Warning: AU, OOC, Typo (s) Bertebaran, tidak Sesuai EYD, abal, GaJe, ide pasaran(SANGAT), alur yang dipaksakan dan (mungkin) lemon.
Sebelum menyesal, silahkan klik 'BACK' xD
Fiction rated: M
Disclaimer: Masashi Kishimoto
Genre: Romance/Drama (bisa terselip genre lain)
DON'T LIKE, DON'T READ!
INGAT! DON'T LIKE, DON'T READ!^^
.
.
.
.
.
Hinata's POV
Hari ini cuaca tidak begitu cerah. Awan menghitam, dan angin yang berhembus begitu dingin. Kulirik jam tanganku, waktu menunjukkan pukul 15:45. Sehabis pulang sekolah, aku memilih untuk berjalan kaki, berhubung jarak sekolah dengan rumahku tidak begitu jauh.
Aku menghela nafas. Ada rasa malas ketika aku menuju rumah untuk pulang.
Cuaca sepertinya semakin memburuk, kupercepat langkahku agar segera sampai di rumah.
Baru saja aku sampai di halaman depan rumah, ku lihat mobil yang biasa dikendarai ibu sudah terparkir di sana. Berarti sekarang ibu sedang ada di rumah.
Perlahan aku masuk ke dalam rumah dengan warna cat biru muda yang mendominasi. Ku raih kenop yang tertempel di pintu berwarna coklat tua.
"Tadaima.." ku ucapkan salam seperti biasa. Tak ada jawaban. Lavenderku tiba-tiba saja mendapati sepasang sepatu sport berwarna hitam dengan garis diagonal berwarna putih di dekat pintu masuk.
Aku sudah bisa menebak. Tak salah lagi.
Aku melangkah dengan wajah tertunduk. Ku pijaki anak tangga yang menghubungkanku ke kamar satu persatu. Sebelum masuk kamar, aku harus melewati kamar ibuku terlebih dahulu.
Hampir seperti hari-hari sebelumnya, mungkin hari ini aku juga akan mendengarnya lagi, dan itu benar.
Seperti hari ini, kembali aku mendengar desahan demi desahan dari dalam kamar ibuku. Aku nyaris terbiasa dengan keadaan ini. Meski dadaku sendiri terasa sesak. Aku bergelut sendiri dengan perasaanku.
Aku bukan tanpa alasan membiarkan semua ini terus berlangsung. Akhir-akhir ini, semenjak ibu bercerai dengan ayah beberapa bulan lalu, ibu menjelma menjadi sosok yang emosional. Aku hampir tak mengenali ibuku yang sekarang.
Pernah ku coba mengutarakan isi hatiku, tapi saat itu ibu justru marah-marah. Ibu bilang aku hanyalah anak ingusan yang tak berhak mengatur hidupnya.
Sejak saat itu, aku menyerah dengan keadaan.
End Hinata's POV.
Hinata memasuki kamarnya setelah berdiri beberapa menit di depan pintu kamar ibunya. Ia lempar tas selempang hitam miliknya ke sembarang arah dan langsung meneggelamkan wajahnya ke bantal.
Ia menangis. Bersamaan dengan turunnya hujan yang mengguyur kota Konoha.
Akhirnya ia bangkit untuk membersihkan diri setelah lelah dengan segala aktifitasnya hari ini, dan beranjak ke kamar mandi yang memang sudah tersedia di kamarnya.
Waktu terasa berjalan lamban bagi Hinata. Ia memandangi tetesan air hujan yang semakin deras dari balik jendela kamarnya yang beruap karena udara dingin.
Ia dekap kedua tangannya, mencoba menghangatkan. Rasanya hujan kali ini tidak akan reda dengan cepat.
Puas memandangi cuaca, Hinata berjalan menuju tempat tidurnya. Waktu memang sudah menjelang malam, tapi menghangatkan tubuhnya sebentar di balik selimut tebal nan hangat lebih menarik perhatiannya dari pada bersiap untuk makan malam.
"Hinata,"
Baru saja ia akan merebahkan tubuhnya, tiba-tiba suara yang ia kenal milik ibunya menghancurkan rencana tidurnya.
Dengan malas Hinata membuka pintu kamar. Terlihatlah wanita berusia sekitar 40 tahunan dengan rambut pirang sepunggung berdiri di depan pintu.
"Ada apa, bu?" tanya Hinata. Kemudian gadis lavender itu menyipitkan matanya ke arah leher sang ibu. Ah, dan benar saja. Terdapat beberapa kissmark di sana. Pakaian ibunya pun tidak bisa di bilang rapi. Gaun tidur itu lumayan berantakan.
"Cepat siapkan makan malam," jawab ibunya dengan nada sedikit memerintah.
Hinata menyerngit. Padahal –bagi Hinata- belum waktunya untuk menyiapkan makan malam.
"S-sekarang?" tanya Hinata lagi. Bukan berarti dia malas untuk memasak, Hinata hanya memastikan.
"Ck, kau tak perlu banyak bicara!" dengan berakhirnya kalimat itu, Tsunade –ibu Hinata- kembali ke kamarnya yang memang bersebelahan dengan kamar Hinata.
Hinata menatapnya nanar. Tanpa pikir lagi, Hinata ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya yang semula mengantuk.
Kemudian Hinata pergi ke dapur, mencari beberapa bahan masakan yang akan ia buat di lemari pendingin.
Ia olah bahan-bahan itu dengan terampil. Yah, memang sudah bakatnya pandai dalam memasak. Tak sulit baginya memasak macam-macam masakan.
Terdengar derap langkah kaki dan derit kursi dari arah meja makan. Itu pasti ibunya.
Tapi Hinata masih asik untuk memasak. Berhubung udara sedang dingin, ia mencoba membuat sup mizosirupu, karena memang sup ini cocok untuk dihidangkan dalam cuaca yang dingin. Manfaatnya tubuh kita akan lebih terasa hangat. Beruntung di lemari pendingin masih tersedia rumput laut yang ia beli beberapa hari lalu.
Kemudian Hinata memasukkan beberapa jamur, berikut rumput laut yang dipadupadankan dengan berbagai sayuran yang masih tersedia.
Setelah selesai, Hinata menambahkan sedikit dashi dalam sup itu agar rasanya terasa lebih sedap dan gurih. Selagi panas, segera Hinata menghidangkannya di atas meja makan.
Ketika Hinata duduk, ia menangkap sosok pemuda raven yang duduk di sebelah ibunya. Itu dia, Uchiha Sasuke.
Hinata menatapnya dengan mata yang sedikit melebar. Harusnya ia sudah tak perlu kaget lagi dengan kehadiran pemuda beriris onyx itu, mengingat Sasuke memang sering ke rumahnya untuk err..bercinta dengan ibunya.
Entah apa yang membuat ibunya bisa bertahan lama dengan Sasuke. Biasanya ibunya itu hanya bertahan paling lama satu bulan dengan 'mainan'nya. Tapi pemuda itu, Sasuke, nampaknya sudah menaklukkan hati Tsunade.
Hinata menunduk, tak mau membalas tatapan sang pemuda Uchiha. Ia hanya merasa sedikit….jijik mungkin.
Hinata mulai beralih ke sup yang ada di mangkuknya. Menikmatinya dengan perlahan.
"Kau mau mencoba sup milikku, Sasuke?"
Hinata menghentikan gerak tangannya yang baru saja akan menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Untuk apa mencoba? Sup itu Hinata masak dalam satu wadah, tidak mungkin rasanya berbeda.
"Hn,"
Alangkah terbelalaknya mata Hinata. Bahkan mulutnya yang menganga itu sebagai buktinya. Ibunya –Tsunade, dengan sengaja memagut bibir tipis milik Sasuke, mentransferkan sup-nya menggunakan mulutnya sendiri.
Sedangkan Sasuke, tentu saja pemuda itu tak menolak dan malah membalas pagutan Tsunade. Mereka berciuman dengan panas tanpa memperdulikan kehadiran Hinata di depan mereka.
Hinata memejamkan matanya dengan kuat dan mengatur nafasnya. Ia genggam sendok yang ada di tangannya dengan sangat erat.
"Aku sudah kenyang." ucap Hinata. Menginterupsi 'kegiatan' Tsunade kala itu. Rasanya ia ingin menangis dan menjerit karena rasa kesalnya yang tiada tara kali ini.
Hinata berlari menuju kamarnya. Sedangkan Tsunade hanya mengidikkan bahu dan kembali melanjutkan 'kegiatan'nya yang sempat tertunda.
.
.
Hinata menutup pintu kamar dengan kasar. Tubuhnya meringsut ke bawah hingga tubuhnya terduduk di lantai kamar berkeramik putih dengan punggung yang menyender ke pintu.
Helaian surai indigonya yang panjang menutupi wajahnya yang sudah basah oleh air mata. Ia mulai terisak. Kemudian Hinata mendekap kedua lututnya seraya membenamkan wajahnya ke dalam lipatan tangan dan lututnya.
Wajahnya sedikit menengadah. Nampak setetes demi setetes air matanya mengalir di kedua pipinya yang putih.
"Kami-sama," ucapnya dengan suara yang bergetar hebat menahan tangis.
Lalu Hinata mulai berdiri menuju laci meja belajarnya. Ia buka laci itu perlahan hingga menimbulkan suara deritan. Hinata menemukan apa yang ia cari, ia raih benda itu. Kemudian tangisnya kembali pecah seraya memeluk dengan erat sebuah figura.
Dalam figura itu, terdapat foto keluarganya yang masih harmonis. Ayahnya –Hiashi- dengan senyum tipisnya merangkul pundak sang istri –Tsunade- yang tengah menggendong seorang putri kecil –usia sekitar lima tahun- dengan mata lavender dan pipinya yang sangat chubby.
Jari telunjuknya menyelusuri setiap sosok dalam foto lama itu.
Tes..
Satu tetesan air nampak jatuh mengenai kaca figura.
Pandangannya seketika kosong, namun air mata masih menumpuk di pelupuk matanya. Siap jatuh kapan saja tanpa harus mengedipkan kelopak mata.
"Kenapa ayah harus berpisah dengan ibu?" tanyanya sendiri entah pada siapa. Tatapannya masih tak menyiratkan suatu ekspresi.
"Aku lelah," Hinata menghela nafas berat seraya menutup matanya. Sedetik kemudian lavender itu terbuka.
"Aku lelah dengan keadaan ini. Aku tak bisa berkutik, ayah. Kau bahkan jarang mengunjungiku di sini. Kau tak mencoba menanyai keadaanku. Tak ada tanda kau akan membantuku menghadapi masalah yang timbul dari kalian," ucapnya lirih.
Memang semenjak perpisahan mereka yang tidak dengan baik-baik, Hiashi sangat jarang mengunjungi putri semata wayangnya. Nampaknya Hiashi terlalu asik dengan dunia barunya dengan wanita baru pula.
Mengurusi beberapa perusahaan Hyuuga yang memang sudah tenar. Satu perusahaan perhotelan Hyuuga, Hiashi berikan kepada Tsunade sebagai harta yang harus ia berikan ketika berpisah dengan wanita yang selalu terlihat cantik itu.
Kembali Hinata menghela nafas berat. Ia taruh foto itu ke dalam laci dengan perlahan. Kemudian beralih menuju ranjangnya. Hinata berniat untuk langsung tidur saja.
.
.
"Sasuke, kau menginap saja," ujar Tsunade dengan nada manja.
"Aku tidak bisa," sahut Sasuke datar. Tsunade hanya memasang wajah masam. Tangannya semakin erat memeluk tubuh Sasuke yang ada di sisinya, satu ranjang bersamanya.
"Kenapa?"
"Hujan sudah reda," hanya itu yang Sasuke katakan.
"Biarkan saja, aku masih belum puas," kata Tsunade dengan senyum nakalnya.
"Kita bisa 'melakukan'nya lagi besok,"
Tsunade menghela nafas pasrah, berdebat dengan mainannya yang satu ini memang tidak akan mudah dan berakhir dengan dirinya yang mengalah.
"Baiklah, tapi berjanjilah besok kau harus datang lagi ke sini."
"Hn."
.
.
.
.
.
Setelah pulang dari rumah Tsunade, Sasuke tidak langsung kembali ke apartementnya. Ia malah pergi ke klub malam favoritnya.
"Oh hey, Sasuke.." nampak dari jauh permuda bersurai merah melambaikan tangannya pada Sasuke yang baru saja memasuki pintu masuk.
Sasuke tersenyum simpul. Ia berjalan menuju teman satu profesinya, Gaara. Langsung saja Sasuke duduk di sofa yang masih kosong di dekat Gaara.
"Heh, sepertinya hari ini kau sangat lelah, huh?" ucap Gaara dengan nada menggoda tapi sedikit mengejek.
"Hn," Sasuke tak terlalu merespon. Ia memejamkan matanya dengan wajah yang menengadah dan punggung yang bersandar nyaman ke sofa.
"Nampaknya wanita bernama Tsunade itu benar-benar membuatmu harus bekerja ekstra sebagai pemuasnya," ujar Gaara dengan senyum sinis. Sasuke membenarkan posisinya.
"Selama ia membayarku penuh, tak masalah," kata Sasuke dengan entengnya. Ia meneguk segelas bir yang ada di meja.
"Hey, itu punyaku!" pekik Gaara. Namun tampaknya Sasuke tak peduli, ia mengelap tetesan bir yang mengalir di sudut bibirnya dengan punggung tangan.
Gaara kemudian menghela nafas. Sudah biasa baginya menerima sikap dingin dari Sasuke.
"Kau itu," Gaara mendengus.
"Ada satu yang membuatku tertarik," kata Sasuke tiba-tiba. Gaara menoleh, meski tak berbicara, tapi Sasuke tau Gaara ingin mendengar lanjutannya.
"Tsunade, wanita itu memiliki seorang anak gadis yang cantik," ucap Sasuke, nampak sebuah seringai di wajahnya.
"Aaah, aku mengerti," sahut Gaara yang kemudian tersenyum miring.
.
.
.
.
.
.
Cahaya mentari pagi mulai masuk melalui celah-celah tirai putih. Menyinari langsung sang pemilik kamar yang masih nyenyak dalam tidurnya.
Gadis indigo itu mengerjapkan matanya mencoba beradaptasi dengan cahaya yang mulai mengusik penglihatannya.
Hinata melirik jam digital yang ada di meja dekat kasurnya. Pukul 6:00 sudah waktunya untuk Hinata bersiap ke sekolah.
Seperti biasa, Hinata mandi kemudian mengeluarkan seragam yang akan dipakainya hari ini dari dalam lemari. Sebuah kemeja putih, dasi hitam yang panjang, rok rempel selutut berwarna hitam dan blazer yang berwarna senada.
Ia sisir rambut indigonya yang panjang. Kemudian Hinata menyematkan jepitan berbentuk pita di satu sisi kepalanya.
Ketika ia keluar kamar, tak ada seorang pun yang ia temui. Hinata tau, ibunya pasti belum bangun.
Meski keluarga mampu, Tsunade sama sekali belum berniat menyewa jasa pembantu. Katanya ia ingin Hinata mandiri dengan mengerjakan segala pekerjaan rumah.
Tak mau ambil pusing, Hinata keluar dari rumah tanpa sarapan. Seperti biasa, ia akan berjalan kaki saja menuju sekolah. Ini adalah cara favoritnya untuk sampai di sana.
"Aku berangkat," gumam Hinata. Tentu saja tak ada jawaban. Hinata hanya tersenyum miris.
.
.
.
.
.
"Ohayou Hinata," sapa dua sahabatnya ketika Hinata memasuki kelas, 2-A di Konoha Senior High School.
"Ohayou Sakura, Ino," balas Hinata tersenyum seraya mendudukkan dirinya di kursi –yang terletak antara Sakura dan Ino.
"Eh Hinata, kenapa matamu sedikit sembab begitu?" tanya Ino heran. Ino mencoba menyingkap poni Hinata agar dapat melihat wajahnya. Sakura pun akhirnya menoleh dan ikut memandangi Hinata.
"E-eh? T-tidak, aku tidak apa-apa," jawab Hinata dengan tawa hambar. Namun sepertinya itu tak mempengaruhi ekspresi dari Ino maupun Sakura yang menatapnya penuh rasa iba.
"Kalau kau sedang ada masalah, cobalah ceritakan pada kami," ucap Sakura seraya mengelus rambut panjang Hinata dengan lembut.
"A-aku benar-benar tidak apa-apa Sakura," Hinata bersikeras. Tentu saja ia tak akan menceritakannya. Menceritakan bahwa ia menangis karena ibunya yang memiliki seorang 'simpanan' atau secara frontal gigolo yang dibayar ibunya untuk memuaskan nafsunya kapan saja selama ia memiliki uang, dan itu dilakukan di depan matanya. Konyol.
Itu suatu aib bagi Hinata. Tak peduli seberapa dekat dan eratnya persahabatan yang terjalin antara dirinya dengan Ino dan juga Sakura. Sampai kapanpun ia akan menutup rapat aib ini dalam hatinya.
"Baiklah, tak apa jika kau tidak mau menceritakannya," kata Ino tersenyum kecil.
"Tapi sebaiknya, kau jangan terlalu memaksakan dirimu dengan masalah yang kau hadapi," Sakura menambahkan.
"I-iya," Hinata mengangguk. Ya mungkin ia harus sedikit me-rileks-kan pikirannya sejenak dari persoalan ibunya.
Tak lama, bel berbunyi. Pelajaran akan segera dimulai.
.
.
.
.
.
Ketika bel istirahat berbunyi, Hinata tak berniat beranjak dari tempat duduknya. Ia malah mengeluarkan headset dari dalam tasnya.
Kemudian ia mengambil handphone hitamnya. Ia telusuri daftar lagu yang tertera di sana, lalu menekan tombol play ketika menemukan lagu yang ingin ia dengar.
Hinata menikmati lagu yang mengalun dari ponselnya itu. Sampai sebuah tepukan pelan di pundak membuyarkan pikirannya.
"Kau tidak makan, Hinata?" tanya Sakura. Hinata tersenyum lalu menggelengkan kepalanya.
"Kau tidak lapar?" sekarang Ino yang bertanya.
"Tidak, kalian duluan saja. Sepertinya hari ini aku sedang tidak berselera." Terang Hinata.
"Kalau begitu aku juga tidak perlu ke kantin," ucap Sakura dan mendudukkan dirinya kembali ke kursi.
"Aku juga," sambar Ino.
"Eh? Kenapa kalian tidak makan? Aku tidak apa-apa sendiri di kelas," Hinata jadi salang tingkah sendiri karenanya.
"Tidak apa-apa, lagi pula tidak seru kalau hanya berdua," kata Sakura.
Hinata kembali menekuni kegiatannya mendengarkan musik. Sedangkan Sakura dan Ino nampaknya sedang asik berbincang-bincang.
Satu buah lagu telah berakhir, lalu dengan otomatis ponsel itu memutar lagu berikutnya. Mata Hinata terpejam. Menikmati lagu sedih ini.
Karena dari awal memang perasaannya sedang kurang ceria, ditambah lagi kenapa lagu ini seakan mengajaknya untuk terus larut dalam kesedihan.
Sekilas Hinata mengingat kembali bayangan ibunya bersama Sasuke yang berciuman tadi malam. Itu justru memperburuk keadaannya. Dadanya semakin terasa sesak, dan lagu ini seolah menjadi pengiring yang sangat cocok menemani kesedihannya.
Tanpa Hinata sadari, bulu matanya yang lentik mulai basah. Perlahan air matanya turun meskipun kedua matanya masih terpejam.
Semula Ino dan Sakura tak menyadarinya sampai Ino merasakan sesuatu yang dingin jatuh di kulit pergelangan tangannya yang berada di dekat Hinata.
"Hinata," pekik Ino cukup keras. Dengan sedikit paksaan, Ino menarik dagu Hinata agar menatap wajahnya.
"Kau kenapa?" tanya Ino. Wajah cantiknya terlihat begitu khawatir, Sakura pun tak jauh berbeda.
Bukannya menjawab, isakan Hinata malah menjadi-jadi. Kemudian Ino menarik Hinata dalam dekapannya. Ia elus rambut Hinata agar tenang.
"Kau itu kenapa Hinata? Kau diam, lalu tiba-tiba menangis sendiri," sekarang Sakura sudah makin penasaran saja.
"Sakura benar Hinata, kami sahabatmu. Kau bisa bercerita apa saja pada kami." Ujar Ino.
Meski begitu, Hinata tetap saja tak mengeluarkan sepatah kata pun. Ia hanya memberikan sebuah senyum yang terkesan dipaksakan.
Ino dan Sakura akhirnya menyerah dengan kegigihan Hinata yang tetap memilih untuk bungkam. Entahlah masalah apa yang terjadi pada Hinata sampai membuatnya seperti ini, pikir mereka berdua.
.
.
.
.
.
Sasuke masih terlelap dalam tidurnya meski matahari sudah meninggi. Nampaknya tadi malam ia benar-benar menghabiskan waktunya di klub malam bersama Gaara.
Drrtt..drrtt…
Sasuke menyerngit, merasa terganggu karena getar dari ponsel hitamnya.
Drrrt..drtt..
Sasuke mendengus kesal lalu membenarkan posisinya menjadi duduk. Ia ambil ponselnya yang berada di atas meja di sisi ranjang.
"Hn?"
"Sasuke, kau harus datang ke rumahku hari ini," terdengar suara manja dari seorang wanita. Sasuke menghela nafas bosan.
"Hn,"
"janji ya, aku tunggu kau di rumah."
Setelah itu, sambungan telepon terputus. Dengan malasnya Sasuke beranjak dari tempat tidurnya. Ia ambil handuk berwarna biru tua yang menggantung dekat lemari baju.
Tapi sesaat, Sasuke tersenyum penuh arti.
.
.
.
.
.
Setelah bel pulang berbunyi, Hinata bergegas pulang. Rasanya hari ini ia benar-benar butuh waktu untuk menyendiri.
Awalnya Sakura dan Ino menawarkan diri untuk mengantarkannya sampai rumah karena merasa khawatir dengan keadaan Hinata yang nampaknya masih belum membaik.
Ia telusuri Konoha Street ini dengan langkah pelan. Memandangi kerumunan orang yang berlalu lalang di jalan yang sama dengannya.
Hanya butuh beberapa belas menit untuk sampai ke rumahnya.
Hari ini Hinata kembali melihat mobil ibunya yang terparkir di halaman rumah. Ah, bukankah harusnya Tsunade hari ini pergi ke kantor?
Sudahlah, Hinata tak mau lagi mengurusi hal yang berkaitan dengan ibunya itu. Apapun opini yang keluar dari mulutnya pasti takkan mudah untuk didengar lagi sekarang.
Hinata membuka pintu seraya memberi salam, "Tadaima.."
Baru saja Hinata mendongakkan kepalanya. Ia sudah disuguhi pemandangan yang menohok hatinya.
"A-ah, kau sudah pulang Hinata?" tanya Tsunade salah tingkah seraya membetulkan posisi kerah kemeja kerjanya yang merosot hingga menampilkan bahunya yang putih, tidak, bahu itu sudah dipenuhi kissmark lagi.
Dengan kikuk Tsunade membenarkan posisinya di sofa. Membenarkan beberapa bagian pakaiannya yang sedikit acak-acakkan karena ulah Sasuke. Begitu pula dengan Sasuke, tapi wajahnya tak menampilkan ekspresi apapun. Datar.
Hinata masih membeku di tempat. Matanya masih melebar. Namun nampak bahunya bergetar. Degan wajah tertunduk, Hinata melangkah melewati Tsunade dan Sasuke.
"Mau kemana kau?" itu suara Tsunade. Dengan spontan Hinata menghentikan langkahnya karena nada suara Tsunade yang tinggi.
"Benar-benar tidak sopan!" bentak Tsunade. Hinata nampak lebih gemetar. Ia gigit bibir bawahnya agar tak terdengar isakan.
"Berbalik!" perintah Tsunade. Hinata sempat tersentak. Dengan ragu ia menghampiri Tsunade yang masih duduk di sofa bersama Sasuke. Uh! Betapa Hinata membenci pemuda itu yang telah membuat ibunya seperti ini, tak mau lepas barang sehari pun dengannya.
Meski pada kenyataannya, bukan Sasuke lah penyebabnya. Melainkan memang Tsunade sendiri yang terus mengundangnya.
"Dengar, mulai sekarang kau harus bersikap baik pada Sasuke!" ucap Tsunade lagi masih dengan nada yang mengancam.
Hinata mendongak hendak memprotes, namun tatapan Tsunade cukup membuat mulutnya bungkam.
Hinata melirik Sasuke dari ekor matanya. Kemudian Hinata menelan ludahnya paksa ketika melihat Sasuke yang memandanginya dari bawah ke atas dan kembali ke bawah seolah menilai-nilai.
Bukan hanya itu yang membuat Hinata bertambah tegang. Dengan jelas Hinata dapat melihat sebuah seringai kejam yang terpampang di wajah Sasuke yang harus Hinata akui memang tampan.
Hinata memiliki firasat buruk. Ini bukan pertanda baik. Sebuah seringai bukanlah kode untuk hal baik yang akan terjadi selanjutnya.
"Mulai hari ini," Tsunade memberi jeda dan melirik sebentar ke arah Sasuke.
Mulai terlihat dari pelipis Hinata, keringat dingin. Jantungnya berdegup lumayan cepat.
'Kami-sama…tolong aku,' batin Hinata.
Tsunade menarik nafas, "Mulai hari ini, Sasuke akan tinggal di sini."
t.b.c
A/N
Tadaaa…Han hadir kembali dengan fic yang tak kalah gaje ^o^ dan masih dengan pair SH #han lagi bener2 dapet feel sama pair ini.
Han yakin ide fic ini pasaran dengan menjadikan sasu sebagai *ehem* gigolo?
Sebenarnya fic ini diangkat dari kisah nyata, tapi tidak dengan gigolonya =="
Entah makhluk apa yang merasuki Han sehingga kembali membuat fic ber-Rate-M
Han buat fic ini ketika sedikit buntu ide untuk fic lain ^^'a eh malah otak Han ga bisa diajak kompromi, dan memunculkan ide suatu fic yang-beginilah-jadinya.
Oke Han sangat sadar chap 1 ini masih banyak kekurangan dan ketidak jelasan alur. Harap maklum …Han minta maaf kalau sudah membuat karya yang gajenya selalu ga ketulungan, karna inilah kapasitas Han ^^ #dezig!
awalnya memang kurang PD ketika mau publish hohoo tapi berkat semangat dari temen, jadilah fic ini dipublish x3
Kritik dan saran han terima ^^ tapi TIDAK UNTUK FLAME TAK JELAS! (YANG NIAT FLAME TOLONG BACA INI!) #kecuali kalau mau transfer pahala ke Han :3
Review kalian itu bener2 nyemangatin Han, :'D
so, keep or delete nih?
REVIEW, PLEASE?^^