Hola Minna. Ini fic request yang saya buat. Masih gaje sih.

.

DISCLAIMER : MASASHI KISHIMOTO

.

RATE : T

.

Warning : OOC (banget), AU, Gaje, Misstypo (Nongol mulu), Gak karuan.

.

Attention : Fic ini adalah request dari mitsu-tsuki Fic ini adalah fiksi belaka. apabila ada kesamaan atau kemiripan di dalam fic atau cerita lain dalam bentuk apapun itu adalah tidak disengaja sama sekali .

.

.

.

Hinata menunggu koper yang tergeletak di sampingnya. Sebentar lagi barang-barang akan dimasukkan ke dalam bagasi pesawat. Tapi hingga detik ini kakak sepupunya itu belum juga kembali sejak mengurus tiket pesawat tadi. Entah kenapa sepertinya jadi lama begini. Tapi walaupun begitu, lebih baik begini.

Sendirian…

Hinata tidak pernah berpikir apapun sejak dirinya berada di tempat ini. Yang selalu terlintas di dalam kepalanya adalah bagaimana caranya agar dia bisa dekat kembali dengan senpai-nya itu. Sampai Hinata memiliki keberanian untuk bisa membicarakan keinginan terdalamnya pada sang ayah. Walaupun kenyataannya, apapun yang Hinata lakukan… tidak akan pernah dihargai oleh siapapun. Awalnya Hinata tidak mengharapkan apapun dari usahanya ini. Dia tidak bermaksud mengubah hati siapapun. Cukup melihat sang senpai yang dia kagumi sejak kecil dari jauh itu sudah cukup. Ketika senpai-nya menyadari kehadirannya itu sudah cukup.

Namun seiring dengan waktu, entah kenapa sekarang Hinata mengharapkan lebih dari itu. Entah kenapa Hinata merasa dia ingin lebih dari sekadar harapan itu. Apakah dia mulai terbawa perasaan saja? Apakah sekarang Hinata berubah jadi begini sentimentil?

Benar. Apapun yang Hinata lakukan tak akan ada yang berubah. Tak akan ada yang berubah meskipun Hinata meninggalkan tempat ini sekarang juga. Tidak akan ada yang bisa mengubah perasaannya. Tidak ada.

Kalau seperti itu… bukankah lebih baik Hinata pergi?

Kelihatannya keputusan sang ayah ada benarnya.

Tapi sebagian diri Hinata menolak untuk itu. Dia menolak untuk pergi tanpa berusaha sekali lagi. Hanya saja… Hinata sudah mencoba semuanya sampai dirinya nyaris begini putus asa. Hinata sudah berusaha semampunya untuk membuat sang senpai menyadari dirinya ada tepat di hadapannya. Tapi mengubah perasaan seseorang tidak pernah semudah membalik telapak tangan. Sekuat apapun berusaha, jika pintu itu tak terbuka, tak akan ada yang berubah.

Mendobraknya secara paksa pun hanya membuatnya semakin tidak berguna. Karena apapun yang dipaksa tak akan pernah mencapai hasil yang diinginkan.

Walaupun begitu… Hinata ingin sekali lagi mencoba. Sampai hatinya mengatakan itu sudah cukup.

Sampai hatinya rela meninggalkan semua mimpi dan perasaannya.

Dan jika saat itu tiba, Hinata rela jika harus menghilang sekali pun dari ingatan sang senpai jika itu adalah pilihan terakhir. Jika itu… artinya Hinata tidak bisa mengubah apapun. Jika artinya… Hinata tidak memiliki tempat di hati sang senpai.

Ingatan Hinata berputar ketika malam sebelum ayahnya memutuskan untuk pulang ke Osaka. Saat itu, hanya ada Hinata berdua dengan ayahnya yang ada di ruang tamu. Neji dan Gaara memutuskan untuk pergi ke doujo keluarga Hyuuga karena ada latihan menjelang turnamen bulan depan nanti.

"Kau sudah memutuskannya?"

Hinata hanya diam menunduk di hadapan sang ayah. Tidak berani sedikit pun mengangkat kepalanya apalagi menatap mata tajam sang ayah. Tidak sedikit pun sifat sang ayah yang diwariskan kepada Hinata. Entah kenapa selama ini Hinata selalu menjadi gadis pemalu yang penurut. Bukannya itu tidak baik, hanya saja… sepertinya Hinata sudah bosan menjadi seperti ini. Karena sifatnya ini… Hinata tak pernah mendapatkan apa yang diinginkannya. Dan selama hidupnya, untuk pertama kalinya Hinata memiliki keberanian untuk memiliki pendapat sendiri.

"Kau harus ikut pulang besok," ucap Hiashi lagi dengan nada yang datar.

Kalau seperti ini… Hinata tidak bisa lagi berusaha kan? Apalagi yang harus Hinata lakukan sekarang? Rasanya ini benar-benar tidak adil untuknya. Sangat tidak adil…

"Hinata, dengarkan Ayahmu ini. Apa yang Ayahmu lakukan adalah demi kebaikanmu sendiri," suara Hiashi mulai melembut.

"Tou-sama…" Hinata bersuara pelan memanggil ayahnya.

Kau ingin pilihan? Bukankah pilihan dimulai dari sekarang?

Beranilah…

Hinata tersentak mendengar bisikan kecil itu. Itu… bukankah… kata-kata Naruto saat di pertandingan sekolah dasar dulu? Saat mereka ingin melakukan tendangan pinalti tapi tak satu pun yang berani melakukannya.

Hiashi terus diam memperhatikan anak sulungnya ini. Bukannya selama ini Hiashi bersikap dingin dan keras pada Hinata tanpa alasan. Orang tua mana yang tidak ingin melindungi anaknya sendiri? Hiashi ingin Hinata terus terlindungi meskipun itu artinya Hiashi harus memperhatikan Hinata selamanya. Dia tidak keberatan dengan itu. Baginya, dengan bersikap seperti ini meski hatinya enggan, Hiashi berharap Hinata bisa tumbuh dengan baik. Hanya itu alasan sederhana Hiashi yang selama ini selalu bersikap seperti itu.

"Tou-sama pernah bilang padaku, kerja keras, bakat dan usaha adalah salah satu bentuk untuk mencapai keberhasilan. Tapi, tanpa keberanian, semua itu hanya sia-sia belaka. Selama ini aku hanya punya kerja keras dan usaha. Tapi aku tidak memiliki keberanian," ujar Hinata. Yah… Hinata sudah memutuskan.

"Tapi Tou-sama… ada seseorang yang memiliki kerja keras, usaha dan keberanian tanpa bakat. Apakah menurut Tou-sama orang itu… tidak akan memiliki keberhasilan?"

Hiashi diam sejenak mendengar kata-kata anak gadisnya ini. Segelintir orang memang sukses karena memiliki keempat hal itu. Tapi segelintir orang juga ikut sukses meski tanpa bakat. Semua orang sukses di dunia ini tidak sepenuhnya memiliki hal itu. Yah, tidak semuanya orang memiliki bakat. Tapi mereka tetap memiliki kesempatan untuk berhasil.

"Ya, aku memang memiliki kerja keras, usaha dan bakat. Tapi aku tidak punya keberanian. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku berhasil mengumpulkan keberanianku. Apakah menurut Tou-sama, aku bisa berhasil?"

"Tentu saja."

"Kalau begitu, Tou-sama pasti mengerti dengan keinginanku bukan? Aku ingin membuktikan pada Tou-sama bahwa aku juga… bisa seperti orang lain. Bahwa aku bisa hidup dengan kemampuanku sendiri. Aku ingin menjadi orang itu… menjadi orang yang bisa berhasil. Kalau Tou-sama bisa memberikanku kesempatan sekali lagi, aku akan menunjukkan pada Tou-sama bahwa aku bisa menjadi orang yang Tou-sama harapkan."

"Jadi menurutmu Ayahmu sama sekali tidak berguna lagi untukmu?"

"Bukan begitu Tou-sama. Maafkan kalau kata-kataku… membuat Tou-sama tersinggung. Tapi sungguh, aku hanya ingin menjadi orang yang bisa Tou-sama harapkan tanpa bergantung pada Tou-sama. Aku ingin memulai semuanya dengan usahaku sendiri. Dengan begitu, Tou-sama bisa mempercayakan apapun padaku."

Hiashi tak percaya anaknya yang berusia sekecil ini bisa dengan berani mengungkapkan keberaniannya. Hinata mampu menyalurkan keinginannya. Sekilas Hiashi merasa putrinya sudah terlihat jauh lebih dewasa dibanding terakhir kali Hiashi melihat Hinata sebelum pindah kemari. Hinata yang dulunya pendiam dan pemalu, kini berusaha menjadi Hinata yang berbeda. Dan Hiashi bangga putrinya bisa membuat kemajuan sebesar itu meski Hiashi tak bisa menunjukkannya di depan putri sulungnya ini.

Awalnya Hiashi sama khawatirnya seperti orang tua pada umumnya. Memiliki anak perempuan justru lebih beresiko ketimbang memiliki anak laki-laki. Maka dari itu semaksimal mungkin Hiashi ingin melindungi putrinya. Tapi ternyata, apa yang menurut orangtua baik, belum tentu sama dengan menurut anak. Setidaknya, apa yang Hinata maksud di sini masuk akal. Tidak ada alasan untuk Hiashi menahan keinginan sang anak jika itu adalah hal yang positif. Menghalanginya justru hanya membuat anaknya akan berubah menjadi pembangkang. Anak memang butuh kebebasan, tapi dibatasi. Setidaknya itulah yang Hiashi terapkan sekarang.

"Kalau begitu, kau mau membuat perjanjian dengan Ayah?"

Hinata terdiam sejenak. Astaga…

.

.

*KIN*

.

.

Haruskah dia tak mengatakan apapun?

Haruskah Naruto diam saja sekarang?

Karena buru-buru, Naruto tak sempat berganti bajunya dan hanya mengambil dompetnya dengan buru-buru tanpa mempedulikan sekitarnya lagi. Termasuk Sasuke dan Sakura yang masih ada di dalam rumahnya. Naruto secepat kilat mencegat mobil mana saja yang dia temui. Harusnya dia mencari taksi saja.

Naruto kini sudah tiba di bandara Narita. Katanya penerbangan sebentar lagi. Tapi dimana dia berada?

Apakah sudah masuk ke dalam pesawat?

Bodohnya Naruto dia malah tidak bertanya tujuan penerbangan kemana!

Naruto hanya terlalu… panik saat Sakura mengatakan kalau Hinata akan pergi.

Sesuatu yang sebelumnya selalu ada tiba-tiba pergi menghilang selalu menimbulkan perasaan tidak enak. Naruto tak pernah merasa begini tidak enaknya. Naruto selalu terlambat. Makanya dia selalu tidak bisa memahami apa yang sebenarnya terbaik untuknya.

Naruto tidak ingin kehilangan sesuatu yang belum pernah dimulainya.

"Argh! Dimana kau Hinata!" geram Naruto frustasi.

Pengumuman mengenai keberangkatan pesawat sudah disiarkan. Sekarang Naruto semakin gugup karena dia tidak tahu pesawat mana itu. Bisa-bisa itu pesawatnya―

"Naruto? Astaga… penampilanmu itu…"

Naruto kini sudah ada di bagian keberangkatan. Kini dia malah melihat Gaara yang berada di belakangnya.

"Gaara! Hei, kau lihat Hinata? Tidak, maksudku, dia belum naik pesawat mana pun kan?" tanya Naruto buru-buru.

"Hah? Kau ini bicara apa?"

"Hei! Kau ini bagaimana sih! Cepat beritahu pesawat mana yang dinaiki Hinata! Aku… aku harus…" Naruto sudah tak tahu lagi harus mengatakan apa. Dia terlalu…

Melihat Gaara yang hanya melongo tanpa memberikan jawaban berarti, membuat Naruto bertambah frustasi.

"Naruto… Senpai…?"

Naruto berhenti sejenak. Di depannya ada Hinata yang tengah menarik sebuah koper.

Tanpa banyak berpikir lagi, Naruto maju ke depan dengan langkah lebar dan segera merangkul Hinata dengan erat. Tentu saja Hinata terbelalak dengan wajah memerah seperti tomat yang kelewat masak.

"S-senpai… ini…" Hinata juga bingung harus mengatakan apa.

Naruto segera melepaskan pelukannya dan menekan kedua bahu Hinata dengan kedua tangannya. Mengguncang pelan tubuh sintal gadis berambut panjang ini.

"Hei! Kenapa kau tiba-tiba pergi seperti ini? Apa kau… apa kau benar-benar sudah membenciku dan… lelah denganku?"

Hinata tetap diam karena tak tahu ekspresi apa yang sebaiknya dia buat. Naruto seperti tidak menyadari wajahnya yang memerah seperti ini dan tetap menatapnya dengan kesal. Itu bukan kesal karena ingin memarahi Hinata. Itu seperti ekspresi…

"Kenapa… kau tidak memberikanku satu kesempatan lagi? Aku tahu aku bodoh. Aku lamban. Aku juga tidak pernah berpikir perasaan yang sama denganmu. Tapi mulai sekarang, aku ingin… ingin mencobanya."

"Eh?"

"Hinata… bolehkah aku… menyukaimu?"

Hah?

HAH?

Kepala Hinata sekarang pusing sekali. Dia yakin dalam hitungan detik Hinata pasti pingsan sekarang juga. Hinata tidak pernah berpikir ini akan berlalu seperti ini.

"Oi, Hinata?" panggil Naruto cemas melihat wajah Hinata yang memerah itu.

Tak lama kemudian…

BRRUUUKK!

"HINATAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!"

.

.

*KIN*

.

.

Hinata membuka matanya perlahan. Astaga, kepalanya pusing sekali. Yang dia ingat adalah kata-kata terakhir Naruto yang memanggilnya dan tiba-tiba kepalanya pusing sampai dirinya pingsan. Kenapa dia melakukan hal memalukan seperti itu di bandara!

"Hinata-chan? Hinata-chan? Kau sudah sadar?"

Hinata menoleh mencari sumber suara itu.

"Sakura… Senpai?" gumam Hinata.

"Kau mengejutkan kami semua. Apa kau masih merasa sakit? Kepalamu tidak apa-apa kan?" tanya Sakura.

"Aku baik-baik saja. Maafkan aku. Gaara… Senpai…"

"Gaara sudah berangkat. Setelah membuat kehebohan itu, dia sangat malu dan memilih langsung naik pesawat. Tapi tenang saja, sebelum membawamu ke rumah sakit, kami sudah pamit padanya dan dia akan mengirim kabar setibanya di Suna," jelas Sakura.

Hinata mendesah lega. Untunglah tidak terjadi apapun. Kalau sampai karena pingsan-nya ini membuat Gaara tidak jadi berangkat, bisa jadi masalah gawat.

"Hinata, kenapa kau tiba-tiba pingsan? Apa kau benar-benar baik-baik saja?" tanya Sakura lagi.

"Aku baik-baik—"

"Aku mendengar suaranya! Hinata sudah bangun kok!"

"Tapi aku tidak mengijinkanmu masuk sekarang! Kau benar-benar wabah!"

"Neji! Kau benar-benar kejam! Aku hanya ingin tahu kenapa Hinata begitu!"

"Sudah pasti semuanya karena kau!"

"Hei, kalian ini… ini kan rumah sakit," potong Sakura sambil berkacak pinggang di depan dua orang yang menerobos masuk ke dalam kamar Hinata.

Hinata terbelalak kaget saat melihat yang masuk ke dalam ternyata Naruto dan Neji. Cepat-cepat dirinya menarik selimut menutupi seluruh tubuh dan kepalanya. Wajahnya masih memanas dan dia masih sangat merasa maluuuu!

"Hinata-chan? Kau baik-baik saja?"

Itu suara Naruto Senpai!

"Dia baik-baik saja. Mungkin dia masih butuh istirahat. Nanti saja menjenguknya. Hinata, kami keluar dulu ya. Kalau kau butuh apapun nanti hubungi saja siapapun yang kau inginkan. Aku juga bisa, sampai nanti," ujar Sakura yang melihat gelagat aneh dari Hinata yang masih berkurung di dalam selimutnya itu.

"Eh, tapi aku belum—" ujar Naruto.

"Sudah, sudah. Pasien butuh istirahat. Ayo kita keluar," kata Sakura seraya mendorong Naruto keluar.

"Aku juga?" celetuk Neji saat Sakura juga mendorongnya keluar.

Ketika Hinata mendengar suara pintu yang tertutup barulah dirinya keluar dari selimutnya. Dirinya dan hatinya benar-benar belum siap menemui Naruto di saat seperti ini. Kata-katanya di bandara tadi benar-benar membuatnya bingung bukan main. Dia tidak menyangka kalau Naruto akan seperti itu. Padahal, padahal…

Apa yang sebenarnya Hinata tunggu?

Naruto sudah meminta kesempatan kedua padanya. Bersedia menyukai dirinya.

Tapi kenapa perasaan Hinata merasa ini tidak benar. Kenapa perasaannya mengatakan kalau dirinyalah yang sebenarnya memaksa agar Naruto bisa menyukainya. Mereka belum pernah bicara dari hati ke hati. Membicarakan perasaan mereka masing-masing. Selama ini hanya Hinata yang terus membicarakan tentang perasaannya pada Naruto. Dan selalu ditanggapi biasa saja. Bahkan… seperti adik.

Jadi kalau Naruto yang sekarang meminta ijin untuk menyukainya, bukankah itu terdengar aneh? Ya. Itu aneh. Sangat aneh.

Dan ini memang tidak benar.

.

.

*KIN*

.

.

"Jadi si bodoh itu salah paham?" ujar Sasuke setelah keadaan aman terkendali. Karena kehebohan tadi, dirinya jadi bertanggungjawab untuk memastikan Gaara sampai di pesawat. Yang benar saja. Kenapa dia harus ikut repot-repot kalau semua orang sudah mengambil tindakan. Dan semuanya karena si bodoh Naruto.

Menjelang malam, Sasuke tidak punya pilihan selain mengantar Sakura pulang. Naruto masih sibuk menunggu di rumah sakit sampai Hinata mau menemuinya, walau Neji sudah melarangnya untuk menemui adik sepupunya itu. Mau apalagi. Sejak kedatangan ayahnya Hinata semuanya jadi kacau balau dan Neji jadi bertanggungjawab atas semua itu. Makanya mulai sekarang, Neji tidak mau ambil resiko dengan membiarkan Naruto mendekati Hinata lagi. Sekarang Naruto saja yang bersikukuh untuk bertemu Hinata apapun yang terjadi.

"Iya, mungkin dia melihat Hinata yang membawa koper Gaara, jadi dipikirnya Hinata yang mau pergi. Dia juga tidak mendengar kata-kataku tadi pagi," balas Sakura.

"Oh, begitu."

Sakura hingga kini belum mendapatkan kepastian apapun dari Sasuke. Tapi melihat gelagat Sasuke ini, Sakura masih bersikap biasa. Setidaknya, Sasuke belum memutuskan untuk pergi lagi kan? Karena kalau kali ini Sasuke ingin pergi, Sakura…

"Rumahmu sudah di depan."

Tak terasa kalau perjalanan bisu mereka, karena sepanjang perjalanan hanya inilah yang topik pembicaraan mereka. Karena terlalu lama diam Sakura tidak tahu kalau dia sudah tiba di rumahnya.

"Aku pulang dulu," ujar Sasuke seraya berbalik berniat meninggalkan Sakura.

Tapi kali ini, Sakura segera mengejar Sasuke dan memegangi ujung jaket Sasuke. Sebenarnya dia ingin memeluk laki-laki yang selama ini disukainya, tapi Sakura takut kalau Sasuke nanti akan menolaknya.

"Sasuke…" lirih Sakura.

Sasuke masih diam tak berkutik. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku jeans-nya. Tidak bereaksi sama sekali pada panggilan Sakura dan bersikap dingin. Dia juga tidak membalikkan tubuhnya.

"Apakah kau… akan pergi lagi?" tanya Sakura sembari menundukkan kepalanya.

"Mungkin."

"Jadi… kau benar akan pergi lagi?"

"Ya."

Sakura tersenyum tipis. Tapi tak kuasa menahan air matanya. Setitik demi setitik butiran bening itu keluar dari ujung matanya. Jatuh berurutan seperti hujan.

"Aku tidak tahu… apa yang bisa membuatmu berhenti untuk pergi lagi. Aku juga tidak tahu bagaimana menghentikanmu untuk pergi. Aku pun merasa kalau aku tidak berarti apapun untukmu…"

"Bukan tidak ada artinya," potong Sasuke.

Sakura mendongak memandang punggung Sasuke yang tepat berada di depannya ini. Sasuke masih tidak berbalik. Sakura tidak tahu ekspresi laki-laki berambut biru gelap ini.

"Aku hanya… belum memikirkannya. Jadi bukannya kau tidak ada artinya. Mungkin alasanku kembali kemari salah satunya adalah… karena kau," lanjut Sasuke.

Bolehkah Sakura menganggap ini sebagai jawaban ya?

"Kalau begitu… maukah kau memberitahuku… kemana kau akan pergi? Karena kali ini… aku juga ingin menemuimu."

Angin berhembus pelan di antara mereka. Posisi mereka tetap sama. Tidak ada sedikitpun yang berubah. Sasuke hanya menghela napas panjang.

"Pulanglah. Ini sudah malam."

Setelah mengatakan hal itu, Sasuke kemudian melangkahkan kakinya membuat pegangan Sakura pada ujung jaketnya terlepas.

Perlahan, Sasuke berjalan dan kemudian menghilang.

Selalu begini. Jawaban yang tidak pasti dari Sasuke. Tapi paling tidak, ada sedikit jawaban pasti yang diberikan oleh Sasuke malam ini. Jawaban… mengenai perasaannya.

Sakura akan menunggu saat Sasuke sudah menemukan arti dirinya.

Tak peduli berapa lama. Saat itu… pasti segera tiba.

.

.

*KIN*

.

.

Neji mengatakan kalau sebaiknya Hinata beristirahat satu satu hari di rumah sakit. Neji juga merasa Hinata memang belum sepenuhnya pulih. Luka di kepala kan sembuhnya memang sedikit lama. Neji hanya tidak mau mengambil resiko. Hinata juga tidak masalah tidur selama satu malam di rumah sakit. Lagipula, besok dia sudah bisa pulang.

Malam ini, Hinata memilih untuk membaca buku saja. Matanya tiba-tiba sulit terpejam. Mungkin masih memikirkan hal-hal yang membuatnya jadi bingung.

Ketika membuka beberapa halaman bukunya, Hinata mendengar suara pintu yang terbuka. Mungkin perawat yang mengantarkan obat?

Tapi karena gerakannya cepat, Hinata jadi tidak melihat siapa yang datang dan malah terkejut karena tirai di sampingnya ditarik dengan cepat. Sepertinya seseorang duduk di ranjang sebelahnya. Tapi kenapa menarik tirai pembatasnya?

"Siapa—"

"Ini aku, Naruto, Hinata-chan."

Hinata terkejut mendengar pengakuan itu. Karena tidak melihat langsung wajah sang senpai, Hinata hanya berwajah merah tapi tidak sampai pingsan. Kalau sekarang tiba-tiba Naruto membuka tirainya, pasti Hinata akan pingsan sekarang juga.

"Senpai… tapi ini sudah… malam. Apakah—"

"Aku masuk diam-diam. Neji terus melarangku menemuimu. Dan aku sudah tidak sabar untuk menemuimu. Makanya aku…nekad. Naa Hinata, kenapa kau tidak mau menemuiku?"

Dada Hinata terasa mencelos luar biasa. Bukannya Hinata tidak mau menemui Naruto. Bahkan Hinata sangat ingin melihat wajah orang yang selama ini diam-diam disukainya. Hanya saja karena masih terlalu bingung, HInata jadi ragu untuk bertemu dengan kakak kelasnya ini.

"Kau masih… membenciku karena aku membuatmu celaka?"

"Tidak Senpai! Tidak seperti itu, sungguh. Tidak… begitu…"

"Lalu kenapa tidak mau menemuiku?"

"Itu… karena aku masih bingung…"

"Bingung?" ulang Naruto.

Hinata sudah memutuskan. Lebih baik mengatakannya sekarang daripada terlambat. Hinata tidak tahu kapan lagi kesempatan seperti ini ada. Dia sudah berjanji pada Gaara untuk lebih jujur dan berani pada perasaannya. Kalau Hinata saja sudah berani mengatakan isi hatinya pada ayahnya, kenapa pada Naruto tidak?

"Karena tiba-tiba Senpai meminta ijin untuk menyukaiku. Selama ini… Naruto Senpai selalu menyukai Sakura Senpai. Karena Senpai tahu aku menyukai Senpai dan Sakura Senpai memutuskan hubungan dengan Senpai karena… satu hal… aku hanya berpikir kalau aku ini… seperti pelarian untuk Senpai…" jelas Hinata. Sungguh dia tidak mau mengatakan hal ini. Tapi dia juga tidak mau terus-terusan bingung dengan sikap Naruto padanya. Hinata juga ingin kepastian.

"Kau benar. Aku yang seperti ini… pasti hanya menganggapmu sebagai pelarian ya…"

"Senpai, maksudku—"

"Ya kau tidak salah. Kalau kau berpikir begitu, tentu saja kau benar. Aku masih belum bisa melupakan Sakura dan merasa sakit setiap kali melihat Sakura hanya menatap Sasuke. Tapi kau pernah bilang padaku, kalau membiarkan orang yang kita sukai bahagia dengan jalannya sendiri walau tanpa kita, bukankah itu juga kebahagiaan?"

Hinata menatap tirai hijau pucat di hadapannya itu. Tirai yang membatasi mereka berdua.

"Hinata… kau boleh bilang aku ini bodoh atau apa. Aku hanya menyesal kenapa dari dulu aku tidak melihat kesungguhanmu. Aku terlalu terlambat menyadarinya. Saat kau terluka, aku begitu marah karena aku tidak bisa melindungimu. Aku membayangkan kalau seandainya hal ini terjadi lagi dan aku tidak di sampingmu. Aku merasa seperti seorang pecundang. Padahal… kau selalu ada untukku. Tapi aku… tidak pernah ada untukmu."

"Naruto… Senpai…"

"Aku tahu perasaan yang kau alami. Karena aku juga pernah mengalaminya. Karena itulah, aku tidak ingin kau mengalami perasaan yang pernah kualami itu. Aku ingin berubah dengan berusaha mengubah segalanya. Dan semakin aku memikirkanmu, perasaanku semakin besar. Aku tidak tahu kapan… dan bagaimana… tiba-tiba, ketika kau tidak ada di sekitarku lagi, aku merasa… kosong."

Hinata terbelalak tak percaya mendengar kata-kata Naruto.

"Ya Hinata, aku mulai menyadarinya kalau sebenarnya… kaulah yang selalu ada untukku. Kaulah yang selalu membuatku merasa berarti. Aku tidak ingin melihatmu terluka lagi. Aku tidak ingin perasaan kosong ini. Karena itu… ketika kau tidak mau menemuiku, rasanya hatiku begitu terluka. Karena—"

Hinata melompat dan segera membuka tirai yang sedari tadi membatasi mereka berdua. Napas Hinata terasa sesak. Dia tidak tahu kalau selama ini sudah membuat Naruto seperti ini. Hinata tidak ingin bingung lagi. Dia sudah yakin pada perasaannya. Karena sekarang Naruto juga yakin padanya.

Selain wajahnya yang memerah, Hinata sudah berusaha mengendalikan dirinya. Karena kini, dia sudah merasa tenang karena berhasil memeluk senpai-nya.

"Terima kasih… Senpai. Terima kasih…"

Naruto membalas pelukan Hinata. Pelukan yang biasa dia lakukan pada Hinata biasanya dianggapnya seperti memeluk adiknya. Tapi kali ini, pelukan ini berbeda. Karena Naruto sudah memeluk hal berarti di dalam hidupnya.

Naruto melepaskan sejenak pelukan mereka. Menatap wajah Hinata yang memerah dengan cantiknya itu. Naruto suka melihat wajah memerah gadis manis ini.

Dan ketika wajah mereka semakin dekat, Naruto menyeringai senang. Hinata tidak lagi pingsan berada sedekat ini dengannya. Dan ketika nyaris—

"Maaf Senpai! Aku… aku belum siap…" lirih Hinata seraya menundukkan kepalanya.

Naruto tertawa lebar. Lucu sekali gadis ini.

Akhirnya Naruto hanya mengecup singkat dahi putri Hyuuga ini.

"Tidurlah. Ini sudah malam."

.

.

*KIN*

.

.

Tiga hari kemudian.

Hinata turun dari kereta dengan napas tersengal-sengal. Sepertinya dia benar-benar terlambat. Karena terlalu bingung dengan pakaiannya, Hinata jadi tidak bisa tidur sampai akhirnya dia bangun kesiangan dan hampir terlambat. Padahal mereka berjanji bertemu jam 10 pagi. Sekarang sudah pukul 10.20.

Hinata terus berlari untuk segera sampai di tempat janjiannya.

Karena ini hari libur, banyak sekali orang yang keluar dan membuatnya jadi susah menembus keramaiannya ini.

Hinata berjanji bertemu di Konoha Wonderland dekat pintu masuk Sea World.

Setelah sampai di tujuannya, Hinata mengambil napas banyak-banyak. Rasanya seperti dikejar setan atau lebih parah diburu oksigen.

"Astaga, aku terlambat," lirih Hinata seraya melihat pintu masuk Sea World ini.

"Aku baru saja datang."

Hinata terlonjak kaget dan menoleh ke belakang.

"Naruto Senpai! Kau…"

"Aku melihatmu berlari dari stasiun. Kau juga menabrak orang. Astaga, keringatmu…"

Hinata menunduk malu sekali. Dia benar-benar merasakan keringat yang mengalir deras dari dahinya. Buru-buru tangannya terangkat untuk mengusap dahinya.

"Eh! Jangan begitu! Kau bisa mengotori bajumu. Sini."

Naruto mengeluarkan saputangan dari saku celananya dan menggenggam tangan Hinata yang terangkat hendak mengusap keringatnya itu. Mereka sekali lagi berdiri begini dekat. Tapi Hinata sudah terbiasa dengan Naruto yang begini dekat dengannya. Wangi sang Senpai yang membuatnya begitu bahagia. Karena Naruto memilih berada di sisinya sekarang.

Naruto selesai membersihkan titik-titik keringat yang bercucuran dari dahi Hinata.

"Nah selesai. Setelah ini kau tidak boleh berlari lagi, kau paham?"

Hinata mengangguk pelan.

"Kalau begitu, ayo."

Naruto mengulurkan tangannya ke depan Hinata. Ini… seperti akhir, tapi Hinata tidak ingin ini berakhir. Sungguh dia tidak ingin berakhir. Hinata ingin selamanya seperti ini.

Tanpa ragu lagi, Hinata menggenggam tangan Naruto. Berusaha untuk tidak melepaskannya. Dia ingin selamanya seperti ini.

"Jangan lepaskan tanganku, ok?" ujar Naruto ketika mereka memasuki pintu Sea World itu.

"Selama Senpai tidak melepasnya, aku tidak akan melepasnya."

"Justru kalau aku melepasnya, kau tidak boleh melepasnya. Kau harus tetap menggenggamnya erat seperti ini," kata Naruto seraya menunjukkan kedua tangan mereka yang terkait erat.

Hinata tersenyum hangat. Sekarang impiannya tepat berada di depannya. Tepat berdiri berhadapan dengannya. Biru langitnya menatap penuh hangat kepadanya. Seolah ini adalah akhir dari perjuangan panjangnya. Selama kau tidak menyerah, maka selama itu pula mimpimu akan terus berlanjut. Dan akan terwujud jika kau tidak melepaskannya dengan mudah.

"Naa Hinata, aku menyukaimu."

.

.

*KIN*

.

.

FIN

.

.

03 January 2014

.

.

Holaa minna hehehe akhirnyaaaaa…

Tadinya memang mau tambah satu chap lagi, tapi ternyata saya takut udah melenceng dari plot. Ini kan ceritanya tentang Naruto yang move on ya, karena dia udah bisa move on, jadi yaa sebaiknya berakhir di sini saja. Karena saya takut bisa tambah lama ini fic tamatnya. Mungkin kalau ada waktu saya akan kasih sekuelnya ketika mereka udah lulus sekolah hehehe…

Balas review terakhir yaa…

LavenderBlueSky : Makasih udah review senpai… maaf updatenya gak kilat yaa heheh tapi ini udah update.

Yourin Yo : Makasih udah review senpai… gak perlu minta maaf kok, saya malah senang karena udah dibaca hehehe yang penting kan udah dibaca soal review nggaknya itu nomor sekian hehehe

Nyanmaru desu : Makasih udah review senpai… makasih banyak buat reviewnya. Jujur dari sekian banyak review di sejarah fic saya, kayaknya saya paling suka sama review kamu. Udah lama saya nunggu orang yang ngasih review begitu ke saya hehehe. Yap terima kasih sekali lagi buat tanggapan menariknya. Review kamu benar-benar saya suka hehhe

DILA : Makasih udah review senpai… maaf gak bisa cepet ya heheh tapi udah saya update kok hehhe

Manguni : Makasih udah review senpai… ini udah update hehehe

Soputan : Makasih udah review senpai… hehehe makasih, ini udah lanjut hehehe

Guest : Makasih udah review senpai… iyaa ini udah lanjut hehehe

Chimunk ; Makasih udah review senpai… gak papa telat, yang penting udah dibaca kok hehehe ini udah lanjut

Karizta-chan : Makasih udah review senpai… iyaa ini udah lanjut hehhe

Nata-chan : Makasih udah review senpai… makasih semangatnya ini udah lanjut hehehe

Mitsu Rui : Makasih udah review senpai… makasih semangatnya, makasih udah nunggu hehehe maaf akhirnya harus tamat di sini karena menurut saya pasnya memang di sini, kalo ditambah lagi banyak hal yang harus saya pertimbangkan. Sekali lagi, terima kasih ya, saya sangat menikmati membuat fic ini. Karena ini adalah fic SMA yang akhirnya bisa saya selesaikan. Terima kasih udah mempercayakan saya menyelesaikan fic-nya yaa hehehe

NaruGankster : Makasih udah review senpai… ahaha hola ega hehehe boleh kok boleh, Gaara langsung diajak kenalan aja ya mumpung masih kosong hehehe

Darren : Makasih udah review senpai… maaf ya gak update cepet yaa heheh ini udah update

Bang bew : Makasih udah review senpai… ini update hehehe

Flowers lavender : Makasih udah review senpai… iya gak papa kok hehehe ini udah saya lanjut hehehe

Sorane Midori : Makasih udah review senpai… salam kenal juga hehehe iya terima kasih ya saya akan berusaha untuk membuat cerita yang lebih bagus makasih hehehe ah ya jangan senpai ya Kin aja gak papa hehehe

Guest : Makasih udah review senpai… ahahah saya sebenernya memang mau naruh adegan cemburu itu, tapi rasanya udah terlambat karena akhirnya fic ini udah selesai. Tapi saya juga berpikir kalau Naru yang lambat gak mungkin bisa cemburu sama orang yang belum pasti untuknya ya heheh, jadi ya hanya ending sederhana ini yang terpikir oleh saya hehehe

Sekali lagi terima kasih yang udah nemenin saya sampai sejauh ini. Makasih sekali lagi akhirnya fic ini bisa tamat. Senangnya bisa bertemu pembaca di sini. Doakan semoga saya memiliki waktu untuk bisa membuat NaruHina lebih banyak dan lebih baik lagi yaa

Akhir kata…

Sayonara…