronald yang luas. Ini adalah malam natal. Mereka semua sepakat untuk merayakannya dengan pesta barbeque di halaman rumput yang luas ini. Kesembilan anak kost itu tinggal membakar makanan yang tersedia di pemanggang.

"Kubagi tugas ya. Karena Sebastian telah membuat bumbu penyedapnya, jadi biarkan saja dia santai kali ini. Alois, kau yang mengoleskan dagingnya dengan bumbu yang telah disiapkan Sebastian. Claude dan Eric, kalian bagian yang memanggangnya. Grell dan Will, bagian yang menyajikannya di piring. Alan dan Ciel, kalian tata meja saja" Jelas Ronald panjang lebar

"Lalu kau bagian apa Ron?"

"Aku akan mempersiapkan minumannya"

"Biar kubantu"

"Oh, oke Sebs"

"Baik Semua mulai yah! Jam sepuluh harus sudah matang dan beres semua" Teriak Ronald dengan semangat menggebu-gebu. Yah...kelihatannya ia menantikan moment ini mungkin. Akhirnya mereka semua pun beranjak dari tempat mereka dan mulai bekerja sesuai dengan tugas masing-masing. Ini masih jam sembilan malam. Dan kata Ronald, semua hidangan harus sudah matang pukul sepuluh. Artinya, hanya ada satu jam untuk menjadikan semuanya beres.

Tugas Ciel dan Alan dalam kelompok mereka terbilang paling mudah. Mereka hanya menata dan merapikan meja yang telah tersedia di halaman ini saja. Mungkin saja mereka berdua bisa menjadi tim yang selesai paling awal diantara yang lainnya. Ciel mulai membersihkan debu-debu yang menempel pada kursi panjang ini menggunakan kemoceng yang baru saja diambilnya. Sedangkan Alan membersihkan bagian meja.

Tak sampai sepuluh menit, mereka berdua selesai dengan tugas mereka. Kini mereka hanya duduk –duduk santai di kursi yang dibersihkan oleh mereka tadi. Yah...seperti dugaan, mereka selesai paling awal. Ciel mengedarkan pandangannya. Dilihatnya Alois yang sibuk bertengkar dengan Claude—entah masalah apa. Sepertinya mereka berdua dekat sekali. Pikir Ciel yang melamun.

"Tak ada bintang ya"

Ciel menoleh kepada Alan yang berada di seberang duduknya. Dilihatnya Alan yang menengadahkan kepalanya ke atas. Membuat Ciel heran apakah Alan hanya bergumam sendiri ataukah berbicara dengannya.

"Ya kan Ciel?"

Sekali lagi Ciel menoleh kepada Alan yang ternyata berbicara kepadanya. Lalu, bocah kelabu ini pun menengadahkan wajahnya ke atas. Ya memang tak ada bintang. Sejauh matanya memandang ke atas horizon gelap ini, ia sama sekali tak menemukan sesuatu yang berkerlap-kerlip. "ya, kau benar" Ucap Ciel seadanya. Entahlah... Ciel Sedikit heran, mengapa tak ada bintang sama sekali padahal tak turun salju. Ia tetap mendongak ke atas dengan tatapan sayu. Langit malam ini begitu pekat namun terdapat titik terang dari cahaya bulan yang tertutup oleh awan. Membuat sebagian dari barisan awan-awan di langit luas itu menampakkan sedikit sinar rembulan yang berwarna emas.

Dejavu

Itulah yang dirasakan Ciel saat ini. Dulu ia sering melakukan hal seperti ini. Menatap horizon di atas yang sangat luas dengan melamun. Namun, tak ada hal yang ia lamunkan. Melainkan ia hanya menatap kosong pada suguhan cakrawala ciptaan Tuhan yang tak ada manusia yang bisa menirunya. Ya...Ciel suka dengan langit. Suka dengan cakrawala dan horizon yang luas ini sejak dulu. Benda itu memang sering berubah-ubah warna yang berbeda-beda. Namun, tak ada satu pun warna yang menurut Ciel tak indah. Di kala itulah Ciel menyukainya. Meskipun langit sedang mendung pekat dan disertai dengan petir yang menyambar-nyambar pun, warna langit saat itu masih disukai oleh Ciel. Awan-awan yang berwarna abu-abu pekat, lalu dihiasi dengan warna pucat terang dari kilat yang menyambar memang menakjubkan sekaligus mengerikan dalam waktu bersamaan. Coba saja mintalah fotografer handal untuk memotretnya. Pasti hasilnya akan membuat fotografer itu mencintai karyanya yang satu ini.

Namun, saat ini berbeda. Tak ada kata mengerikan karena cahaya petir. Yang ada hanyalah awan-awan kekuningan dari cahaya rembulan. Meskipun bulan tak terlihat karena tertutupi oleh awan, ia (bulan) yang tak ingin berhenti menerangi malam akhirnya meneruskan cahayanya ke awan yang menutupinya. Dan membuat beberapa bagian di awan itu memancarkan sinar keemasan walaupun tak seterang rembulan. Alan tersenyum, sembari berkata

"Kau suka langit ya, Ciel?"

Lamunan Ciel buyar seketika tatkala Alan menanyainya. Ia menoleh kepada Alan yang saat ini tengah melihatnya. "iya. Kau tahu darimana?" Jawab Ciel yang pada akhirnya menanyai balik Alan.

"Aku baru menyimpulkan hal itu barusan. Dan ternyata tebakanku benar ya" Alan tertawa kecil disertai semburat merah di pipinya karena efek dari suhu yang dingin. Napasnya mengeluarkan uap kecil ketika dikeluarkannya. Syalnya ikut bergoyang ketika tubuhnya berguncang-guncang kecil. Tak seperti Ciel yang tak memakai syal saat ini. Ia hanya memakai sweater berwarna silver yang tak berkancing dan memakai celana jeans panjang. Itu pun kebesaran.

"Mereka memang indah ya. Meskipun kita membuat foto tiruannya menggunakan desain grafis di komputer, menurutku lebih indah jika kita melihat langsung seperti ini ya. Memang, hasilnya pada desain grafis menakjubkan karena ditambahkan beberapa objek untuk memperkuat unsur keindahan, tapi menurutku efek dari impressionismenya* lebih mengena saat kita melihat langsung seperti ini ya" Celoteh Alan panjang lebar dan disetujui di dalam hati oleh Ciel. (Imperssionisme : aliran seni rupa saat seseorang melihat langsung suatu objek benda yang sesuai dengan kesan dari orang yang melihatnya)

"Apakah artinya kau pernah membuatnya?"

Sejenak Alan terpaku. "Ya. Emm, kau mau melihatnya?"

"Boleh saja" Balas Ciel sambil mengangguk. Alan yang melihatnya hanya tersenyum simpul dan mulai merogoh sakunya. Diserahkannya hanphone miliknya kearah Ciel yang sedari tadi mengikuti gerak-geriknya. "Wah ini bagus sekali! Bolehkah aku memintanya?" Sejenak Alan terdiam dengan penuturan Ciel barusan. Ia mengedip-edipkan matanya berulang kali. Tak percaya akan apa yang telah terjadi barusan.

Ciel…

Ciel antusias?

Baru kali ini Alan mengetahui ekspresi yang dikeluarkan Ciel satu ini. Perlahan bibir Alan mengembang. Membentuk seulas senyuman yang manis dan tulus. Namun, entah Ciel melihatnya atau tidak dikarenakan syal tebal yang melilit leher Alan menutupi sampai setengah bibirnya. Kelopak matanya hampir tertutup karena dorongan dari lesung pipinya yang tertarik ke atas. Satu gerakan kemudian ia berkata

"Boleh kok"

Buru-buru Ciel mengeluarkan handphone miliknya. Dan langkah yang diambilnya kemudian adalah mengirim file tersebut ke handphone miliknya. Alan mengalihkan pandangannya dari Ciel yang tampak sibuk. Bisa-bisa anak ini jadi minder lagi kalau Alan kepergok sedang melihatnya secara intens.

.

.

.

"YOSH! KAMPAIII!" Seru Ronald girang sambil mengangkat gelas sodanya tinggi. Setelah itu, semuanya pun mengikutinya. Mengangkat gelas soda mereka ke atas dengan tinggi dan bersama-sama bersulang di atas kepala mereka.

"KAMPAI!" Seru mereka serentak. Setelah bunyi gelas kaca beradu dan menimbulkan suara nyaring namun khas, mereka meminumnya dengan antusias. Bersorak gembira dengan datangnya natal tepat pada pukul dua belas malam ini. Tak mereka pedulikan suhu udara di sekitar yang sebenarnya dingin sampai menembus serat kain. Ya…karena mereka memakai pakaian tebal dan hangat.

Minus Ciel

Tapi…

Gila juga

Cuaca seperti ini minum soda?!

Ya…mereka gila. Dan tak akan berubah sampai mereka memutuskan untuk menghentikan pesta ini. Namun, sayangnya mereka memang tak berniat menghentikan pesta semudah itu. Yah…sekali-kali begini tak apa kan? Lagipula natal itu setahun sekali bukan? Setahun sekali yang dirayakan bersama rekan-rekan ataupun keluarga. Rekan dekat ataupun tak dekat tak masalah bagi hari ini. Bagi yang merasa belum terlalu dekat, mereka merenggangkan jarak antar mereka. Semua memang merayakannya tanpa pandang status seseorang.

Ciel berjalan kearah rerumputan didepannya dan duduk diatas rumput hijau yang sedikit basah itu. Entah kenapa, tiba-tiba ia ingin duduk di sini. Terdengar dengan jelas suara teman-temannya yang heboh di telinga tajamnya. Tanpa melirik pun Ciel tahu kalau mereka sedang coret-coret krim dari cake mocca yang dibawakan Ibunya Ronald tadi. Yah…itu juga salah satu faktor mengapa ia memilih menghindar dan duduk di atas ilalang ini. Ciel mendongakkan wajahnya kearah langit diatasnya. Sambil mencomot sate barbeque yang dibawanya.

"Ciel, kena kau!"

Ciel agak kaget. Ia membalikkan tubuhnya dan hendak menghajar orang yang telah mencolek pipinya dengan krim cake. Yah…meskipun Ciel sudah menduga siapa yang melakukannya sih.

"ALOIS!" Pekiknya kesal. Namun ia tak mendapati keberadaan Alois dibelakangnya. Cih…sial cepat sekali bocah itu larinya! Ciel mendudukkan tubuhnya lagi dengan agak kasar. Awas! Nanti akan kubalas! Sambil bergumam tak jelas, ia kembali mencomot barbequenya yang tersisa. Diusapnya krim yang menempel pada pipinya dengan lidahnya sendiri. Agak sulit menggapainya sih, namun dengan terus berusaha menjulurkan lidahnya, akhirnya ia berhasil menghapusnya.

Yummy! Ciel meresapi krim yang melumer lidahnya. Rasanya manis dan begitu lembut. Yah…dari dulu Ciel memang suka makanan manis sih. Apalagi yang namanya cake!

"Sepertinya duduk di sini memang pilihan yang tepat"

Ciel menoleh kearah samping kanannya. Didapatinya Sebastian yang sedang mengusap-usap wajahnya yang bercelemotan krim. Sejenak ia melongo.

"Sudah hilang?" Sebastian menunjuk wajahnya. Ciel menggeleng-gelengkan kepalanya. Kembali—Sebastian mengusap-usapkan tangannya ke wajahnya dengan kasar.

"Sudah?" Tanya si raven kembali

"Belum. Di bagian sini" Ciel mengintruksikan gerakan tangannya kepada Sebastian. Ia menunjuk bagian pipi sebelah kanannya. Sebastian pun mengikutinya. "bukan, agak kebawah sedikit" Ucap Ciel kembali—membenarkan Sebastian. "kebawah lagi" Ucapnya kembali. Sebastian susah sekali sih!

"Lagi"

"Lagi"

"Akh! Kau terlalu ke bawah. Ke atas sedikit!"

"Lagi!"

"Turun sedikit!"

"Yang mana sih?" Sebastian mulai suntuk

"Ini!" Balas Ciel sambil mengulurkan tangannya ke wajah Sebastian. Dan mengusap bagian pipi milik si raven yang ternodai oleh krim. Sebastian terhenyak. Begitu pula dengan Ciel. Ia tak sadar jika posisi tangannya telah mengusap krim yang menempel itu dengan pelan. Tak mau termenung terlalu lama, akhirnya Ciel menarik kembali tangannya dan menjilat krim yang baru diusapnya dari pipi si raven.

Slrup

"Eh?" Ciel melongo—merasa bodoh dengan tindakannya barusan.

"Kau suka makanan manis ya?" Tanya Sebastian sambil terkikik

"Uh…aku memang suka, tapi aku tak sadar barusan!" Ciel berusaha memprotes

"Kau bisa saja Ciel"

Ciel tak menjawab. Dirinya malah memalingkan mukanya menghadap ke atas. Menikmati langit kembali. Sementara Sebastian memperhatikan gerak-gerik Ciel yang tiba-tiba saja jadi diam.

Tatapan itu lagi

Lagi-lagi tatapan itu dikeluarkan oleh Ciel

Entahlah, Sebastian sedikit bingung mengartikan tatapan Ciel saat ini. Tatapannya seperti pasrah, kalem atau akh! Entahlah, Sebastian tak terlalu bisa menafsirkan kata-kata itu. Diliat dari samping pun, wajah Ciel tetap manis. Yah...kau baru menyadarinya Sebs?

Bibir yang berwarna kemerahan

Lesung pipi yang tampak halus

Rona merah di pipinya akibat suhu dingin

Dan matanya yang sangat disukai Sebastian itu

Sebastian pun memalingkan mukanya kearah lain. Menghembuskan napas perlahan dan mulai berkata

"Ciel" Panggilnya. Entah kenapa suara yang dikeluarkannya ini terdengar suram. Serak bercampur berat

"Apa?" Ciel berkata tanpa menoleh ke Sebastian

"Percayakah kau…"

Ciel menunggunya

Sebastian tampak menghembuskan napasnya—lagi

"Percayakah kau bahwa aku menyukaimu?"

Kali ini

Ciel menolehkan kepalanya

Kaget dengan ucapan Sebastian yang tak bisa dimengertinya

.

.

ToBeContinue

A/N :

Yah…akhirnya selesai juga chapter ini. Nah bagaimana? Saya sudah menyuguhkan adegan SebasCiel tngkat lanjut lho di chapter ini. Tapi, Maaf atas keterlambatannya yang sangat-sangat terlambat.

Hah…maaf kalau di chapter ini tak ada balasan review. Soalnya buru-buru nih

Tapi, saya menampung beberapa pertanyaan dari para readers nih :

1. Apa nggak punya rencana bikin slight Claude X Alois?

Ada kok di chapter-chapter mendatang. Jadi sabar yah...

2. Apa selain asma ciel punya pnykit lain?

Hehee...gimana yah...*dihajar* ada kok selain itu ^^'

3. Ciel itu sebenernya manusia ato bukan sih?

Manusia kok :)

4. Kenapa Ciel harus minum obat rutin?

Karena dia punya penyakit yang tak bisa dibilang remeh

.

.

Special thank's to :

uzomby, NaRin RinRin, Adhit P, aster-bunny-bee, Meshiimicha, Nada-chan 'U'Laurant, Kitsune Syhufellrs, scarlet Z, blue minra, Voly ichi yama, UzumakiKagari, KuinPhantomhive, Yuuki haru, Rin Phantomhive, MJ, fetwelve, mamitsu27, Guest

Oke…JANGAN LUPA REVIEW! KRITIK, SARAN ATAU FLAME PUN SAYA TERIMA!

REVIEW DARI KALIAN SANGAT MENYEMANGATKAN SAYA!