Hai. Chapter tiga akhirnya berhasil kuselesaikan. Kali ini kubuat sebisa mungkin kalian merasakan perasaan Giotto dan Tsuna di saat yang bersamaan. Aku menekankan pada perasaan keduanya di chapter ini. Baiklah, enjoy! :)

Chapter 3: Glee – We Found Love


Menatap. Suatu tindakan yang penuh makna. Mata berbicara banyak hal. Mata menyampaikan banyak hal. Mata menceritakan segalanya. Baik Tsuna maupun Giotto tidak ada yang mampu membohongi tatapan mata satu sama lain. Di sana mereka berdiri saling bertatapan. Tanpa ada percakapan sama sekali.

Tsuna sadar dia harus segera kembali ke kelas dan membagikan buku tugas. Tapi itu berarti meninggalkan Giotto di sini.

Keduanya bingung, sama sekali tidak bergerak. Sampai akhirnya Tsuna mengangguk kecil seperti memberi tanda pada Giotto bahwa dia harus pergi. Pemuda berambut coklat itu pun perlahan membalikan badannya dan mulai berjalan ke arah tangga yang cukup sepi.

Tsuna merasa kecewa sekali pada dirinya. Padahal dia sudah berdiri berhadapan secara dekat dengan Giotto tadi. Tapi bibirnya sama sekali tidak bisa memulai percakapan. Bahkan dia tidak tahu harus berbicara apa. Dasar otak bodoh. Setiap kali berhadapan dengan orang yang membuat Tsuna berdebar-debar, ia pasti tidak bisa berbicara sepatah katapun. Tapi Giotto pun tampak tidak tahu ingin berkata apa. Padahal Tsuna penasaran setengah mati apa yang membuat Giotto kembali keluar menemuinya. Ah, tapi apa mungkin Giotto menemui Tsuna? Bukannya itu hanya kebetulan saja? Ketika berpikir seperti itu, Tsuna malah makin sedih.

Tsuna tersadar tiba-tiba. Matanya telah berair. Dan genangan itu siap tumpah kapan saja. Tidak bisa. Tidak mau. Tsuna tidak mau menangis di tempat seperti ini. Lagipula, masa karena hal seperti ini saja Tsuna menangis? Kekanakan sekali. Terlalu emosional. Seperti perempuan. Tapi bukankah Tsuna sudah menanti lama? Berminggu-minggu lewat tanpa perkembangan apapun. Hanya saling menatap. Jarak itu tidak pernah bisa terhapuskan. Selalu ada tembok yang menghalangi antara Tsuna dan Giotto. Keduanya bahkan tidak bisa melewatinya, entah apakah itu tidak ada yang mau berusaha melewati atau bukan. Apakah selama ini hanya Tsuna yang terlalu besar kepala? Semakin dipikirkan rasanya semakin menyakitkan.

Tsuna memperkecil jarak langkah kakinya. Perlahan melambat. Kini dia sudah sangat susah menahan tangisnya. Kepalanya sudah tertunduk. Tepat ketika air mata itu hendak menetes, pundaknya diremas oleh seseorang dari belakang.

Air mata itu menetes sekali ketika Tsuna mengangkat wajahnya untuk melihat siapa gerangan yang menyentuh pundaknya. Betapa terkejutnya Tsuna ketika mengetahui orang itu kembali berdiri di depannya. Mengejarnya dari ruang guru. Menahan Tsuna agar tidak beranjak dari tempat itu. Agar mereka bisa saling bertatapan. Agar mereka bisa saling berbicara seperti orang normal. Agar Tsuna dan Giotto punya waktu untuk berdua bersama.

Tsuna mengerjapkan matanya karena tidak percaya. Padahal Giotto sungguh berdiri di hadapannya. Mereka masih saling bertatapan sampai Giotto menyadari pipi Tsuna yang sedikit basah. Lelaki yang lebih tinggi itu menundukkan badannya dan mengusap pipi Tsuna dengan jemarinya. Tsuna kaget. Dia mundur selangkah. Giotto ikut-ikutan terkejut dan mundur selangkah juga.

Kembali mereka bertatapan, namun Tsuna langsung menghindari kontak mata itu dengan menundukkan kepalanya. Sementara Giotto menggaruk-garuk kepalanya sambil melihat sekeliling. Sadar kalau dia baru saja melakukan hal yang memalukan. Padahal mereka belum kenalan sama sekali.

Tsuna melirik ke arah Giotto. Giotto membuang napas berat dan berdehem kecil. Tsuna tidak bisa menahan tawanya kali ini. Pemuda itu tersenyum lepas melihat Giotto salah tingkah di hadapannya. Tsuna memahami satu hal detik itu. Ternyata Giotto pun mengalami dan merasakan hal yang sama dengannya. Giotto tertegun melihat senyuman Tsuna. Begitu cantik. Begitu manis. Membuat hatinya berdebar kencang. Dan kali ini Giotto berhasil dibuat terpana oleh senyuman Tsuna. Entah mengapa Giotto tiba-tiba ikut tersenyum.

Keduanya saling bertatapan sekali lagi. Tersenyum memahami dan memaklumi kebodohan masing-masing. Giotto menghela napasnya sedikit, mempersiapkan hatinya dan kemudian membuka bibirnya yang tipis itu.

"Aku tahu kamu."

Oh tidak. Rasanya Giotto ingin menembak kepalanya dengan pistol saat itu juga. Kenapa dia bodoh sekali? Kenapa kata-kata itu yang malah keluar dari mulutnya? Kemana kalimat yang disiapkannya dalam hati, 'Halo'? Semua orang juga tahu kalau Giotto tahu Tsuna. Tsuna sendiri juga tahu Giotto. Mereka kan teman tatap mata selama ini.

Tapi Tsuna malah tersenyum semakin lebar, "Bukankah urutannya terbalik?" ucap Tsuna akhirnya.

Giotto mengerutkan keningnya. Tsuna meletakkan tumpukan buku itu di atas loker guru yang berada di sampingnya, di sepanjang dinding ruang guru. Tsuna menatap mata Giotto kemudian berkata, "Halo." Tsuna mengulurkan tangannya. Menunggu sambutan dari Giotto. Perlahan Giotto membalas jabatan itu.

"Halo juga." Ucap Giotto, "Aku tahu kamu."

Tsuna kembali tersenyum, "Iya. Aku juga tahu Kakak."

"Jangan, jangan panggil 'Kakak."

Tsuna sedikit tercengang, "Lalu aku harus panggil apa?"

Giotto berpikir sejenak sebelum menjawab, "...Giotto. Namaku Giotto del Vongola. Panggil saja Giotto."

Pertama kalinya Tsuna mendengar Giotto mengucapkan namanya sendiri. Rasanya begitu menggetarkan. Begitu membuat Tsuna meleleh. Tapi dia harus membalas ucapan Giotto. Dengan susah payah Tsuna berusaha menguatkan jantungnya, "Tsunayoshi Sawada. Tsuna saja cukup."

Dan Giotto pun tergugah oleh satu kalimat yang diucapkan Tsuna. Namanya begitu menancap di dada Giotto. Rasanya tidak pernah bisa dilupakan, tidak mau dilupakan. Hingga bagaimana cara Tsuna menyebutkan namanya tadi. Telinga Giotto ingin mendengarnya sekali lagi.

Kembali keduanya terdiam. Tapi kini mereka tidak lagi bimbang. Keduanya tersenyum bersamaan. Memahami koneksi hati mereka. Saling terikat. Saling mengerti.

"Mau coba pulang berdua hari ini?" tanya Giotto mendadak.

Tsuna dibuat terkejut untuk entah yang keberapa kalinya. Giotto terlalu gerak cepat. Baiklah, tapi masih dalam batas normal kalau hanya mengajak pulang bersama. Tsuna tidak sanggup menjawab dengan kalimat. Dia hanya mampu mengangguk. Dan Giotto tidak bisa menahan perasaannya kalau dia merasa Tsuna begitu lucu. Begitu imut, tak ada tandingannya.

"Kalau begitu kutunggu pulang sekolah di depan gerbang. Sampai nanti."

Giotto pun berjalan melewati Tsuna. Tapi dia masih melihat ke belakang, masih melihat ke arah Tsuna. Begitu pun Tsuna. Pemuda itu membalikan badannya hanya untuk melihat Giotto yang masih tersenyum dan melambaikan tangan padanya. Tsuna balas melambaikan tangan malu-malu namun tetap sambil tersenyum. Giotto akhirnya balik badan dan berjalan menuju kelasnya. Tidak jadi ke ruang guru. Bahkan dia sudah lupa harus ke ruang guru. Tapi ketika itu Giotto merasa begitu bahagia. Senyumannya tidak terkontrol lagi. Begitu menunjukkan perasaan senangnya yang sangat melimpahruah.

Sementara Tsuna tidak bisa meredakan panas di pipinya. Wajahnya pasti merah sekali. Dan Tsuna merasa beruntung dia melewati tangga yang sepi seperti ini. Karena tidak ada seorang pun yang bisa melihat ekspresi wajahnya saat ini. Tsuna menundukkan kepalanya sambil berjalan. Sembari melihat ke tangga, Tsuna tersenyum. Sama seperti Giotto. Senyuman yang tidak bisa dikontrol saking bahagianya. Senyuman yang sangat menunjukkan perasaan di dalam hati Tsuna. Begitu bahagia. Begitu senang.

-000-

Akhirnya keduanya bertemu pulang sekolah. Giotto sudah menanti Tsuna di depan gerbang. Pipi Tsuna memerah ketika melihat sosok Giotto dari belakang. Pemuda itu berjalan mendekati Giotto perlahan. Langkah Tsuna tidak terlalu lebar, butuh sedikit waktu hingga akhirnya Tsuna berdiri sejajar dengan Giotto. Giotto yang menyadari Tsuna sudah ada di sampingnya menengok ke arah pemuda itu. Tsuna ada di sana, tapi tidak berani memandang wajah Giotto. Kepalanya tertunduk malu. Giotto sedikit bingung kenapa Tsuna terus menunduk. Tapi ketika melihat telinga Tsuna yang memerah, Giotto langsung tahu alasannya. Dan entah mengapa tiba-tiba saja Giotto ikut-ikutan merasa malu. Jantungnya bergedup kencang. Tidak bisa menghadapi situasi yang canggung seperti ini. Tangan Giotto menutupi mulutnya agar tidak ada yang menyadari bahwa dia sendiri merasa malu sekarang.

"...ayo kita jalan." Ucap Giotto akhirnya.

Giotto melangkah lebih dulu, Tsuna dari belakang langsung mengikutinya. Padahal Tsuna sendiri tidak tahu mereka akan pergi ke mana. Tapi Tsuna hanya mengikuti saja ke manapun Giotto berjalan. Sampai ketika jalanan lumayan sepi, mereka berdua masih berjalan di depan dan belakang. Tidak di samping satu sama lain. Giotto mulai merasa sudah saatnya mereka berhenti bersikap malu-malu seperti ini.

Giotto menoleh menatap Tsuna. Tsuna terkejut karena Giotto tiba-tiba melakukan hal itu. Spontan wajah Tsuna langsung memerah. Begitu cepat hingga Giotto bingung dan tidak mengerti bagaimana caranya, bagaimana bisa wajah orang memerah secepat itu. Tawa Giotto tak terelakkan lagi. Tsuna begitu lucu dan manis. Bagaimana bisa tidak tertawa melihat Tsuna?

Melihat Giotto yang tertawa, wajah Tsuna semakin memerah. Dia panik dan menutup mukanya dengan kedua tangannya, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. Giotto melihat adegan barusan dan tersenyum semakin lebar. Giotto berjalan mendekati Tsuna kemudian menyentuh kedua tangan Tsuna yang masih menutupi wajahnya.

"Jangan..." suara Giotto yang lembut bergema di telinga Tsuna.

"Jangan tutupi mukamu..."

Perlahan Giotto melepaskan tangan Tsuna dari wajahnya. Giotto menunduk dan melihat bola mata Tsuna. Wajahnya masih merah. Alisnya berkerut, dia menggigit bibirnya. Matanya menghindari kontak dengan mata Giotto. Helaian poni yang menutupi wajah Tsuna seperti menyembunyikan ekspresi Tsuna yang sesungguhnya. Antara senang dan salah tingkah diperlakukan seperti ini oleh Giotto. Tapi intuisi Giotto yang kuat menyatakan bahwa jantung Tsuna pun berdebar kencang seperti miliknya saat ini.

Melihat Tsuna yang begitu menawan, entah mengapa Giotto tidak bisa mengendalikan tubuhnya untuk mencium Tsuna. Perlahan pun Giotto mendekatkan wajahnya ke wajah Tsuna. Jarak di antara mereka mulai terhapuskan. Tsuna dan Giotto sama-sama tidak mengerti apa yang sesungguhnya sedang mereka lakukan. Yang mereka tahu, jantung mereka berdetak begitu kencang, berisik. Tapi keduanya saling tidak bisa melepaskan pandangan dari masing-masing hingga akhirnya...

Dengan halus dan lembut, terasa sentuhan di bibir Giotto. Tapi itu tidak berlangsung lama. Giotto hanya mengecup bibir Tsuna. Lelaki asing itu segera berdiri untuk melihat ekspresi wajah Tsuna.

Giotto makin tidak bisa berkata-kata saat dia melihat muka Tsuna kini jauh lebih merah dibanding yang tadi. Situasi di antara mereka begitu canggung. Tapi tak lama, Tsuna goyah. Kakinya terasa lemah. Giotto langsung menahan tubuh Tsuna agar pemuda yang jauh lebih mungil itu tidak jatuh. Bodohnya tindakan itu malah semakin membuat mereka merasa malu satu sama lain. Oh, mereka seperti anak SMP yang baru pertama kali pacaran. Bahkan di zaman sekarang anak SD pun sudah pacaran.

"Ma-maaf," ucap Tsuna sambil menahan rasa malu dan mendongak untuk melihat Giotto. Tidak sopan kan, kalau berbicara tanpa menatap lawan bicaranya?

Tsuna terkejut melihat wajah Giotto yang begitu merah, sama seperti Tsuna. Di satu sisi Tsuna merasa sedikit tenang karena ternyata Giotto pun merasakan hal yang sama seperti Tsuna. Giotto membantu Tsuna berdiri tegap tanpa sokongannya.

"Tidak apa-apa."

Keduanya kembali terdiam. Pelan-pelan pipi mereka berdua kembali ke warna yang normal. Suasana masih sedikit canggung, tapi keduanya mulai terbiasa dengan suasana seperti ini. Giotto memalingkan mukanya dari Tsuna sambil berusaha merangkai kata-kata.

"Tadi... ciuman itu... tidak membuatmu marah kan?"

Pertanyaan Giotto membuat Tsuna terkejut. Takut Giotto menyalahartikan sikapnya, Tsuna segera menjawab dalam panik, "Tidak sama sekali! Aku hanya terkejut saja!"

Bola mata Giotto melebar mendengar kalimat Tsuna. Tak lama iapun tersenyum, "Kalau begitu... tidak keberatan kalau kucium sekali lagi?"

"Eeeh?" Tsuna panik lagi. Giotto begitu gerak cepat dan membuat jantungnya heboh. Apakah budaya orang asing memang seperti ini? Giotto mendekati Tsuna, membungkukkan badannya sekali lagi. Tsuna semakin panik, tidak tahu harus berbuat apa. Apakah dia harus mendorong Giotto? Tapi rasanya tidak sopan sekali. Apakah dia harus diam saja menerima ciuman kedua ini? Tapi kenapa hatinya ribut memberontak?

Apa yang harus dilakukan Tsuna? Jarak mereka sudah tidak memungkinkan Tsuna untuk kabur. Tsuna tidak tahu harus berbuat apa. Dia memejamkan matanya rapat-rapat. Memohon semoga apapun yang terjadi bukanlah hal yang buruk atau hal yang mampu membuat perasaannya kacau balau. Campur aduk.

Detik demi detik lewat dan Tsuna tidak merasakan apapun. Tsuna membuka matanya untuk mengintip. Betapa tidak percayanya Tsuna ketika melihat Giotto yang sudah berjongkok membelakangi badan Tsuna. Tsuna kebingungan, dia mendekati Giotto dan berjongkok di sampingnya.

"Ada apa? Eeee... Kakak kenapa?"

Tsuna bingung harus bicara apa. Giotto menempelkan wajahnya ke pahanya, bagaimana Tsuna bisa mengerti perasaan Giotto kalau seperti ini? Giotto menggaruk kepalanya. Serba salah. Terdengar helaan napas panjang keluar dari mulut Giotto. Lelaki itu mengangkat kepalanya dan menatap Tsuna dalam-dalam.

Saat itu Giotto baru terpikir. Status mereka bukan pacaran. Bukan kekasih. Tapi dia sudah mencium bibir Tsuna. Baiklah Giotto mengakui hatinya sudah jatuh pada Tsuna. Tapi dia belum menyatakan cintanya, bukan? Begitu pula Tsuna. Tsuna tidak bicara apapun mengenai perasaannya. Mereka salah urutan. Sangat salah. Namun Giotto harus mengakhiri semua ketidakjelasan ini. Saatnya dia menyuarakan perasaannya pada Tsuna.

"Aku menyukaimu." Aku Giotto tiba-tiba.

Kali ini gantian mata Tsuna yang melebar. Tidak percaya dengan apa yang diucapkan Giotto barusan.

"Hah?" hanya itu respon Tsuna.

"Aku menyukaimu. Maukah kamu menjadi pacarku?"

Giotto mengulang pernyataan cintanya dua kali. Tapi tetap tidak mengubah Tsuna. Pemuda itu tercengang mendengar kalimat Giotto. Tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Oleh sebab itu Giotto menghela napasnya dan berdiri. Dia membantu Tsuna untuk berdiri dan merapikan seragamnya. Mereka berdiri berhadapan. Giotto terus menatap Tsuna, tapi Tsuna menghindari kontak mata itu. Tsuna terus menunduk.

"...Tsunayoshi."

Giotto memanggil nama Tsuna untuk pertama kalinya. Dalam suara yang rendah itu Giotto berhasil menawan telinga Tsuna. Saat Giotto mengangkat tangannya, Tsuna gemetar. Entah karena ketakutan atau tidak suka. Tangan Giotto mendarat di pundak Tsuna.

"Tolong jawab aku, Tsunayoshi..."

Giotto meminta dalam nada suara yang begitu putus asa. Giotto menunduk, berusaha melihat wajah Tsuna. Tapi semakin didekati, Tsuna semakin tidak bisa mengangkat wajahnya. Rasa malu dan jantungnya yang berdebar begitu kencang membuatnya tidak berani melihat Giotto. Tapi bagaimanapun dia harus bisa menjawab pernyataan Giotto padanya. Tsuna menyentuh kemeja Giotto. Mengencangkan genggamannya di kain putih itu.

Giotto menunggu reaksi Tsuna dengan sabar. Perlahan mulut Tsuna pun mulai terbuka. Dia berkomat-kamit tapi tidak ada satupun kata yang tersuarakan.

"Boleh aku dengar jawabanmu?"

Giotto menunduk hingga telinganya tepat berada di depan bibir Tsuna. Dengan susah payah Tsuna membisikkan satu kalimat jawabannya untuk Giotto. Berulang kali Tsuna mengulang kata 'aku' di telinga Giotto. Begitu gugupnya hingga dia tidak bisa meneruskan kalimat itu. Tapi melihat Giotto yang begitu sabar dan penuh penantian, Tsuna pun menguatkan tekadnya untuk membalas perasaan Giotto.

"Aku juga... suka... Kakak..."

Mendengar satu kalimat itu, Giotto langsung memeluk Tsuna erat-erat. Tsuna sampai kesulitan bernapas. Tapi dia tahu. Itu dilakukan Giotto karena dia begitu senang. Dan Tsuna pun juga sangat senang. Karena akhirnya mereka bisa melewati batas itu. Kini mereka sudah resmi menjadi sepasang kekasih. Tsuna tidak memikirkan mengapa dia bisa jatuh cinta pada seorang lelaki, dia tidak begitu peduli. Yang dia tahu dia sudah jatuh cinta pada Giotto dan dia merasa bahagia atas perasaannya. Giotto pun begitu. Awalnya memang Giotto cukup memikirkan mengapa dia bisa tertarik pada seorang pemuda yang lebih muda darinya. Tapi begitu menjalani kontak mata mereka selama ini hingga Giotto jatuh cinta pada pemuda ini, Giotto tidak memikirkannya lagi. Yang dia tahu dia jatuh cinta pada pemuda ini. Pada Tsuna. Dan dia tidak peduli apa pandangan orang lain. Biar saja mereka tahu. Yang penting dia dan Tsuna sama-sama bahagia.

Giotto melepaskan pelukannya dari Tsuna, mereka saling bertatapan. Kali ini lebih dalam. Lebih lekat. Lebih intim. Pancaran kasih dari mata mereka begitu lembut. Mereka menerima satu sama lain. Begitu bahagia. Giotto menggandeng tangan Tsuna. Mereka berjalan bersisian. Percakapan di antara mereka mulai mengalir dengan lancar. Tawa di antara mereka terdengar. Candaan yang dilontarkan Giotto, kepolosan Tsuna yang lucu, apapun menjadi bahan pembicaraan mereka. Dari belakang terlihat bayangan mereka yang saling menyatu dalam genggaman tangan mereka.

.

-End-


.

Contact selesai. Memang cerita pendek, aku tidak berniat membuatnya panjang-panjang sebelum aku kewalahan menangani fanfic-ku yang lain yang belum kuselesaikan. Ahaha. Tapi kalau kulihat banyak pembaca yang mau tahu kelanjutan cerita mereka berdua, aku bisa membuat sekuel. Mungkin. Hahaha. Berikan komentar kalian saja di review atau PM. Kalau banyak yang menginginkan sekuel, kubuat :)

Err... aku merasa terlalu cepat mereka berciuman, tapi bagaimanapun aku ingin membuat mereka bisa berciuman. Makanya suasana di atas begitu awkward di antara mereka berdua. Bahkan yang menulis pun merasa awkward dan tidak tahan untuk cekikikan karena begitu serunya menulis adegan ciuman pertama mereka. Ahaha.

Aku berterimakasih karena para pembaca sudah membaca dan me-review cerita ini. Bagi silent reader juga kuucapkan terima kasih. Aku tidak menyangka cerita sederhana seperti ini bisa dibaca banyak orang. Mungkin sih. Ahaha. Padahal aku sudah vakum kira-kira tiga-empat bulan tanpa kabar pula. Hehe.

Baiklah sampai sini dulu. Aku akan kembali secepat mungkin dengan chapter 18, chapter terakhir Segreto yang sedang dalam tahap pengerjaan. Memang masih sedikit yang kubuat, tapi kuusahakan secepat mungkin selesai dan ku-publish :)

Sampai jumpa di fic-ku yang lain.

P.S: Tuna-chan yang me-request fic ini, maaf kalau hasil jadinya kurang memuaskan...