Tangan berbalut perban itu mengeliat di jeruji baja yang mengekangnya. Muka pemiliknya pucat pasi, menengadah ke depan . Kurus… Kurus sekali dia. Ditatapnya ruang hampa dihadapanya, mengharapkan kedatangan sosok yang akan menyelamatkanya, walau kecil kemungkinanya. Jemari – jemarinya yang lentik dan kurus kering sehingga menampakan tulangnya berusaha menggapai segelas air putih pada saat ia menangkap benda itu dengan matanya yang sudah lemah.

Sayang , usahanya gagal. Meja rotan yang kira – kira berjarak 1 meter darinya tak bisa tergapai olehnya. Tak tersentuh 1 jaripun. Sang sosok menunjukan mimic kecewa dan sedih. Tak berapa lama, sosok itu terbatuk – batuk keras . Dari mulutnya , meneteslah darah segar yang mengotori bajunya yang terkoyak. Sosok itu lalu jatuh terduduk dan batuk sekali-kali.

Di genggamnya jeruji itu erat, untuk menopang badanya. Tak kuasa ia menahan deritanya, ia duduk bersimpuh perlahan , seraya tetap menompang badanya dengan jeruji . Ia mengadah ke langit – langit lalu menundukan kepalanya, menangis.

Tak lama, air matanya habis, tergantikan oleh cairan merah kental . Bersamaan dengan itu , sosok itu melepaskan penompangnya dan jatuh terkulai lemah. Ia meringgis lalu menghembuskan napas terakhirnya dengan sangat perlahan.

Krieet….

Pintu terbuka pelan.

Cahaya remang – remang dari luar menyinari ruangan gelap itu. Juga pria yang yang membuka pintu itu. Mata lentik sang pria menangkap sosok yang telah tak bernyawa itu dan tersenyum mengerikan, bila di rincikan seperti iblis yang menampakan dirinya. Sorot mata sang pria tampak luar biasa puas dan senang. Senang karena berhasil akan rencanaya yang busuk.

Tumbalnya telah mati , betapa senang hatinya mengulangi perkataan itu di pikiranya. Dengan perlahan ia tutup ruangan itu kembali tanpa suara , lalu mengangkat kakinya dari tempat itu. Ia lalu berhenti di depan jam dinding yang menunjukan jam 12 tengah malam. Pria itulalu tersenyum tipis dan di detik kemudian , menghilang tanpa jejak.