Nanigenai kao shite

dengan wajah seperti itu,

Hanikande waratte kureta kara

kau tersenyum malu-malu,

Massugu na omoi dake azayaka ni

dan hanya perasaan jujur ini

Mune no naka ni nokosarete yuku yo

yang tetap menyinari hati


Al-Shira Aohoshi deviantArt

presents

.

a 2012 NARUTO Fanfiction

.

暖かいSmile について

[Tentang Senyum Hangat]

©Andromeda no Rei

.

Untuk NaruHina Fluffy Day—[gak telat, 'kan?]

.

CANON

Warning:

Typo, pendek, fluffy tidak pasti, aneh

.

「君と歩いた季節―by Ikimono Gakari

.

.

.

Gadis berparas imut itu berlari-lari kecil sambil bersenandung ria. Sebelah tangannya berayun riang, sedangkan tangan lainnya menenteng sebuah kotak bento berbalut kain bercorak bunga kamelia merah. Rambut indigonya yang terurai sepunggung menari-nari seiring dengan gerakan ringan tubuhnya, tertiup angin sore perlahan.

Kakinya terhenti ketika ia merasa telah sampai tujuannya. Mata lavender keperakannya menatap berbinar-binar sebuah bangunan bercat putih yang cukup besar di hadapannya—Konoha no Byouin—Rumah Sakit Konoha.

"Hei, Hinata!" —sapa seseorang dari kejauhan dengan suara melengking.

Hinata menoleh, sembari merapatkan genggaman pada kotak bento-nya. Ia tersenyum ramah—mendapati Yamanaka Ino tengah melambaikan sebelah tangannya di ujung jalan utama. "Ah, konnichiwa, Ino-san," sapanya lembut. Gadis bermarga Hyuuga itu mengangkat sebelah tangan dan melambaikannya pelan.

Ino nyengir kuda. Ia kemudian menggenggap sebuah lengan seseorang berwajah malas di sampingnya—Nara Shikamaru—dan menyeretnya menghampiri Hinata. "Hei, kau ngapain ke rumah sakit?" Tanya Ino ketika ia telah berada persis di depannya. "Daijoubu, deshou? —kau nggak kenapa-napa, 'kan?"

"Uun," sahut Hinata sambil menggeleng pelan. "Ini," lanjutnya pelan, menunjukkan kotak bento berbalut serbet motif kamelianya pada Ino.

Cengiran Ino semakin melebar. "Ohh, menjenguk si Naruto-baka rupanya." Ia terkekeh.

"Mendokusaina, Ino—kenapa kau harus selalu mau tahu urusan orang lain, sih?" Shikamaru mendengus pelan, namun tidak berusaha melepaskan genggaman Ino pada lengannya.

"Hei, ini bukan urusan orang lain, tahu!" bela Ino sambil menjitak pelan kepala Shikamaru. "Ini Hinata dan Naruto—mereka teman-teman kita, bukan orang lain."

"Baik, baik, terserah kau saja." Shikamaru mengelus-elus kepala dengan sebelah tangannya yang bebas. Diliriknya Hinata yang yang terkekeh pelan melihat tingkah kekanakan mereka. "Dasar cerewet," gumamnya dengan suara nyaris tak terdengar. "Kenapa sih cewek selalu ceweret. Mendokusai."

"Hihihi, ganbatte ne, Shikamaru-kun," ujar Hinata sambil sedikit menelengkan kepala pada Shikamaru yang membuang muka. "Kalian tetap serasi, kok—tenang saja."

"Aa."

"Hei, hei, sudah—Hinata," ucap Ino sambil mengayun-ayunkan tangan kanannya di depan wajah. "Jangan malah membahas cowok pemalas ini, oke? Sekarang…" Ino mendekatkan wajahnya pada telinga Hinata, membuat gadis pemalu itu sedikit gugup. "… cepat temui Naruto. Dan nanti, kau harus cerita padaku kalau kau sudah dapat ciuman pertama darinya, wakatta ka?"

PEEEEEESSSSHHHHH

Dalam waktu sepersekian detik saja, wajah Hinata memerah bak kepiting rebus—lengkap dengan keringat dingin dan bayangan-bayangan fluffy antara dirinya dan Naruto yang memenuhi otaknya. "H-hai, I-Ino-san…" jawabnya lirih—nyaris tak terdengar.

Ino tersenyum puas. Ia kembali menegakkan badannya seraya berujar, "Sore ja, berjuanglah, Hinata." Dan dengan kalimat sederhana itu, kunoichi Barbie-like itu menepuk pelan pundak Hinata dan berlalu dari hadapannya, kembali menyeret Shikamaru yang hanya bisa mendesah pasrah.

'N-Na… Naruto… kun…'

.

.

.

.

"Are? Hinata? Kau 'kan tahu aku keluar rumah sakit hari ini, ngapain repot-repot datang?"

Hyuuga Hinata tersenyum simpul mendengar penuturan pemuda berambut jabrik pirang di hadapannya. "Ng-nggak pa-pa kok, Naruto-kun," jawabnya pelan. Ia menunduk, melirik ke kanan dan ke kiri—berusaha lari dari tatapan maut iris safir Naruto. "Aku ingin mengantar Naruto-kun saat pulang ke apartemen."

"Eh?" Naruto menelengkan kepala jabriknya. "Aku bisa pulang sendiri, Hinata. Kau nggak perlu khawatir."

"Uun…" Hinata menggelengkan kepala. Kali ini tatapannya lurus menatap mata kebiruan di hadapannya. "Awalnya kukira Sasuke-kun yang akan menemani Naruto-kun pulang. Tapi tadi pagi Sakura-san bilang Sasuke-kun ada misi ke Hoshigakure bersama Sai siang ini. Jadi kupikir… kupikir…."

"Hinata, aku benar-benar sudah sehat—" ujar Naruto setelah ia memastikan Hinata tidak melanjutkan ucapannya.

"—aku mohon," potong Hinata sembari mencengkram sprei ranjang pasien Naruto. Pemuda jinchuuriki yang hanya duduk diam di atas tempat tidur itu hanya bisa menatap gadis di hadapannya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Aku… aku akhirnya punya keberanian…"

"Hinata…"

"… untuk menegakkan tubuh—menghadap luasnya dunia, menatap matahari," Hinata melanjutkan. Senyum tulus terpatri pada wajah cantiknya. "... semuanya… berkat Naruto-kun."

Keberanian untuk mengungkapkan hal ini pun…

semuanya karena Naruto-kun

"Aku… aku sangat senang berada bersama Naruto-kun!" kedua iris berbeda warna itu kembali bersirobok. "Naruto-kun yang tertawa, Naruto-kun yang terus berjuang agar jadi kuat… juga Naruto-kun yang selalu menyembunyikan kesedihannya dengan selalu tersenyum hangat—semuanya…"

"Hinata… arigatou'ttebayo…"

Tangan kiri Naruto bergerak perlahan, menggenggam tangan mungil Hinata yang masih meremas sprei ranjang pasiennya.

"Suka."

"EH?"

"Naruto-kun ga daisuki—aku suka sekali… pada Naruto-kun. Aku tahu, aku pernah mengatakannya, tapi—"

'Rasanya ingin terus mengucapkannya. Terus… dan terus mengutarakannya…

agar suatu saat,

perasaan itu tersampaikan padanya.'

"Ne, ne, Hinata…" tangan kiri Naruto merayap perlahan, berhenti pada bagian belakang kepala Hinata. "Aku nggak peduli berapa kalipun kau mengucapkannya," ucapnya pelan dengan cengiran rubahnya yang biasa. "Bagiku, perasaan Hinata adalah sesuatu yang sangat berharga."

Kecup.

Jarak di antara mereka hilang perlahan, menyatukan bibir yang hanya terpisah beberapa senti—oleh sebuah ciuman hangat—lembut.

Kedua tangan Hinata bergerak, kini meremas kerah baju rumah sakit Naruto. Dan dengan sedikit penekanan pada bagian belakang kepala Hinata, mereka memperdalam ciuman panjang itu.

Wajah yang memerah,

Jantung yang berdegup lebih kencang…

Mulai sekarang, Hinata tidak akan lagi berjalan di belakang Naruto—membuntuti ke manapun pemuda itu pergi, layaknya pemuja rahasia. Kini—dan seterusnya—ia akan berjalan di sampingnya. Melangkahkan kaki beringiran—dengan nada seirama, bergandengan tangan.

Tidak akan lepas.

Tautan tangan hangat itu tidak akan terlepas.

Ia akan melindunginya—melindungi senyumnya, melindungi tawanya.

"Ano, Naruto-kun…"

"Ya, Hinata?"

"Ini. Aku bawakan bento untuk Naruto-kun."

"Waaa, aku memang kangen sekali pada masakanmu, Hinata. Arigatou'ttebayo!"

"Un! Saa, dozo…"

"Iya da! Kali ini kita makan sama-sama!"

"Baiklah, Naruto-kun…"

"Nah, ITADAKIMAAAASU!"

.

.

.

.

"… chan…"

"… Kaa-chan…"

"KAA-CHAN!"

"AH—Hotaru-chan? A-ada apa?" wanita berambut indigo sepunggung itu menatap anak perempuannya dengan ekspresi bingung.

"Kaa-chan melamun!" jawab gadis belia dengan rambut pirang dikuncir dua—Uzumaki Hotaru—sambil menuangkan jus jeruk pada gelas kaca dalam genggamannya. "Masak sambil ngelamun itu bahaya—kaa-chan tahu sendiri, 'kan? Hahh…"

"Ah, tentu saja—Hotaru-chan benar…" ujar wanita itu sambil melanjutkan kegiatannya memotong-motong lobak dan menyiapkan beberapa bumbu masakan untuk makan malam. "Ngomong-ngomong, tumben sekali Shou-kun belum pulang jam segini."

Hotaru menegak habis jus jeruk dalam gelasnya. "Aa, Shou-kun tadi sih pamit padaku bakal latihan ekstra sama Akira-kun, jadi pulang agak telat," ucapnya seraya kembali menuangkan jus pada gelas kosongnya.

"Begitu…"

"Ne, ne, Kaa-chan," panggil Hotaru setelah ibu dan anak itu terdiam beberapa saat.

"Ada apa, Hotaru-chan?" wanita bermata lavender pucat itu menjawab pelan, masih senantiasa terpaku pada masakannya yang setengah jadi.

"Apa yang tadi kaa-chan lamunkan?" Tanya Hotaru dengan nada menggoda. Senyum jahil terpatri pada wajah manisya. "… pasti tou-chan, ya?"

TEP

Wanita itu menghentikan aktifitasnya dan menatap lurus pada iris dengan warna sama milik putrid sulungnya itu. Tak lama, sudut-sudut bibirnya terangkat—membentuk seulas senyum manis. "Un, tentang tou-chan," jawabnya lembut.

"Eh? Hontou?" Tanya Hotaru antusias. Ia mendekati sang ibu dan menatapnya penuh minat, meminta cerita lebih. "Ayo cerita bagaimana dulu kaa-chan dan tou-chan bisa saling jatuh cinta dan menikah~"

"Ahaha, Hotaru-chan…."

"Ayolah, kaa-chaaann~"

"Ba—"

"TADAIMAAAA~!" —terdengar suara cempreng khas bocah laki-laki dari bagian depan rumah sederhana mereka diiringi bunyi pintu yang digeser tertutup.

"Ah, itu Shou-kun. Okaeri-nasai, Shou-kun~!"

"Ck, dasar bocah itu. Mengganggu saja."

"Ssstt, ne—Hotaru-chan."

"Hn?"

"Shinpai shinai yo—jangan khawatir, nanti pasti akan ceritakan semuanya pada Hotaru-chan. Tapi ini rahasia. Ne?"

Senyum Hotaru semakin lebar. "Un!"

"Ara, sepertinya tou-chan juga bakal segera pulang."

GRAAAAAAKKK

"TADAIMAAA~~!"

"Okaeri, Tou-chan!"

"Okaeriii~~"

"Aa, tadaima, Hotaru-chan, Shou-kun!"

.

.

"Hinata… tadaima!"

Wanita bercelemek krem yang baru saja muncul dari balik tembok dapur itu tersenyum simpul. "Okaeri-nasai, Naruto-kun…"

.

.

.

Aku akan melindunginya,

kali ini aku yang akan melindunginya…

Setiap tetes peluhnya,

air matanya,

canda tawanya…

Senyum hangatnya

sekarang,

selamanya..

.

.

Aku juga mencintaimu, Hinata.

.

.

.

おしまいだよ!

[It's The End!]


Author's Note:

Happy NaruHina Fluffy Day! \(^0^)/ semoga suka~

Naruto-kun, Hinata-chan, yang langgeng yaa~

Salam,

Al-Shira Aohoshi

a.k.a. Andromeda no Rei