Chapter 1: My Dad?

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Pairing: SasuXNaru

Rated: T

Warning: AU, Gaje,aneh,typo(s),OOC stadium akhir(khususnya Sai),de-el-el.

Genre: Family, Hurt/Comfort.

Summary: Ditinggal mati ibu? 'Rasanya seperti ikut mati juga'. Harta warisan diperebutkan saudara licik? 'Hn. Enyahkan mereka'. Penampakan seorang kakak kelas berandalan yang blonde dan mengaku sebagai ayahmu? 'What the HECK!'

DON'T LIKE,DON'T READ!

.

.

.

Sasuke duduk termenung di halaman belakang rumahnya. Matanya yang hitam seperti permata itu menatap kosong kearah pohon sakura yang menaunginya. Tatapannya kelam, dan menyiratkan kepedihan.

Pemuda itu kemudian memejamkan matanya yang mendadak terasa panas.

Kini dia sendiri. Ibunya, seorang wanita lembut berhati kuat yang selama ini menghiasi hari-harinya telah tiada. Kecelakaan maut yang menimpanya kemarin telah merenggut nyawanya yang masih muda itu. Padahal saat itu ibunya hanya pergi ke supermarket untuk belanja, bukan ke diskotik ataupun ke sarang mafia. Niatnya baik, sangat baik. Tapi kenapa dia harus mati?

'Kenapa semua ini terjadi padaku, Tuhan?' batin Sasuke perih. Hancur sudah topeng stoic yang sudah diwariskan turun-temurun di keluarga Uchiha miliknya. Tubuhnya bergetar hebat menahan isak tangis.

Mendadak kelopak mata Sasuke terbuka lebar dengan cepat, menampakkan onyxnya yang telah kehilangan semangat hidup. Hidupnya terasa sangat hancur. Ayahnya menceraikan ibunya beberapa tahun silam dan pergi entah kemana, kakak semata wayangnya diculik saat masih kecil dan sekarang tidak diketahui masih hidup atau tidak, lalu sekarang ibunya...

Tes.

"Shit!" umpatnya geram. Diusapnya matanya dengan lengan kasar. "Air mata sialan!" umpatnya lagi. Digigitnya bibirnya kuat-kuat untuk menahan isakan, saking kuatnya hingga bibir itu berdarah. Namun dia tidak peduli. Tidak ada lagi yang perlu ia pedulikan.

Bahkan dirinya sendiri.

"Uchiha-sama, upacara pemakaman Nyonya akan segera dimulai." Seorang pelayan keluarga Uchiha datang menghampirinya. Dia memakai pakaian serba hitam, sama seperti Sasuke.

Pemuda itu menghela napas panjang. Sebentar lagi, ikatan fisik antara ia dan ibunya akan berakhir. Yang ada hanya ikatan batin, yang tidak akan pernah dilepaskannya sampai kapanpun...

.

.

.

Kaki itu melangkah dengan berat. Wajahnya yang tampan itu tampak angkuh dan dingin. Aura kegelapan menguar dari badannya, seolah-olah hendak membunuh siapapun yang berada di dekatnya. Saat ini, suasana hati Uchiha Sasuke, seorang pemuda emo idaman para siswi sekolahnya sedang sangat buruk.

Grekk…

Sasuke menggeser pintu ruang pertemuan keluarga itu dengan kasar.

"Cepat mulai rapat ini." Desisnya dingin dan terkesan kurang ajar. Mata onyxnya menatap para sanak saudaranya dengan pandangan mencela, sebelum tubuhnya memutuskan duduk di tempat paling depan.

"Wah... wah... wah... ternyata kau tak sesopan yang kukira." Timpal seorang kakek bangkotan dengan nada menyebalkan. Madara Uchiha.

"Aku mempertanyakanmu yang kabarnya seorang jenius di KIHS." Sahut seorang lagi sama menyebalkannya. Yang lain ikut-ikutan mencela Sasuke dengan tatapan mata, tidak berani mengatakan secara langsung karena Sasuke termasuk dalam keluarga terhormat di klan Uchiha.

Sasuke mendengus.

"Cepat, Danzo. Aku tidak mau membuang-buang waktuku disini." Katanya ketus dan tidak berpriketuaan. Tangannya bersedekap dan dagunya terangkat sedikit. Angkuh.

"Beginikah sikapmu setelah ditinggal oleh ibumu? Menyedihkan. Sungguh ibu yang-" Madara tak sanggup melanjutkan kata-katanya begitu melihat ekspresi Sasuke.

"Jangan. Membicarakan. Ibuku. Disini." Ucapnya dengan suara rendah yang berbahaya. Matanya menyiratkan kemarahan yang sangat, dan mampu membuat siapapun yang melihatnya bergidik.

"Ehem!" sesorang berdeham. "Kali ini, para kerabat dari Uchiha Sasuke datang untuk membicarakan masalah hak warisan yang ditinggalkan saudari kita, Uchiha Mikoto yang meninggal kemarin. Berhubung beliau tidak sempat membuat surat wasiat, maka pembagian warisan akan dilakukan berdasarkan peraturan klan Uchiha. Aset beliau berupa rumah, perhiasan, perusahaan, dan blablabla..." ujarnya nyerocos nggak jelas. Sasuke hanya memutar kedua bola matanya bosan. Dia sudah sangat hapal sebanyak apa harta peninggalan ibunya di luar kepala.

"Jadi," akhirnya dicapai kesimpulan. Pemuda yang bernama Obito itu membaca gulungan kertas yang terbuka lebar di hadapannya. "70% dari semua harta itu akan jatuh ke tangan Uchiha Madara, Uchiha Sai, Uchiha blablabla..." suara Obito kembali terdengar seperti 'blablabla' tak berarti di telinga Sasuke. Dia mendengus bosan, benar-benar tak peduli dengan harta warisannya. Tidak ada lagi yang pantas mendapat kepeduliannya setelah ibunya pergi.

"... dan Uchiha Fugaku."

Napas Sasuke terhenti di tenggorokannya.

"Apa?" lirihnya tak percaya, dan sukses menyita perhatian seluruh kerabatnya.

"Ayah Anda, Uchiha Fugaku, berhak mendapatkan warisan dari mantan istrinya sebanyak 30% berupa 2 tanah di Otoga-"

"BUKAN ITU YANG KUTANYAKAN, SIALAN!" Sasuke melompat dan mencengkram kerah hakama Obito. Wajahnya yang angkuh nan stoic itu berubah total. Yang benar saja! Lelaki itu telah meninggalkan ibunya, tidak hadir ke upacara pemakamannya dan dia berhak mendapatkan harta ibunya?

Jangan bercanda!

"Tenanglah, Sasuke..." Obito berusaha melepaskan cengkraman keponakannya itu. "I-ini memang peraturan di klan Uchiha..." lanjutnya dengan napas putus-putus. Sasuke mencengkram kerahnya terlalu kuat.

"Peraturan, hn? Memberikan harta hasil jerih payah seorang wanita pada pria bodoh yang menceraikannya begitu saja tanpa memberi tunjangan apapun itu peraturan dari Uchiha?" tanya Sasuke geram.

Obito mengangguk.

"Persetan dengan peraturan. Aku ingin keputusan itu dibatalkan." Ujar Sasuke penuh kebencian. Peraturan? Peraturan, katanya? Cih, tak disangka ternyata peraturan klan Uchiha sepicik itu.

"Sayangnya tidak, Sasuke," akhirnya Sai, sepupu terdekatnya angkat bicara. "Itu peraturan yang ditetapkan oleh para Tetua sejak turun-temurun. Kau tidak bisa menolaknya -"

"Cih! Aku tidak peduli dengan peraturan sial yang-"

"Kecuali jika ibumu menikah lagi." Sambung Sai dengan tenangnya seolah tak ada interupsi.

Dan sukses membuat Sasuke terperangah.

.

.

.

Sasuke mendengus frustasi. Insiden di pertemuan keluarga 2 hari yang lalu membuatnya pusing. Dia sama sekali tidak mempermasalahkan jika harta warisan itu dibagi ke kerabatnya. Tapi kalau diberikan pada Fugaku?

Langkahi dulu mayatku.

Tapi walau dia berkata begitu, sebenarnya apa yang bisa dia lakukan? Para tetua Uchiha sangat mendukung peraturan itu. Jadi apa yang bisa ia lakukan? Walau pun dia berasal dari keluarga terhormat, tapi tetap saja dia tidak akan menang melawan para tetua.

Sebenarnya ada jalan keluar lain dari masalah ini. Membantai mereka semua, seperti yang ada di manga Narto yang entah kenapa memiliki tokoh tampan, keren, dan charming yang mirip sekali dengan dirinya.

Tapi sepertinya itu ide yang buruk. Dia tidak mau Mikoto mengutuknya habis-habisan di alam sana.

Sasuke menggertakkan giginya geram. Kenapa permasalahannya jadi serumit ini?

Flashback

"Apa maksudmu?" tanya Sasuke tajam dan melepaskan cengkraman tangannya di kerah Obito, membuat sang empunya menghela napas lega.

Sai tidak segera menjawab. Diseruputnya teh hijau yang telah disediakan pelayan Sasuke dengan nikmat.

"Pengganti," jawab Sai nggak jelas. "Jika Mikoto-san menikah lagi dengan pria lain setelah bercerai dengan Fugaku-san, maka otomatis harta warisan itu akan jatuh sepenuhnya ke tanganmu dan pria itu tanpa harus dibagi dengan kerabat yang lain, termasuk Fugaku-san. Karena sebenarnya, inti dari peraturan ini adalah memberikan harta warisan terbanyak pada kerabat terdekat jika sang ahli waris belum genap berusia 18 tahun, dan kerabat itu adalah Fugaku-san, ayahmu."

"Dia bukan ayahku!"

"Seandainya Itachi-san tidak menghilang, mungkin saja hal ini tak akan terjadi," sambung Sai dengan ketenangan yang patut diacungi jempol. "Jika dia masih hidup, dia pasti berusia 18 tahun atau lebih. Dan itu artinya kalian akan mendapatkan harta warisan itu sepenuhnya. Namun berhubung Itachi-san tidak diketahui keberadaannya, maka para tetua menganggap saat ini ahli waris yang tersisa hanyalah kau." Sai mengakhiri penjelasannya, bersamaan dengan berakhirnya nyawa teh yang diminumnya.

Sasuke terdiam. Mau tak mau dia kagum (sedikit) pada sepupunya itu walau dalam hati. Cih, tak salah dia menjadi ketua OSIS di sekolah hukum Konoha.

"Hn. Jadi untuk mencegah si Fugaku sialan itu mendapatkan warisan Kaa-san, Itachi-nii harus ditemukan, atau aku sudah berusia 18 tahun?" gumam Sasuke dengan gaya seorang detektif, tak peduli bahwa dia sedang berada di antara para kerabatnya dan memanggil ayahnya 'sialan'.

"Dan jika ibumu ternyata menikah lagi." Tambah Sai tenang, dengan seringai penuh arti tertempel indah di wajahnya.

End Flashback.

Lagi-lagi Sasuke merenung. Itachi, ya? Seandainya kakaknya tidak menghilang, tentu dia bisa merubah segalanya. Sebenarnya bisa saja Sasuke mencarinya. Tapi surat keputusan itu akan sampai ke pengadilan Konoha besok. Dan sehebat-hebatnya Sasuke, mustahil menemukan orang yang telah hilang selama bertahun-tahun dalam semalam.

Tapi seandainya dia benar-benar disini...

Tidak ada pembagian harta warisan, tidak ada Fugaku. Dan semuanya akan baik-baik saja...

Pemuda raven itu memejamkan matanya, berusaha membayangkan jika disini, di ruang keluarga ini, ada sang ibu yang sedang duduk di sofa seberang sambil menyulam, Itachi yang asyik membaca bukunya seraya memancarkan aura 'jangan ganggu, atau kau tamat'-nya, dan Fugaku yang sedang menyeruput kopinya.

Seperti dulu...

Kemudian kelopak mata itu menampakkan onyxnya. Diedarkannya pandangan ke sekeliling ruangan.

Tidak ada orang...

Yang ada hanya dia.

Duduk di sofa, memandangi foto keluarganya 10 tahun lalu.

Saat semuanya masih baik-baik saja...

Sasuke mengangkat bahunya. 'Setidaknya tidak ada seorangpun yang mengangguku.' Batinnya sembari tertawa hampa, dengan air mata mengalir di pipinya.

"Maaf, Sasuke-sama. Ada orang yang mencari Tuan." Tiba-tiba pelayan pribadinya, Izumo, masuk.

Oh, sepertinya kau ditakdirkan untuk selalu diganggu, Sasuke.

"Suruh dia pulang." Perintah Sasuke dingin tanpa menoleh.

"Tapi, Tuan-"

"Kubilang, suruh dia pulang, Izumo." Desis Sasuke dingin, menahan emosinya.

"Tapi dia itu-"

"SUDAH KUBILANG, SURUH DIA-"

BRAK!

Pintu menjeblak terbuka.

"SASU-CHAANN!" Refleks Sasuke menoleh, dan menangkap sesosok makhluk berkulit tan, berambut pirang, dan memiliki mata sebiru langit mendobrak masuk.

Na-Naruto?

"Mau apa kau kesini?" bentak Sasuke spontan. Sekarang ini dia tidak ingin diganggu, terlebih oleh si berandalan blonde sekaligus kakak kelasnya ini.

"Aihh... Sasuke jahat!" Naruto merengek seperti anak kecil, membuat Sasuke cengo(walau dalam hati). Uzumaki Naruto, berandalan kelas kakap ketua geng Akatsuki ini merengek? Pria yang kenakalannya terkenal seantero KIHS bersikap seperti anak kecil?

Sasuke menyipitkan matanya.

"Izumo, kau boleh keluar sekarang." Ucap Sasuke datar. Mendengar itu, Izumo mengangguk patuh dan langsung keluar.

Blam!

"Jadi," Sasuke memandang angkuh Naruto. "Mau apa kau kemari?" lanjutnya to the point, tidak menghiraukan Naruto yang cengengesan sendiri.

"Hehehe..."

"Keluar." Desis Sasuke kejam.

"Oke, oke! Sebenarnya ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu." Jelas Naruto mendadak serius. Matanya menatap Sasuke dengan tajam.

"Kalau ada yang ingin kau bicarakan, besok aku sekolah-"

"Mengenai Mikoto." Lanjut Naruto seolah tak ada interupsi.

Sasuke terdiam.

"Cih! Berani sekali kau memanggil nama ibuku seperti itu." Komentar Sasuke pedas, langsung sensi begitu nama ibunya disebut.

Naruto tidak menanggapi. Kepalanya tertunduk dalam dan matanya terpejam erat. Dia... dia harus memberitahukannya pada Sasuke. Tapi bagaimana cara mengatakannya?

"Tentu saja aku berani." Sahut Naruto tanpa menengadahkan kepalanya, membuat Sasuke menaikkan sebelah alisnya.

"Karena dia istriku."

"..."

"..."

"..."

"Keluar." Kata Sasuke sedingin nitrogen cair seraya berbalik. Amarah memenuhi kepalanya. Si blonde itu benar-benar kurang ajar. Datang ke rumahnya malam-malam begini hanya untuk sebuah lelucon?

'Akan kubantai dia besok.' Batin Sasuke kejam.

Terdengar Naruto menghela napas berat.

"Sudah kuduga kau akan bereaksi begitu," ucapnya penuh penyesalan. "Tapi percayalah, kami benar-benar telah menikah."

"Keluar." Ulang Sasuke sekali lagi tanpa menghentikan langkahnya. Dadanya terasa amat sesak, tak kuat lagi menahan beban emosi yang selama ini dipendamnya.

"Tapi Sasuke, aku benar-"

Bruagh!

"Kubilang KE-LU-AR." Desisnya penuh ancaman, tak menghiraukan ringisan Naruto yang perutnya ditinju sekuat tenaga oleh Sasuke.

'Hn, sekarang cepat kau balas aku, Naruto-senpai. Seorang berandalan sepertimu akan menjadi pelampiasan yang menarik untukku.' Batin Sasuke dengan seringai ambigu terpampang jelas di wajahnya.

"..."

"..."

"..."

Namun Naruto hanya diam tak bergeming.

Sasuke menggertakkan giginya. "Kenapa kau diam, Dobe? Apa kau takut denganku?" bentak Sasuke geram. Dipukulnya perut dan lengan Naruto berkali-kali tanpa mendapat balasan sedikitpun dari sang objek, membuat serangannya semakin membabi-buta. Dia ingin bertarung! Dia ingin mengeluarkan rasa sesak di dadanya ini pada pemuda pirang di depannya! Dia ingin dipukuli! Dihajar! Apapun agar dia bisa melupakan semua rasa sakit ini...

"DIAM, HAH? DASAR KAU PENGECUT! BRENG-"

Grap.

Naruto mencengkram kepalan tangan Sasuke yang mengarah ke dadanya.

"Seorang ayah tak akan memukul anaknya sendiri, Sasuke." Ujar Naruto seraya terus mendekap Sasuke dalam pelukannya. Dielusnya rambut ayam Sasuke dengan lembut dan ditepuk-tepuknya punggung pemuda itu, berharap agar dia tenang.

Mata Sasuke membesar, tak menyangka akan dipeluk oleh seorang berandalan seperti Naruto. Ini suatu penghinaan! Dia ini orang terhormat dari klan Uchiha! Sungguh menjijikkan diperlakukan seperti ini.

Tapi kenapa...

Dadanya terasa hangat?

Tanpa sadar Sasuke memejamkan matanya. Sejak ibunya meninggal, tak ada seorang pun yang menenangkannya, apalagi memeluknya. Mereka semua menganggap Sasuke adalah orang yang kuat dan bisa mengatasi semuanya sendiri. Itu memang benar, tapi bagaimana pun...

Dia seorang manusia, kan?

Yang terkadang butuh uluran tangan saat ia terpuruk begitu dalam.

Yang sesekali membutuhkan obat disaat ia terluka.

Dan membutuhkan rengkuhan ketika ia tak sanggup berdiri.

"Tenanglah. Aku bersamamu."

Dan tanpa sadar Sasuke membalas pelukan Naruto.

.

.

.

"Jadi, sebagai ayahmu, pertama-tama aku ingin mendeklarasikan perdamaian dengan-"

"Diamlah, Dobe! Leluconmu sama sekali tidak lucu." Desis Sasuke sinis dengan kejamnya, sehingga sukses membuat Naruto pundung di pojokan.

"Tapi... aku benar-benar ayahmu kok." Bela Naruto dengan berlinang air mata bombay. Sasuke memutar bola matanya malas.

"Aku punya buktinya."

"Terserah." Sahut Sasuke acuh tak acuh. Dipalingkannya wajah tampannya itu ke arah lain, berusaha menenangkan jantungnya yang berdegup tak karuan. Cih, kenapa juga yang harus menenangkannya si Dobe pirang ini?

"Naru-chan! Kau boleh masuk sekarang!" tiba-tiba Naruto berteriak keras pada pintu yang entah kenapa celahnya terbuka sedikit.

'Naru-chan?' batin Sasuke tak mengerti.

Krieettt...

Perlahan pintu itu membuka sedikit, membuat celahnya semakin lebar. Sasuke dapat melihat sepasang mata biru mengintip malu-malu di baliknya.

"Ayo, Naru-chan. Perkenalkan dirimu pada Sasuke-niichan." Ujar Naruto penuh kasih sayang. Dahi Sasuke semakin berkerut mendengarnya.

'Niichan?'

Kemudian tampaklah seorang anak kecil berusia sekitar 2 tahunan yang berjalan dengan canggung ke arahnya. Matanya biru terang, rambutnya pirang, dan kulitnya putih susu. Tidak ada tiga garis melintang di masing-masing pipi seperti Naruto.

"Naru-chan, perkenalkan, ini Sasuke-niichan. Mulai sekarang baik-baiklah dengannya, ya?" kata Naruto lembut sembari mengusap kepala kuning kecil itu penuh kasih.

Sasuke tercekat. Kenapa si pirang itu memperkenalkannya seolah-olah dia benar-benar kakak bocah laki-laki ini?

"Umm... ngg-Pelkenalkan, nama saya Uzumaki Naluto. Panggil saja Nalu. Salam kenal." Sapa anak itu malu-malu seraya mengulurkan tangannya.

"..."

Sasuke tidak langsung membalas uluran tangan bocah mungil itu. Kepalanya diliputi berbagai macam pertanyaan rumit tentang bocah yang mirip replika Naruto di depannya. Kenapa dia memanggilnya kakak? Apa ini tipuan karena Naruto ingin menggodanya?

"Ngg... Sasuke-niichan?" panggil anak itu takut-takut.

"Hn. Aku Uchiha Sasuke." Jawab Sasuke singkat. Dijabatnya tangan anak pendek itu.

"Hehehe..." cengirnya inosen. Didongakkannya kepala kuningnya tinggi-tinggi untuk melihat wajah Sasuke lebih jelas, tak lupa dengan senyum lebar khas balitanya.

"Ukh." Ringis Sasuke. Cepat-cepat dia menengadahkan kepalanya keatas untuk mencegah darah keluar dari hidungnya. Anak ini manis sekali!

"Ne, Tousan. Sasuke-niichan milip Kaasan, ya?" komentar anak yang bernama serupa dengan Naruto itu dengan pandangan kagum. Mata birunya yang besar berbinar-binar bahagia.

Sasuke terhenyak. Kaasan? Tousan?

Naruto benar-benar telah menikah?

Tapi usianya masih 18 tahun, hanya berbeda 2 tahun dari Sasuke! Mana mungkin dia sudah menikah, bahkan telah mempunyai anak?

Terus, ibu anak ini mirip dengan dirinya?

"Hei, Sasuke. Ini bukti nyata bahwa aku memang benar-benar telah menikah dengan Mikoto." Ucap Naruto penuh kemenangan sembari mengusap-usap kepala jagoan kecilnya gemas. Yang diusap hanya cekikikan dan bergelayut manja di lengan Naruto.

"Lihat, kulitnya yang indah ini mirip dengan Mikoto, kan? Suaranya juga halus seperti dirinya." Kata Naruto lagi sambil menggendong Naru-chan. Tatapannya penuh dengan kasih sayang dan cinta, sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia seorang berandalan di sekolahnya.

"..."

Sang tokoh utama kita hanya diam membatu. Syok.

"Sasuke?" panggil Naruto mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Sasuke yang semakin pucat. Haha... OOC sekali dia hari ini.

"Jangan bercanda, Naruto! Kau pikir aku percaya dengan lelucon murahan seperti ini?" bentak Sasuke yang sudah mendapatkan kembali kesadarannya. Cih, dasar sialan! Bilang saja dia ingin mendapatkan harta warisan ibunya! Ternyata pria ini sama saja dengan kerabatnya yang lain; bermuka dua!

"Kau masih belum percaya juga, ya?" tanya Naruto lelah. Diusapnya kepala Naru-chan yang sepertinya hendak menangis mendengar bentakan Sasuke, lalu diturunkannya bocah itu dengan hati-hati.

"Tunggu disini ya, Sayang. Tousan mau mengambil sesuatu dulu." Ujar Naruto lembut. Kemudian dia mengeluarkan secarik kertas dari dalam ranselnya dan menyerahkannya pada Sasuke.

"Data keluarga kami." Jelas Naruto singkat.

"Hn." Balas Sasuke sok cool, padahal dalam aslinya dia sudah syok berat. Da-data keluarga? Apa ini benar-benar nyata?

" Ini buku nikah kami." Belum sempat Sasuke membaca, Naruto sudah memberinya dua buku tipis dengan tak sabar.

"Ini surat keterangan dari kuil."

"Kemudian ini akte kelahiran Naru-chan." Naruto menyodorkan secarik kertas lagi.

"Dan ini hasil tes DNA nya."

Sasuke membaca seluruh kertas yang diberikan Naruto padanya dengan ngeri. Positif. Positif. Positif. POSITIF!

'Dia benar-benar suami Kaasan!' batin Sasuke gemetaran, dan sangat OOC sekali. Semua data yang diberikan Naruto menunjukkan bahwa dia benar-benar suami Mikoto yang sah. Disini menunjukkan bahwa mereka menikah 4 tahun lalu, beberapa minggu setelah dia pergi ke Iwa untuk program pertukaran pelajar selama 2 tahun lebih.

Dan Naru-chan berusia 2 tahun!

Syok.

Itulah yang dirasakan Sasuke.

"Dan jika kau masih belum percaya," ucap Naruto serius. "Ini adalah bukti terkuatnya. Lihatlah ini." Jari Naruto menunjuk pada nama 'Naruto' di akte kelahiran Naru-chan.

"Naruto, alias NARUto dan MikoTO. Itu menunjukkan bahwa dia memang anak kami." Jelas Naruto pede banget. Kepalanya mengangguk-angguk gaje dengan senyum nista di bibirnya.

"Haahh... cinta memang tak akan berakhir pada dua insan saja, namun juga pada buah hati mereka. Lihatlah, suatu takdir bahwa dia mempunyai nama dari gabungan nama kami." Lanjutnya dengan berlinang air mata, memandang Naru-chan yang cengengesan dengan penuh kebanggaan.

Mau tak mau Sasuke sweatdrop. Takdir?

"Tak hanya itu saja," mendadak Naruto menjulurkan kepalanya ke arah Sasuke dengan muka antusias. Namanya Naruto, kan? Tapi coba kau dengar ini." Dia lalu menoleh kearah Naru-chan dan tersenyum manis.

"Naru-chan~ Nama lengkapmu siapa, Sayang?" tanya Naruto mendayu-dayu layaknya om-om mesum.

"Uzumaki Naluto!" jawab Naru-chan sambil mengangkat kedua tangannya riang.

"Tuh! Kau dengar, Sasuke? NALUTO katanya, bukan NARUTO! Naluto-NAruto LUv MikoTO!" seru Naruto girang. "Hah! Kau kalah telak, Sasuke!" katanya dengan hidung kembang kempis, bangga setengah mati.

"..."

"..."

"..."

Sasuke cengo.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Sasuke Uchiha cengo secara tidak elitnya.

"Oh ya! Aku sudah mendengar soal warisan itu. Aku tidak tahu bagaimana pastinya, namun mulai sekarang aku dan Naru-chan akan tinggal disini." Ujar Naruto ringan.

Mendengar itu, mata Sasuke langsung menyipit.

"Apa maksudmu, Dobe? Kau tidak berhak tinggal disini." Tolak Sasuke dingin. Masa bodoh dengan pernikahan Mikoto dengan Naruto. Masa bodoh dengan anak mereka. Rumah ini... hanya miliknya seorang.

"Lalu kau akan membiarkan Fugaku menerima warisan itu?" tanya Naruto dengan sudut bibir terangkat. Hoho... kau tahu sekali cara memperlakukan Uchiha Sasuke, ya?

Mata Sasuke langsung dipenuhi dengan kebencian begitu mendengar nama Fugaku. Dia benar. Fugaku tidak boleh menerima warisan itu, bahkan se-ryo pun! Lelaki itu tak pantas menerimanya!

Tapi...

Kalau dia harus tinggal dengan si Dobe ini...

Sasuke memejamkan matanya. Dia sudah mengambil keputusan.

"Baiklah, kau boleh tinggal disini," ujar Sasuke akhirnya. Naruto langsung bersorak kegirangan.

"Namun hanya sampai aku berumur 18 tahun. Setelah itu, kau harus pergi." Lanjutnya dingin, dan sukses menghapus wajah bahagia Naruto.

"Baiklah. Terserah kau saja." Ucap Naruto tersenyum miris, sembari menahan sesak di dadanya. 'Memanfaatkanku, huh?' batinnya.

Sasuke menyeringai. Ya... sepertinya ini tidak buruk juga. Apa artinya keberadaan Naruto jika dibandingkan dengan senyum mewah Fugaku saat menerima aset-aset ibunya?

Tidak ada.

.

.

.

Dan setidaknya, ruang keluarga ini tak lagi kosong...

.

.

.

TBC

.

.

.

Hai Minna-san~ Gomen, bukannya update Two Sides Girl's Butler, Rei malah buat fic baru. Tapi gak tahan sih! Idenya nyosor gitu aja, jadi susah nahannya! *membela diri. Sekali lagi, gomen...

Gimana ceritanya? Gaje banget, kan? Bahkan Rei pun bingung. Emangnya anak umur 2 tahun udah bisa ngomong? Adik Rei aja belum bisa! Tapi kalau di iklan SGM Presi*utri, anak umur dua tahun kok bisa, ya? *korban iklan.

Jadi, menurut minna, fic ini dilanjutkan atau tidak? Mohon reviewnya, ya! Soalnya review itu penambah semangat, sih! *gaje.