A Vocaloid Fanfiction
"Not a Fairy tale"
Summary: "Aku paling benci pada dongeng yang selalu bahagia." / Miku yang tak percaya dongeng bertemu dengan pangerannya, Kaito. Akankah ia mendapatkannya?
Disclaimer: Vocaloid © Crypton co. story © me!
Details & Warning & Author's Note: gaje, AU, typo(s). OOC? Mungkin bukan gitu. Aneh, ajaib, gak jelas, fail romance, alur kecepetan. Ceritanya garing dan aneh. Apa lagi ending nya. Read and review. Straight pairing, no yaoi or yuri. just read and review. Don't like don't read. Gampang, kan? Ini sumpah gaje banget. Ini cuma ide selewat doang. Sebenernya cuma pelarian dari ff lainnya sih. Abisnya stress dan bingung kehabisan ide. Makanya kubuat ini, kangen ngetik ff. Sekalian meramaikan FVI yang udah sepi! Sepi banget di sini kayak kuburan! Makanya kuramein dengan fanfic abal buatanku ini! Hoho! Alesan lainnya sih karena aku gak percaya Fairy Tale yang happy ending selamanya gitu. Aku bukan pecinta fairy tale. Agak anti fairy tale malah. Tapi, tapi, akhir-akhir ini mulai percaya sama fairy tale. Soalnya... aku mulai ngalamin hal semacam fairy tale. Tapi lebih merepotkan. Makanya cuma sedikit doang percayanya. Udah gak benci, tapi tetep gak suka. Makanya kubuat ff ini! Haha! Pairing? Hm... Kaito x Miku lagi, dong! Aku emang pecinta pairing ini! Dan sekarang rasanya lebih berkesan(?) lagi! Ahaha! Hope you like, all!
Miku's POV.
Chapter I
Aku paling benci pada cerita dongeng yang berakhir bahagia. Dongeng di mana manusia bisa bersatu dengan mudahnya. Tak ada masalah besar yang memisahkan mereka selamanya, cinta pertama yang menjadi takdir selamanya, pokoknya hal semacam itu, deh! Aku benci hal itu! Aku tak percaya cinta yang semudah itu. Aku tak percaya, dan tak akan pernah mau mempercayainya!
Tapi apa aku salah, ya...?
Pagi ini begitu cerah. Terlalu cerah malah. Aku berlarian melewati jalan menuju sekolah. Oke, aku sudah hampir telat, nih.
"Tunggu!" teriakku saat sudah mencapai sekolah. Pintu gerbang nyaris saja tertutup. Untung penjaga sekolah sangat baik dan sudah hafal padaku, jadi dengan berteriak 'tunggu', pintu yang sudah tertutup pun akan terbuka lagi. Aku memang paling bisa memelas!
Akhirnya aku mencapai kelasku. Untung saja gurunya belum datang. Syukur, deh!
"Miku!" panggil Rin. Aku menoleh ke belakang. Rin Kagamine, sahabatku, memang duduk tepat di belakangku, jadi kalau aku mau berbicara dengannya, tinggal balikkan badan saja.
"Hai, Rin." Jawabku. Rin tersenyum. "Telat lagi, nih." Godanya. Aku menggeleng. "Tidak, kalau guru belum masuk, aku belum telat, dong! Hehe." Kataku. Rin ikut tertawa. Akhirnya sang guru pun masuk dan kami belajar.
.
"Fairy tale?"
Aku mengangguk mantap. Aku sangat yakin akan hal ini. Rin hanya terdiam bingung. "Hei, Miku, aku bertanya hal yang paling kau benci, tahu, bukan hal yang paling kau sukai!"
Aku mengangguk. "Hal yang kubenci, kan? Itu yang kubenci. Lagian kamu sedang apa sih membicarakan hal yang paling kubenci?"
"Aku kan hanya bertanya, Miku." Kata Rin. Ia meletakkan kepala di meja. Sepertinya ia memikirkan perkataanku tadi.
Ya, dongeng Fairy Tale adalah satu hal yang paling kubenci. Dongeng di mana semua berakhir bahagia. Cinta pertama bersemi dan menjadi pasangan takdir. Dan tak ada masalah sama sekali dalam percintaan. Orang mati hidup kembali. Sang pembantu menikah dengan sang pangeran. Gadis jelek menikah dengan pria tampan. Pokoknya semua hal yang seperti itu. Aku benci kebohongan seperti itu. Hal seperti itu tak ada!
"Ayolah, Miku. Masa hal semanis itu adalah hal yang kau benci?" tanya Rin masih tak percaya. Aku menggeleng mantap. "Tentu aku boleh saja membenci hal yang manis. Siapa yang melarang? Aku benci cerita kebohongan." Jawabku.
Rin tertawa. "Kamu itu terlalu kaku, Miku!" katanya. Aku diam saja. Kaku? Bagiku itu hal biasa, kok.
"Pokoknya." Kataku. "Aku tak akan percaya pada Fairy Tale semacam itu sampai aku mengalaminya sendiri."
Rin tertawa lagi. "Mana ada Fairy Tale begitu di dunia nyata, Miku yang manis?"
"Ya karena tak ada makanya aku tak percaya." Kataku polos.
Fairy Tale itu tak ada...
.
Pernahkah kau berpikir...
Kalau di dunia ini tak ada dongeng?
'Di dunia nyata tak ada dongeng...'
Sering kah kau berpikir begitu?
Aku sering...
Aku tak percaya hal itu,
Tapi...
Akankah aku mempercayainya...?
.
"Mulai hari ini ia akan belajar bersama kalian." Kata pak guru. Aku hanya menatap orang itu. Murid baru, lelaki berambut biru yang bermata biru. Ah, dia benar-benar bernuansa biru. Senyumnya manis, wajahnya lembut. Ah, pasti langsung terkenal di kalangan para gadis sekolah ini.
"Kaito Shion. Salam kenal." Kata lelaki itu tenang. Suaranya lembut dan manis. Ia membungkuk. Uwah, manisnya!
"Nah, Shion, bangkumu telah disiapkan. Di sebelah Hatsune." Kata sang guru sambil menunjuk bangku di sebelahku. Uwah! Beruntungnya aku! "Hatsune, tolong pinjamkan bukumu padanya."
"Baik." Kataku. Si murid baru itu langsung duduk di sampingku. Aku pun mendekatkan mejaku pada mejanya agar lebih mudah. Kaito menatapku.
"Ada apa?" tanyaku. Kaito hanya menggeleng. "Tidak, sepertinya kau gadis manis yang baik, ya?"
Manis...?
"Kenalkan, namaku Kaito Shion." Kata Kaito sambil mengulurkan tangannya. Wajahku bersemu merah. Senyumnya begitu manis. Aku menerima uluran tangan itu. "Miku Hatsune..."
Deg!
Jantungku berdebar tak karuan saat tanganku menyentuh tangannya. Rasanya hangat dan menenangkan. Detak jantungku tak teratur. Wajahku bersemu merah. Perasaan apa ini?
Ah, masa, sih? Tak mungkin ada yang seperti ini! Aku kan baru mengenalnya, masa sih...
.
Ini bagaikan cerita dongeng fairy tale. Tapi aku tak mau mempercayainya. Mana ada fairy tale di dunia nyata? Tak mungkin ada hal semacam itu. Mana mungkin!
.
Pernahkah kau berpikir...
Bahwa dongeng fairy tale itu nyata?
Cerita seperti di dongeng-dongeng...
Akan menghampirimu.
Mungkin itu hal yang tak mungkin,
Tapi bisa saja hal itu terjadi.
Siapa yang melarang?
Dongeng hanyalah dongeng.
Tapi ini adalah kenyataan.
Naskah hidup yang telah diatur Tuhan...
Bukan diatur manusia...
Yang harus kita jalani...
Sampai kisah itu menemui akhirnya.
.
Pokoknya aku tak akan percaya pada fairy tale! Jadi aku juga tak akan percaya pada perasaanku ini.
Tapi... rasanya sulit sekali membuang perasaan ini jauh-jauh. Kenapa, ya?
.
Aku dan Kaito menjadi sahabat akrab. Aku lah satu-satunya orang yang paling akrab dengannya. Dia memang anak yang baik. Aku senang sekali bisa bersamanya.
.
"Miku!" panggil Rin. Aku menoleh. "Ah, hai, Rin." Balasku. Rin tersenyum. "Ciee, jadi akrab nih sama Kaito." Godanya.
Blush. Wajahku bersemu merah. "Ih, apaan, sih?" elakku. Rin hanya tertawa riang. "Ayolah Miku. Ini seperti cerita dongeng fairy tale, tahu!"
Dongeng? Ah!
"Eh? M-mirip dongeng apanya?" aku tergagap. Aku tak mau percaya bahwa aku mempercayai dongeng.
"Aih, jangan mengelak, Miku. Kau bilang tak akan mempercayai dongeng sampai mengalaminya, kan? Dan sekarang kau sedang mengalaminya."
Aku terdiam. Rin ben– ah, aku tak mau percaya.
"Lihat saja Miku. Kisah cintamu bagaikan dongeng, dan dia adalah pasangan takdirmu."
.
Kata-kata Rin itu sangat berbekas di ingatanku. Aku bisa mengingatnya dengan jelas. Kisah cintaku bagaikan dongeng? Dia adalah pasangan takdirku? Aku tak bisa mempercayai kata-kata Rin itu. Mana ada hal seperti itu?
Aku menyusuri koridor sekolah menuju kelas. Karena tak bisa tidur semalaman, aku akhirnya bangun pagi dan berangkat sekolah jauh lebih cepat dari biasanya. "Ah... dasar Rin. Dia selalu sukses membuatku kebingungan dengan kata-katanya." Keluhku sambil berjalan ke kelas. Kelas sangat kosong pagi itu. Akulah yang datang paling pagi. Ah, kelas yang sepi ini memang rasanya nyaman. Seandainya sejak dulu aku datang pagi, ya?
.
Bel masuk berdentang. Aku segera duduk di bangkuku. Dan seketika aku sadar akan hal yang aneh, Kaito tidak masuk. Ada apa dengannya, ya?
Guruku akhirnya memasuki ruang kelas. Ternyata ia bersama Kaito. Aku kebingungan.
"Kaito Shion, teman kalian..." kata guruku. "Akan pindah lagi ke luar negeri."
Deg!
Jantungku nyaris berhenti berdetak. Kaito... akan pergi ke luar negeri? Tiba-tiba rasanya badanku menjadi sangat berat. Aku menahan air mataku.
Semua anak bersorak sedih. Terutama gadis-gadis penggemar Kaito. Aku hanya terdiam, tak bisa berkata-kata.
Kaito... akankah kau pergi?
.
Saatnya jam istirahat. Ini istirahat siang terakhirku dengan Kaito. Ah... rasanya sedih sekali.
"Miku? Kau kenapa? Kok sedih?" tanya Kaito khawatir. Aku menggeleng. "Tidak..." ucapku. Jelas saja itu bohong, kan? Aku sangat sedih... sedih karena harus kehilangan Kaito.
"Jujurlah Miku. Aku akan mendengarkan dengan serius." Paksa Kaito. Ah, intuisi seorang sahabat. Dia tau pasti aku berbohong.
Aku mengangguk. "Aku..." ucapku pelan. "Aku sedih kau akan pergi. Kau akan meninggalkanku. Tak ada di sisiku lagi. Tak bercanda denganku lagi. Tak tersenyum untukku lagi." air mataku mulai menetes.
"Haruskah... kau pergi, Kaito?"
Aku menangis. Air mata membasahi wajahku. Kaito panik.
Aku tetap saja menangis sampai Kaito menarik dan memelukku. "Miku..." ucapnya pelan. "Jika takdir, kita akan bertemu lagi. Jangan sedih. Yang perlu kau lakukan hanyalah menungguku dengan setia di sini. Jika takdir, aku akan kembali. Jadi, tunggu aku, ya." Kata Kaito menenangkan. Aku berhenti menangis. Mataku sembab dan banjir air mata. Di pelukannya... rasanya tenang.
"Ya... kalau kau akan kembali, akan kutunggu." Kataku. "Cepat kembali, ya."
"Ya, Miku yang kusayangi..."
.
Sore ini Kaito akan pergi ke bandara karena malamnya pesawatnya lepas landas. Sekarang ini masih siang. Dia pasti sedang menuju bandara atau masih berada di rumah. Kuharap di rumah. Aku buru-buru mengambil sepeda, bolos sekolah untuk mengucapkan salam perpisahanku secara langsung. Aku mengayuh sepedaku cepat-cepat, beradu dengan waktu. Menuju rumah Kaito. "Kumohon, semoga tepat waktu!"
.
"Kaito!" teriakku. Kaito sudah naik bis yang menuju ke bandara. Aku mengejar bis itu dengan sepedaku. Kaito menoleh dan melihatku. "Cepatlah kembali! Kalau tak cepat, akan kubunuh kau!" teriakku kencang-kencang. Kaito hanya terdiam kaget, lalu tersenyum manis. Wajahku bersemu merah melihat senyumnya.
"Ya! Aku akan segera kembali, Miku!"
Ya, cepatlah kembali, Kaito. Aku akan dengan setia menunggumu... kalau kau memang pasangan takdirku.
Ah, bagaikan dongeng, cerita cinta kita akan terus berlanjut, kan?
-To Be Continued-