Kau merapatkan tubuh ke dinding—dekat pintu dapur, kemudian sedikit mencari celah untuk melihat kegiatan wanitamu. Mengintip, tepatnya. What the

Mengintip? Lupakan!

Masih seperti lima menit tadi, dia belum selesai mencuci piring. Baiklah…. Harus kaumulai dari mana obrolan ini? Tidak mungkin kau menunggu dia yang memulainya, bukan? Karena keinginan itu—keinginan untuk berbicara 'sesuatu' itu—murni berasal darimu.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

OOC, Typo(s), Semi-Canon, Second POV, etc.

A Collaboration Fiction by. Voila Sophie and Air Mata Bebek

~oOo~

Perlahan namun pasti, kau berjalan. Sangat pelan. Seperti caramu dulu untuk mengintai musuh. Sadarkah kau? Dia istrimu, bukan musuhmu. Tidak ada yang tahu siapa yang membuatmu bertingkah aneh seperti ini. Bahkan dirimu sendiri.

"Err…, Sakura?" gumammu lirih ketika jarakmu hanya beberapa langkah darinya. Setelahnya, kau tampak menepuk bibirmu pelan sebelum Sakura berbalik. Menyesal karena bukan suara tegasmulah yang terdengar, melainkan ada nada keraguan di dalamnya.

"Ya?" Istrimu menyahut. Bola mata seteduh dedaunannya memandangmu ceria, seperti biasa.

"A-aku…." Kembali, kau berkata gugup. Matamu yang biasanya selalu menantang sang lawan bicara itu kini tidak berani membalas tatapan istrimu. Bukan karena kau takut padanya, hanya saja … kau tidak mau dia tahu akan suatu hal. Tidak secepat ini, ataupun selambat nanti. Cepat atau lambat, kau tetap tidak mau dia mengetahuinya. Tapi dia harus.

Argh! Membingungkan!

"Kau kenapa, Sasuke-kun?" Dia menuntut jawaban. Tidak sabar akan kalimat yang harus kaulontarkan.

Sekarang kau terdiam seraya menatap emerald-nya, semakin bingung dan kikuk dengan kondisi yang belum pernah kauhadapi ini. 'Bagaimana cara menyampaikannya, ya?' Dengan sadar, batinmu bergumam. Mempertanyakan apa yang harus kaulakukan. Beruntung, kau sama sekali tidak menyuarakannya karena hal itu hanya akan membuat derajat yang kaujaga akan runtuh seketika. Kau tidak mau itu terjadi, bukan?

"Kau sakit?" Suaranya terdengar lagi, lalu tangan halus yang dimilikinya menyentuh dahimu. Kau sedikit tersentak, tentu saja. Namun, suara dan sentuhan halusnya di salah satu anggota tubuhmu segera menenangkanmu. Dan kau pun memejamkan mata, menikmatinya. "Wajahmu—err—terlihat aneh," sambungnya.

Kali ini kau benar-benar terkejut. Matamu terbuka dengan tiba-tiba, membuat Sakura sedikit tercengang melihat reaksimu. "Be-benarkah?" tanyamu ragu. Ragu, eh?

'Sial!' Kau mengumpat dalam hati. Nalurimu memerintahkan kau untuk menjauhinya. Dan benar, perlahan kau berjalan mundur lalu berbalik untuk menjauhinya. Tidak ingin kau terlihat lebih aneh lagi. Namun kau benar-benar tidak tahu bahwa reaksimu semakin membuatmu terlihat seperti itu—aneh. Bahkan berpuluh-puluh kali lipat.

Samar-samar, kau mendengar istrimu bergumam. "Apa dia … masih Uchiha?"

Kau dengar? Cih! Tentu saja! Tentu saja kau masih Uchiha. Lalu, kenapa istrimu menanyakannya, eh? Harusnya kau memikirkannya, kenapa dia sampai bicara seperti itu?

"Kau aneh, Sasuke-kun. Ada apa denganmu?" Dari suaranya yang semakin jelas, kau sadar bahwa dia tengah menyusul langkahmu yang sedang menuju ruang keluarga. Benar. Kau aneh. Aneh karena sifat, sikap, juga tingkahmu. Kau aneh karena telah mempermalukan dirimu sendiri meskipun di hadapan wanita yang paling dekat denganmu. Sadarkah kau?

"Aku tidak apa-apa," kilahmu seraya bergerak duduk di lantai kayu ruangan itu juga tanpa memandang wajahnya. 'Ternyata reaksiku terlalu berlebihan.' Kau berargumen tetangmu dalam hati.

Dia menatapmu intens. Tentu saja kau tahu karena diam-diam kau pun memandangnya melalui ekor onyx yang kau miliki. Samar, raut kekhawatiran tertera di wajah ayunya. Kau tidak mau membuatnya khawatir, bukan, Sasuke? Maka, katakanlah apa yang mengganjal di hatimu. Apa pun itu, seaib apa pun yang perlu kaukatakan, katakanlah! Demi menghilangkan raut khawatir di wajahnya, juga demi mengembalikan senyum cerianya yang kausukai.

Perasaan cintanya terhadapmu membuat dia tidak tenang akan kelakuan aneh yang kaulakukan. Kau beruntung, bukan? Harusnya kau beruntung memiliki istri sepeduli dirinya, setelah sekian lama kau tidak merasakan kepedulian yang orang-orang berikan padamu.

Rasa kepeduliannya begitu nyata di matamu, menyentuh relung hati hingga menghangat dan menjalar ke seluruh tubuhmu. Kau menyukainya?

Perlahan, kau menarik oksigen cukup banyak hingga memasuki paru-paru. Kau melakukan ini untuk menyiapkan mental atas apa pun reaksi istrimu nanti. Mengingat dia selalu berlebihan dalam bereaksi. Ditambah, kondisinya yang tengah mengandung benihmu.

Tunggu! Mengandung? Apa ini…. Perasaan yang kaurasakan ini, bawaan dari benih dalam kandungannya? Benarkah?

"Err…. Aku…. Aku ingin…." Kau kembali menarik napas.

"Kau ingin apa?" tanyanya, semakin menuntut jawabanmu.

"Aku ingin," jedamu sejenak. Kau merasakan wajahmu memanas sempurna, "sup tomat buatanmu."

Sejenak. Kau merasakan udara di sekitarmu menghilang. Suatu imajinasi menyugestikan pikiranmu bahwa ada suara jangkrik di sekitar kalian yang mendukung suasana ini. Kau … sebentar lagi akan ditertawakan habis-habisan oleh istrimu. Pasti!

Ha! Harga diri yang kaujunjung tinggi selama ini akan jatuh, Uchiha! Sebentar lagi—

"Oh, ya ampun! Hanya itu? Aku setiap hari membuatkannya untukmu, Sasuke-kun. Kenapa kali ini kau terlihat—err—aneh dan malu? Wajahmu memerah, kau tahu?"

Eh, apa? Wajahmu memerah? Dan lagi, dia tidak menertawakanmu? Apa mungkin dia tidak tahu bahwa kau tengah—

"Baiklah ... malam ini akan kubuatkan kau sup tomat," sambungnya disertai senyuman. Senyum ceria yang selama ini kausuka, yang selama ini kaurindu meskipun kau bisa melihatnya setiap waktu. Singkatnya, kau candu akan senyumnya, juga semua yang ada pada dirinya. Benar begitu?

"Hancur sudah imejku di depannya," gumammu menyesal. Bahkan di saat seperti ini pun kau masih menyesali apa yang kaulakukan. Ditambah lagi … kau merasa imejmu hancur. Di depan istrimu.

Ck! Kau benar-benar takut terlihat buruk di depannya, Uchiha? Mungkinkah itu karena kau terlalu mencintainya, eh?

Tunggu! Mengingat pembicaraan tadi, bahwa istrimu benar-benar terlihat biasa-biasa saja ketika kau menginginkan sesuatu … apakah dia benar-benar tidak tahu bahwa kau tengah…

… mengidam?

Kau begitu menginginkan sup tomat dan tidak kuasa untuk tidak mengatakannya adalah karena kau sedang mengidam?

Kau merasa takut istrimu tidak membuatkannya. Benar, 'kan?

.

.

.

Kau mendongak. Mengatur napas yang sangat memburu dikarenakan insiden 'tidak terencana' barusan.

Posisimu sedang berada di depan wastafel dengan air dingin yang masih mengucur, berusaha menjadi back sound yang tepat untuk suasana ini.

Rasa tidak enak yang berpusat di perutmu muncul sejak sarapan. Aneh—lagi.

Entahlah, kau merasa sangat aneh semenjak memulai hidup baru dengannya. Setidaknya semua keanehan—yang mungkin bersumber dari istrimu—itu sangat manusiawi. Hanya saja sejak dia mengandung, kau merasa keanehan yang terjadi pada dirimu sangat tidak wajar.

Yang benar saja! Kau sedang—

"Huweeeek!"

Memuntahkan isi perutmu karena rasa mual yang tidak tertahankan. Kau merasa sangat menderita karena hal tidak menyenangkan ini.

Bagaikan ada sendok besar tak kasat mata yang sedang mengaduk perutmu tanpa ampun.

"Huwek! Huweeeeek!" Lagi, kau mengeluarkan cairan menjijikan melalui mulutmu. Melelahkan sekali. Ya, amat melelahkan dan amat menyiksa.

Beginikah rasanya menjadi wanita yang sedang mengandung? Kenapa harus kau yang merasakannya? Cih! Menyebalkan, bukan?

"Sasuke-kun, ada apa denganmu?" Kau tersentak mendengar suara istrimu yang begitu tiba-tiba. Dengan gerakan cepat kau mengusap daerah sekitar bibirmu dan berbalik, balas memandangnya yang sedang memandangmu khawatir.

"Ah, aku tidak apa-apa," jawabmu seraya berjalan keluar kamar mandi. Tanganmu membenarkan posisi kimono putih yang sedikit berantakan dan basah karena percikan air keran, tadi.

"Aneh!" gumam Sakura yang terdengar dengan jelas di telingamu. "Sasuke-kun jadi sangat dingin padaku. Kenapa, ya?" lanjutnya.

Kau sempat berhenti sejenak ketika mendengar kalimat terakhirnya. Ck! Apa kau bangga sudah membuatnya kembali khawatir, eh? Kenapa kau tidak pernah jujur perihal ngidammu itu?

Lagi-lagi … karena masalah gengsi.

Dan dengan mempertahankan gengsimu untuk tidak memedulikan kekhawatirannya yang kau tahu tidak akan berhenti, kau berjalan ke arah kamar dengan diekori oleh istrimu.

"Sasuke-kun, aku tahu kau tidak 'tidak apa-apa'. Sesuatu terjadi denganmu. Benar, 'kan?"

Kau melirik kecil seraya tetap berjalan. "Tidak," jawabmu singkat.

"Tapi…."

"Berikan aku waktu sendiri." Sakura sedikit tersentak tatkala mendengar suaramu yang sedikit lebih keras dari sebelumnya. Singkatnya, ada unsur pembentakan dari perintahmu, barusan.

Tanpa menunggu jawaban darinya, kau kembali berjalan dan memasuki kamar kemudian menutup dan menguncinya rapat.

Bisa kauingat tadi sebelum benar-benar menutup pintu, wanitamu menampakkan keterkejutan yang tidak bisa disembunyikannya. Matanya membelalak, reaksi alami akibat aksi yang kautunjukkan. Kau baru saja menyakitinya jika kau sadar.

Padahal kau sudah berjanji pada dirimu sendiri bahwa kau tidak akan menyakitinya. Kau ingat itu?

Kini kau berjalan mondari-mandir di depan kasur, menyesali perbuatanmu pada Sakura. Seharusnya tidak begitu cara merespon kekhawatiran seseorang apalagi dia adalah istrimu. Kau selalu saja salah, Uchiha.

Setelah beberapa kali melakukan aktivitas yang monoton itu, kau pun merasa lelah. Kondisi kesehatan akibat ngidam juga muntah-muntah tadi cukup menguras sedikit—dari banyak—tenagamu dan membuat kau mengantuk. Maka, dengan beban yang mengganjal otakmu, kau pun beranjak menuju kasur dan merebahkan diri, berniat mengarungi samudera mimpi di minggu pagi ini.

Beruntung sekali ini hari libur dan kebetulan sekali kau sedang tidak ada misi. Ya, setidaknya masih ada secuil kondisi yang mendukungmu.

.

.

.

"Ungh…." Kau melenguh nyaman saat merasakan tangan halus membelai rambutmu. Seandainya kau tidak ingin mencari tahu siapa pemilik tangan halus itu, kau ingin sekali tetap menikmatinya. Tapi sekali lagi, kau merasa penasaran. Bukankah kau sudah mengunci pintu rapat-rapat?

Dengan rasa kantuk yang membuat matamu berat, kau memaksa kelopak itu untuk terbuka, Dan tampaklah sosok meneduhkan yang identik dengan warna merah muda sedang tersenyum sumringah ke arahmu.

"Sakura?" tanyamu memastikan. "Bagaimana kau—"

"Jangan lupa bahwa aku adalah seorang kunoichi, Sasuke-kun. Aku memanjat dinding dari luar dan masuk melalui jendela itu," jawabnya santai.

Sontak saja kau terbelalak. "Apa-apaan kau? Jangan lupa bahwa kau sedang mengandung, Sakura!" bentakmu gusar. Tidak seperti tadi, kini dia tersenyum—bukan! Dia terkikik. Menertawakan bentakanmu yang terkesan protektif.

"Kaupikir, aku saja yang sedang hamil?" tanyanya jahil.

"Eh?" Kau bergumam bingung.

"Aku tahu kau juga sedang hamil."

"Ap—"

"Kau sedang mengidam, bukan? Aku tahu itu. Kaupikir aku tidak tahu bahwa tadi pagi kau memuntahkan isi perutmu? Kemarin juga kau terlihat aneh saat meminta sup tomat. Semalam pun saat kau tidur, kau mengigau dan menggigil. Seperti ibu-ibu yang pertama kali hamil," terangnya.

Kini kau terbelalak. Imajinasi liar membuatmu membayangkan kau sedang ditelanjangi oleh nenek-nenek di tengah kerumunan dan ditertawakan oleh semua warga desa. Kemudian kau pun dibawa keliling desa dengan musik topeng monyet sebagai pengiring.

Betapa malunya ternyata istrimu lebih paham tentang kondisimu saat ini. Seharusnya kau mengatakan hal ini dari awal, Uchiha. Tidak perlu menutup-nutupinya dan akhirnya malah orang lainlah yang membeberkan semuanya. Untungnya dia adalah istrimu.

"Jangan lupa bahwa aku adalah ninja medis yang bekerja di rumah sakit dan tidak jarang menangani ibu-ibu hamil, Sasuke-kun."

Kau masih terdiam.

"Tidak usah takut, aku akan merahasiakan aib ini," bisiknya sensual, tepat di telingamu.

Yah.… Tidak ada gunanya, bukan, menyembunyikan sesuatu dari istrimu? Karena tanpa kauketahui, dia selalu lebih pintar darimu. Jangan lupa bahwa dia selalu mendapat nilai seratus di setiap ujian, dulu. Sekarang pun begitu, dia mendapat nilai seratus dalam keluarga kecil yang baru kau bangun ini.

Tapi bukan Uchiha namanya jika tidak bisa mengalahkan orang lain. Bukan begitu, Pria Bermata Obsidian?

"Sakura," panggilmu seraya menyeringai.

"Hn?"

"Kau tahu, 'kan, jika orang yang sedang mengidam itu … tidak bisa 'tidak dituruti' kemauannya?" Kau bertanya dengan menekan dua kata di tengah kalimat tadi.

"Benar."

"Kalau begitu…."

Sekarang kau menerjangnya dan mamulai kegiatan tersebut dengan kecupan juga lumatan di bibirnya.

Ternyata mengidam itu ada enaknya juga. Karena dengan itu, kau bisa mendapatkan 'jatah malam' di pagi ini.

To be Continued

.

Author's Note: Maaf lama, aku habis sakit dan sekarang Alhamdulillah udah sembuh. Tidak sesuai perkiraan, chapta ini ternyata Voila yang bikin. Wkwkwk….

Terimakasih partner-ku, udah mau sabar dan setia nunggu aku sembuh, juga pengertian dan ngasih doa…. *kissBebek* Dia juga lho, yang udah mem-beta read chap ini. Meskipun kita mengalami berbagai perseteruan dulu karena beda pendapat. *pelototinBebek*

Feed back?

~Saknyuu vo riding~