Rain
By: Azumaya Miyuki
A Hunter x Hunter Fan Fiction.
Hunter x Hunter © Togashi Yoshihiro.
Chapter 1: Our Start
Markas Gen'ei Ryodan nampak termaram di kegelapan malam. Bagai tak berpenghuni, setiap sudut markas yang terlihat seperti puing-puing reruntuhan itu hening tanpa suara. Tak ada anggota laba-laba yang tersisa, semuanya sudah pergi dan mengerjakan urusan masing-masing, kecuali sang pemimpin Ryodan, yang masih tetap tinggal dan mempertahankan dirinya di markas tersebut.
Kuroro Lucifer menatap buku di tangannya, menelusuri setiap kata, baris, maupun paragraf. Kini ia sendirian, seluruh anak buahnya telah pergi meninggalkannya. Bukan karena mereka berkhianat atau apa. Semua itu justru merupakan perwujudan kesetiaan mereka terhadap sang Dancho, yang jantungnya telah terbelenggu oleh Judgement Chain milik si pengguna rantai, dan membuatnya tak dapat berkomunikasi dengan anggota Ryodan yang lain. Karena itu mereka pergi, sebab mustahil tinggal bersama dengan pemimpin mereka tanpa ada komunikasi. Mereka juga manusia yang perlu bertukar pikiran. Bahkan Nobunaga, samurai yang keras kepala itu, tak urung melangkahkan kakinya pergi, meninggalkan Kuroro dan markas itu untuk selamanya. Setidaknya sampai 'kutukan' yang mengikat Kuroro berakhir.
Lelaki berambut hitam itu mendesah perlahan, desahan penuh lelah yang amat sangat. Terkadang ia merasakan kesepian di hatinya, layaknya orang lain. Meskipun Kuroro sudah terlatih sebagai pembunuh profesional, tetap saja ia merasa sedikit sedih karena tak bisa bersama lagi dengan anggota Ryodan yang lain. Namun, ia menyembunyikan semua itu dibalik wajah tampannya yang seperti tanpa dosa, yang selalu memancarkan aura sedingin salju.
Kuroro menengadah. Langit kelabu terbentang di atas cakrawala. Gemintang menebar cahaya ke segala penjuru. Rembulan merah tertutup awan legam. Sungguh langit yang indah, namun sayang harus dilewatkannya seorang diri.
Kantuk mulai menyerang lelaki berusia 26 tahun itu. Ia menegakkan badan, menutup mata, dan mencoba untuk tidur dalam posisi duduk bersandar. Namun tiba-tiba seulas senyum tersungging di bibirnya, tatkala ia mendengar suara gemerisik di belakang sana.
"Keluarlah," ucap Kuroro tenang, seperti biasa. "Aku tahu kau ada di situ."
Merasa hawa keberadaannya telah diketahui oleh Kuroro, seorang lelaki muda berambut pirang keluar dari tempat persembunyiannya. Matanya yang berwarna merah menyala seperti kobaran api berkilau di kegelapan.
"Ada urusan apa?" tanya Kuroro, sambil menahan diri untuk tidak terlena akan keindahan mata merah milik lelaki itu dan mencungkilnya.
"Kau pasti tahu," tegas lelaki belia yang bernama Kurapika itu. Rantai di tangan kanannya tergenggam erat.
"Tidak, aku tidak mengerti," sergah Kuroro. "Tapi kalau kau hanya ingin mengganggu tidurku, sebaiknya kau pergi. Ini sudah terlalu larut."
Kurapika tampak kesal. Matanya meneliti setiap sudut markas Ryodan dengan gerakan cepat. Kuroro memandangi lelaki muda di hadapannya itu seraya mencari kata-kata yang tepat untuk mengusirnya. Secara halus, tentu saja. Entah kenapa ia begitu keberatan jika ada yang mengusiknya malam ini.
"Apa yang kau inginkan?" Kuroro bertanya dengan nada dingin, membuat Kurapika menghentikan gerakan matanya dan menoleh pada Kuroro.
"Bola mata suku Kuruta, jika kau masih ingat," kata Kurapika, dengan nada suara yang terdengar seperti di antara ejekan atau kemarahan, "aku ingin mengambilnya kembali, tentu saja jika masih ada yang tersisa di sini."
"Mengambilnya?" ulang Kuroro sembari memutar mata gelapnya. "Ah, itu persoalan rumit. Aku tidak tahu di mana semua bola mata itu sekarang. Bahkan aku tidak peduli."
Kurapika spontan menyentakkan kerah mantel Kuroro dengan emosi. "Jangan main-main!"
Kuroro menatap Kurapika tajam, sangat tajam hingga Kurapika akhirnya menarik tangannya dari pemuda itu dan menjauh. Tatapan Kuroro bagai menembus dirinya, terlalu mengerikan untuk dilawan. Kurapika memalingkan wajah, menghindari pandangan mata Kuroro.
"Aku betul-betul tidak tahu," ucap Kuroro serius. "Dan kalau pun aku tahu, belum tentu aku mau memberitahumu."
Kurapika tertawa kesal. "Aku baru ingat kalau kalian selalu memperhitungkan untung-rugi dalam bertindak, dan itu membuatku muak."
"Tentu saja. Begitulah cara kami hidup," sahut Kuroro santai, seolah-olah itu merupakan hal yang sangat wajar. Cukup wajar memang, bila kau dibesarkan di lingkungan barbar seperti Ryuuseigai.
"Ya, terserah," Kurapika mendesah, seolah ia lebih baik menggorok lehernya sendiri daripada membuang-buang waktu untuk membangun percakapan dengan pemimpin Gen'ei Ryodan itu. "Lebih baik aku pergi."
Kuroro menanggapi hanya dengan mengedikkan bahu, sedikit terkejut dengan perubahan sikap Kurapika yang tiba-tiba, hingga sebuah ide nakal terlintas di pikirannya. Pemuda itu bangkit dan berjalan perlahan.
"Tunggu," ucapnya. "Mungkin aku bisa membantu."
Kurapika menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Kuroro dengan hati-hati. Ia bingung harus bersikap senang atas kesediaan Kuroro atau justru merasa dirinya tolol karena mempercayai kata-kata dari pemimpin Ryodan itu. "Oh, benarkah?" Kurapika bertanya dengan mata penuh cemooh, seolah-olah ia sedang berbicara dengan orang paling menjijikkan sedunia. Setidaknya menurut Kurapika itulah sikap yang pantas untuk ditunjukkannya. "Pasti ada yang kau inginkan dariku sehingga kau menawarkan bantuan."
"Terserah bagaimana kau menilai," ujar Kuroro singkat.
"Yang benar saja. Mustahil kau mau membantuku tanpa imbalan."
"Memang ada," Kuroro menyela. "Kau sendiri sudah paham bagaimana cara kerja kami, selalu mengandalkan untung dan rugi. Tentu saja aku mengharapkan sesuatu atas kemauanku untuk membantumu. Setidaknya kau bisa sedikit menghargainya."
"Yah… bisa kuduga permintaanmu akan tak masuk akal," ucap Kurapika. "Lagipula, kita ini MUSUH, Kuroro Lucifer."
"Baiklah. Kita musuh. Lalu?" Kuroro menatap Kurapika dengan tajam.
Kurapika mendengus. Kalau saja aku tidak membutuhkan dia untuk mengetahui letak bola mata suku Kuruta, pasti sudah kupenggal lehernya sejak tadi, katanya dalam hati.
"Apakah menurutmu, dengan status 'musuh' itu, kita tak bisa bekerja sama?"
Keluhan panjang keluar dari mulut Kurapika. Ia benci harus terjebak dalam situasi tak menyenangkan seperti ini. Di samping itu, juga tak menguntungkan bagi dia yang merupakan satu-satunya survivor dari suku Kuruta. Tak ada jaminan semua mata akan terkumpul walaupun atas dasar bantuan Kuroro. It's all about gambling. Lagipula, bekerja sama dengan pemuda dingin itu akan membuka peluang bagi Kuroro untuk menyelidiki kelemahan Kurapika dan memanfaatkannya untuk berbuat onar. Kurapika bergidik tatkala membayangkan semua itu terjadi.
"Kau tampak ragu," tutur Kuroro pelan, menelisik Kurapika dengan tampangnya yang mampu membuat lelaki berdarah Kuruta itu terpaku. "Tenang saja. Aku hanya ingin kau melepaskan rantai yang membelit jantungku ini bila semua bola mata sukumu terkumpul."
Kurapika mengangkat sebelah alisnya, tampak menimbang-nimbang. Pencabutan Judgement Chain belum pernah dilakukan terhadap jantung siapapun sebelumnya, dan Kurapika khawatir hal itu akan berdampak buruk terhadap keselamatan dirinya sendiri. Ia tak mau ambil pusing dengan kondisi Kuroro Lucifer apabila rantai itu dicabut dari jantungnya. Semakin cepat sang Dancho itu mati, semakin baik, begitu pikir Kurapika.
"Bagaimana? Kau setuju?"
"Akan kupikirkan."
"Aku butuh jawaban sekarang," desak Kuroro.
"Sudah kubilang akan kupikirkan! Lagipula belum tentu semua bola mata sukuku akan terkumpul dengan adanya kau," Kurapika setengah berteriak.
Kuroro tersenyum simpul ketika melihat ekspresi Kurapika. Lelaki berwajah 'cantik' itu selalu memancarkan hawa negatif terhadapnya, dan entah kenapa itu selalu membuat Kuroro ingin tertawa. Menyadari berbincang dengan Kurapika mulai membuatnya senang, Kuroro kembali duduk, kali ini tubuhnya lebih santai dibandingkan tadi.
"Duduklah," gumam Kuroro, lebih terdengar seperti perintah daripada kata-kata ajakan.
"Tidak, terima kasih," tolak Kurapika sopan. Dia memang merasa lebih nyaman berdiri, agar gerakannya bisa lebih leluasa jika Kuroro tiba-tiba melakukan tindakan berbahaya seperti mengajaknya bertarung. Bila itu terjadi, ia akan senang sekali jika bisa melayangkan satu pukulan ke wajah pemimpin Ryodan itu.
"Lalu," Kuroro berkata dengan suara datar, "ada berapa banyak mata yang harus kita kumpulkan?"
"Sejumlah dengan berapa yang sudah kalian ambil dari suku Kuruta," tegas Kurapika. "Tidak kurang dari itu."
"Itu akan banyak sekali. Aku tidak ingat berapa mata yang Ryodan bawa saat itu."
"Semuanya, Kuroro Lucifer. Semua bola mata dari seluruh garis keturunan sukuku yang hidup pada hari pembantaian itu," seru Kurapika geram. "Kecuali sepasang mata milikku. Hanya itu yang masih tersisa."
"Baiklah. Kau selamat dari peristiwa itu dan masih menginginkan balas dendam. Aku bisa mengerti."
"Jangan pura-pura bodoh," Kurapika mencibir.
"Tidak. Hanya saja saat di York Shin aku tak punya banyak waktu untuk bertanya. Terlebih tiba-tiba ada seorang gadis yang menyergapku dalam kegelapan dan memukuliku tanpa henti di dalam mobil," Kuroro berkata panjang lebar.
"Jaga mulutmu. Sudah kuberitahu kau kalau aku laki-laki, dan jangan bilang kau lupa dengan apa yang kukatakan waktu itu."
"'Jangan pernah menilai orang dari luarnya'," Kuroro mengulangi kata-kata Kurapika saat si pengguna rantai itu menangkapnya, dan itu membuat Kurapika kesulitan untuk menahan tangannya agar tidak menghadiahkan tinju ke arah Kuroro.
Pikiran Kurapika melayang di saat pertama kali ia dan teman-temannya melakukan pergerakan paling berbahaya: mencoba menghabisi Ryodan. Rencana itu berakhir dengan kegagalan, dan nyaris membuat Kurapika frustasi hingga jatuh pingsan karena terserang demam. Tapi tak sepenuhnya gagal juga, dengan berhasilnya Kurapika membunuh Pakunoda dan menancapkan Judgement Chain di jantung Kuroro Lucifer, sang pemimpin dari perkumpulan yang paling ditakuti itu – dengan kata lain, otak dari segala kejahatan yang dilakukan Ryodan. Ia jugalah orang yang memutuskan untuk membunuh seluruh anggota suku Kuruta karena tergiur dengan keindahan mata merah yang mereka miliki. Sayangnya, mereka tak membunuh semuanya. Satu orang tertinggal, seorang anak laki-laki yang kala itu masih berusia 12 tahun. Entah apa motif Kuroro sehingga membiarkan Kurapika tetap hidup. Mungkin tidak disengaja, tapi mungkin pula memang sengaja dilakukan oleh pria berambut hitam lurus itu. Bahkan Kurapika sendiri tidak mengetahui kenapa dia menjadi satu-satunya yang selamat saat peristiwa itu berlangsung. Karena ia bersembunyi? Atau karena itu memang takdirnya? Tak ada yang tahu.
Dan satu hal yang tak bisa dilupakan Kurapika adalah pengalamannya berpakaian seperti seorang wanita waktu penyergapan itu, dan itu malah membuat Kuroro (dan mungkin anggota Ryodan yang lainnya) salah kaprah. Mereka menyangka Kurapika memang betul-betul perempuan. Dalam hati Kurapika juga mengutuki dirinya sendiri, kenapa waktu itu dia tidak menyamar sebagai laki-laki saja.
"Tunggu dulu," Kurapika tiba-tiba tersentak. "Ke mana anggota laba-laba yang lain? Kenapa seolah-olah kau hanya seorang diri di sini?"
Kuroro mendecak. Lama sekali baru ia sadar, ucapnya dalam hati.
"Kurasa kau masih ingat dengan sejumlah peraturan yang kau tetapkan untuk rantai yang membelit jantungku ini," ucap Kuroro dengan nada tanpa harapan, seolah Kurapika adalah orang paling tidak berpendidikan sedunia. "Baiklah, mungkin kau lupa jadi aku akan mengingatkanmu. Rantai ini, yang secara tak langsung dikendalikan olehmu, telah melarangku untuk menggunakan Nen dan tidak memperbolahkanku berbicara dengan anggota Gen'ei Ryodan yang lain. Sisanya bisa kau lanjutkan sendiri."
"Aku bisa menarik kesimpulan bahwa mereka pada akhirnya meninggalkanmu, membiarkanmu hidup sendirian di markas ini."
"Tepat," tandas Kuroro.
"Bisa juga kusimpulkan bahwa Ryodan telah mengalami perpecahan dengan melakukan pengkhianatan terhadap pemimpin mereka," gumam Kurapika senang, walau ia sama sekali tak mengerti kenapa ia mengatakan demikian. "Terdengar indah di telingaku."
"Begitukah?" Kuroro tertawa kecil. "Jangan salah. Sekalipun kehilangan kepala, ataupun seluruh anggota tubuh, Ryodan akan tetap bertahan. Aku jamin itu."
Sial, gumam Kurapika dalam hati. Sebenarnya, dia sendiri pun sudah bisa memprediksikan apa jawaban Kuroro. Kurapika paham betapa kuat dan ganasnya Ryodan, karena itulah tak mudah untuk membasmi mereka. Membunuh dua orang saja sudah membuatnya kewalahan. Apalagi semuanya. Awalnya, Kurapika mengira dengan membunuh Kuroro maka segalanya lebih gampang. Ternyata perkiraannya meleset. Meskipun berkelompok, Ryodan ternyata masih bisa bertahan dalam segala situasi berdasarkan kekuatan mereka masing-masing. Tak bisa dipungkiri kalau tipe pergerakan Ryodan sebenarnya mirip dengan Kurapika. Sendiri-sendiri. Individualistis.
"Jadi…" Kurapika tampak seperti mengulur waktu. "Kau betul-betul sendirian di sini?"
Kuroro mau tak mau menepuk kepalanya. "Sepertinya aku sudah panjang lebar menerangkan segalanya kepadamu hanya untuk menunggumu mengajukan pertanyaan yang sama."
Meskipun begitu, entah kenapa, walau hanya ada mereka berdua di markas ini, tanpa kehadiran anggota Ryodan yang lain, suasana malah lebih mencekam bagi Kurapika. Apa karena Kuroro jadi bisa bertindak sesuka hatinya tanpa bayang-bayang Ryodan? Kurapika pun tak paham.
"Boleh aku menanyakan satu hal?" tanya Kuroro tiba-tiba, membuat Kurapika tersentak dari lamunannya.
"Silakan, jika pertanyaan itu masuk akal."
"Kenapa kau mencariku dan menanyakan letak bola mata merah? Bukankah kau memiliki kekuatan untuk mencari lokasi-lokasi tertentu, dari salah satu rantai yang ada di tanganmu itu?"
"Mencari letak bola mata suku Kuruta itu diluar kemampuan Dousing Chain milikku. Karena itu aku terpaksa menemuimu, sebagai dalang dari segala mimpi buruk yang telah menimpaku ini. Apa kau sudah cukup puas sekarang?"
Kuroro tersenyum. Si 'cantik' ini benar-benar sosok yang menarik, pikirnya.
"Lantas menurutmu, apa yang kau lakukan ini sudah benar?" tanya Kuroro lagi.
Kening Kurapika berkerut. "Apa maksudmu?"
"Tidak. Hanya saja sepertinya kau membuat kesalahan dengan meminta bantuanku."
"Ya, mungkin begitu," ucap Kurapika. "Bekerja sama dengan orang yang sudah memperlakukan orang tuaku dengan sadis adalah hal paling bodoh yang pernah kulakukan seumur hidup. Asal kau tahu saja, aku SANGAT TERPAKSA melakukan ini. Semua hanya demi janjiku kepada saudara-saudaraku untuk mengembalikan bola mata mereka sebagaimana seharusnya. Dan juga untuk membalas dendam, tentu saja."
"Oh, baiklah. Aku tak punya hak untuk menghalangi karena itu memang kemauanmu. Lagipula, aku juga akan mendapatkan keuntungan dengan terkumpulnya semua bola mata itu."
"Dasar licik," Kurapika mendesis.
Kuroro bangkit dari duduknya, berjalan pelan ke arah Kurapika, dan membisikkan sesuatu tepat di telinganya, "Seekor kupu-kupu baru saja membiarkan dirinya terperangkap dalam sarang laba-laba. Dan, coba tebak, kupu-kupu itu KAU."
~to~be~continued~
~Note:
Okay, let's be honest. This is my first time 'serious FFn project' ever!
Wow~ hold on, there is a little technical error. I can speak (or write? Yeah, whatever…) something in English! Oh no! Maybe this is the effect from the last earthquake? *slapped*
Oke, oke… cukup bercandanya. Maafkan saya karena sudah menulis hal gaje dan sok berbahasa Inggris (yang sudah pasti banyak grammatical error-nya itu). Saya hanya ingin membuka author's note kali ini dengan hal yang berbeda, karena fanfic ini juga berbeda dengan fanfic-fanfic yang pernah saya buat sebelumnya. Kenapa?
Pertama, ini adalah fanfic pertama saya yang saya buat dengan begitu SERIUS, dan saya juga bertekad tidak akan memasukkan unsur humor yang berlebihan dalam fic kali ini.
Kedua, fanfic ini saya buat sebagai bentuk perwujudan rasa galau saya terhadap seseorang (yang tak perlu saya sebutkan namanya, but yeah, that person is the only one who can makes me feel galau!).
Ketiga, fanfic ini terinspirasi dari banyak fanfic HxH lain yang belakangan ini saya ikuti dan juga lagu. 'Rain', yang merupakan judul dari fanfic ini, merupakan lagu yang dibawakan oleh SID, sebuah band yang mengusung konsep visual-kei. Entah kenapa, tiap dengar lagu ini, pikiran saya selalu terbang ke KuroPika. Hohoho… *ditabok*
Keempat, karena fic ini digarap dengan (semoga saja) seserius mungkin, saya nggak janji bisa update cepat. Karena itu mohon kesabaran dan dukungannya ya, minna-san!
Kelima, karena author's note ini sudah melebihi antrian BLT, saya sudahi dulu ya. Sampai jumpa di next chapter! Sayonara!
-Azumaya Miyuki-