Pagi ini klub Amefuto libur latihan—aku nggak tahu kenapa, tapi itu bagus, jadi aku nggak protes. Aku berjalan ke kelas, dengan topeng cewek sekolah bahagia-ku, dan juga dengan perut keroncongan—kau nggak bisa hidup hanya dengan segelas air putih.

"Mamoooo!" teriak Sara, berlari-lari kecil ke arahku. "Kau sudah mengerjakan PR Matematika?"

"Belum, tapi kurasa itu bukan masalah." jawabku, sambil menambahkan aku sudah pernah memecahkan kode kromosom Y, jadi kalkulus bukan hal yang terlalu sulit di kepalaku.

"Ah, tentu saja," kata Sara, "Kau 'kan genius." Bukan bermaksud sombong atau narsis, tapi dia benar-benar nggak tahu kalau kata itu sedikit terlalu benar.

Dia mengatakannya seakan aku cewek biasa.

Seakan aku "Mamori Anezaki" yang dikenalnya.

Seakan aku bukan calon mata-mata.

"Mau kubantu?" tawarku pada Sara, dan dia segera mengangguk. Aku mengambil tempat duduk di sebelahnya. Harus kuakui soal-soal ini...bukan soal-soal yang tepat untuk diajarkan kepada anak-anak kelas 12 yang akan ujian. (Untuk ujian akhir IPA-ku di sekolah mata-mata, aku harus mempelajari mutasi pada ulat bulu dan membuat tesis tentang kimia organik.)

Lalu aku sibuk dengan PR-ku sendiri, sampai tiba-tiba pintu dibuka oleh salah satu anggota OSIS, Rin Kyousuke.

"Hei!" bentaknya. "Kalian nggak dengar pengumuman, ya? Ayo cepat ke Aula!"

Well, seharusnya aku bisa marah padanya, karena Rin satu tahun dibawah kami—ia kelas 11 sekarang, dan ia merupakan salah satu OSIS yang paling dibenci. Semua orang ingat jelas, waktu pemungutan suara ketua OSIS, dialah yang mendapat suara yang sedikit—hanya 15 suara. Aku nggak tahu apa dia menyadari tatapan benci yang dilontarkan adik kelas atau kakak kelas atau bahkan teman seangkatannya sendiri, atau aksi memutar bola mata setiap dia mengomel.

Kami semua memutuskan untuk membiarkan Rin dan naik ke aula. Di sekolah asliku, kami jarang sekali ke aula—hanya kalau tamu-tamu dari CIA atau FBI atau NSA datang, itupun hanya saat career day.

Aula sekolah Deimon cukup bagus. Ada lima jendela, dan ada pembatas ditengah-tengah aula, yang kadang kami pakai untuk bersandar. Ruangan itu tidak terlalu besar. Lantainya kayu, dindingnya dulu putih, sekarang ada noda-noda hitam—entah bekas kaki atau murid yang iseng coret-coret. Aku menatap lukisan kepala sekolah yang dipajang di dinding, tepat disebelah jam. Siapa sih yang menggambarnya? Memang hidungnya se-pesek itu?

Aku duduk disamping Ako—Sara duduk disamping pacarnya, melihat ke sekeliling. Aku bersandar di tembok, meluruskan kaki-kaki putihku di lantai kayu. Keramaian yang berlangsung tiba-tiba terasa familiar. Aku berusaha keras mengingatnya hingga tak sadar Sanae sudah duduk disebelahku. Aku bahkan harus melihat dua kali untuk melihatnya, sedang makan permen karet diam-diam.

"Apa?" tanyanya, saat melihat mulutku menganga.

"N…Nggak," aku menggelengkan kepala. "Ngomong-ngomong, tidakkah keramaian ini terasa…familiar?"

Sanae mengangkat bahu, kembali sibuk dengan buku bercover biru yang cukup tebal. Aku membaca judulnya. Mockingjay. Seri ketiga dalam trilogy The Hunger Games.

Mungkin hanya perasaanku saja. Itu terjadi pada semua orang—de ja vu. Tapi aku benar-benar tahu kalau aku sudah pernah mengalami keramaian yang persis seperti ini. Ah, kalau begitu ini bukan de ja vu—ini jamais vu. Jamais vu adalah saat kau berada di situasi yang sangat familiar, tapi kau nggak mengetahui apa-apa tentangnya, padahal kau sendiri tahu kau pernah berada disana.

Tiba-tiba mata Sanae melebar. Aku melakukan beberapa penelitian; mata Sanae hanya melebar kalau a) Dia terkejut—dan ini jarang terjadi, b) Dia merasakan apa yang disebutnya 'getaran cinta'—mirip antenna Suzuna, dan c) Dia ingat sesuatu.

"Kau benar, Mamori," kata Sanae, sangat pelan untuk orang yang sedang bergerak-gerak antusias, "Kita pernah mengalami ini," ia memelankan suaranya, berbisik, "Di Miami."


25 Desember,

Miami-Dade County, Florida.

"Target ada di arah jam lima," seru Sanae lewat alat komunikasi kami.

Sanae bukanlah teman baikku. Dia nggak termasuk dalam daftar orang yang kupercaya, yang ku-revisi setelah insiden plutonium di lab. Dia sekutu. Sekutu bisa saja orang yang tidak kausukai, tapi ada di pihak yang sama.

Dan aku tahu aku harus mempercayai Sanae saat itu.

"Target sekarang ada di stand makanan di belakang gedung 1. Arah barat daya. Mamori, dia milikmu sekarang—kabari kami." Kali ini suara Rachel, teman sekamarku dulu waktu di sekolah mata-mata, terdengar lebih tegang dari biasanya. Aku ada disana, di sebelah wanita gendut yang sedang membeli corn dog, berusaha agar nggak terlihat seperti menguntit. Aku dapat nilai tertinggi di materi ini, jadi aku cukup percaya diri.

Keramaian yang ada disana mengingatkanku pada festival-festival yang dulu diadakan di kampung halamanku, tapi ini bukan saatnya untuk bernostalgia.

"Mamori—aku ada di depan rumah hantu. Aku melihatnya. Aku akan mengejarnya. Kau kesini saja."

Aku kenal betul suara itu.

Phoenix Collins.

"Oke, Nick," balasku.

Phoenix—yang biasa kami panggil Nick—adalah salah satu dari 400 agen laki-laki di sekolahku (sekolah mata-mata), dan merupakan honeypot yang sangat berbakat. Honeypot adalah…well…agen yang kebetulan cantik/tampan dan merayu orang lain untuk mendapatkan informasi.

Satu hal yang nggak akan pernah kulupakan;

Nick adalah pembohong terbesar yang kukenal.

Tapi, kau nggak perlu jadi jenius untuk mengetahui bahwa dia nggak mungkin berbohong saat ini. Nggak, sama sekali nggak mungkin. Terlalu beresiko. Kau mungkin sudah menduga apa yang terjadi selanjutnya—ternyata Nick bohong dan dia menjebakku, lalu aku jatuh di tangan teroris. Nggak. Nick memang pembohong. Tapi ia tidak pernah berbohong dalam segala hal mata-mata.

Aku bergerak pelan-pelan, menyusuri gelombang orang-orang. Aku melihat Darrell Lockwoods, yang sedang menyamar menjadi cewek hipster dengan rambut bergelombang, tapi aku nggak menyapanya. Kami memang seharusnya nggak menyapanya. Kalau kau belum tahu, yang kami sebut-sebut 'Target' sekarang ini adalah target sungguhan. Bukan guru kami yang sedang menguji kami.

Orang yang kami sebut 'Target' ini—

-adalah orang yang membunuh ayahku.

Aku berusaha menghilangkan pikiran itu dari otakku, dan tetap konsentrasi pada si 'Target', melewati stand demi stand. Mengikuti arah yang diberikan Nick padaku.

"Nick, kau—"

Aku menunduk melihat sepatuku yang sudah kupilih dengan amat hati-hati, sepasang flats warna putih. Yang kini ternodai oleh darah.

Aku nggak perlu melakukan tes darah untuk mengetahui bahwa itu darah Nick.

"Nick!" seruku, berlari ke arahnya. Orang-orang mulai berteriak. Aku merasakan Sanae dan Rachel berlari di belakangku, ikut menolong Nick. Rambut pirang Nick kini berwarna merah di kiri dan kanan. Lubang yang di kiri adalah entry wound sementara yang di kanan adalah exit wound. Ia ditembak di kiri. Peluru yang menembus kepalanya ada di samping kakiku, tapi aku nggak bergerak untuk mengambilnya.

"Nick!" seruku lagi, berharap mata biru usil itu akan membuka matanya lagi. Berharap bibir mungilnya mengembangkan senyum jahil, tanda semua ini bohongan. Tapi dia nggak melakukannya. "Nick!"

Rachel menelan ludah. Bahkan Sanae menitikkan airmata.

Aku melihat ke sekeliling. Kadang mata-mata nggak butuh pendidikan elite. Kadang mereka hanya butuh insting.

Tapi dia sudah pergi.

Si target pergi, sambil membawa pergi nyawa dua orang kesayanganku.

Dia nggak ada dimanapun.


"Ini…" kataku, ketika mengingat kejadian itu lagi, "Miami… 25 Desember…"

Waktu itu aku berpikir aku nggak akan melupakan kejadian itu. Waktu itu aku berpikir bahwa aku nggak akan pernah mengungkit kejadian itu lagi, atau seorangpun.

"Ya," kata Sanae. "Hari kematian Nick."

Aku bahkan nggak mau mendengar nama itu lagi. Aku melupakan perutku yang keroncongan, karena hanya minum air sebagai sarapan. Aku terus memikirkan cowok yang pernah menaruh garam di teh-ku.

"Dia agen yang hebat." Aku nggak peduli walau para anggota OSIS sudah masuk ke dalam aula, "Dia benar-benar hebat."

Sanae mengangguk. "Aku nggak akan…"

Sanae bukan orang yang membiarkan kata-katanya tergantung begitu saja. Dia hampir nggak pernah bilang "Umm" atau "Errr…" atau "Ehhh". Dia selalu tahu apa yang akan dikatakannya selanjutnya. (Salah satu faktor yang membuatnya ahli dalam berbohong.)

Aku mengikuti pandangan mata Sanae, yang mengarah ke arah ketua OSIS kami, Ryuuichi. Di sebelah Ryuuichi, terlihatlah seorang cewek, dengan seragam Deimon, menunduk malu-malu. Dia bukan anggota OSIS. Dan aku juga belum pernah melihatnya di sekolah. Di sebelah cewek itu ada seorang pria besar bersetelan hitam, menatap ke depan dengan serius.

Tiba-tiba aku mengenali cewek itu.

"Hei, itu 'kan Mariko Takahashi!" bisik seorang cewek dan aku tahu ingatanku benar.

Mariko Takahashi adalah anak blasteran Jepang-Amerika—sepertiku—walau di namanya tak ada unsur Amerika, mata birunya jelas menunjukkannya, juga kulitnya yang putih dengan bintik-bintik manis di wajahnya. Ayahnya seorang senator, ibunya seorang fashion designer yang sangat terkenal.

Lalu tiba-tiba pintu berayun, dan kepala sekolah masuk.

"Ehm, anak-anak kelas 12 yang saya cintai." kata pak kepala sekolah, "Ini adalah tiga bulan terakhir kalian di SMU Deimon, dan aku tahu ini memang waktu yang kurang pas bagi seorang murid baru untuk masuk ke sini. Tapi… sambutlah Mariko Takahashi."

Cewek itu melangkah maju, masih dengan senyum malu-malunya.

"H-Halo, aku Mariko," kata cewek itu. "S-S-Salam kenal. S-Semoga aku bisa mengikuti pelajaran disini. A-Aku memutuskan untuk sekolah di Jepang, ja-jadi aku harus pindah kesini. M-Mohon bantuannya!"

Aku melirik Sanae lagi. "Ternyata kau fans Mariko ya? Tadi kaget begitu."

Sanae memukulku, "Bukan itu, bodoh. Aku nggak tertarik dengannya."

"Lalu apa—"

"Orang itu." Ia menunjuk ke arah pria berbaju hitam yang sejak tadi mendampingi Mariko.

"Kenapa? Itu bodyguard-nya kan?"

"Ya," jawab Sanae. Aku melihat seringai aneh di wajahnya. "Dia bukan bodyguard biasa."


Sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Sanae, terkait perkataannya tadi pagi.

"Apa maksudmu bukan bodyguard biasa?" tanyaku, dan seringainya malah tambah lebar, tapi ia nggak menjawab pertanyaanku.

"Kau akan tahu di rumahku," jawabnya, tapi itu bukan jawaban.

Rumah sementara Sanae…besar. Dan bagus. Dan menenangkan. Ada kolam renang yang sangat bersih meski Sanae bilang "Aku nggak pernah membersihkannya" dan dia nggak punya pelayan.

Aku mengikutinya ke tangga, benar-benar nggak sabar. Karena aku sama sekali nggak mengerti maksudnya. Itu hal yang umum.

Sampai di kamarnya, dia mengeluarkan sebuah folder dari lemari. Lalu mengaduk-aduk isinya, berhenti di suatu kertas, dan akhirnya tertawa sangat keras.

"Aku punya nomor telepon rumah sakit jiwa," kataku, bingung.

"Jujur saja—aku kaget kau nggak menyadarinya." tawa Sanae. "Sungguh, aku benar-benar terkesan denganmu—kau mudah lupa, ya?"

"Cepat beritahu aku," kataku, agak memaksa.

Dia menyeringai, melempar kertas yang tadi ia tertawakan. "Bacalah sendiri."

Aku meraih kertas itu, membaca baris pertamanya:

Anthony Duquesne

"Mr. Duquesne?" tanyaku, semakin bingung. Kenapa Sanae menertawakan guru Bahasa kami? Lagipula—dialah yang mengajari kami 14 bahasa.

"Baca saja," katanya.

Aku sudah tahu semua detailnya. Aku tahu dia pernah ke suatu negara di Afrika yang tak bernama dan menolong seorang bayi yang nyaris menginjak ranjau. Aku juga tahu profilnya dimuat di Scientific American di usia 9 tahun (Mr Duquesne memang cukup muda). Tapi setelah itu aku nggak mengerti. Apa hubugannya bodyguardnya Mariko Takahashi dengan Mr Duquesne?

"Aku tetap nggak mengerti."

Sanae menggeleng, menaruh tangannya di jidat. "Aku berani bertaruh para pembaca sudah tahu hubungannya." Lalu ia merebut kertas itu, membalikkannya ke halaman paling terakhir. "Lihat ini."

Dan saat itulah aku menyadarinya.

Mr Duquesne adalah bodyguard Mariko Takahashi.


Aku nggak tahu apa ini semacam tes dadakan atau memang kebetulan biasa. Tapi menurutku yang pertama-lah yang benar,

karena orang seperti Mr Duquesne nggak pernah sembarangan terjun ke lapangan.

Sejak kejadian Nick, aku selalu lebih berhati-hati. Dan dapat kurasakan para guru juga. Satu-satunya yang tidak berubah adalah Mr Duquesne. Karena dia memang dari sananya sudah sangat hati-hati.

Dengan alasan itulah pagi ini aku memberanikan diri untuk secara sengaja menyenggol Mr Duquesne.

"Ah, maafkan saya," kataku. Ia menoleh padaku, tapi cuma mengangguk.

"Lain kali hati-hati."

Aku mengangguk, mengumpulkan barang-barangku yang terjatuh, lalu tiba-tiba Sanae berada di sampingku.

"Maaf, Pak Bodyguard," kata Sanae tiba-tiba. Duquesne menoleh, lalu Sanae menanyakan pertanyaan yang dapat melayangkan beberapa nyawa bila ini di medan perang sungguhan. Tapi dengan suara berbisik. "Anda direkrut CIA, kan, Pak Duquesne—kenapa sekarang ikut Secret Service?"

Dahi Mr Duquesne mengerut. Ia pura-pura tidak mengerti sejenak, menunggu orang-orang pergi. Saat sudah sepi, ia berkata pada kami,

"Pertahankan, Anezaki, Kigihayama—aku yakin kalian akan lulus dengan baik." Ia mengerling. "Dan…kurasa aku kurang hati-hati untuk ikut CIA."

Lalu ia pergi, dan itu merupakan adegan perpisahan terkeren versi Sanae.

"Keren," gumam Sanae.

"Sangat…hati-hati."


Flashback chapter. Hirumanya gak muncul OwO

Chapter depan aku usahain romance HiruMamo-nya udah kerasa. Udah dua chapter masih berantem-berantem aja =w=

Terima kasih kepada user males login, teotekdung dan Anezakibeech karena sudah me-review!

Izzy out, thanks for reading!