'Naru-kun…'

'Hm?'

'Kau akan pergi kan?'

'Hah?'

'Entah kapan, namun kau pasti akan pergi suatu hari nanti, kan?'

'Apa yang kau bicarakan? Aku akan selalu bersamamu! Aku akan—'

'—Tidak,'

'Kau pasti pergi.'

"HAH!"

Naruto membelalakkan matanya, napasnya terengah berat. Dengan gusar dia melihat sekeliling tanpa memedulikan cucuran keringat di dahinya. "Mikoto? Mikoto!"

Matanya menatap nyalang. Dalam hati berharap bahwa dia tidak berada di dalam kamarnya dan memberi tamparan telak bahwa itu semua hanya mimpi.

Hening.

Tidak ada yang menjawab.

Dan pemuda itu kembali menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur.

.

.

.

Papa GoTo

Chapter 5: The Second You

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Pairing: SasuXNaru

Rated: T

Warning: AU, Gaje,aneh,typo(s),OOC stadium akhir(khususnya Sasuke),de-el-el.

Genre: Family, Hurt/Comfort.

Summary: Ditinggal mati ibu? 'Rasanya seperti ikut mati juga'. Harta warisan diperebutkan saudara licik? 'Hn. Enyahkan mereka'. Penampakan seorang kakak kelas berandalan yang blonde dan mengaku sebagai ayahmu? 'What the HECK!'

DON'T LIKE,DON'T READ!

.

.

.

"Semua itu benar."

Suara gebrakan keras menggema kemudian, bergaung di dalam ruangan luas yang dihuni oleh beberapa orang berpakaian suram.

"Itu tidak mungkin! Pasti ada suatu trik di balik semua ini! Bocah itu licik, mudah baginya untuk melakukan semua ini!"

Muka Danzo mengejang murka. Matanya menatap tajam pada seseorang yang malah menyeruput tehnya dengan tenang.

"Kau bisa melakukan penyelidikan sendiri jika kau mau. Tapi percayalah, sampai ke ujung duniapun kau mencari sanggahan, hasilnya tetap sama."

Danzo mengeluarkan suara antara menggeram dan memekik tertahan. Tangannya bergetar menahan hasrat untuk mengoyak berkas-berkas laknat yang menjadi sumber kegalauannya saat ini. Surat keterangan dari kuil, kartu keluarga, akte kelahiran, bahkan hasil tes DNA bertebaran di hadapannya.

"Uzumaki Naruto adalah suami sah dari Uchiha Miko—ah, atau harus kusebut Uzumaki Mikoto?"

"SAI!" seru Shisui dengan nada memperingatkan. Danzo sudah menunjukkan raut yang amat tidak enak dilihat, membuat Sai tersenyum geli.

"Dari semua orang…" suara Danzo nyaris tertahan di tenggorokannya. "Kenapa harus kau? Kenapa harus kau yang—"

"—Jangan menanyakan hal yang tidak akan kujawab, Ayah." Mata Sai menyipit halus ketika dia tersenyum, namun semua orang dapat merasakan intensitas rasa tidak senang menguar semakin pekat dari tubuh pemuda itu.

Lalu Sai beranjak dari duduknya, meregangkan sedikit otot dan berjalan melewati Danzo. "Yah, kalau tidak ada yang ingin dibicarakan lagi, aku akan pergi sekarang. Orang muda sepertiku tidak punya waktu senggang seperti kalian. Aku permisi."

"Kenapa Uzumaki?" tanya Shisui lirih, kepalanya tertunduk. "Kau tahu persis apa yang akan Fugaku lakukan jika ia mengetahui hal ini."

Langkahnya terhenti. Pertanyaan Shisui benar-benar menarik perhatiannya.

"Jika kau tanya 'kenapa'…" Sai menimbang-nimbang sejenak, memilih kata yang tepat untuk diucapkan.

"Aku juga tidak tahu. Mikoto-san yang memilih, jadi kusarankan kau bertanya padanya. Itu pun…" Sai tersenyum dingin. "Kalau kau bisa mendapat jawaban dari orang mati."

.

.

.

Naruto mengeratkan pelukannya pada Chibi Naru. Dengan hati-hati dia menutupi wajah anaknya itu dengan selimut putih tipis sebelum menyelipkan kepala kecil itu di perpotongan bahunya, mencoba memberi kehangatan di pagi yang berembun.

Langkah kakinya dibuat sepelan mungkin agar balitanya tidak terbangun. Sesekali dia menepuk-nepuk punggung mungil itu sembari menyenandungkan sebuah lagu pengantar tidur yang sukses membuat Chibi Naru bergelung nyaman.

"Sedikit lagi, Naru-chan…" bisik Naruto lirih. "Sedikit lagi kita sampai."

Mereka melewati jalan memutar yang sepi pemukiman penduduk. Masih asri. Jalanan masih berupa tanah dengan beberapa kerikil yang mengeluarkan suara ricuh pelan jika terinjak. Di kanan kiri semak belukar dan pohon besar membayangi hamparan tanah di bawahnya.

Bau embun masih pekat, menetes di ujung dedaunan, menitik tanpa suara sebelum terserap pasir. Helaian pirang keduanya melambai tertiup angin pagi yang beku, berlomba anggun dengan ilalang yang mengikuti arah pergerakan udara. Sekali lagi Naruto melambatkan langkahnya, menoleh cemas pada balita dalam pelukannya sebelum menghela napas lega.

'Kau pasti pergi.'

Gigi Naruto menggerutuk keras. Tanpa sadar dia memeluk Chibi Naru posesif, melingkarkan lengannya kuat-kuat sebelum memutuskan untuk mempercepat jalannya.

'Seperti kau yang semudah ini mendobrak masuk dalam kehidupanku, semudah itu pula kau pergi.'

Naruto semakin memburu langkah.

'Kau atau bayi ini, siapa diantara kalian yang akan pergi terlebih dahulu?'

Naruto berlari sekencang-kencangnya. Dia harus cepat… dia harus cepat… dia harus cepat—

"Nghh… Otou-san?" panggil Chibi Naru yang terbangun akibat guncangan, mencengkram bagian bahu dan punggung kemeja Naruto dengan khawatir.

"Maaf, Naru-chan," Naruto tetap berlari tanpa sedikitpun menoleh pada anaknya. "Tunggulah sebentar lagi. Kita akan segera sampai."

Chibi Naru mendongak menatap penuh tanya ayahnya. Naruto masih saja tidak menoleh ke arahnya, terlalu fokus berlari dengan kaki yang sudah terlatih untuk berlari dari kejaran polisi atau satpam sekolah.

Dia mungkin masih terlalu kecil untuk mengerti mengapa sang ayah berlari, mungkin dia masih terlalu polos untuk paham kenapa ayahnya memeluk dirinya seerat ini. Tapi dia tidak terlalu bodoh untuk menyadari bahwa napas yang nyaris putus dan mata biru yang seolah-olah bisa menutup sewaktu-waktu itu—dia lebih baik diam.

Tapi mau kemana mereka?

Daerah ini, jalan ini, sama sekali asing baginya.

Jalan yang mereka lewati semakin menyempit, kecil menyerupai gang-gang kumuh di kota. Tidak ada seorang pun yang berlalu lalang. Chibi Naru tanpa sadar menggigit bibir mungilnya, penasaran sekaligus takut dengan daerah baru yang terkesan liar ini.

Seakan bisa merasakan ketidaknyamanan anaknya, Naruto mengecup dahi Chibi Naru penuh sayang. Tangannya mengusap-usap belakang kepala kuning itu dan mendekapnya lebih erat lagi.

"Tenanglah Sayang, tenanglah…" desis Naruto seraya melambatkan larinya ketika ia melihat tempat tujuannya sudah ada di depan mata. Chibi Naru mengangguk lambat-lambat sebelum melingkarkan lengannya di leher Naruto.

"Kita mau kemana, Ayah?"

Naruto tersenyum kecil. Tangannya mendorong sebuah pintu besi berjeruji yang berada di ujung jalan dan memasukinya.

"Nah, Naru-chan…" Naruto menurunkan tubuh mungil anaknya dan tersenyum semakin lebar saat melihat ekspresi takjub di wajah imut itu. Ratusan batu pualam tinggi berbentuk persegi dengan berbagai ukuran memenuhi indra penglihatan bocah tersebut.

"Ini kubulan?" tanyanya takut. "Ayah? Untuk apa kita kesini?"

Naruto meraih jemari kecil Chibi Naru, membimbingnya untuk masuk lebih jauh.

"Ayo, kita akan menemui ibumu."

.

.

.

Kakashi yakin bahwa di masa lalu dia adalah seseorang yang baik. Bukan seorang penjahat atau menjalani profesi apapun yang membuat takdir membencinya. Kalaupun dia ada berbuat suatu kesalahan, Kakashi percaya saat ia bereinkarnasi segala kesalahannya akan hilang seiring dengan kelahiran barunya.

Tapi anggapan manis itu luluh lantak saat kelasnya menerima murid pindahan dari Ibaraki yang—belum apa-apa sudah membawa aura permusuhan.

"Namaku Gaara, pindahan dari SMA Ibaraki. Mulai sekarang aku akan menjadi bagian dari kelas ini, jadi mohon bantuannya."

Kakashi melirik anak itu dengan pandangan lelah. Memperkenalkan diri dengan muka dingin dan nada suara yang penuh dengan ketidakikhlasan seperti itu…

"Nah, Gaara-kun…" ucap Kakashi memecah keheningan. "Karena kelas kami sudah penuh dan kursimu belum sampai, hari ini kau duduk di bangku Hyuuga Neji yang absen hari ini, tepat di sebelah pemuda yang sedang tidur itu," Kakashi menunjuk Shikamaru. "Besok kau akan mendapatkan kursimu sendiri. Silakan, Gaara-kun."

Gaara—tanpa menoleh apalagi berkomentar—langsung melengos ke kursi Neji dan menghempaskan tubuhnya disana. Sekilas ia melirik Kakashi, mengisyaratkan bahwa pria bermasker itu sudah bisa memulai pelajarannya.

Kakashi tersenyum kecut di balik maskernya. Kenapa semua hal buruk selalu dilimpahkan kepadanya? Dia sudah menjadi wali kelas Akatsuki dan sekarang ia bertanggungjawab untuk mengurus anak baru ini.

Anak baru yang mengajukan permohonan pindah kelas ke ruang khusus—Akatsuki.

.

.

.

Naruto menggaruk belakang telinga Chibi Naru dengan lembut, membuahkan geraman menggemaskan dari bocah berambut pirang itu. Sesekali ia melirik anaknya dan memperbaiki letak selimut tipis yang membungkus tubuh mungilnya. Ia gelisah, sangat. Ia tidak sanggup meninggalkan Chibi Naru di TK atau tempat penitipan anak. Tidak setelah semua yang ia lalui.

Dan sekarang disinilah ia, di atap sekolahnya yang biasa menjadi tempat persembunyiannya jika ia merasa terganggu dengan luka bekas perkelahiannya dan terlalu malas untuk pergi ke ruang kesehatan. Ia tahu ini tindakan yang amat bodoh, membawa anaknya ke sekolah sama saja dengan membuka seluruh isi buku.

Tapi dia tidak punya pilihan lain. Dia terlalu takut untuk menginjakkan kaki di rumah—Naruto bahkan tak yakin rumah itu bisa disebut 'rumahnya'—dan ia merasa tidak nyaman untuk menghabiskan waktunya di tempat umum.

Pemuda itu menggigit ujung ibu jarinya, suatu kebiasaan yang sering ia lakukan jika ia merasa cemas atau tertekan. Mati-matian ia menahan keinginan untuk berteriak dan melampiaskan perasaan berat ini di dadanya. Tapi tidak, malaikat kecilnya sedang tidur lelap dan ia terlalu menyukai wajah damai putranya.

"Kau sudah tiba? Cepat sekali."

Naruto mendongak cepat, begitu cepat hingga ia merasa leher belakangnya berderak.

"Syukurlah," bisiknya dengan nada putus asa. "Kau datang..." ucapnya perlahan, menikmati kelegaan menyelimuti tubuhnya.

Sosok yang dinanti Naruto itu tersenyum lalu mengulurkan tangannya ke arah Chibi Naru. Ia mengelus ubun-ubun balita itu dengan jari telunjuknya.

"Dia manis seperti biasa," komentarnya pelan. "Kau merawatnya dengan sangat baik."

Sang Uzumaki terkekeh pelan. Ditatapnya Chibi Naru dengan seulas senyuman di wajahnya yang dihiasi memar kebiruan akibat tawuran akbarnya beberapa hari yang lalu.

"Aku juga tidak menyangka dia tumbuh menjadi sebesar ini," bisiknya seraya menimang kecil putranya. "Untuk berandalan sepertiku—siapa sangka ia menjadi seperti ibunya?"

Wajah teduh sang pria seketika lenyap, gerakan jarinya berhenti. Tubuhnya menegang ketika kata-kata Naruto tertangkap indera pendengarnya.

"Kau menyamakan Naru-chan dengan Mikoto-san?" nada tak terima termuntahkan dari bibirnya. "Apa yang sudah merasuki kepalamu?"

Naruto sama sekali tidak kelihatan tersinggung. Malah sepertinya dia sudah menduga sosok tampan di depannya kini akan mengatakan hal demikian. Merapikan balutan selimut anaknya, Naruto menjawab.

"Apa yang salah? Dia ibunya."

"Kau tahu itu tidak benar," decak sosok tersebut tidak sabar. "Kau adalah ayah sekaligus ibunya. Hidup Mikoto-san terlalu singkat untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang ibu."

Kali ini mata Naruto menyipit. "Dia tidak pernah meminta kematiannya."

"Aku tidak mengatakan ini semua salahnya," sosok tersebut mengangkat bahu. "Aku menghormati beliau, tapi aku hanya tidak bisa terima kepergiannya membuat hidupmu sekacau ini. Atau haruskah aku mengatakan bahwa ini semua salahmu?"

Naruto menahan geramannya yang sudah berada di ujung kerongkongan. Pria di hadapannya ini benar-benar tidak bisa ditebak. Sikapnya dapat berubah-ubah sewaktu-waktu, bagaikan bom yang bisa meledak kapan saja.

"Dengar Tampan," desak Naruto tak sabar. "Aku tidak memanggilmu kemari, ke atap sekolah yang amat riskan ini, untuk mendengarmu mengoreksi hidupku. Aku butuh bantuanmu untuk memberiku solusi—"

"—Mengenai Itachi?"

"Itu termasuk salah satunya," sahut Naruto cepat sebelum sang lawan berbicara menginterupsinya lagi. "Tapi ini jauh lebih urgensi, dan aku benar-benar membutuhkanmu."

Pria tersebut menatap Naruto intens. Dia dapat melihat kegelisahan dan ketakutan Naruto di mata biru langit itu. Warnanya keruh, jauh lebih pekat dibandingkan saat terakhir ia melihatnya.

"Baiklah," pemuda itu menghela napas dalam. "Jadi? Kali ini apa?"

Sekelebat ingatan terlintas di kepala Naruto secara tiba-tiba. Dalam sekejap ototnya menegang, memaksanya untuk mengepalkan tangan hingga kuku jarinya memutih. Lalu setelah keheningan singkat, Naruto menatap lawan bicaranya dengan tatapan tajam.

"Ini—" menelan ludah. "—mengenai Sasuke."

.

.

.

'Kau atau bayi ini, siapa diantara kalian yang akan pergi terlebih dahulu?'

'Dan berapa lama kalian akan sanggup bertahan?'

.

.

.

Sasuke mengerutkan keningnya samar. Dia dapat merasakan intensitas aneh dari arah belakangnya, dan ia tahu bahwa seseorang tengah mengamati gerak-geriknya sedari tadi. Tidak perlu dipertanyakan siapa, karena orang yang memiliki nyali untuk menganggunya secara terang-terangan seperti ini pastilah—

"Kau menghalangi pandanganku, Uchiha."

Pemuda raven itu mendengus dingin sebelum kembali memperhatikan papan tulis.

Oke, mereka memang baru pertama kali bertemu dan dia tidak akan memusingkan kekakuan yang begitu terasa di hari pertama dia sekolah disini. Tapi seharusnya, siapapun yang melihat tampang seorang Gaara, tahu bahwa tidak menghiraukan pemuda berambut merah itu adalah kesalahan besar.

Tangan Gaara terangkat ke depan, jemari kurusnya menyentuh helaian raven di hadapannya—

Grak!

—Dan menariknya sekuat tenaga.

Teriakan Sasuke menggema di seluruh penjuru kelas. Telinganya berdenging ketika bagian belakang kepalanya menghantam permukaan meja Gaara, membuat lehernya tertarik dan punggungnya melengkung ke belakang secara paksa.

"Kubilang, kau menghalangi pandanganku."

Seisi kelas mengeluarkan suara 'wow' pelan. Kakashi melotot horror, Kiba bersiul nyaring. Pemandangan dimana seorang Uchiha Sasuke dijambak oleh si anak baru merupakan hal yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.

"Singkirkan tanganmu, Brengsek! Lepaskan rambutku!" seru Sasuke dengan suara tercekat. Kondisi lehernya yang meliuk tidak memungkinkannya untuk mengeluarkan suara maksimal. Tubuhnya meronta sejenak sebelum tangan kanannya menggapai pergelangan tangan Gaara dan menusukkan kukunya ke kulit putih itu.

Refleks Gaara melepaskan cengkraman mautnya. Mata hijaunya menatap datar aliran kecil darah yang keluar dari bekas tusukan kuku Sasuke.

"Kau mencari masalah denganku, hah?" sembur Sasuke begitu style langka rambutnya kembali—melawan hukum gravitasi.

"Aku hanya memberi pelajaran untukmu. Dan jika kau bertanya padaku dimana letak kesalahanmu, haruskah aku mematahkan lehermu dulu supaya kau mengerti?"

'SADIS!' batin mereka kompak. 'Muka boleh Sparkling tapi hati Conjuring!'

Sasuke mengamati Gaara dari atas sampai ke bawah. Ini sih kebalikan dari Naruto, tampang sama sifat beda jauh.

Dan ekspresinya itu, datar tapi sengak. Sasuke mendadak jadi ingin mengobrak-abrik wajah yang berani-beraninya menyentuh rambut kesayangannya itu.

"Kau—"

Ckiittt!

Sasuke terdiam. Rasa nyeri yang tajam menyerang lehernya. Tanpa sadar ia berjengit, mengusap lehernya yang dinistai oleh Gaara.

"Uchiha, kau tidak apa-apa?" tanya Kakashi, dan mendapati death glare mematikan Sasuke. "Sebaiknya kau ke ruang kesehatan sekarang, Uchiha. Dan kau Gaara, temui Sensei di kantor guru."

Si pemuda raven berniat memrotes, tapi lecutan sakit di lehernya membuatnya mau tak mau menuruti Kakashi. Memberikan tatapan peringatan pada Gaara, Sasuke keluar kelas dengan hati panas.

Hah, jangan harap dia akan diam saja. Uchiha adalah klan yang pemurah, dan mereka selalu memberikan balasan berkali-kali lipat dari apa yang mereka terima.

Sasuke menyeringai iblis.

"Oh, hai Sasuke."

Langkah kaki Sasuke terhenti. Oniksnya menatap sesosok pria yang tengah tersenyum kepadanya.

"Kau…" Sasuke menyipitkan matanya. "Apa yang kau lakukan disini?"

Pemuda itu melebarkan senyum hingga kelopak matanya menutup, membuat Sasuke semakin curiga. Dia tidak pernah melihat sosok itu berkeliaran di sekolah ini sebelumnya, dan kemunculan yang begitu tiba-tiba begini jelas sangat aneh.

"Aku ada urusan dengan Naru-chi—ah, maksudku Uzumaki." Jawabnya ringan.

Mata Sasuke memicing tajam. Sudah ia duga… orang ini memang mengetahui sesuatu tentang Naruto.

"Jangan menatapku dengan pandangan menyeramkan seperti itu," ujarnya dengan nada main-main. "Kau membuatku takut, tahu."

Geraman menyerupai binatang liar keluar dari kerongkongan Sasuke. "Katakan, apa hubunganmu dengan Naruto?"

Sebuah seringai puas terpatri di bibir sang lawan bicara. Matanya memancarkan suatu ketertarikan, kilat aneh yang membuat Sasuke emosi setengah mati.

"Daripada aku menjelaskan panjang lebar…"

Sasuke mundur perlahan ketika pemuda itu mendekatinya.

"Kenapa kau tidak ikut denganku saja?"

.

.

.

"—kau mengerti? Inilah mengapa mereka membu—tidak, kami membutuhkan bantuanmu. Aku tidak bisa mengatasi semua ini sendiri."

Pemuda itu terdiam. Otot rahangnya mengeras dan tangannya terkepal erat hingga kuku jarinya memucat.

"Dan kenapa kau baru memberitahukan semua ini padaku sekarang?" tanyanya dingin, membuat Naruto tersenyum tulus. Dia tahu sang lawan bicara mengkhawatirkannya, dan hal itu membuat dada Naruto dipenuhi rasa hangat.

"Aku ingin melakukannya sampai batas kesanggupanku. Jika aku memberitahumu lebih awal, kau tidak akan mengizinkanku melakukan apapun." Jawab Naruto lembut. Perlahan ia mengusap pipi pemuda itu dan memaksa mata mereka bertemu.

"Ini mustahil," pria berkulit putih itu menggelengkan kepalanya lemah. "Kau tidak sungguh-sungguh dengan ucapanmu. Ini semua tidak benar."

Kali ini Naruto tertawa pelan sebelum menghentikannya ketika melihat pergerakan kecil dari anaknya. "Seandainya kau benar, aku tidak akan seputus asa ini."

Helaan napas mengalun. Terdengar begitu sedih.

"Kau gila," bisiknya hingga nyaris tak terdengar. Senyum palsu yang biasanya selalu ia tunjukkan lenyap sudah. "Dan aku tidak pernah bisa berkata tidak pada orang gila sepertimu."

Senyum Naruto melebar, wajahnya mencerah. Binar-binar berkilauan kembali tampak di kedua iris safirnya ketika secara tidak langsung sang lawan bicara menyetujui permintaannya.

"Terima kasih, terima kasih…" ucapnya berulang-ulang. Air mata mulai mengaliri pipinya ketika ia mendekap Chibi Naru lebih erat, mengecup dahi lembut itu dan menatapnya penuh sayang. "Terima kasih…"

Ingin sekali rasanya pemuda itu berteriak, memaki Naruto betapa idiotnya si pemuda pirang dan menamparnya berkali-kali agar ia menyesali segala tindakan bodohnya. Tapi pemandangan dimana Naruto menimang Chibi Naru dan menangis tertahan dengan bahu bergetar membuatnya memalingkan wajah, tidak tega melihat semua itu.

"Kurasa sudah saatnya aku pergi." akhirnya ia memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Ia bangkit dan melirik pintu yang terbuka sedikit celahnya, memberikan tatapan dingin ketika ia mendapati sekelebat bayangan dari sana.

Naruto ikut berdiri dengan hati-hati. Sebelah tangannya yang tidak menggendong Chibi Naru menggenggam tangan si pria dan mengecup pipinya.

"Aku titipkan mereka padamu—" bisiknya lirih ketika kontak mereka terlepas. "—Sai."

Sai memejamkan matanya. Tarikan napas yang terdengar goyah diambilnya sebelum mengulum seulas senyum datar.

Matanya terpancang pada sosok mungil dalam gendongan Naruto.

"Kau bisa mengandalkanku."

.

.

.

Hal pertama yang Naruto lihat ketika memasuki kediaman keluarga Uchiha adalah sosok Sasuke yang menunggunya di depan pintu.

Pemuda raven itu tidak mengatakan apapun saat ia pulang, tidak juga mendengus seperti yang biasa ia lakukan. Sasuke hanya berdiri disana, menyilangkan kedua lengannya di depan dada, dan menatapnya dengan tatapan terdingin yang pernah Naruto lihat.

Mata hitam yang menyorot tajam, segaris tipis bibir yang terkunci rapat, dan ekspresi mengintimidasi yang ia temukan cukup untuk membuatnya mengetahui bahwa ada yang tidak beres dengan Sasuke.

"Err… Kami pulang?" ucap Naruto ragu-ragu. Dahinya mengerenyit saat tidak ada respon apapun dari pemuda jangkung di hadapannya.

"Nii-chan? Nii-chan kenapa?" kepala Chibi Naru menyembul dari balutan selimut di lengan Naruto. Tubuh mungilnya menggeliat minta diturunkan, dan Naruto terlalu canggung untuk menegur Chibi Naru yang kini berjalan mendekati Sasuke.

"Ne, Nii-chan? Ada apa?" Chibi Naru menarik ujung baju Sasuke, meminta perhatian. Namun Sasuke tidak bergeming. Sorot matanya semakin intens menatap Naruto.

"Nii—"

"—Kembali ke kamarmu."

Lantunan suara tanpa nada membuat Chibi Naru tersentak. Tidak pernah ia mendengar suara yang bening namun mengintimidasi di saat yang sama seperti ini, dan itu membuatnya takut.

"Otou-san?" panggilnya mencoba meminta penjelasan. Naruto menyipitkan matanya tak senang pada Sasuke. Kohainya ini jelas ingin berbicara empat mata dengannya, tapi caranya dalam mengusir Chibi Naru membuatnya sedikit tersinggung.

"Kau tidak per—"

"Sekarang, Naru." sela Sasuke dengan suara yang menyerupai desisan, menatap langsung mata bulat besar Chibi Naru yang mulai berair. Lalu dengan isakan kecil bocah itu melepaskan genggaman tangannya pada baju Sasuke dan berlari menuju kamarnya.

"Sasuke!" seru Naruto tak terima. "Apa-apaan kau?! Kau membuat Naru-chan menangis!"

Sasuke melirik Naruto dengan ujung matanya. "Dan menurutmu dia tidak akan menangis ketika kau menyerahkan dia—atau kami—kepada Sai?"

Kedua mata Naruto melebar.

"Ba-bagaimana…" gagapnya, tanpa sadar melangkah mundur ke belakang. Keringat dingin mulai membasahi mukanya.

"Aku mendengar pembicaraan kalian di atap," sahut Sasuke datar. Kakinya melangkah mendekati Naruto yang terpojok di dinding. "Jadi?" seringai culas terpatri di bibirnya. "Kapan kau akan pergi dari sini?"

Jantung Naruto seolah tertusuk besi panas ketika ia melihat seringai yang menyiratkan kepuasan, euforia tersembunyi yang membentuk setiap sudut bibirnya. Rasa nyeri itu semakin menjadi-jadi saat ia juga menangkap kilatan penuh harap di mata Sasuke.

Bibir Naruto bergetar ketika ia membukanya. "Segera…" bisiknya pelan, mulai merasakan kemarahan naik ke ubun-ubunnya. "Secepat mungkin."

Seringai Sasuke tidak bisa menjadi lebih lebar lagi.

"Kupikir aku harus menunggu 2 tahun untuk melihat punggungmu menghilang di depan pintu rumahku," ucapnya dengan nada terhibur. "Tak kusangka kau akan pergi lebih cepat. Aku tidak tahu alasannya, namun aku berterima kasih karena kau begitu memikirkan perasaanku."

Seuntai kalimat yang keluar dari bibir Sasuke membuat Naruto menahan napasnya. Bahunya menegang ketika ia mulai berpikir. Tidak tahu alasannya? Apa mungkin… Sasuke tidak mendengar percakapan mereka secara keseluruhan?

Naruto dapat merasakan kelegaan kecil mengaliri punggungnya.

"Aku tidak tahu kau akan sesenang ini jika aku pergi." Ucap Naruto pelan. Matanya menatap tajam ke arah Sasuke yang entah sejak kapan hanya berjarak beberapa inci saja darinya.

Gelak tawa terdengar. Sasuke mundur beberapa langkah, kesulitan menutup mulutnya yang tertawa tak terkontrol.

"Kau tidak tahu?" ucapnya di sela-sela tawa. "Bagaimana mungkin aku tidak senang jika kau pergi? Sampah masyarakat sepertimu, yang hanya bisa berkelahi dan mempermalukan orang, sudah sewajarnya aku bahagia melihatmu pergi sebelum menjatuhkan harga diri Uchiha." sambungnya benar-benar terhibur. Air mata bahkan sampai keluar dari ujung matanya saking hebohnya ia tertawa.

Dada Naruto berdenyut nyeri. Dalam diam ia mengigit bibir bawahnya, menahan diri untuk tidak berteriak dan menghajar Sasuke sampai mati. Suara tawa Sasuke membuat telinganya berdenging dan pandangannya mengabur.

"Satu hal lagi," mendadak tawa Sasuke terhenti. Kini ia menatap dingin Naruto yang terpaku di tempatnya.

"Kau tidak perlu berbuat sok pahlawan, Senpai. Kau tidak perlu bersikap selayaknya seorang ayah yang baik disini. Memohon pada Sai agar menjagaku selama kau pergi? Cih!" Sasuke meludah ke lantai. "Kau benar-benar tidak tahu posisimu disini. Tidakkah kau ingat bahwa aku hanya 'menggunakanmu'? Apa karena aku terlalu lembek padamu sampai kau berpikir bahwa kau bisa diterima disini sebagai keluarga?"

Sasuke berbalik, melangkahkan kakinya menjauhi Naruto yang terdiam menatapnya.

"Jangan bermimpi—kau tidak seberharga itu."

Dan Sasuke pun menghilang di balik pintu kamarnya.

.

.

.

Sasuke menutup pintu kamar dengan punggungnya, bersandar sepenuhnya di pintu. Kepalanya tertunduk dengan kelopak mata yang terbuka lebar. Wajahnya tidak menyiratkan ekspresi apapun, tatapannya kosong.

Perlahan tubuhnya jatuh terduduk ke lantai.

"Sial…"

.

.

.

Sakit.

Naruto mencengkram dadanya. Giginya bergemerutuk keras. Ini sakit sekali… Rasa nyeri dan dingin yang menyerang dadanya membuat pandangannya mengabur.

Terlalu naifkah dia jika berpikir bahwa suatu saat nanti Sasuke akan menerimanya sebagai keluarga?

'Kau tidak seberharga itu.'

Mati-matian Naruto menahan dirinya untuk tidak meraung, mencabik semua yang berada dalam jangkauannya dan memukul wajah tampan itu habis-habisan. Ia kesal, ia marah, ia sedih, ia benci… Semua perasaan yang bergabung menjadi satu ini membuatnya muak.

"Kuatkan aku, Mikoto…"

'Kau akan pergi kan?'

Naruto mengigit bibirnya, memejamkan matanya kuat-kuat.

'Kau akan pergi kan?'

'Hah?'

'Entah kapan, namun kau pasti akan pergi suatu hari nanti, kan?'

'Apa yang kau bicarakan? Aku akan selalu bersamamu! Aku akan—'

'—Tidak,'

'Kau pasti pergi.'

'Miko—'

'—Dan ketika hari itu tiba… Aku tidak akan memiliki Naruto lagi di sisiku. Kau tidak bisa menemaniku lagi, dan memikirkannya saja sudah membuat hatiku sakit.'

'Kenapa kau bicara seperti ini? Apa sedative pasca melahirkan masih bekerja pada tubuhmu?'

'Aku serius, Naru-kun.'

'Aku juga serius! Berhenti berbicara yang tidak-tidak dan cepat istirahat!'

'Hahaha… Kau benar-benar lucu, Naru-kun. Semua orang akan mati dan kita tidak tahu siapa yang akan pergi lebih dahulu—dengan kondisimu seperti ini— adalah aku atau kau?'

'MIKOTO!'

'Aku tidak sanggup… Aku tidak sanggup jika kau pergi lebih dulu, Naru-kun. Tidak ada lagi kau, tidak ada lagi Uzumaki Naruto dan—ah!'

'Ada apa, Mikoto?!'

'Aku tahu apa nama yang tepat untuk anak ini!'

'Yang benar? Siapa namanya? Siapa?'

'Namanya… Uzumaki Naruto.'

'Hah?'

'Bukankah ini sangat menyenangkan? Memiliki dua Naruto! Jadi ketika kau pergi terlebih dahulu—oh, kuharap tidak—aku masih mempunyai Naruto!'

'Tidak! Itu tidak adil!'

'Maksudmu?'

'Kau memiliki dua Naruto, tapi aku hanya memiliki satu Mikoto! Itu sangat curang!'

'Hm? Siapa bilang? Kau mempunyai dua Mikoto, Naru-kun.'

'He? Mikoto yang kulihat selama ini hanya sa—"

'—Mau melihat foto putra keduaku?'

'—Akan kutunjukkan padamu Mikoto yang satu lagi, Naru-kun.'

Naruto membuka matanya perlahan. Kepalanya serasa dihantam batu besar, kerongkongannya terasa amat kering. Lalu seperti ada sesuatu yang membuat hidungnya terasa hangat.

Pemuda itu membelalakkan matanya. Dengan tangan yang bergetar ia menyentuh bagian bawah hidungnya dan mendapati jemarinya ternodai substansi merah pekat.

'Holy shit…'

.

.

.

HIATUS

Ampunn, jangan injek saya! Rei tahu Rei keterlaluan, lama update terus hiatus seenak udelll!

Tolong maafkan diri Rei yang nista ini, tapi Rei lagi sibuk banget. Rei baru masuk kuliah tahun ini dan ternyata oh ternyata, kedokteran gigi itu nggak seenak nyabut gigi orang. Banyak banget kegiatan. Semester ini aja baksos ada 3! Belum lagi tugas dari dosen. Arrgghh, kembalikan masa SMA kuhh! *tereak di tepi gunung.

Rei akan hiatus kira" sampe 2-3 bulan. Lagi ngitung kalender nih, kapan liburan semester, padahal baru masuk. *dibakar* Sekali lagi Rei minta maaf, tapi Rei nggak akan discontinued kan fic-fic Rei. Udah dimaafin kan? *melas*

Oke, sesuai janji Rei, ini balesan reviewnya:

WaOnePWG

Hah? Kok bisa jadi Konohamaru? Itu Sai noh, si Jontor! *ditabok* Ini udah dipanjangin. Cukup kan? tepar nih ngetiknya. ^^

Thanks reviewnya yaaww…

Hanazawa kay

Hohoho… rahasia kecil? Nggak kecil-kecil amat kok. Trus kalo nemuin Itachi emang kayak nyari kitab suci ke barat, susah banget.

Ini udah dibanyakin momentnya. Walau rada-rada gaje sih. (-_-)a

Thanks reviewnya… ^^

ChientzNimea2Wind

Hehe… Suka yah? Makasih… *blushingaje* Rei memang Cuma minjem judul PapaGoto doang, soalnya ga tau mau kasih judul apa pada awalnya…

Makasih reviewnya y, maaf telat…

Noorhans

*ternganga*

Bener! Kok bisa bego banget ya Rei, sampe 115%. Inilah resiko kurang asupan gizi waktu kecil, jadi otaknya agak cetek gitu. (-_-)a

Rei entah mengapa kurang sreg aja gitu sama nama Naruko, enaknya ya Naruto. Trus kalau anak Naruto perempuan nantinya nggak mendukung cerita. Harus cowok! Harus! *berapi-api*

Soal NaruMiko akan dijelasin perlahan-lahan. Untuk sementara flashback dulu yaw..

Makasih atas kritik dan reviewnya… (-w-)/

Yu

Wah, Sai? Pedo tingkat dewa dong. Kasian ah, jangan… *meluk Chibi Naru.

Gaanaru/NaruGaa? Hm, boleh dipertimbangkan nih… tapi utk sekarang dia munculnya secuil dulu yah? *kedip-kedip*

Makasih reviewnya…

Akira no Sikhigawa

Yosh! Ini udah next kok. Makasih reviewnya ya…

TheBrownEyes'129

Okeehh broohh, ini udah lanjuttt! (^w^)

Thanks reviewnya ya…

Amach cie cerry blossom

Cinta gak ya? Cinta gak ya? *metikin kelopak bunga bangke* Rei masih unyu sih, jadi ga tau deh cinta banget atau nggak *muntah darah*

Sasuke emang suka OOC di depan Chibi Naru, biasalah… bocah labil.

Yeai! Ting tong, Anda benar! Itu si Sai! *nyerahin poster Sasuke lagi ngerumput*

Makasih reviewnya ya

BlueBubbleBoom

Nah, udah nggak penasaran lagi kan? udah ketauan tuh belangnya… *nunjuk sai*

Tante Mikoto memang kejaamm… Tega nian, siapa sih authornya? *ditodong kaliber 45.*

Tenang, Rei juga pernah mengalami masalah yang sama. Kalo Rei karena udah pikun, lupa passwordnya, jadi ya gitu deh… *menerawang jauh*

Thanks reviewnya…

Ookami-Utsugi

Itachintah kan anaknya tante Mikoto, jadi ada hubungannya dong… Soal Chibi Naru, kira-kira menurut Ookami gimana? *senyumisterius*

Makasih reviewnya…

Vipris

Naruto itu… adalah calon suami Rei yang 'ilang… *dibacok massa* Becanda! Naruto itu preman sekuriti hati hello kitty biasa kok. Kalo itachi… itu masih rahasia~

Ini udah apdet. Makasih reviewnya…

Billaster

Ting Tong! Anda benar! Itu si jontor! Kok tau sih? Dukun yah? *diinjekgajah*

Hahaha… Rei senyum-senyum sendiri baca review billaster. Jiwa emak-emak yang kuat? Apaan tuh? *ngakak*

Yosh! Ini udah apdet. Makasih banyak ya…

YukiMiku

Hieee… harusnya ini fic hurt-comfort deh. Kok bisa bikin ngakak sih? *garuk kepala* Misterinya masih disimpe, ntar kita buka rame-rame, ok?

Yosh! Ini udah apdet. Sori lama dan makasih reviewnya…

Yamashita Kumiko

Udah ketauan kan, siapa dia? Artis bollywood kita itu loh… *mamerin sai*

Gaanaru? Hm, bisa jadi bisa jadi.

Ini udah lanjut. Thanks reviewnya…

Sasu-chan si Uke Naru

Pen name nya buat Rei ngakak loh… Ketauan banget fujonya nih…

Naruto memang anak ajaib, tapi Rei lebih ajaib lagi bisa mengubah orientasi Naruto. huohoho… *tawa laknat*

Bang? Bro, gue cewekk! *nangis*

Thanks reviewnya ya… (sekali lagi, ane cewek)

JinK 1314

Itulah… cinta mati dia sama tante mikoto. Kok bisa sih? *disate missal*

Aduuh, bener! Itu si Sai! Kok tau sih? Ketauan banget ya? Soal baik ato nggak, itu terserah penilaian JinK. Apakah hatinya sekece mukanya atau senista bibirnya?

Makasih reviewnya yaw…

Kkhukhukhukhudattebayo

Maksa… kayaknya sih iya. Atau nggak? Aduh, rei juga bingung. (-_-)a

Mereka berdua emang omes tingkat khayangan! Pusing deh liat tu bocah… *geleng-geleng*

Makasih reviewnya…

Nashya

Itulah, miris banget hidupnya… Jadi gak tega nih…

Bener tuh, si Naruto kan mukanya aja sekuriti tapi hatinya hello kitty. NaruSasu? Hm, bisa dipertimbangkan. Kita liat dulu ntar ya…

Tapi muka sasuke entah mengapa cucok jadi pedo, mesum-mesum nista gimana gitu… *dilempar elpiji sama sasuke* Hehehe… Rei tetep semangat kok, tapi maaf ya hiatus dulu. Makasih reviewnya…

Nyanmaru desu

Uwoo… akhirnya ada yang mengatakan ni fic hurt/comfort. Rata-rata bilangnya nih fic buat ngakak *pundung*

Slash? Itu tergantung yang baca. Kalo rei sih, kayaknya nggak deh. (atau iya?) -_-a

Ini udah lanjut. Makasih reviewnya…

NaraZee

Ini udah lanjut, makasih reviewnya…