Summary :

Jatuh dari dunia dongeng membuat Hinata tersesat di bumi, lebih tepatnya di kota Tokyo. Sekalipun pernikahannya dengan Naruto di negeri sana harus ditunda, setidaknya ia bertemu Sasuke—pria yang terpaksa menolongnya.

.

.

Dunia dongeng—a fairytales.

Sebuah dunia yang menyimpan ribuan kisah romansa manis, penuh moral dan imajinatif. Tempat berkumpulnya mahkluk-mahkluk fana yang cuma ada di cerita-cerita khayalan. Jika perhatikan baik-baik, penduduknya beragam. Ada manusia, hewan, penyihir, peri, dan hal-hal ajaib lainnya. Maka dari itu, tak heran jika kau akan dengan Hinata, salah satu puteri yang telah tinggal di dunia dongeng selama 24 tahun lamanya.

Kini ia berada di rumah sederhananya yang berada di dekat hutan. Terbalut dengan gaun sutra berwarna biru pudar, wanita manis itu berdiri di depan kaca. Dia melihat penampilannya, dimulai dari ujung kepala sampai ujung kaki. Segala macam peri—yang adalah teman-temannya—ikut memperhatikannya. Bersama tatapan kagum, mereka memperhatikan kecantikan sang tuan puteri yang indah dan sempurna.

Senyuman Hinata mengembang. "Deidara, Ino, bagaimana dengan gaun ini?" Tanyanya sambil menoleh ke arah dua peri kesayangannya. Selain karena Deidara dan Ino adalah peri kembar, merekalah sahabat karib yang selalu menemani Hinata sejak ia kecil.

Dengan semangat Deidara mengangkat jempolnya tinggi-tinggi. "Perfect! Hari ini Puteri jadi lebih cantik dua kali lipat karena memakai dress itu! "

Ino yang masih duduk manis di atas cermin tersenyum geli. "Iya dong... dress itu kan buatanku, makanya Puteri Hinata semakin bersinar!" Tambahnya berbangga diri.

"Huh, dasar Ino sombong!"

Ino mendengus geli. Wajar lah dia berbangga diri. Toh, dari dulu kan Ino yang selalu mendesain tiap baju yang Hinata kenakan. Bahkan Ino sudah menyiapkan wedding dress istimewa untuk Puteri Hinata yang akan menikah sebentar lagi. Dengan senyum Ino segera memberi saran ke Hinata. "Ne, Puteri, dengan gaunmu yang sekarang, kamu lebih pantas jika dikuncir tinggi..."

"Baiklah..." Hinata mengangguk, lalu menyisiri helaian indigo panjangnya menggunakan jemari. "Tapi nanti saja jika aku sudah dijemput oleh pihak kerajaan..."

Ditaruhnya seluruh rambut panjangnya ke pundak kiri, lalu ia berjalan ke arah jendela. Sontak, peri-peri asing yang tadinya ada di sana sedikit berterbangan pergi, namun masih ada juga yang terdiam di tempat dan memilih untuk menyapa Hinata. Dibalasnya peri-peri lain dengan sebuah anggukan ramah, lalu Hinata menaruh kedua sikutnya ke bingkai jendela. Ia bertopang dagu. Mata amethyst-nya memandang lurus ke langit biru yang cerah dan memukau.

"Besok... pasti menjadi hari yang sangat bahagia." Perlahan, rona merah menjalar ke permukaan pipinya yang mulus. "Aku akan menikah dengan seorang pangeran..."

.

.

.

HAPPILY EVER AFTER

"Happily Ever After" punya zo

Naruto by Masashi Kishimoto

[Sasuke Uchiha x Hinata Hyuuga]

Fantasy, Drama, Romance

AU, OOC, Typos, etc.

(inspired from enchanted)

.

.

FIRST. Puteri Dongeng

.

.

Brakh!

Lemari besar terbuka lebar. Segeralah dua tangan berwarna tan memasukinya. Dia obrak-abrik semuanya yang tergantung, dan mengambil dua dari puluhan pakaian yang ada di dalam; dua formal suit. Satu yang berwarna hitam di tangan kanan, dan baju resmi ala pangeran berwarna merah di tangan kiri. Dia rebahkan kedua pakaian mahal itu ke ranjang king size-nya, dan barulah ia bandingkan dengan pandangan mata menyelidik.

Lama, bermenit-menit.

Tidak sabar atas kegalauannya dalam memilih satu, pria jabrik itu mencari bantuan. "Matsuri, kau yang menentukan. Aku lebih bagus pakai yang hitam atau yang merah?"

Gadis kecil yang merupakan penasihatnya segera menilai kedua pilihan yang tersedia, dan langsung menunjuk salah satunya. "Yang hitam, Pangeran Naruto."

Pria pirang yang bernama Naruto itu berdecak, lalu mengelus dagunya sendiri. Pose berpikir. "Aku lebih suka yang merah." Sergahnya langsung. "Siapkan ini untuk besok pagi!"

"Ba-Baik!" Cepat-cepat ia mengangguk, lalu mengambil pakaian sang pangeran yang tidak terpilih untuk dimasukannya kembali ke lemari.

Di saat itu Naruto sibuk tersenyum sendiri. Ia bayangkan seberapa tampannya dia jika memakai pakaian tersebut. Tapi mendadak pikirannya dipenuhi oleh hal-hal lain. "Hei, Matsuri! Bagaimana dengan Gereja yang kusewa? Sudah dihias?"

Wajah mungilnya yang sedikit panik itu menoleh. "I-Iya, tapi mungkin saja—"

Jari tangan Naruto terangkat tinggi. "Ck, ck, sudah kubilang aku tidak mau menerima alasan apapun yang dapat menunda pernikahan kami."

Matsuri menelan ludah, tidak jadi berbicara. Sebenarnya besok gereja itu memiliki rencana pernikahan lain. Namun karena Naruto adalah seorang pangeran, anggota kerajaan yang terhormat, tampaknya mau tidak mau pasangan yang diserobot Naruto itu harus mengalah dan mengundur acara sakral mereka. Kasihan sekali.

"Lalu bagaimana dengan makanan? Kue? Undangan?"

"Ah, kalau kue lagi tahap pembuatan..."

Mata Naruto berbinar. "Bagus. Aku ingin kueku bertingkat lima, krim seputih salju, rasa yang manis, dan penampilan yang unik. Yang penting semua orang harus dibuatnya terkesima!"

Matsuri mengangguk patuh. Ia sudah terbiasa menghadapi kecerewetan Naruto yang makin lama semakin menjadi. Sesudah menceritakan harapannya tentang kue, Naruto menghembuskan nafasnya panjang-panjang. Ia ambil pakaian formal merahnya dan mengganti pakaian di kamar mandi. Keluar-keluar pria yang memiliki tiga garis di masing-masing pipinya itu mengaca di cerminnya yang besar.

Tampan? Iya. Rapi? Iya. Kaya? Iya. Memiliki jabatan tinggi di dunia dongeng? Tentu saja, dia pangeran!

Naruto mendengus geli, lalu ia tersenyum menggoda. "Aku menyesal telah diberikan wajah tampan seperti ini..." Lalu ia lempar pandangannya ke sebuah lukisan berbingkai besar yang nyaris memenuhi seperempat tembok kamarnya. Foto Hinata yang sedang tersenyum di atas jendela rumahnya.

"Hinata! Tunggulah besok, dan kita akan menikah secepatnya!"

.

.

~zo : happily ever after~

.

.

Jauh dari Istana tentram seorang pangeran kerajaan dongeng berada, terdapatlah sebuah tempat menyeramkan yang menyerupai sebuah kastil. Kastil tersebut diisi oleh suara-suara yang tidak mengenakan. Tawa dan teriakan bercampur menjadi satu. Karena itulah tempat di mana para karakter penyihir dari dongeng berkumpul.

Karin salah satunya, wanita berambut merah yang kini berdecak kesal. Sepatu bertumit tinggi yang ia pakai membuat banyak suara ketukan yang menggema ketika ia mengitari ruangan megahnya. Rambutnya yang panjang bergoyang pelan, sedangkan tongkat sihirnya terus ia genggam erat tanpa makna.

"Aku tidak suka ini..." Dia sempatkan matanya untuk melirik sebuah cermin yang terpajang di tembok. Tapi sedetik kemudian ia langsung membuang muka. "Ck, aku sangat tidak suka ini..."

Sudah ratusan kali wanita itu menggerutu, bahkan membuat Gaara—pria yang sudah dari 30 menit yang lalu dipanggilnya ke ruangan ini—menjadi capek sendiri di posisi berdirinya. "Jangan bilang kau memerintahku ke sini hanya untuk mendengarkan ocehanmu."

Karin berdecih. Penghinaan apabila seorang bawahan menegurnya seperti tadi. "Diamlah! Aku adalah Ratu Penyihir!"

Karin menggeram pelan, dan akhirnya kedua matanya beralih lagi ke cerminnya. Cermin ajaib. Ia menarik nafas, lalu menghembuskannya terburu-buru. "Cermin ajaib... siapakah 'perempuan' tercantik di negeri dongeng ini?"

Perlahan, cermin yang awalnya polos tadi seakan berasap, lalu berputar pelan sehingga menampakan wajah seorang lelaki tua. "Tentu saja Puteri Hinata, yang mulia Ratu..."

Jawaban itu disertai oleh terpampangnya wajah manis Hinata di permukaan cermin. Gadis itu memang cantik, bahkan Gaara sempat terdiam beberapa detik karenanya. Karin memutar bola matanya. Ia pukul permukaan kaca tersebut sampai menyebabkan bunyi yang kencang. Lalu ia memberikan pandangan mengerikannya ke Gaara.

"Kau dengar tadi?" Geramnya.

Gaara pun menaikkan sudut bibirnya. "Aku mengerti. Kau hanya iri, kan?'

"DIAM, BRENGSEK! AKU TIDAK MENYURUHMU UNTUK MENGOMENTARINYA!"

Gaara mendengus, lalu melipat kedua tangan di dada. "Jadi aku harus apa, hah?"

"Kau... bunuh Hinata."

"Tidak mau."

Brakh!

Sebuah benda yang barusan Karin lempar ke Gaara, tapi pria itu berhasil menepisnya dengan tangan.

"Bunuh dia! Bunuh dia! KAU WAJIB BUNUH DIA!"

"Tsch..."

.

.

~zo : happily ever after~

.

.

Di tempat yang sangat jauh dari dunia tadi, terdapatlah sebuah pulau yang berdiri di atas laut jepang. Dan di salah satu daerahnya, ada sebuah kota dinamakan Tokyo.

Bila dibedakan secara kata-kata, kota ini sangat berbeda dengan dunia dongeng yang barusan diceritakan. Dimulai dari adat, kubudayaan, moral dan lainnya. Bukan hanya itu, di Tokyo terdapat banyak deretan gedung yang menjulang tinggi. Mobil yang melaju, dan segala macam peralatan canggih yang dijual di tiap toko. Tak ada hal-hal seperti itu di dunia dongeng.

Dan berhubung sekarang sudah memasuki siang hari, tepatnya pukul 14.00, itu menandakan sudah waktunya sekolah dasar swasta yang bernama St. Cattleya membubarkan para murid-muridnya. Sambil menunggu jemputan masing-masing, sebagian besar dari murid menyempatkan waktu luangnya untuk main dan bercengkrama. Tapi tampaknya masih ada juga yang lebih memilih untuk menyendiri di bangku taman depan sekolah. Duduk diam menunggu ayahnya datang.

Dia adalah Sai Uchiha. Anak kecil berusia 10 tahun yang terkenal pendiam.

Nyaris 15 menit berselang, sebuah mobil hitam melintas di depannya. Tanpa menunggu pemilik mobil itu membunyikan klakson, Sai memasuki mobil. Dia memilih bangku depan agar bisa duduk tepat di sebelah pria itu, ayahnya yang bernama Sasuke Uchiha. Setelah Sai menutup pintu, mobil kembali berjalankan.

Suasana yang terasa di sana hening. Hanya ada putaran radio bervolume kecil—itu pun siaran berita—yang terdengar di antara mereka berdua. Tak ada obrolan lain. Sekedar mengisi keheningan yang terasa, Sai berbicara. "Terima kasih sudah menjemputku."

"Hn." Sasuke mengangguk tanpa memalingkan pandangan dari depan. "Bagaimana rapotmu?"

Sai jadi teringat kejadian beberapa jam yang lalu, di mana kelasnya dipenuhi orangtua dari teman-teman sekelasnya. Satu per satu pasangan orangtua-murid itu diajak bicara oleh wali kelas. Biasalah, membicarakan perkembangan mereka sekaligus memberikan rapot. Tapi saat itu Sasuke tidak hadir. Ayahnya terlalu sibuk di kantor.

Bocah kelas 3 SD itu menggigit bibir. Jika saja ibunya 'masih' hidup, pasti ibunya lah yang akan datang dan menyertainya dengan senyuman. Tapi sekarang sudah tidak bisa lagi. Karena memang ibunya sudah meninggal tepat setahun yang lalu karena kecelakaan.

Bukan hanya Sai yang kesulitan tanpa kehadiran sang ibu, Sasuke juga sama. Pria beras oriental itu semakin sulit mengatur waktunya dengan keluarga—yang pada saat ini hanya Sai seorang—dan perkerjaan. Terutama dalam hal memberikan kasih sayang untuknya. Menjadi single parent di usia muda, serta sedang sibuk-sibuknya mengatur perusahaan adalah hal yang sulit, kan?

"Bagaimana dengan rapotmu?" Sasuke mengulang pertanyaannya.

Sai tersentak. Rupanya dia kelamaan melamun. "Lumayan. Kuharap Ayah akan senang." Anak kecil berambut hitam pekat itu melepaskan ransel, lalu membuka resletingnya untuk mengambil buku besar yang bertuliskan 'rapot' ke Sasuke.

"Taruh di bangku belakang saja, nanti kubaca."

"Iya..." Sai menaruhnya di bangku belakang sesuai perintah. Ia gabungkan map laporan nilainya ke tumpukan dokumen kerjaan Sasuke yang takkan pernah habis. Entahlah, mungkin sederet nilai A+ nya baru akan Sasuke lihat di bulan depan.

Dalam diam Sai menghela nafas. Seandainya ibunya masih hidup, dia pasti tak akan sekesepian ini...

.

.

~zo : happily ever after~

.

.

Kali ini Hinata mengenakan gaun model sabrina berwarna putih kebiruan. Ia ambil pula selendang tipis sebagai pelengkap untuk menutupi kedua bahunya yang terekspos. Kain-kain sutra itu lagi-lagi ditenun oleh Ino, peri berjenis rambut ponytail yang memang berbakat untuk urusan jahit menjahit. Lalu setelah mengucapkan pamit ke Deidara dan peri-peri lain, Hinata berjalan keluar rumah. Ditatapnya sebuah kereta kuda mewah yang sudah siap di depannya, dan ia pun tersenyum dan menaikinya. "Ayo, Ino... kita harus berangkat ke Istana."

Tentu saja karena besok adalah hari pernikahannya dengan Naruto, maka sore ini ia harus pergi ke Istana untuk bersiap-siap. Dan berhubung Deidara masih ada urusan di rumah sampai nanti malam, hanya Ino lah yang bisa mengawal Hinata dengan ikut menaiki kereta kuda.

"Bye, Deidara! Besok datangnya jangan telat, yaa!" Bersama kuda yang mulai melangkah maju, Ino melambaikan tangannya sambil menjulurkan lidah. Deidara sebenarnya kesal, cuman saat melihat Hinata yang tersenyum untuknya, peri mungil itu kembali riang.

"Hati-hati di jalan!"

"Sampai jumpa, Puteri Hinataa!" Seseorang peri lain berhidung pesek juga melambaikan tangan, disusul oleh peri serta hewan-hewan lain yang sudah menitikan airmata. "Semoga bahagia di sana, jangan lupakan kami!"

Hinata menoleh, membalas tatapan teman-teman yang menyempatkan diri mengucapkan salam perpisahan untuknya. Perlahan, matanya berkaca-kaca. Ia terharu. "Terima kasih, semua..."

Roda kereta kuda berputar, dan membawa Hinata serta Ino pergi menjauh dari rumahnya di tengah hutan. Saat di perjalanan, Hinata menghela nafas. Ia mencoba yakin, inilah ending bahagianya mendapatkan ending yang bahagia bersama seorang pangeran. Inilah kisah dongengnya di dunia ini.

Namun tanpa Hinata sadari, ada seorang pria berambut merah darah memperhatikannya dari kejauhan. Dia adalah penyihir bernama Gaara.

.

.

~zo : happily ever after~

.

.

Setelah sejam terlewat, Hinata yang masih duduk manis di dalam kereta kuda mewah sedang sibuk memandangi suasana di balik jendela. Hutan berpohon banyak mereka lewati satu per satu. Tak lama lagi ia harus meninggalkan hutan dan tinggal di kerjaaan. Pasti dia akan merindukan keindahan alam yang satu itu. Sedikit tak tega melihat luar, kemudian Hinata beralih Ino. Peri berambut pirang dan dikuncir tinggi itu sudah tertidur lelap di atas pahanya dengan nyaman. Hinata melepaskan selendang dan menjadikannya selimut untuk si peri.

JREG!

Guncangan dadakan diterima oleh kereta kuda. Hinata tersentak kaget, tapi untungnya Ino hanya sedikit bergumam dan kembali tertidur. Heran atas apa yang tadi sempat terjadi, Hinata menolehkan wajahnya ke jendela. Kali ini kereta kuda berhenti, tak lagi bergerak. Saat turun dari kereta pun ia sama sekali tidak melihat pak kusir yang tadi mengarahkan kuda. Hinata sedikit menjinjing rok gaunnya agar tidak kotor oleh alas jalan, lalu ia mengedarkan pandangannya ke sekitar.

Sepi. Tak ada siapa-siapa.

"Halo?" Panggilnya menggunakan suara yang disengajakan keras. "Pak Kusir, Anda di mana?"

Srek.

Suara goyangan semak membuatnya melihat ke arah kiri. Hinata mencoba menghampiri asal suara, namun saat langkah kesepuluh.

"Tahan posisimu."

Refleks, ia berputar ke belakang. Dan tepat di hadapannya sudah ada seorang pria berjubah hitam panjang. Pandangan dari iris jade-nya tajam. Rambut merahnya berantakan. Tak lupa, ada sebuah tongkat sihir yang teracung tepat mengarah wajahnya.

Hinata terdiam di tempat, sama sekali tidak bergerak. Lalu lavender Hinata tertuju padanya.

"K-Kamu... mau apa?"

Pria bermata jade itu menyeringai dan maju dua langkah. "Membunuhmu."

Bulu roma Hinata meremang. Apalagi saat ujung tongkat tersebut menekan permukaan kulit lehernya. Agak sakit, Hinata melangkah mundur, namun sadar-sadar di belakangnya sudah ada sebuah sumur bata abu. Dia tak bisa bergerak ke mana-mana lagi.

Bagi Gaara, riwayat Hinata sudah tamat sampai sini—sesuai permintaan ratu yang seenaknya itu. Tapi tidak bagi Hinata. Di satu sisi dia memang takut Gaara mengucapkan mantra sihirnya. Di dunia dongeng ini kan semua penyihir memang ditakuti karena bisa membunuh orang lewat kekuatannya. Namun ketika mata lavender Hinata melihat ada sebuah luka di tangan Gaara, perhatian Hinata seolah teralih.

"Tanganmu terluka..." Hinata berujar dengan wajah polos. "Apa itu tidak sakit?"

Gaara melirik ke arah tangannya. Dan benar saja, ada luka. Tapi rasanya itu karena luka saat ia menepis barang yang dilemparkan Karin kepadanya tadi. Gaara berdecak. "Sadar kondisimu yang sekarang. Aku akan membunuhmu."

Tangan Hinata bergerak naik, ingin menyentuh tangan Gaara. "Tapi—"

"Diam. Aku tidak minta kau menyentuh lukaku."

Hinata tidak lagi mengeluarkan suara. Ia menunduk dan tiba-tiba ia tersenyum. Dia menemukan sebuah daun penyembuh di sebelah kakinya berpijak. "Tunggu sebentar. Aku akan mengobatimu..." Segeralah ia menunduk untuk mengambil tanaman itu. Ia sama sekali tidak memedulikan ujung tongkat sihir pria itu yang sedikit menggores lehernya saat ia berjongkok tiba-tiba.

Gaara tentu terheran. Nyaris saja niat membunuhnya hilang kalau tidak ada gagak hitam yang mendadak berkoak di depannya—bertenger tenang di pinggiran sumur. "Koaaak!" Burung berparas menngerikan itu seolah berbicara pada Gaara. "Koakk! Koak! Bunuh dia!"

Gaara berdecak, pasti itu burung suruhan Karin. Dengan kasar ia mengusir burung itu tepat di saat Hinata sudah berdiri.

"Sini, mana lukamu?" Hinata menarik tangan Gaara dan mengoleskan getah daun penyembuhnya. Luka gores Gaara lambat laun menghilang dengan rapi. Gaara menghela nafas. Tapi gagak itu benar. Mau sebaik apapun Hinata, ia harus tetap membunuhnya. "Nah, sudah baikan, kan? Bagaimana tanganmu? Masih sakit?"

Gaara mengalihkan pandangannya ke wajah gadis itu. Tiba-tiba keraguannya kembali muncul. Dengan kekesalan yang agak kentara, Gaara menghela nafas. "Lukaku sudah sembuh. Terima kasih." Lalu Gaara menyentuh pundak Hinata. "Karena itu, inilah imbalannya."

"Eh—?"

Hinata terbelalak. Mendadak tubuhnya di dorong keras ke belakang. Pinggangnya menabrak sumur dan tau-tau ia sudah terjatuh ke dalam sumur tak berujung itu. Bukannya mendengar suara ceburan air atau apa, cahaya putih menyilaukan malah terlihat di mulut sumur. Gaara menatap sumur ajaib itu dengan tatapan datar.

"Dia terlalu baik untuk dibunuh."

Gaara memang tidak membunuh Hinata, karena pria itu hanya membuang Hinata ke dalam Sumur Dunia. Yang artinya Hinata akan diasingkan dari dunia dongeng ke sebuah dunia yang berbeda... di bumi.

.

.

~zo : happily ever after~

.

.

Kelopak lentik Hinata berkedip-kedip saat ia tersadar dari pingsannya. Sambil membuka mata, ia menyentuh wajah. Kulitnya berkeringat. Apa karena sekarang dia lagi berada di ruangan yang sempit dan pengap ini? Hinata bahkan kesulitan bernafas dengan bebas. Sampai akhirnya ia mengadahkan wajah dan menemukan sebuah pintu yang sedikit bercahaya.

Eh, tunggu... pintu?

Ya, itu pintu.

Susah payah Hinata berdiri, lalu berlari menuju pintu itu dan mendorongnya kuat-kuat.

Krieet.

Dan ternyata saat pintu itu di buka, terlihatlah sebuah jalan yang sangat luas membentang. Dia tak lagi sendirian seperti beberapa saat yang lalu, karena di sini banyak sekali orang-orang yang berwajah datar berjalan beriringan menelusuri trotoar, entah ke mana.

Dengan wajah bingung, Hinata menolehkan wajahnya ke kanan dan ke kiri. Berniat mengindentifikasikan tempat tersebut. Di sini ada ratusan manusia yang berlalulalang, mobil yang melintas, serta lampu warna-warni yang menerangi pemandangan malam di sini. Semua hal itu membuatnya pusing, dan takut.

Hinata yang masih di depan pintu itu tak tau harus ke mana. Dia terduduk lemas di aspal. Dia tak bisa berkata-kata. Hawa di sini lain, berbeda dari dunia dongeng tempat ia dilahirkan. Ini dunia asing. Bukan dunia dongeng.

Karena takut, mata Hinata berkaca-kaca, lalu ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

"A-Aku... aku di m-mana?" Hinata terisak. Tangisannya pun keluar tanpa bisa tertahan lagi. "Naruto... to-tolong aku..."

.

.

~zo : happily ever after~

.

.

"Terima kasih mainan robotnya... aku suka." Sai tersenyum senang.

"Hn, sama-sama."

Hari pembagian rapor adalah hari spesial bagi Sai.

Karena tiap di hari itu, tandanya Sasuke juga akan meluangkan waktu bersamanya. Di semester ini Sasuke memberikannya dua hadiah; satu mainan robot antariksa kesukaannya, dan makan malam bersama di sebuah tempat. Tapi masalahnya satu. Sasuke tak mematikan ponsel kerjanya. Karena itu saat Sai baru membuka kotak mainannya, rekan kerja Sasuke menelfon. Pria itu pada akhirnya harus keluar restoran sebentar untuk berbicara dengannya.

Sai menaruh mainannya di meja dan memandangi ayahnya yang menghilang di balik pintu restoran. Senyuman yang sempat terpatri hilang. Seperti biasa, pada akhirnya cuma dia yang akan memakan santapan malam ini sendirian. Dan benar, kan? Sekembalinya Sasuke ke meja, pria itu mengucapkan maaf dan akhirnya mereka pulang.

Dalam hati Sai bertanya-tanya. Di mana momen keluarga dari ini semua?

Sesampainya di dalam mobil, lagi-lagi Sasuke ditelfon orang. Volume radio dimatikan dan Sasuke menelfon sambil menyetir. Bosan, Sai melirik ke luar jendela. Malam ini hujan mulai mengguyur kota Tokyo. Tetes-tetes air menjatuhi atap mobil yang sedang dikemudikan oleh Sasuke. Lama-kelamaan hujan semakin deras, dan hal itu malah membuat Sai semakin mengantuk.

Sai memejamkan matanya sebentar. Lalu kembali membuka mata saat mobil berhenti. Di perempatan ini ada lampu merah. mereka perlu menunggu 120 detik untuk kembali berjalan. Pertamanya, Sai cuma membenarkan posisi duduknya. Kedua, ia kecilkan AC mobil yang ada di depan. Dan yang ketiga, ketika ia kembali menyampingkan wajah, ia sedikit dibuat terkejut dengan sosok yang ia lihat.

Di tepi jalan yang sepi karena hujan deras, Sai melihat seseorang wanita muda yang sedang memeluk diri sendiri. Dia sepertinya kedinginan. Bahkan rambut indigo panjangnya yang dikuncir itu sudah acak-acakan. Lalu gaun indahnya yang lumayan mencolok itu tampak kebasahan, sehingga wanita yang sedang berteduh di bawah sebuah toko kosong tersebut membuatnya penasaran.

"Ayah, itu siapa...?" Bertepatan dengan Sasuke yang menutup sambungan ponsel, Sai bertanya.

.

.

TO BE CONTINUED

.

.

Author's Note :

Wah, aku buat fict baru lagi. Salahin otakku aja ya? :)

Oh, ya, ada yang tau sama film Enchated? Fict ini sangat terinspirasi dari film itu. Tapi, aku bakal ngerubah beberapa part-nya supaya ngga terlalu sama. Kalo masih banyak yang bingung sama fict ini harap maklum, ya? aku juga bingung gemana cara ngejelasinnya secara detail sih. Pokoknya, Hinata, Naruto, Gaara itu hidup di dunia dongeng. Sasuke dan anaknya, Sai, tinggal di Tokyo (yep, Sasuke adalah duren—duda keren). Terus, Gaara ngedorong Hinata ke sumur yang ngebuat Hinata jatuh dan terasingkan ke Tokyo. Begitulah singkatnya. Kalo masih ngga ngerti... berarti aku emang payah dalam ngejelasin ini :D

.

.

Next Chap :

"Kalau Ayah tidak mau menolongnya, maka aku yang akan ke sana!"

"Tidak! Aku tidak berbohong! Kau harus percaya padaku!"

"DI MANA CALON ISTRIKU? DI MANA DIAAAAAA?"

"Dia sedikit demam, mungkin ini gara-gara dia memakai baju yang lembab. Bajunya harus diganti."

.

.

Review kalian adalah semangatku :')

Mind to Review?

.

.

THANKYOU