Sakura memandang selembar kertas itu, kemudian bergumam lirih seraya mengusap perutnya. "Sabar ya nak, Ayahmu harus melaksanakan tugasnya."

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Wonderful Life © Achika Yue

Pairing : SasuSaku

Rate: M (untuk jaga–jaga)

Genre : Drama and Romance

.

.

.

Wanita bermarga Uchiha itu nampak gusar di tempat duduknya, berkali-kali ia berdecak kesal dan entah sudah berapa kali ia menghela napas panjang. Di tatapnya layar ponsel yang berada di genggamannya dengan raut wajah frustasi. Pasalnya, sudah hampir tiga minggu ini Sakura tidak dapat menghubungi Sasuke. Sejak keberangkatan Sasuke menjalankan misi ke Suna, Sakura tidak mendapat kabar apapun dari Sasuke, bahkan saat ia mencoba menghubungi Sasuke ponselnya mendadak tidak pernah aktif hingga saat ini. Ia tidak bisa membiarkan ini semua, ia harus tahu mengapa Sasuke tega mengabaikan dirinya seperti ini. Tidak tahukah suaminya itu betapa Sakura begitu merindukannya, betapa ia ingin mendengar suaranya, melihat sosoknya, bahkan Sakura begitu merindukan sentuhan pria angkuh itu kepadanya.

"Kau ini kenapa sih!" Ino datang dari arah dapur membawa nampan yang berisi dua gelas jus jeruk. Kemudian diletakan gelas-gelas itu di meja yang berada di hadapan Sakura.

"Entahlah, aku sedang―mungkin… bingung, aku tidak tahu."

Ino mengernyit, menatap penuh selidik sahabatnya yang nampak terlihat kacau. "Jangan katakan kau sedang ada masalah lagi?"

Sakura tak menjawab, ia kembali menghela nafas panjang. Melempar kepalanya pada sandaran sofa cream yang berada di ruang tengah kediaman sahabatnya.

"Hhh… selalu saja. Biar ku tebak, kau kemari karena butuh teman untuk mendengarkan curhatanmu, begitu?"

Sakura menegakan tubuhnya, kemudian tersenyum sungkan pada Ino. "Maafkan aku, Ino. Aku tidak tahu harus bercerita pada siapa lagi,"

Ino memutar bola matanya bosan. "Baiklah, berhubung aku adalah sahabat yang baik, jadi… aku siap mendengarkan keluh kesahmu."

Sakura terlihat berpikir sejenak, otaknya tengah bekerja untuk merangkai kata-kata yang cocok untuk diceritakannya pada Ino. "Sudah hampir tiga minggu Sasuke pergi misi meninggalkanku. Namun sampai saat ini ia tidak menghubungiku dan aku juga tidak dapat menghubunginya. Aku… bingung mengapa ia tiba-tiba seperti ini, jujur saja aku mencemaskannya," ucap Sakura lemas, wajahnya sudah terlihat ingin menangis.

"Kau merindukannya?"

"Tentu saja, dia suamiku, Ino." tanpa sadar Sakura sedikit menaikan nada bicaranya.

Ino sebisa mungkin menahan tawa. Ia tidak menduga Sakura yang dulu cuek dan menolak mati-matian pesona Sasuke, kini nampak begitu ketakutan dan seperti hampir kehilangan separuh nyawanya hanya karena laki-laki itu tidak memberinya kabar selama hampir tiga minggu. Kalau saja ia tidak ingat Sasuke adalah suami Sakura―jadi cukup wajar jika Sakura bersikap seperti ini―Ino mungkin sudah tertawa terbahak-bahak, menertawakan tigkahnya sekarang.

"Hoo… jadi ada yang rindu setengah mati ya,"

Sakura mendelik ke arah Ino, menatap tajam sahabat pirangnya. "Aku serius, Pig!"

"Iya, iya maaf, hehehe." Ino memamerkan cengirannya. "Oh ya, kalau begitu kenapa kau tidak datangi saja kantornya, Jidat?" sambungnya memberi saran.

"Sudah."

"Lalu?"

"Saat itu aku bertemu Naruto, katanya Sasuke memang sedang menjalankan misi ke Suna, tapi ia tidak tahu menahu bagaimana keadaan Sasuke di sana, karena memang divisi mereka berbeda. Kalaupun aku bertanya pada orang di bagian divisi Sasuke, tetap saja mereka tidak akan memberi tahu informasi jalannya misi pada orang yang tidak berkepentingan sepertiku. Walaupun aku adalah istri dari salah satu anggota divisi yang menjalankan misi tersebut." terang Sakura panjang lebar.

Ino tidak dapat memungkiri kalau ia merasa iba memandang wanita hamil di depannya ini. Oh astaga! Bahkan Sakura sedang hamil, tega sekali Sasuke berbuat begitu pada Sakura. Tapi… kenapa tiba-tiba Sasuke menjadi seperti itu? Rasanya ada yang aneh dengan sikap keterlaluan Sasuke. Jangan-jangan ada sesuatu yang tidak beres diantara kedua sahabatnya ini. Satu persatu muncul pertanyaan-pertanyaan di benaknya. Tidak akan ada asap kalau tidak ada api, maka Ino menyimpulkan pasti ada sesuatu di balik semuanya. Ya, pasti ada sesuatu

"Sebelumnya, apa kalian bertengkar atau ada suatu masalah di antara kalian?"

"Tidak."

"Kau yakin?"

"Iya, kami baik-baik saja sebelum kami makan malam bersama sepupunya dan Gaara."

"APA!"

Sakura menutup kedua telinganya mendengar teriakan Ino yang cukup memekakkan telinga, sedang Ino melotot tak percaya, "kau bilang Gaara? Gaara mantan kekasihmu yang dulu itu?"

Sakura menganggukan kepalanya pelan sebagai jawaban pertanyaan Ino padanya.

"He? Bagaimana bisa?" tanya Ino lagi.

Sakura menggaruk kepalanya, menatap ragu bola mata shapire Ino yang menatapnya antusias. "Err… ceritanya panjang, Ino―"

"Aku siap mendengarkannya, cepat ceritakan!" seru Ino tak sabar.

Dan dimulailah celotehan yang bersumber dari bibir nyonya muda Uchiha kita satu ini.

xxxxx

Kiba memperhatikan dengan seksama ekspresi salah satu rekan kerjanya yang ia tahu selalu menampilkan raut wajah datar, namun tidak untuk kali ini. Dengan instingnya yang tajam Kiba yakin kalau rekannya ini tengah dilanda suatu dilematisme akut. Terbukti dari sikapnya yang sedikit di luar kebiasaan seperti sekarang. Lihat saja tingkahnya saat ini, bertampang kusut, duduk meratapi sebuah foto yang menampilkan seorang wanita cantik berambut unik mengenakan gaun pengantin, tersenyum manis di balik layar ponsel yang ia pegang. Ah, ia mengerti sekarang.

Kiba menghempaskan dirinya duduk di sebelah Sasuke tanpa menoleh pada orang yang sudah duduk sedari tadi di sofa tersebut. "Kalau kau juga merindukannya kenapa tidak kau hubungi saja istrimu itu,"

Sasuke tetap berada pada posisi duduknya, mengabaikan ucapan Kiba. Namun karena paham akan ucapan Kiba, sedetik kemudian Sasuke bergerak menaruh ponsel miliknya kembali ke dalam saku celananya tanpa mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya.

"Sampai kapan kau akan seperti ini?"

Sasuke mau tidak mau akhirnya memalingkan wajahnya ke arah Kiba yang melontarkan lagi satu pertanyaan yang membuat ia mengerutkan dahinya. Perasaannya mengatakan kalau ada sesuatu yang terlewatkan darinya.

"Apa maksudmu?" Sasuke angkat suara, kelihatannya ia mulai tertarik dengan celetukan Kiba.

"Jangan kau kira aku tidak tahu kalau istrimu itu mendatangi Kantor untuk mengetahui kabarmu."

"Che, pasti si Bodoh itu yang memberitahumu,"

"Bukan salah Naruto, kau lupa kalau Naruto terlebih dahulu menghubungiku karena dia tidak bisa menghubungimu saat itu,"

Sasuke mendengus membuang wajahnya ke arah lain. Sebenarnya ia tidak bermaksud menyalahkan Naruto, tapi tentu saja mulut ember si Dobe itu pasti terlalu heboh berbicara pada Kiba. Dan ia yakin kalau sekarang Kiba pasti sudah tahu mendetil soal Sakura yang mendatangi kantor mereka. Serta satu lagi yang membuat Sasuke kesal, ia tidak suka jika masalah pribadinya terlalu diumbar, sekalipun pada kawannya sendiri.

Seperti tahu apa yang dipikirkan Sasuke Kiba melanjutkan kembali kata-katanya. "Aku tidak tahu kau dan istrimu sedang mempunyai masalah apa, tapi kurasa dia sangat mencemasakanmu. Selain itu, kau juga sepertinya terlihat kurang baik,"

Sasuke tak menyahut kata-kata Kiba, ia tetap terdiam dalam pikirannya sendiri. Kiba tahu bagaimana watak temannya yang satu ini, rasanya percuma saja jika ia harus berbicara panjang lebar untuk menceramahi Sasuke, itu hanya akan membuang-buang waktunya saja. Tidak ingin berlama-lama berada di sisi orang yang sudah menguarkan aura kurang menyenangkan Kiba akhirnya bangkit, kemudian menepuk bahu Sasuke. "Pikirkanlah baik-baik." ujarnya seraya berjalan pergi menyisakan Sasuke yang duduk termenung.

Sasuke memejamkan matanya, berusaha meresapi kata-kata Kiba, yang entah kenapa untuk kali ini terdengar cukup bijak di telinganya. Sejujurnya ia juga tidak bisa membohongi perasaanya, kalau ia begitu merindukan istrinya. Sepanjang misinya di Suna, pikirannya tidak sanggup terfokus sepenuhnya pada pekerjaan yang ia jalani. Bayangan tentang Sakura selalu saja terlintas dalam benaknya, ia tidak bisa berhenti memikirkan wanita itu. Tidak, bukan hanya istrinya seorang yang menyita pikirannya tapi juga anaknya yang masih berada dalam rahim sang istri.

Sebenarnya ia ingin sekali mengutuk misinya yang membuat dirinya terpisah dari anak dan istrinya. Terlebih lagi ketika dirinya yang baru saja mendapat berita membahagiakan tentang kehadiran calon penerusnya, dengan cepat ia sudah harus rela menelan dua kekecewaan sekaligus. Kekecawaan karena harus pergi bertugas ke luar Kota sehingga ia kehilangan kontak dengan sanak keluarga dalam jarak pandangnya, dan kekecewaan karena… Sakura telah membohonginya.

Satu hal yang paling dibenci oleh Sasuke di dunia ini, yaitu, dikhianati. Ia tahu kalau Sakura saat itu hanya mendustainya, menutupi semua fakta tentang masa lalunya bersama pria berambut merah itu. Mungkin Sakura tidak pernah tahu kalau dulu Sasuke sempat mencari tahu siapa kekasihnya, karena Sasuke begitu penasaran akan kabar tentang sahabatnya yang notebene cuek terhadap lawan jenisnya, santer terdengar tengah menjalin hubungan dengan seorang pria. Dan beruntung bagi Sasuke dapat memergoki Sakura dengan seorang pria berambut merah tengah jalan bersama begitu mesra, setelah ia dengan susah payah menguntitnya secara diam-diam.

Sadar Sakura tetap berusaha menyembunyikan semuanya, ia tidak dapat menepis hatinya yang merasa terkhianati. Padahal saat itu yang ia inginkan hanya kejujuran Sakura. Ia tidak bisa menghindari perasaan itu, perasaan yang membuat dirinya kesal dan tersulut emosi sampai ia memutuskan kontak dengan istrinya selama misi. Jika ditanya apakah ia kecewa? Ya ia cukup kecewa, bahkan sekarang ia mulai sangsi kalau istrinya mempunyai perasaan yang sama dengannya.

xxxxx

Ino mengeleng-gelengkan kepalanya, tatapannya mengarah pada sosok Sakura yang tertunduk lesu. Ia tidak habis pikir dengan semuanya, bagaimana bisa si kepala pink yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabatnya ini bisa begini lambat dalam berfikir. Ia jadi sedikit meragukan semua prestasi yang diaraih Sakura selama ini. Atau jangan-jangan kehamilannya itu berpengaruh pada cara berfikir otaknya?

"Jidatku sayang… seharusnya kau berfikir dulu sebelum bertindak, kau tahu kau telah membohongi Sasuke. Lalu bagaimana jika Sasuke curiga terhadapmu atau pahitnya ia tahu prihal hubunganmu dulu dengan Gaara?"

Sakura sesaat menatap Ino, kemudian dengan tampang frustasi ia menepuk dahi lapangnya.

Ucapan Ino memang cukup masuk akal, ia melupakan kemungkinan itu. Tapi Sakura tidak akan bertindak seperti itu kalau ia tidak memiliki alasan tersendiri. "Aku tidak berpikir sejauh itu, Ino. Aku kira rasanya tidak mungkin Sasuke mengenal Gaara, karena seingatku hanya kau yang tahu soal Gaara."

"Apa sih yang tidak mungkin di dunia ini, Jidat?" Ino berkacak pinggang, "Kau sadar tidak sih, sejak dulu kau satu-satunya perempuan yang paling dekat dengan Sasuke. Biarpun aku yang satu angkatan dengannya, tapi yang kulihat ia justru jauh lebih dekat denganmu daripada aku. Jadi mungkin saja ia sedikit tahu mengenai mantan kekasihmu itu. "

"Tapi aku yakin betul, aku belum pernah sedikitpun bercerita soal Gaara ataupun mengenalkan Gaara pada Sasuke." Sakura bersikukuh, ia yakin seratus persen pada pendapatnya.

Ino menarik nafas panjang lalu menghembusaknnya dengan pasrah, "Aku tidak bilang kalau ia tahu dari kau, Sakura. Tapi kau harus ingat, segala kemungkinan itu selalu ada. Tapi semoga saja pendapatmu itu benar."

"Ya, semoga sa―"

Ucapan Sakura terpotong karena tiba-tiba ponsel miliknya berdering nyaring. Segera diambilnya ponsel itu dan sesegara mungkin ditekannya tombol hijau untuk menerima panggilan.

"Halo, Kakek.", "Apa?" wajah Sakura berubah ceria, bibirnya membentuk sebuah lengkungan ke atas menandakan sebuah senyuman menghiasi wajahnya."Ya, aku akan segera pulang, Kek!"

Setelah sambungan telponnya terputus, Sakura segera menatap Ino dengan raut berbinar-binar layaknya orang yang sudah tidak makan tiga hari menatap spotong kue tapat di depan matanya, membuat Ino sedikit merasa risih dengan tatapan Sakura.

"Sasuke pulang malam ini, Ino!"

Selanjutnya Ino hanya bisa memandang takjub Sakura yang begitu cepat merubah ekspresinya.

xxxxx

Suasana kediaman sepasang Uchiha muda ini masih terasa lengang, hanya ada seorang perempuan yang begitu riang bergelut di ranah kekuasaanya alias dapur. Sedang seorang lagi yaitu sesosok pria tua yag tengah asik menyaksikan sebuah tanyangan drama korea yang mengisahkan seorang gadis penulis novel internet yang harus menjalani pernikahan kontrak dengan seorang aktor demi memperoleh kembali kediamannya.

Setelah berkutat cukup lama di dapur dan bolak-balik dapur-ruang makan demi menyajikan makan malam untuknya dan seorang lagi yang menghuni kediamannya. Sakura akhirnya muncul dari arah dapur berniat untuk memanggil kakek mertuanya untuk makan malam. Tapi sebelum ia mengucapkan kata-kata, ia sudah dibuat shock dengan tingkah kakek mertuanya yang begitu serius menatap tayangan sebuah drama romansa. Sakura sweatdrop di tempat, Sakura tidak menyangka ternyata kakek mertuanya mempunyai hobi yang sungguh berbanding terbalik dengan tampangnya selama ini, maka Sakura dengan reflek mengelus perutnya dan berdoa semoga anakanya kelak jika sudah dewasa tidak mengikuti prilaku kakek buyutnya itu.

"Kakek makan malam sudah siap," Sakura berseru di belakang Madara yang tengah menutup mulutnya dengan mata hampir berair. Buru-buru Madara kembali pada sikap berwibawanya. Memutar kepalanya ke arah Sakura

"Ya, sebentar lagi Kakek ke ruang makan."

Sakura menganggukan kepalanya, ia kemudian kembali ke ruang makan, menunggu kakek Madara datang lalu memulai makan malam bersama. Sebenarnya ia ingin sekali makan malam bersama Sasuke, tapi sampai saat ini Sasuke belum juga menampakkan diri, sedangkan perutnya sudah berdemo minta diisi. Kalau saja ia tidak memikirkan bayi dalam kandungannya Sakura rela berlapar ria menananti kepulangan Sasuke.

Sesampainya di ruang makan Sakura segera mendudukkan dirinya pada kursi makan. Tak lama Kakek Madara muncul dari ruang tengah menghampirinya.

"Wah, sepertinya kau masak banyak hari ini,"

"Iya Kek, aku pikir Sasuke akan pulang sebelum makan malam jadi aku masak banyak, tapi sayangnya tidak."

"Mungkin Sasuke terjebak macet di Kota, kau tahu sendiri pesawatnya saja berangkat agak sore,"

Sakura terdiam, ia tidak tahu harus menjawab apa. Selama ini Kakek Madara tidak tahu kalau dirinya tidak dapat menghubungi Sasuke dan juga Sasuke yang tidak pernah menghubunginya. Ia tidak ingin sampai kakek Madara khawatir dan menduga ada masalah dalam rumah tangganya. Bahkan ia tadi berusaha sebisa mungkin bersikap biasa seolah sudah mengetahui sebelumnya, ketika Sasuke justru menghubungi Kakek Madara untuk memberitahu kepulangannya bukan pada dirinya.

"Ya, mungkin terjebak macet," jawab Sakura pelan.

Hening tidak ada yang membuka pembicaraan. Sakura tahu sudah menjadi suatu tradisi bagi keluarga Uchiha untuk tidak berbicara ditengah mereka makan. Mereka akan tetap tak bersuara sampai mereka menyelesaikan makan malamnya.

Kakek Madara membuka suara memecahkan keheningan di antara mereka setelah ia menandaskan santap malamnya.

"Kau terlihat lelah, Sakura. Sebaiknya kau segera beristirahat."

"Tapi Sasuke belum pulang―"

"Biar Kakek yang menunggunya, kau istirahat saja. Kau tidak boleh lelah. Ingat kehamilanmu, Sakura."

"Aa, baiklah. Aku akan beristirahat tapi setelah aku merapikan meja yah, Kek,"

Madara tersenyum lalu mengangguk, ia kemudian pergi meninggalakan Sakura yang masih sibuk merapikan meja makan. Tangan-tangan Sakura dengan cekatan mengumpulkan piring-piring kotor yang sudah terpakai untuk segera dicuci. Matanya melirik pada jam dinding yang menempel di dinding ruang makan, dilihatnya jam menunjukan pukul delapan lewat lima belas. Sakura mendesah kecewa, sampai sekarang Sasuke belum juga datang. Sepertinya ada benarnya kata-kata kakek Madara kalau ia lebih baik istirahat saja, mungkin Sasuke akan pulang larut.

Setelah selesai mencuci piring Sakura bergegas naik ke lantai dua, dimana kamarnya berada. Sudah lama ia tidak tidur di kamarnya. Ia cukup merindukan kamar miliknya dan Sasuke yang sudah ditempatinya selama hampir dua bulan. Sejak kepergian Sasuke menjalankan misi ke luar Kota, Sakura mengikuti titah Sasuke untuk tinggal bersama kakek Madara, mengingat kakek Madara sudah tinggal di Konoha dan ia merasa iba mengetahui kakek Madara hanya tinggal seorang diri. Namun karena Sakura merasa jenuh, hal itu hanya berlangsung selama satu minggu lebih, sedang seminggu lagi ia habiskan menginap di rumah orang tuanya.

Belum sampai Sakura naik ke atas tempat tidur, telinganya menangkap suara pintu kamarnya di buka. Segera saja ia balikan tubuhnya mengarah pada pintu di belakangnya.

Sakura mengerjapkan matanya beberapa kali, menatap lekat di sana, di ambang pintu itu, dimana disitu berdirilah seorang pria yang sudah sangat ia rindukan selama berhari-hari. Pria yang membuatnya tersiksa selama dua minggu belakangan ini. Pria itu terdiam, berdiri tegap dengan kemeja biru lengan panjang yang digulung sampai siku dan celana panjang hitam membalut tubuh atletisnya. Tatapan pria itu begitu dalam sarat akan kerinduan.

Sakura berdiri kaku, tubuhnya mati rasa, angan-angannya sebelum ini yang menginginkan memeluk suaminya ketika suaminya sudah pulang ternyata begitu sulit untuk direalisasikan. Seluruh organ tubuhnya membeku. Ia hanya bisa meremas dress yang sedang ia kenakan saat ini untuk menyalurkan emosinya. Tanpa terasa pandangannya mulai memburam, matanya mulai menitikan cairan hangat yang mulai mengalir menelusuri kedua pipinya. Bahunya mulai bergetar karena isakannnya yang semakin jelas.

Perlahan pria itu―Sasuke―melangkahkan kakinya mendekati Sakura yang masih berdiri diam sambil menangis sesenggukan.

"Kau tidak ingin menyambut suamimu?" Suara itu, suara baritone milik pria terkasihnya yang selama ini ia rindukan akhirnya kembali menyambut gendang telinganya.

"Kenapa?" dengan suara parau Sakura akhirnya mengeluarkan suaranya, Sakura menatap lurus dada Sasuke yang berada tepat di depannya karena memang tingginya lebih pendek daripada suaminya, "Kenapa selama kau pergi kau mengabaikanku? Kenapa?" Sakura sudah tidak sanggup lagi membendung segala keluh kesahnya.

Sasuke tidak menjawab pertanyaan Sakura, sebagai gantinya ia menjulurkan jemari kokohnya menjangkau pipi Sakura yang sudah lembab karena aliran air mata. Perlahan ibu jari Sasuke menghapus jejak air mata di pipi mulus Sakura. Sebelah lengannya yang masih terbebas bergerak melingkari pinggul Sakura. "Kemarilah,"

Sasuke mendekap erat tubuh Sakura dalam rengkuhan hangat pelukannya. Mencium puncak surai merah muda Sakura yang harumnya sangat ia suka. Betapa ia begitu merindukan saat-saat seperti ini bersama istrinya. Berdua meresapi kebersamaan yang menghangatkan hati. Sedang Sakura sendiri tak jauh berbeda dengan Sasuke, ia segera saja membalas memeluk erat tubuh kekar suaminya yang sudah sejak tadi ditahannya mati-matian. Membenamkan dirinya pada sebuah kenyamanan yang Sasuke tawarkan padanya. Hanya dengan sebuah pelukan dari Sasuke, kegelisahannya yang selama ini menyelimuti hatinya seketika lenyap begitu saja. Ia tidak ingin membiarkan Sasuke menjauh lagi darinya.

"Maafkan aku, Sakura." Sasuke mendaratken sebuah kecupan di dahi Sakura, sedang kedua tangannya masih setia bertengger di pinggul dan bahu Sakura.

Mendengar penuturan Sasuke, lengan Sakura yang sejak tadi mengalung di leher Sasuke merosot turun kebawah mencengkarm kemeja Sasuke tepat di dadanya. Ia mendongak menatap iris kelam Sasuke yang balas menatapnya lembut.

Sakura menggeleng lalu suara seraknya mulai terdengar, "Jangan… jangan lagi mengabaikanku, jangan pergi lagi. Aku tidak ma―"

Dalam hitungan detik Sasuke membungkam bibir Sakura dengan bibirnya. Memagut lembut bibir mugil Sakura, berusaha untuk menenangkan istri dalam dekapannya. Ia tidak mau mendengar nada pedih yang keluar dari bibir Sakura ataupun kata-kata pilu wanitanya. Sasuke tidak sanggup menyaksikan Sakura yang nampak begitu kacau karena ulahnya. Ini semua sudah cukup, ia ingin semuanya kembali seperti semula. Mungkin ini sedikit terdengar egois, karena bagaimanapun Sakura menderita karena ulahnya yang tiba-tiba mengabaikannya begitu saja tanpa memberikan alasan apapun

Mendapatkan kecupan hangat dari Sasuke, dengan senang hati Sakura menyambutnya. Dengan putus asa Sakura membalas cumbuan Sasuke. Perasaan rindunya yang sudah tertahan ia luapkan dalam pagutannya. Sakura ingin Sasuke juga memahami betapa ia sangat merindukan sosoknya.

Setelah bebarapa waktu tenggelam dalam sebuah ciuman mesra, akhirnya bibir-bibir itu terpisah. Kebutuhan pasokan udara membuat keduanya melepaskan diri dan menarik nafas sebanyak-banyaknya dengan nafas tersengal.

Sasuke menyeringai melihat Sakura merona dengan ekspresi salah tingkah, ia menyentil dahi Sakura dan berujar, "Kau begitu menikmatinya, heh?"

Sakura mendengus membuang muka ke arah lain. Menutupi rasa malunya karena sudah terbawa suasana. Namun, tiba-tiba ia merasakan sesuatu bertengger di perutnya.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Sasuke yang sudah meletakkan telapak tangan kanannya di atas perut Sakura.

Sakura tersenyum, "Baik, dia sehat."

Selanjutnya senyuman Sakura kian melebar tatkala Sasuke mengecup perutnya. Lama. Sakura sekarang mengerti perasaanya terhadap Sasuke yang selama ini memenuhi hati dan pikirannya. Kalau ia tidak hanya mencintai Sasuke.

Tapi juga membutuhkannya.

xxxxx

Pagi ini seperti pagi-pagi sebelumnya, kediaman pasangan Uchiha muda ini terlihat tenang dan tentram. Di luar halaman dapat di saksikan kouyou yang sudah berjatuhan dari tempat asalnya. Hembusan angin dingin menjelang musim dingin yang sebentar lagi datang, meniup pepohonan yang sudah meranggas menyisakan dahan-dahan kering yang masih setia bertahan dengan batangnya yang menjulang.

Setelah beberapa minggu belakanagan ia bermuram durja, pagi ini sangat bertolak belakang. Wajah Sakura begitu ceria, ia sesekali melantunkan sebuah nyanyian kala ia tengah sibuk menyiapkan sarapan untuk ia dan suaminya.

Sebelum ia sempat beranjak untuk membangunkan suaminya, orang yang dimaksud sudah berdiri dengan tampang kusut sehabis bangun tidur.

"Kau sudah bangun?" tanya Sakura ketika Sasuke mendekat ke meja makan.

"Aku lapar," sahut Sasuke, tidak menjawab pertanyaan Sakura yang dirasa tidak perlu untuk dijawab.

"Seharusnya kau mandi dulu baru sarapan, Sasuke."

"Nanti saja, aku hari ini libur."

Sakura menghela nafas pasrah, kalau sudah seperti ini Sasuke pasti tidak inigin di tentang, selain itu ia juga tidak tega melihat raut wajah Sasuke yang terlihat kelaparan memandang penuh minat makanan yang tersaji di meja makan.

"Kemana kakek Madara? Semalam saat kau pulang aku tidak melihatnya,"

"Ia pulang setelah aku datang, ia hanya mencemaskanmu kalau-kalau aku pulang larut."

Sakura mulai mengambilkan semangkuk nasi dan menyerahkan pada Sasuke. "Oh, kenapa tidak menginap saja?"

Sasuke menerima mangkuk nasi itu dan disusul semangkuk sup miso yang diserahkan padanya. "Kau lupa di rumah ini tidak ada kamar lagi,"

Sesudah mengambil sumpit, Sasuke mulai menyumpit makanannya dengan sebelumnya mengucapkan 'selamat makan' terlebih dahulu. Seperti biasa tidak ada yang berbicara hingga mereka berdua menyelesaikan makan mereka.

Selesai dengan sarapnnya, Sakura bangkit terlebih dahulu, kemudian membereskan bekas sarapannya. Melihat Sasuke juga sudah selesai, Sakura mulai buka suara.

"Hari ini aku mau pergi berbelanja, stok makanan sudah habis,"

"Hn, mau kuantar?"

Sakura tersenyum, kehadiran Sasuke membuat ia berkali-kali tersenyum sejak semalam.

"Tidak usah, kau pasti lelah. Kau istirahat saja di rumah."

xxxxx

Sakura tidak bisa menghapus senyum bahagianya hari ini, ia sudah mempunyai sederet rencana untuk menyiapkan makan malam istimewa bersama sang suami tercinta nanti malam. Berbekal uang belanja yang di berikan Sasuke padanya sebelum ia berangkat, Sakura hampir dua jam berkeliling pusat perbelanjaan demi memenuhi dahaganya akan kebutuhan pribadinya dan juga kebutuhan perlengkapan rumah tangga mereka.

Sakura menenteng beberapa kantung belanjaan yang berisi berbagai barang kebutuhannya. Ia juga membeli beberapa celana untuk ibu hamil, karena ia merasa lingkar pinggulnya sudah mulai bertambah. Ketika matanya menangkap sebuah jaket pria berwarna biru tua―dengan aksen garis berwarna hitam di beberapa bagian tertentu― di sebuah toko pakaian. Sakura langsung jatuh hati melihatnya. Ia membayangkan jika Sasuke menggunakannya pasti akan jadi terlihat lebih tampan. sehingga dihampirinya toko itu, dan tanpa buang-buang waktu ia segera membali jaket itu dan membawanya pulang.

Membeli satu lagi benda, otomatis menambah barang bawaan Sakura. wanita itu sudah terlihat cukup kerepotan dengan jinjingannya yang tidak dapat di bilang sedikit. Dalam hati ia sedikit menyesal karena telah menolak diantar Sasuke.

Karena begitu kerepotan di tengah lautan manusia yang memadati pusat perbelanjaan tersebut, Sakura tanpa sengaja menabrak bahu seseorang.

Bruk!

Kantung belanjaan Sakura terjatuh, buru-buru ia memunguti satu persatu kantung belanjaanya dan mendongak berniat meminta maaf pada orang yang baru saja ditabraknya.

"Ma―"

"Sakura?"

Mata sakura melebar. Ditatapnya lekat-lekat objek yang berada di depannya seolah meyakinkan kalau sesuatu yang ia lihat saat ini adalah nyata.

"Gaa… ra?" ucapnya lirih lebih seperti bertanya pada dirinya sendiri.

Gaara tidak menampakkan ekspresi apapun, sedangkan Sakura sudah tersenyum kikuk di hadapannya.

"Kau sedang apa di sini?" Gaara bertanya terlebih dahulu, melepaskan keheningan di antara keduanya.

Sakura tersenyum canggung kemudian memamerkan beberapa jinjingannya pada Gaara, "Seperti yang kau lihat, aku habis berbelanja,"

Gaara mengangguk paham.

"Kau sendiri sedang apa?" Sakura melanjutkan dengan berbasa-basi membalikan pertanyaan Gaara.

"Aku baru saja bertemu klienku." Gaara menatap Sakura dengan pandangan meneliti, "Kau sendirian?"

"Aa, begitulah."

Kembali hening sesaat sampai Gaara kembali berbicara, "Kalau begitu, bagaimana kalau kita… mungkin sekedar minum teh bersama?"

Sakura sedikit kaget mendengar tawaran Gaara yang dengan jelas mengajaknya minum teh. Sakura tahu pasti ada banyak hal yang ingin Gaara tanyakan dan perbincangkan dengannya. Selama ini ia sudah banyak berbuat salah terhadap Gaara, ditambah lagi dengan pertemuan mengejutkannya bersama Sasuke dan Kin beberapa minggu yang lalu. Namun ia merasa ragu untuk menerima ajakan seorang pria, apalagi Gaara adalah mantan kekasihnya. Ia adalah wanita bersuami, ia takut akan terjadi kesalahpahaman lagi antara dirinya dengan Sasuke, seperti saat ia diantar oleh Sasori. Tapi, ini adalah kesempatannya untuk bisa berbicara langsung dengan Gaara dan meminta maaf. Sasuke tidak tahu prihal Gaara dan tidak akan tahu ia berada di sini, maka Sakura memutuskan untuk tidak menyianyiakan kesempatan ini.

"Kurasa, itu bukan ide yang buruk."

xxxxx

Bertahun-tahun tidak pernah bertemu dalam suasana khusus seperti ini membuat Sakura dan Gaara nampak canggung. Di pangkuannya Sakura berkali-kali meremas jemarinya gugup. Gaara tetap memasang wajah datarnya, biarpun sikapnya terlihat sedikit kaku dari biasanya.

Gaara mulai memesan secangkir lemon tea, sedangkan Sakura hanya turut mengikuti apa yang Gaara pesan. Saat ini mereka sudah ada di sebuah café yag berada tidak jauh dari pusat perbelanjaan dimana mereka tadi bertemu.

"Bagaimana kabarmu?" Gaara memulai percakapan.

Sakura tersenyum tipis menanggapinya, sudah lama ia tidak mendengar sapaan hangat pria berambut merah ini, "Baik, kau sendiri, bagaimana?"

"Lumayan," jawabnya singkat. "Lama tak berjumpa, tak kusangka kau sudah menikah," lanjutnya kemudian.

"Kami baru menikah, hampir dua bulan."

"Ah, masih baru rupanya, pantas kalian nampak begitu mesra." Gaara nampak berpikir sejanak, "Kau sepertinya nampak bahagia bersama suamimu itu, tidak seperti… dulu,"

Sakura tersenyum pahit, ia tahu cepat atau lambat pangkal pembicaraan mereka akan bermuara pada topik ini.

"Sebelumnya aku ingin meminta maaf padamu," menghembuskan nafas sesaat untuk mengambil jeda Sakura kemudian kembali melanjutkan berbicara, "Aku tahu dulu aku telah menyakitimu, memutuskan semua begitu saja dan membuatmu terluka. Aku… mungkin lebih pantas menerima makianmu saat pertama kali kita kembali bertemu, setelah apa yang telah aku perbuat padamu dulu."

Sakura menundukkan kepala tak kuasa menatap wajah Gaara. lama tak ada tanggapan atas kata-katanya, sampai pesanan mereka akhirnya datang.

"Aku mengerti, kau pasti akan berkata seperti ini."

Mendengar itu Sakura menegakan posisi duduknya, dilihatnya Gaara tengah menyesap lemon tea di cangkir yang berada di tangannya.

"Apa kau membenciku, Gaara?"

Dengan anggun Gaara meletakkan cangkir itu kembali pada tempatnya. "Tidak. Tapi, mungkin lebih cocok bila disebut… kecewa?"

Sakura mentap sendu sepasang Jade yang menyiratkan kekecewaan yang begitu kentara. Serpihan kenangan itu kembali terajut dalam memori Sakura. Ia ingat bagaimana dulu dirinya bersama Gaara berjalan beriringan sebagai sepasang kekasih. Ia berdiri di sisi Gaara saat semua orang memandang aneh dan menjauhi Gaara yang di anggap orang aneh dan seorang gay . Dirinyalah yang membuka mata semua orang bahwa Gaara adalah pria normal. Gaara sebenarnya hanyalah seorang pria yang memiliki trauma pada wanita karena ia menyaksikan ibunya terbunuh di hadapannya demi melindungi dirinyanya yang masih kecil. Sejak saat itu Gaara takut berhubungan dengan wanita, karena ia tidak ingin membuat wanita yang ada di dekatnya mengalami hal buruk seperti sang ibu. Sejak saat itu Gaara jatuh hati pada Sakura, dan meminta Sakura untuk menjadi kekasihnya.

"Aku yakin kau punya alasan mengapa meninggalakanku. Dan bolehkan aku mengetahui alasan itu sekarang, Sakura?"

Ya, hari itu Sakura ingat. Saat dimana ia memutuskan mengakhiri hubungannya dengan Gaara. Hari itu, hari dimana Gaara harus kembali ke Suna, tanah kelahirannya. Gaara berniat membawa Sakura ke Suna untuk diperkenalkan pada kedua kakak dan ayahnya. Gaara ingin menjadikan Sakura sebagai tunangannya walupun ia tahu mereka akan terpisah sementara waktu antara Konoha-Suna. Namun Sayang setelah hampir empat jam ia menanti kedatangan Sakura, yang ada hanyalah sebuah pesan singkat yang diterimanya. Pesan singkat itu datang dari Sakura, kekasihnya, yang berisikan bahwa Sakura tidak dapat ikut bersamanya ke Suna. Dan yang paling buruk dari apa yang ia terima kala itu, Sakura meminta untuk mengakhiri hubungan mereka tanpa alasan yang jelas.

"Aku… minta maaf, tapi aku tidak bisa terus bersamamu… apalagi ke jenjang yang lebih jauh," setelah menemukan kembali suaranya yang terasa tercekat beberapa saat lau Sakura kembali bersuara.

Gaara tersenyum getir, "Aku mengerti, sejak dulu kau memang hanya kasihan padaku. Kau tidak pernah mencintaiku."

Keberanian Sakura mulai terkumpul, tidak ada lagi yang harus ia sembunyikan, semuanya sudah harus diselesaikan sekarang juga. Dulu ia tidak sanggup berkata jujur pada Gaara, ia terlalu pengecut mengakui semuanya karena takut menyekiti perasaan Gaara. Tapi menjalin kasih dengan seseorang yang tidak dicintai adalah suatu pilihan yang sanggup membuat hidupnya tersiksa.

"Aku ingin, sangat ingin membalas cintamu, tapi―aku tidak bisa. Demi Tuhan, aku sangat menyayangimu, Gaara. Tapi aku juga tidak ingin menyakitimu dengan terus berpura-pura mencintaimu."

Gaara lagi-lagi terdiam untuk sesaat, Sakura dapat melihat dengan jelas Jade itu mulai meredup. "Maaf," bisik Gaara, "Maaf jika dulu aku terlalu memaksakan kehendakku. Maaf jika aku menutup mata pada kenyataan yang sebenarnya. Kau… adalah wanita yang pertama kali membuatku jatuh hati dan mengembalikan kepercayaan diriku, Sakura."

Tangan Sakura bergerak menyentuh jemari Gaara yang terkulai lemas di atas meja. Tersenyum tulus pada Gaara, mantan kekasihnya.

"Tidak seharusnya kau meminta maaf. Tapi aku―aku yang sepantasnya meminta maaf padamu," Sakura meremas jemari besar Gaara kemudian tersenyum tulus ke arahnya, "Percayalah, Gaara. Kita bisa terus saling menyayangi. Tapi, alangkah indahnya jika rasa sayang itu kita wujudkan dengan… berteman,"

Tatapan Gaara mulai melembut. Senyuman hangat kini terulas di bibir Garaa, tanganya yang bebas―tidak di genggam Sakura―balas menyentuh tangan Sakura yang menggenggam sebelah tangannya.

"Teman."

xxxxx

Dengan tergesa-gesa Sasuke segera bersiap menuju lokasi yang disebutkan Neji melalui sambungan telpon beberapa menit yang lalu. Bermodalkan mandi sepuluh menit, Sasuke sudah siap melajukan mobilnya untuk segera menuju tempat Neji dan Kiba berada. Surat penangkapan untuk buronan yang selama ini diincarnya sudah sampai ke tangannya. Dan informasi keberadaan buruannya sudah diketahui oleh kedua rekannya. Jadi, Sasuke tidak ingin membuang-buang waktu lagi untuk segera menangkap buruannya.

Sesampainya di sebuah Hotel berbintang lima, Sasuke sudah disambut oleh dua rekan kerjanya yang sudah menanti di pelataran parkir Hotel.

"Keduanya berada di sini?" tanya Sasuke yang sudah memasuki lift bersama Neji dan Kiba.

"Ya… kau tahulah skandal cinta terlarang," Kiba terkekeh setelah mengucapkan ejekannya.

Ketika mereka sampai di lantai enam Hotel itu, ketiganya mengarah pada kamar bernomor tiga ratus enam. Sasuke mengetuk pintu kamar itu setelah sebelumnya memberi aba-aba pada kedua rekannya.

Cklek

Munculah seorang pria bertubuh besar , berdiri di ambang pintu kamar itu dengan wajah terkejut yang tidak dapat disembunyikannya.

"Tuan Zabuza Momochi, anda ditahan atas tuduhan penggelapan uang dan keterlibatan dalam pembunuhan berencana terhadap Tuan Yashamaru,"

Sasuke memberi tanda pada Kiba untuk masuk dan menggeledah kamar tersebut. Kemudian tidak lama Kiba muncul dengan seorang gadis berambut pirang yang berbalut selimut yang diseret paksa oleh Kiba.

"Dan juga anda, Nona Sabaku Temari."

Neji dan Kiba sudah menyeret kedua tersangka itu untuk digiring menuju mobil mereka di pelataran parkir. Tidak ingin sampai ada sesuatu hal yang tidak di inginkan Neji sudah meminta dua anggota lainnya dari divisi mereka untuk mengawal penangkapan dua anggota pejabat penting yang tertangkap basah memiliki skandal di balik kejahatan keduanya.

Sasuke yang membawa mobil pribadi, juga turut serta mengawal kedua tersangka itu hingga menuju markas. Ketika lampu merah berhenti tepat di dekat pusat perbelanjaan mobil-mbil yang mengiringi kedua tahanan itu juga ikut terhenti. Tanpa sengaja Sasuke mengedarkan pandangannya ke sekeliling jalanan, hingga sepasang matanya jatuh pada sesosok perempuan berambut merah muda tengah duduk berdua dengan searang pemuda berambut merah saling mengenggam di sebuah restoran terbuka. Buru-buru Sasuke menepikan mobilnya. Ia harus memastikan pa yang ia lihat saat ini. Dengan segera, Sasuke menghubungi Kiba dan Neji untuk lebih dulu menuju markas, sedang ia beralasan sedang ada urusan yang harus di selesaikan terlebih dahulu.

Sasuke turun dari mobil hitamnya, menapaki jalan menuju café tersebut untuk menghampiri kedua sosok―tanpa disadari oleh keduanya―itu yang sibuk bercengkrama. Semakin dekat, semakin nampak terlihat jelas di matanya apa yang ia dapati adalah…

"Sakura?"

Sakura tersentak, buru-buru ia melepaskan gengamannya di tangan Gaara ketika suara berat yang sudah begitu familiar di telinganya terdengar begitu jelas memanggil namanya. Sontak saja Sakura membeku di tempatnya. Bagai tersambar petir Sakura melihat Sasuke berdiri tidak jauh di mana ia dan Gaara berada. Sakura berharap matanya salah mengenali, tapi dengan jarak sedekat ini dan matanya yang ia tahu masih sehat wal afiat rasanya mustahil jika penglihatannya salah. Sama mustahilnya seperti buah yang jatuhnya ke atas.

Kerongkongan Sakura mendadak terasa kering, dengan ekspresi kaget dan suara tercekat Sakura bergumam,"Sa-sasu―"

Situasi saat ini benar-benar dilur dugaan. Hal yang dikhawatirkan Sakura sebelumnya akhirnya terjadi juga. Seharusnya sejak awal ia tidak usah membohongi Sasuke mengenai Gaara, dan seharusnya ia jujur dan memberi tahu siapa Gaara dan maksud ia berada disini bersama Gaara. Tapi… terlambat, semuanya sudah terlambat. Sakura sudah tidak bisa membayangkan lagi apa yang akan terjadi selanjutnya.

.

.

TBC

.

.

Horree… Spanyol menang, abang Casillas ok!^^/*krikkrik…

Abaikan yang diatas,

Holla minna… apa kabar semuanya? Semoga tetap sehat selalu^^

Tolong jangan marah karena saya terlambat mengapdet fic ini#ngumpet di kolong ranjang

Maaf kalo saya lama mengapdet, ternyata mood yang kacau itu bener-bener berpengaruh pada semangat menulis saya,:( hiks hiks... Tapi ketika saya lihat kotak repiu yang cukup banyak minta di apdet dan beberapa ada yang PM saya, saya jadi tersentuh dan tergerak untuk nulis sampai begadang hingga pagi buta begini. Repiu all readers sangat berarti buat saya.:)

Dan ternyata sepertinya fic ini butuh beberapa chap lagi untuk menamatkannya, semoga bisa cepet terealisasi semuanya. Amin

Maafkan saya juga tidak bisa membals repiu karena mata saya sepertinya sudah tidak bisa diajak kompromi:)

Chap ini saya persembahkan untuk para readers yang setia menanti fic ini dan para reviewers yang sudah sudi mengisi kotak repiu saya:)

Terimakasih banyak, semoga chap ini suka, biarpun saya tahu chap ini ancur karena keerorran authornya:D

Buat selanjutnya, bolehkah saya minta repiu lagi, please^^.