Yang tersayang, engkau.

Kami telah mengalami hari yang melelahkan juga telah menumpahkan apa yang telah tumpah. Kini sauh telah terangkat dan kami akan menujumu.

.

.

.

[Intermezzo: Suratmu Mati, Kartini]
axis powers hetalia (c) Hidekaz Himaruya

Semilir angin menerpa ujung demi ujung kapal sederhana gubahan sang pelayar itu dengan sepi. Lambang pertanda kapal dimiliki oleh Inggris atau Perancis telah dimusnahkan, alih-alih hanya kapal yang berisi imigran-imigran tak berguna yang siap mati. Diremasnya angan itu jauh menuju bongkah biru besar bernama laut. Sungguh, sekali-kali tidak segala perbuatan yang mereka lakukan baru saja hari kemarin yang menjelang dan bukanlah suatu yang telah hempas kelana jauh dari ingatan.

Kini, di samping Lieria Fernandez Carriedo, wanita berkulit cokelat nyaris lewat matang dengan insting baharinya yang tak pernah luput, hanya ada Kartini, Daniel Hedervary, dan Gupta—memang tiada yang ia rasa selain dirinya mengerti romansa lautan sedalam dirinya.

Lagi, mereka ada di tengah laut bukan untuk bersenang-senang atau mencari fana dunia yang belum pernah terkecap mata seperti mimpi Marco Polo.

"Jadi kita tidak ke Kanada, melainkan ke Heaven's Marketplace—Inggris?" tanya Daniel, di tengah kesibukannya menarik tali layar. "Mencari lawan, bukan untuk mencari kawan?"

Leiria menaikkan kedua bahunya, "Aku hanya menuruti ide Kartini dan Gupta." sebelah tangannya menarik teropong usang yang Tiina Vainamoinen berikan sebagai ucapan selamat tinggal mereka. "Lebih seru langsung menantang, kurasa."

.

.

.

Setelah kuhitung, sudah berapa hari berlalu, ataukah tahun yang menyapu? Kejadian pembinasaan—ahtidak—pengesahan atas The Realm of Indonesia Raya memang tidak bisa kupungkiri lagi. Kini, segalanya adalah sesuatu yang bermula, wahai engkau; kaulah sang pemahat batu, lagi aku hanya wanita dengan hias pena dan tanpa laku.

Beratus lembar suratku hendak kauapakan di sana, aku menyangka?

Apakah tulisanmu padaku bukan suatu bentuk diplomasi basi?

.

.

.

"Kau mengirim surat lagi, Kartini?"

Gupta, dengan kata-katanya yang berbatas, berurai tanya ke wanita muda yang hendak melepas merpati pos di haluan kapal. Wanita itu tak kunjung menjawab dengan anggukan sebelum merpati itu ia suruh terbang melawan angin laut yang keras.

"Untuk siapa?"

Kali itu, Kartini-lah yang dirasa Gupta miskin kata-kata.

"Untuk Engkau."

.

.

.

Sekarang, biarku paparkan misiku. Kapan kita akan bertemu lagi, di mana kini nahkoda akan berbalik takhta menjadi awak, wahai engkau?

Aku akan menunggumu, ketika dunia telah berbalik memusuhiku, di wilayah kumuh kerajaan itu.

Kartini.

.

.

.

Daniel menghela napas sejenak, "Bukannya kau benci mereka; maksudku, Arthur Kirkland dan Nickolas?"

Mendengar itu, sang komandan kapal menjeda senyumnya selama beberapa detik, "Aku hanya menuruti ide Kartini dan Gupta."

[PART 1 – TAMAT]

x x x

a/n: cerita ini masuk hiatus cukup lama karena laptop saya rusak saat itu, tak habis pikir cerita ini menjadi sesuatu yang kontroversial, dan sesuatu yang aneh pula untuk dibaca.

Cerita ini akan saya sudahi untuk kali ini; dan mungkin bila banyak penasaran muncul, saya akan mencoba kembali melanjutkan ini dalam paragraf yang baru.

Kuroi-Oneesan, 2014.