Yooo~! Aku datang lagi membawa FF (cuman 2 part sih ._.) yang aku ubah dari JD yang udah pernah aku buat dulu dan juga udah pernah aku publish di FB (udah dihack tapi -_-) sama di blogku. Huehehe… Judul sebenernya sih Autumn Maple dan jadi salah satu dari proyek Four Seasons' Stories-ku yang terinspirasi dari novel 4 musimnya ILANA TAN (baru kelar cumin bagian Autumn & Winternya doang *.*), tapi aku ubah ke dalam bahasa Jepang judulnya. Gak tau juga bener apa gak tu terjemahannya xD *ditendang* Pairing yang dari Justin-Kenzie (aku Beliebers lho ;p) aku ubah jadi Sasuke-Hinata dan beberapa kalimatnya juga dapat sedikit perubahan. Gak tau kenapa pas lagi iseng-iseng ngubek-ngubek folder Fanfictions-ku dan baca FF Autumn Maple, jadi pengen ngubah ke FF-nya SasuHina. Kekeke~ Tapi jangan ngarep bisa ngeliat ni couple ngeluarin sifat aslinya, karena di FF ini mereka totally OOC, minna! xDD *dilempar galon* *kabur*

OoOoO

Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto and this fanfic belongs to my self ofc ^^

Warning: AU, Totally OOC, Miss Typo, Unclear Story, Bad Diction & Plot, Too Much Description, etc ;p

Tittle: Aki No Momiji

Pairing: Hyuuchiga a.k.a SasuHina Couple ^o^

Chapter: 1

Genre: Romance, Friendship

Rated: T

Happy reading, y'all! ^o^

OoOoO

Author's POV

Daun-daun momiji berbentuk bagaikan bintang dari sebuah pohon saling mengayun-ayun halus, terhembus angin musim gugur yang dingin menusuk tulang. Beberapa tampak sudah mulai memerah, tanda akan segera lepas bebas dari tangkai yang rela menopangnya selama ini. Pohon momiji itu tampak berdiri angkuh sendiri di pinggiran sebuah hamparan padang rumput berwarna hijau sebagai pijakannya di muka bumi, bersisian dengan sebuah danau yang berair biru tenang tanpa riak. Di bawah rindangnya sang flora khas musim gugur itu, terlihat seorang gadis duduk di sebuah bangku panjang yang menghadap tepat ke arah danau.

Tatapan gadis yang bernama Hyuuga Hinata itu tampak kosong, seolah pemandangan danau yang berlatarbelakangkan sebuah bukit indah menjulang di hadapannya tak mampu membuat gadis berambut indigo itu terpana kagum. Beberapa saat kemudian terdengar helaan nafasnya yang terasa berat dan lelah. Salah satu tangannya merogoh sebuah kamera yang berada di dalam sling bag yang ia letakkan di sampingnya. Tangannya lalu terlihat bergerak cepat memindah-mindah foto ketika di layar kamera hanya terlihat pemandangan-pemandangan alam musim gugur. Namun ketika berganti dengan sesosok pemuda, gerakan tangannya mulai melambat. Sebuah senyuman nanar terukir di bibirnya saat melihat berbagai ekspresi yang diperlihatkan oleh foto-foto pemuda berambut raven itu. Tiba-tiba sebuah sinar hangat menerpa dirinya, sehingga tak ayal membuat gadis itu mendongak ke atas. Dan terpampanglah sebuah pemandangan langit senja dengan sebuah lingkaran jingga yang sangat perlahan namun pasti mulai menghilang dari balik bukit. Hinata pun dengan sigap segera mengatur kameranya dan mencari angle yang tepat kemudian mengabadikan panorama alam nan indah itu di dalam kamera kesayangannya.

"Bukan. Bukan ini yang ingin aku tunggu sedari tadi. Tapi…." lirih sang gadis Hyuuga itu tiba-tiba sambil melihat hasil karyanya di layar kamera.

Hinata pun kemudian mematikan kameranya dan mengalungkan benda berwarna hitam itu di leher. Perlahan Hinata beranjak dari duduknya seraya menengadahkan kepala, menatap rimbunan daun-daun momiji merah di atasnya. Hanya beberapa detik dalam hening, karna ia segera melangkahkan kakinya pergi meninggalkan tempat yang menemaninya kala sore itu.

Ketika Hinata sudah tak terlihat lagi, kini tampak seorang pemuda melangkah mendekati bangku panjang dan duduk di atasnya. Seperti halnya gadis tadi, pemuda dengan manik mata berwarna onyx itu hanya memandang kosong ke arah danau. Bahkan panorama senja yang seharusnya membuat ia terpesona sama sekali tak ia perdulikan. Pemuda bernama Uchiha Sasuke dengan sebuah earphone biru tua yang melingkar di lehernya itu terlihat merenung tentang sesuatu yang mungkin menjadi penyebab keresahan yang kini tengah melingkupi dirinya. Ia kemudian menatap layar ponsel yang sedari tadi ada di tangan kanannya. Tampaklah wallpaper dengan foto seorang wanita cantik sedang menggendong seorang bayi yang sangat manis serta didampingi oleh seorang pria paruh baya dan seorang laki-laki yang masih berumur 7 tahun. Ya itu adalah foto Sasuke kecil dengan orang tua serta kakak laki-lakinya. Tapi bukan foto itu yang kini ingin dilihatnya, melainkan foto yang beberapa detik lagi akan mengganti wallpaper itu. Sebuah screensaver, yang menampilkan foto seorang gadis cantik yang tampak tak sadar sedang diambil gambarnya. Seorang gadis yang tengah tertawa di antara guguran daun momiji merah yang menghujaninya. Terdengar kemudian dengusan kecil keluar dari bibir Sasuke ketika menatap nanar foto itu.

"Bodoh!"

OoOoO

Hinata's POV

Aku memainkan skateboardku sambil meliuk-liuk melewati kerumunan siswa-siswa yang ingin memasuki gerbang sekolah. Tak kupedulikan pandangan orang-orang yang kini terasa seperti mengawasiku. Cih! Padahal seminggu sudah berlalu, tapi masih saja mereka penasaran dengan hal itu. Ketika sudah sampai di lorong sekolah, aku pun berhenti dan membawa papan skateboardku lalu melangkah mendekati loker, tempatku biasa menyimpan salah satu benda kesayanganku ini ketika sedang berada di sekolah.

"HINATAAA!"

Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan yang mampu membuat orang-orang menoleh ke arah sumber suara tersebut. Tanpa melihat pun, dari suaranya aku sudah tahu identitas orang yang memanggilku itu. Aku pura-pura tak mendengar dan langsung mengganti sepatuku dengan uwabaki dan bergegas pergi meninggalkan lokerku. Geez! Apa dia tak tahu volume suaranya itu berpotensi membuat telinga orang-orang mengeluarkan darah, huh?

"Hei! Lagi-lagi kau mengacuhkanku." ucap seseorang yang tak lain adalah sahabatku yang berteriak tadi. Haruno Sakura. Kini ia sudah berjalan di sampingku sambil mengerucutkan bibirnya tanda ia sedang kesal.

"Oh ayolah, nona Haruno! Kau tidak sadar kelakuanmu tadi itu terlalu berlebihan, eh? Seharusnya kau tidak perlu berteriak seperti itu." sahutku dengan nada datar sambil melangkah memasuki kelas dan duduk di salah satu bangku yang berada di dekat jendela.

Sakura langsung menunjukkan tawa tanpa dosanya. Ia duduk menghadap diriku yang kini tengah memandang ke luar jendela. "I'm so sorry, Miss Hyuuga. This is my habit. You've knew it, right?"

Aku pun menatap Sakura dan langsung terkekeh pelan mendengar jawaban polosnya yang ia ucapkan dengan aksen British itu. Well, kami berdua memang pernah sama-sama tinggal di London ketika kecil dulu.

"Oh ya, tadi kuperhatikan masih saja ada yang menatap penasaran padamu. Pasti mereka ingin tahu sebenarnya tentang penyebab kau putus dengan Sasuke."

Sakura menghela nafas panjang lalu merendahkan volume suaranya.

"Sudah seminggu berlalu, Hinata. Dan semuanya terasa aneh bagiku. Kau dan Sasuke, memang pasangan yang ehm.. bisa dikatakan abnormal selama setahun lebih kalian berhubungan. Kalian lebih sering berdebat dan bersaing daripada menunjukkan kemesraan kalian. Tapi melihat kalian kini tidak bersama-sama lagi rasanya seperti ada yang kurang. Terasa aneh dan… tidak benar. Kau mengerti maksudku, kan?"

Aku mendengar dalam diam sambil menunduk. Perkataan Sakura tadi membuatku merasa seperti sulit bernafas. Ya, aku tahu maksud sahabatku ini. Perang dingin antara aku dan Sasuke memang pertama kalinya terjadi semenjak aku bertemu dengannya. Bahkan menjadi lebih buruk dari sebelum kami berdua memiliki hubungan khusus. Dan aku sadar ini semuanya memang terasa aneh dan… tidak benar.

"Apa kau masih tak mau memberitahuku tentang penyebab rusaknya hubungan kalian, hmm? Ayolah, Hinata! Mungkin aku bisa membantumu." pinta Sakura dengan suara prihatin.

Aku segera mengangkat kepalaku dan menatap sendu Sakura. Namun ketika aku hendak mengeluarkan suaraku, tiba-tiba saja kedua mataku kini mendapati sosok Sasuke tengah memasuki kelas. Aku pun langsung menatap Sakura dengan tajam seraya berbisik dengan penekanan pada tiap kata-kata yang kuucapkan.

"Need not to know."

Sakura kembali mengerucutkan bibirnya. Dan sepertinya ia baru sadar kalau ternyata Sasuke sudah ada di dalam kelas. Ia pun memutar bola matanya kesal dan mendengus kecil.

"Cih! Kalian berdua sama saja."

OoOoO

Sasuke's POV

Bel istirahat baru saja berbunyi. Saat ini aku dan sahabatku sedang berada di kantin sekolah. Tapi… kenapa masih saja ada gadis-gadis yang diam-diam memandangiku? Langsung saja aku menunjukkan death glare-ku pada mereka. Belum ada sedetik, gadis-gadis itu pun langsung mengalihkan pandangan mereka dariku.

"Sasuke, kau terlalu menyeramkan!" celetuk sahabatku tiba-tiba, Uzumaki Naruto.

"Cih! Kelakuan mereka itu sangat mengganggu, kau tahu?"

Terdengar langsung kekehan kecil dari Naruto.

"Tapi pengganggu yang sebenarnya baru saja datang." ucapnya sambil mengangkat dagu, seperti sedang menunjuk ke arah seseorang yang berada di belakangku. Aku pun segera menoleh. Dan… err, kenapa gadis itu harus datang lagi? Aku pun kembali menghadap ke arah Naruto yang saat ini sedang tertawa geli.

"Hai, Sasuke!" sapa gadis itu dengan suara sok manjanya lalu duduk di sampingku. Membuatku mual saja. Aku pun hanya menggumam kecil tak peduli sambil mengambil sekaleng soda yang ada di atas meja.

"Hai Karin! Mau apa kau ke sini? Mencariku, eh?" canda Naruto dengan nada khas Don Juannya. Ckck! Sahabatku ini memang terkenal playboy di sekolah.

"Apa kau itu tuli, huh? Jelas-jelas tadi aku hanya menyapa Sasuke, bukan kau." sahut Karin sambil menjulurkan sedikit lidahnya. Aku hanya bisa tertawa dalam hati. Pesonamu masih kalah dengan pesonaku, Naruto. Kasihan sekali sahabatku ini!

Kemudian kurasakan Karin bergelayut manja di lenganku. Ck! Dia ini, semenjak aku putus dengan Hinata, kembali gencar berusaha untuk mendekatiku. Padahal percuma saja, tak akan ada pengaruhnya sama sekali untukku. Namun, tiba-tiba mataku menangkap sosok seseorang yang kini sedang melangkah memasuki kantin bersama sahabatnya. Hinata! Walaupun hanya seperkian detik, aku yakin tadi dia sempat melihat ke arah sini. Tapi, dia seolah tak peduli sedikit pun. Apa dia tidak merasa….? Sial! Seperti orang bodoh saja!

"Hei Sasuke! Ka… kau kenapa? Itu, kaleng sodamu…"

Seketika aku menoleh ke arah Naruto yang sedang memandang takut ke arah tanganku. Ternyata tanpa sadar aku sudah meremas kaleng sodaku sampai tak berbentuk sehingga isinya merembes keluar membasahi meja. Aku langsung menggeram kesal. Tangan Karin yang hendak membantu membersihkan tanganku yang basah dengan sapu tangannya langsung aku tepis kasar.

"Kau! Jangan sekali-kali pernah berani menggangguku lagi! Mengerti?" desisku dengan nada dingin dan datar. Mataku berkilat marah. Emosiku sudah mencapai titik puncak. Karin hanya mengangguk dengan wajah ketakutan. Aku pun langsung beranjak dari dudukku dan pergi dari kantin, tanpa sedikit pun mengindahkan Naruto yang berteriak-teriak memanggil namaku.

OoOoO

Aku mengendarai mobilku dengan kecepatan tinggi meninggalkan sekolah. Aku terus mengumpat kesal sepanjang perjalanan yang entah akan berakhir di mana. Namun, tiba-tiba saja ada sebuah bola menggelinding di tengah jalan dan muncul anak kecil yang hendak mengambilnya. Aku pun langsung tersadar dan membanting stir ke arah samping. Hampir aku menabrak pohon kalau saja aku tidak segera menginjak rem.

"ARGHT! KUSOOO!" Aku berteriak frustasi sambil menyandarkan kepalaku di atas stir dan mengacak-acak kasar rambutku.

Tiba-tiba saja terlintas di pikiranku saat seminggu yang lalu aku memutuskan hubunganku dengannya di tempat itu. Tempat yang menyimpan banyak kenangan antara aku dengan seseorang yang andai saja masih bisa kusebut gadisku.

Aku berdiri membelakangi Hinata yang tengah duduk di atas bangku panjang sambil memainkan kameranya. Sore ini aku menyuruhnya datang ke bawah pohon momiji untuk membicarakan sesuatu. Sesuatu yang sebenarnya tidak pernah aku bayangkan akan terucap dari bibirku. Sesuatu yang mau tak mau akan membuatku merasakan neraka dunia.

Kupandangi pemandangan bukit dan danau yang ada di hadapanku sambil menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan kasar.

"Aku ingin memutuskan hubungan kita."

Hening langsung tercipta. Yang terdengar hanya suara desiran angin musim gugur yang asyik bermain-main dengan rimbunan daun momiji yang sudah menguning.

"Baiklah kalau itu maumu." Setelah beberapa detik berlalu, akhirnya muncul suara yang menjadi tanggapan dari Hinata atas perkataanku tadi. Aku mengepalkan kedua tanganku kuat-kuat mendengarnya. Jadi hanya itu, eh?

"Tapi, kalau aku boleh tahu, apa alasanmu membuat keputusan ini?" tanyanya tiba-tiba dengan nada tenang.

Aku pun segera memutar badanku menghadap Hinata yang ternyata masih menunduk mengutak-atik kamera kesayangannya. Aku berusaha keras mengatur emosiku karna sikap acuh tak acuhnya itu. Dan... apakah aku harus mengatakan alasannya? Cih! Tidak! Lebih baik tidak. Karna aku yakin dia pasti akan merasa menang dariku.

"Need not to know." jawabku akhirnya dengan nada dingin sambil memandang nanar dirinya yang sebentar lagi akan terlepas dari genggamanku.

Kulihat tangannya langsung berhenti memainkan kamera. Apa dia mau protes, eh? Ternyata tidak, karna dia segera mengalungkan benda hitam itu di leher dan beranjak dari duduknya. Hinata kemudian menatapku dengan wajah tanpa ekspresi. Tak ada kesedihan sedikit pun terpancar dari kedua manik matanya. Sial! Jadi, hanya aku saja yang merasa menderita?

"Hanya itukan yang ingin kau katakan? Kalau begitu aku pergi. Masih ada urusan penting yang harus aku selesaikan." ucapnya dengan mimik datar dan langsung melangkah pergi meninggalkanku sendiri.

Dia.. Cih! Sikapnya itu membuatku semakin yakin dengan kejadian waktu itu. Tapi kenapa rasanya harus sesakit ini, huh? Gadis itu, tanpa ia sadari sudah benar-benar membawa pengaruh besar dalam hidupku.

"AAAAARRGGHHTTT! SIAAL! SIAAL!" teriakku kencang sambil melempar batu ke arah danau.

Aku pun membuka kedua kelopak mataku yang sedari tadi tertutup ketika mengingat kejadian itu. Sesak! Benar-benar sesak. Segera kurogoh ponselku yang berada di dalam saku celana dan mengaktifkannya. Kutunggu hingga layar ponsel menampilkan fotonya yang kujadikan screensaver. Satu-satunya foto yang aku punya dan selalu kulihat jika sedang merindukannya.

"Seandainya saja ini hanya mimpi buruk. Huh, pemikiran bodoh!"

OoOoO

Hinata's POV

"Hyuuga Hinata!"

Mendengar namaku dipanggil, aku pun langsung bangkit dari tempat duduk. Kulangkahkan kaki ke muka kelas dengan sedikit err… gugup. Asuma sensei menatapku dari balik kacamatanya dengan pandangan yang tak dapat kuterka. Oh Kami-sama, kira-kira kali ini test fisikaku mendapat nilai berapa? Begitu sampai, Beliau langsung memberikan lembaran test milikku yang sudah berisi nilai…

"70?" batinku kaget sambil membulatkan mata lebar-lebar.

"Tidak biasanya kau hanya mendapat nilai seperti ini. Apa kau ada masalah, Hinata?" tanya Asuma sensei sambil memperbaiki letak kacamatanya.

Aku terdiam sejenak, hingga akhirnya hanya bisa menggeleng lemah. Secara tak sengaja aku melihat lembaran test milik Sasuke yang ada di tangan Asuma sensei. Ya, walaupun jaraknya tak terlalu dekat, tapi aku yakin karna aku sangat mengenal tulisan Sasuke. Dan… astaga! Ternyata nilainya sama denganku. Untuk pertama kalinya aku melihat nilai Sasuke di bawah 95. Apa dia…

"Baiklah kalau begitu. Lain kali kau harus lebih baik lagi, nona Hyuuga. Kalau kau memang masih ingin masuk ke universitas yang kau inginkan tentunya. Ingat, sekarang kau sudah kelas 12. Nah, sekarang kau boleh kembali duduk."

"Ah, i.. iya, sensei. Arigatou." ucapku sedikit terbata karna masih belum sepenuhnya sadar dari keterkejutanku dengan nilai yang didapat oleh Sasuke. Aku pun langsung melangkah kembali ke tempat dudukku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling kelas. Tidak ada. Sasuke tidak ada di sini. Ah iya, aku lupa! Tadi ketika jam istirahat Sasuke memang langsung pergi dari kantin setelah membentak-bentak Karin. Cih! Sejujurnya ingin sekali tadi aku menghajar gadis berambut merah itu dengan jurus karateku. Berani-beraninya dia mendekati Sasuke lagi! Tapi, tentu saja aku berusaha terlihat tidak peduli di hadapan pemuda menyebalkan itu.

Setelah sampai di tempat dudukku, aku kembali memandangi hasil nilai test fisikaku yang menurutku… sangat buruk. Tak kuhiraukan racauan yang dikeluarkan oleh Sakura setelah melihat nilaiku ini.

70? Sasuke juga mendapatkan nilai yang sama. Memang, test fisika waktu itu berlangsung sehari setelah Sasuke memutuskan hubungan kami berdua. A… apa mungkin dia juga merasakan hal yang sama sepertiku? Merasa tak memiliki semangat belajar karna memikirkan putusnya hubungan kami?

Meskipun berpacaran, aku dan Sasuke memang masih sering bersaing dalam banyak hal, termasuk pelajaran di sekolah. Dan kami pun membuat sebuah perjanjian bahwa yang menang atau mendapatkan nilai yang lebih tinggi boleh memberikan hukuman bagi yang kalah atau yang mendapatkan nilai lebih rendah. Aku pun jadi teringat kejadian di tempat itu ketika masih bersamanya. Kejadian yang masih terekam jelas di memoriku meskipun sudah lama berlalu.

"Nah, karna nilai biologiku lebih tinggi darimu, kau harus mendapatkan hukuman, nona Hyuuga. Kau…. harus memperbolehkanku melihat isi kameramu itu. Bagaimana, hmm?"

Aku yang tengah memperhatikan burung-burung yang bermain di permukaan danau langsung membalikkan tubuhku dan menatap Sasuke dengan sengit. Ia pun hanya menunjukkan senyum kemenangannya sambil melipat kedua tangannya di dada.

"Ti-dak-ma-u!" jawabku dengan tegas sambil berkacak pinggang. "Hukuman macam apa itu? Kamera kesayanganku itu adalah benda pribadiku. Privat. Kau mengerti maksudku, 'kan? Jika kau memaksa itu artinya kau melanggar hak asasi manusia."

Tiba-tiba saja Sasuke bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat. Ketika sudah sampai di hadapanku, ia pun langsung menyentil dahiku pelan.

"Kau terlalu berlebihan, bodoh! Katakan saja kalau kau memang tak mau aku tahu isi kameramu yang sebenarnya."

Aku langsung mendengus kecil.

"Kau jangan asal bicara! Bukannya aku sudah pernah bilang kalau aku hanya suka mengambil foto pemandangan musim gugur. Musim favoritku. Memang objek apalagi yang harus aku foto? Kau? Cih! Jangan harap!"

"Yah mungkin saja, 'kan? Karna itulah kau tak pernah mengizinkanku menyentuh kameramu itu. Berhentilah mengelak, Hime!" ucapnya dengan nada bangga sekaligus merendahkan. Salah satu sudut bibirnya pun terangkat, membentuk sebuah senyuman yang menurutku sangat menyebalkan.

"Penyakit narsismu kenapa harus kambuh lagi, eh? Ah sudahlah! Jangan dibahas lagi! Aku sedang malas berdebat denganmu. Berikan saja hukuman yang lainnya." protesku seraya kembali memandangi hamparan danau.

"Baiklah. Baiklah. Kali ini aku akan berbaik hati padamu. Hukumannya aku ganti menjadi… ehm, kau harus membuatkanku bekal makan siang untuk besok. Sendiri! Tidak boleh dibantu orang lain, apalagi membeli."

Aku menelan ludah dengan susah payah. Perlahan aku menoleh ke arah Sasuke dengan ekspresi khawatir.

"Ng, a..apa kau yakin?"

Tiba-tiba saja pemuda menyebalkan ini tertawa hingga membungkuk-bungkukkan badannya.

"Tentu saja tidak, bodoh! Aku masih ingin hidup. Aku tak mau mati sia-sia hanya karna memakan masakanmu. Ekspresimu tadi benar-benar… Hahahahaha!"

Sial! Ternyata dia mengerjaiku. Secara tak langsung Sasuke sudah menyindirku yang tidak pandai memasak ini. Err.. pemuda ini memang sungguh amat sangat menyebalkan. Langsung saja aku menghujaninya dengan air danau.

"Hei! Berhenti menyiramiku! Hinata! Dengar tidak, huh? Hinata! Hei!"

Tak kuhiraukan suaranya yang memekakkan telinga itu. Kedua tanganku terus berusaha menyipratkan air danau ke arahnya. Aku pun tertawa puas. Itulah balasannya karna kau sudah berani mengejekku, Ouji!

"Hinata! Hei, Hinata!"

Aku langsung tersadar dari lamunanku ketika merasa ada seseorang yang menyikut lenganku. Ketika aku menoleh, ternyata Sakura sedang memandangiku dengan wajah cemas.

"Kau tak apa? Sedari tadi kau terus melamun memandangi hasi testmu. Tenanglah! Nilai 70 tidak akan membuat duniamu kiamat, Hinata."

Aku hanya tersenyum kecil menanggapinya lalu mengalihkan pandanganku keluar jendela. Kiamat? Tanpa mendapat nilai 70 pun, aku sudah bisa merasakannya. Semenjak hari itu, musim gugur favoritku terasa seperti neraka dunia. Mungkin dari luar aku terlihat biasa saja dengan putusnya hubunganku dengan Sasuke, tapi sesungguhnya di dalam aku merasa seperti tak memiliki jiwa. Semuanya sudah terasa berbeda. Tak seperti dulu lagi.

*TBC*

Mind to RnR, minna? ^o^