Author's note: uh... uh... ternyata saya lupa mem-post yang ini, orz. Untuk semua reader dan reviewer yang menginginkan sekuel dari More Than Just A Kiss. Enjoy and thank you for the reviews~ :D

Disclaimer: J.K. Rowling does. I only own the storyline. Yadaa... yadaa...

Warning: deskripsi mendominasi, Post-War, OOC, SLASH, dsb.

。。。

Chapter 1

Desember 2009.

Pilihan...

Seorang Draco Malfoy terkadang membenci situasi dimana ia dipaksa harus membuat keputusan di antara pilihan yang disodorkan di depan wajahnya. Ia benci harus memilih jika suatu saat ia akan menyesali keputusan yang ia buat. Tidak bisakah hidup ini tidak perlu harus membuat keputusan? Hah! Ia tahu hal itu sangat mustahil. Setiap orang memiliki keputusan di antara pilihan tersebut. Draco tahu akan hal itu dan ia mengakui ada banyak penyesalan di semua keputusan yang telah diambilnya.

Draco menyesali keputusannya menerima permintaan kedua orang tuanya agar ia bersedia menjalin hubungan dengan gadis yang telah dipilihkan untuknya.

Ia menyesali pilihannya untuk tetap diam dan menerima daripada berbicara kepada ayahnya kalau ia tidak suka dengan apa yang hendak mereka lakukan. Hell! Apa mereka begitu putus asa sehingga menginginkan dirinya untuk segera mencari calon pendamping hidup di usianya yang bahkan belum delapan belas tahun? Hidupnya masih panjang dan mereka seharusnya tahu akan hal itu.

Draco juga menyesali keputusannya untuk menikahi Astoria Greengrass jika pada akhirnya pernikahan yang telah tiga tahun mereka jalani terpaksa harus diakhiri enam tahun yang lalu. Perceraian adalah satu hal yang tidak bisa Draco hindari.

Memang, gadis dari keluarga Greengrass itu adalah gadis yang baik. Menerima Draco apa adanya dan bahkan melahirkan seorang anak laki-laki yang akan menjadi penerus keluarga Malfoy. Tapi... di samping itu semua, tidaklah cukup bagi Draco. Ia tidak mencintai Astoria. Itu adalah salah satu alasan yang jelas.

'Tidak perlu harus ada cinta dalam sebuah pernikahan', begitu kata Lucius padanya. Tidak perlu ada perasaan seperti itu di antara kontrak pernikahan yang dilakukan keluarga Malfoy dan Greengrass. Hanya perlu sedikit saling mengerti di antara keduanya untuk bisa mempertahankan pernikahan yang akan dirinya bina kelak. Draco ingin tertawa mendengar perkataan ayahnya. Tidakkah hal itu mustahil? Dan enam tahun yang lalu, hal itu terbukti. Tidak ada di antara dirinya ataupun Astoria yang suka hidup di dalam kondisi seperti itu; membuat keputusan berpisah adalah satu-satunya cara yang mereka ambil.

Namun dari semua penyesalan keputusan yang telah ia ambil, Draco tidak pernah menyesali keberadaan Scorpius Malfoy; anak laki-lakinya. Ia tidak menyesali keberadaan anak laki-laki berumur sepuluh tahun itu. Tidak. Ia bahkan berterimakasih kepada Astoria karena telah melahirkan Scorpius ke dunia ini. Oh, tidak ada yang pernah menyangka seorang Malfoy pun bisa berterimakasih.

"... Father...?" Kedua kelopak mata pucat itu mengerjap pelan; memfokuskan pandangan ke arah asal suara. Salah satu alis Draco terangkat ketika menangkap sosok anak laki-laki yang duduk di hadapannya dengan sebuah gelas plastik besar di tangan mungilnya. "Kau melamun, Father. Lihat, pesananmu sudah mulai dingin. Kau baik-baik saja?"

Dengan enggan, Draco mengangguk. "Aku baik-baik saja, Son. Hanya sedang berpikir. Mengapa kau tidak menghabiskan makan siangmu sebelum pergi dari sini?"

Pemilik sepasang iris kelabu itu melihat anak laki-laki berambut pirang platina di hadapannya mengangguk antusias sebelum berkutat kembali dengan sepiring spaghetti yang terhidang di atas meja; membuat Draco memutuskan untuk menyesap kopi pesanannya yang sejak tadi belum sempat ia sentuh. Pria beriris kelabu itu mendecakkan lidah melihat bagaimana sosok Scorpius Malfoy bergumam bahwa makanan Muggle ternyata tidak seburuk yang dikira sebelumnya.

Well, mungkin berjalan-jalan di pusat pertokoan Muggle bukanlah keputusan yang buruk sama sekali.

Sementara menunggu Scorpius menyelesaikan makan siangnya, Draco mengalihkan pandangan ke sekitar restoran cepat saji. Kedua iris kelabunya menangkap kerumunan Muggle yang berlalu-lalang di depan jendela restoran. Beberapa di antara mereka terlihat menenteng barang bawaan. Ah, Draco teringat alasan mengapa ia mengiyakan begitu saja permintaan tiba-tiba Scorpius semalam.

Apalagi kalau bukan ingin membeli hadiah untuk Natal yang akan tiba kurang dari seminggu lagi. Yang tidak Draco mengerti mengapa anak laki-lakinya perlu repot-repot ke tempat seperti ini dibandingkan dengan datang ke Diagon Ally yang sudah lama mereka kenal? Mereka tidak akan perlu berputar-putar di tengah keramaian Muggle seperti ini, bukan?

Draco menghela napas dan mengalihkan kembali pandangannya ke arah Scorpius. Kembali menaikkan sebelah alisnya melihat anak laki-lakinya yang sudah menyelesaikan makan siang. "Kau sudah selesai?" Draco bertanya.

"Yeah. Bisa kita pergi sekarang? Kita masih belum menemukan hadiah untuk Mother dan Aunt Daphne. Aku tidak sabar untuk bertemu dengan mereka saat Natal nanti."

Draco hanya diam atas antusiasme Scorpius untuk bertemu dengan Astoria. Setelah perceraian di mereka, mantan istrinya memutuskan untuk pindah ke Perancis bersama keluarganya. Sudah jelas hal itu menyebabkan Scorpius tidak bisa bertemu dengan wanita itu setiap hari.

Pewaris nama Malfoy itu perlahan beranjak dari tempat duduknya dengan menggandeng tangan Scorpius sementara tangannya yang lain menenteng tas yang berisi hadiah. Ia baru saja berniat meminta Scorpius untuk membuka pintu kaca di hadapannya sebelum pintu itu terbuka tiba-tiba diiringi suara pelan lonceng yang terpasang di sudut atas pintu. Kedua iris kelabu itu melebar melihat sosok di hadapannya.

Rambut hitam berantakan membingkai wajah kecokelatan itu; samar-samar menutupi bekas luka yang terpatri di dahi kecokelatan tersebut. Kacamata bundar yang dulu selalu bertengger di hidung sosok tersebut kini digantikan dengan sebuah kacamata bergagang persegi; menyembunyikan sepasang iris hijau cemerlang yang sudah lama tidak dilihatnya.

"Potter." Suara Draco terdengar datar. Ia bisa melihat kedua iris hijau di depannya melebar.

"M-Malfoy. Ternyata aku memang tidak salah melihatmu."

。。。

"—Aku sama sekali tidak menyangka akan bertemu denganmu di tempat seperti ini, Malfoy."

Sudut bibir Draco terangkat membentuk seringai kecil sementara kedua matanya tidak berhenti memandang ke arah di mana anak laki-lakinya tengah sibuk mengamati barang-barang yang terpajang di sebuah etalase toko. Sesekali, kedua iris kelabu itu mengerling sekilas ke arah sosok yang berdiri di sampingnya. Tidak sekalipun ia pernah menduga akan berjumpa dengan seorang Harry Potter di tengah kepadatan London seperti ini apalagi sampai berbicara dengan wajar di dalam sebuah toko mainan tidak jauh dari restoran tanpa adanya perang mantra selama tiga puluh menit terakhir.

Harry Potter. Mantan murid (Draco tidak pernah menganggap Harry sebagai teman satu sekolahnya) Hogwarts sekaligus orang yang sama yang sepuluh tahun lalu pernah menciumnya di koridor sekolah. Bohong jika Draco mengatakan kalau ia melupakan kejadian itu. Ia masih mengingatnya sampai sekarang. Berciuman dengan seorang pria—apalagi orang itu adalah Potter—adalah sesuatu yang tidak pernah dilakukannya sebelum ini. Tentu saja tidak heran jika ia masih belum melupakan hal itu. Dan sekarang, entah kebetulan atau takdir, ia bertemu dengan Potter yang selama ini tidak pernah dilihatnya.

"Jangan terlihat terkejut seperti itu, Potter." Tangan kanan Draco bergerak memijat bagian belakang lehernya. Berusaha keras mengenyahkan pikiranya yang terbang ke mana-mana. "Tidak ada yang salah dengan semua ini, bukan? Lagi pula harusnya aku yang terkejut bertemu denganmu. Ke mana saja kau menghilang, huh? Aku tidak pernah mendengar kabarmu di Daily Prophet semenjak kita lulus dari Hogwarts."

"Kau ingin mengatakan kalau kau menguntitku?"

Draco memutar kedua matanya sebelum mendengus. "Jangan bercanda," desisnya menyadari kalau pria di sampingnya mempunyai persepsi yang berbeda. "Aku tidak punya waktu untuk melakukan pekerjaan konyol seperti itu. Menguntit dan memberitakan skandal orang-orang sepertimu adalah tugas Sketeer, kau ingat?"

Draco mendengar Potter tertawa di sampingnya. Ia tidak tahu mengapa tawa pria itu seolah-olah mengalirkan listrik statis di bagian belakang tubuhnya; membuat tubuh Draco bergetar pelan. Ia menggelengkan kepala dan segera membuang muka ketika sepasang iris emerald itu menatap ke arahnya. Beruntung, kehadiran Scorpius ke hadapannya berhasil mengalihkan perhatian pria berkacamata itu.

"Aku pikir aku menemukan hadiah Natal yang cocok untuk anak baptismu, Mr. Potter. Ingin melihatnya? Aku rasa anak baptismu pasti akan suka!" Scorpius berseru senang dan tanpa ragu menggenggam tangan Potter lalu menyeret pria itu ke arah sebuah lemari kaca. Draco menghela napas panjang memikirkan mengapa Potter harus meminta bantuan Scorpius mencari hadiah Natal. Tidak bisakah pria itu mencari hadiah sendirian tanpa harus menyeretnya dan Scorpius ke toko mainan Muggle? Kalau saja Scorpius tidak mengatakan ingin membantu sebelum ia bisa menolak, tentu saat ini dirinya sudah kembali ke Manor dan menghangatkan diri di tengah musim dingin seperti sekarang. Boleh dikatakan, Draco tidak menyukai apa yang terjadi sekarang. Ia tidak menyukai pemikiran untuk berada di sekitar Potter lebih lama dari ini.

Seolah-olah akan ada sesuatu yang buruk jika ia berlama-lama berada di sekitar pria itu. Terlalu paranoidkah dirinya? Mungkin saja.

"Apa kau menemukan hadiah untuk anak baptismu, Potter?" Draco berkata setelah mendekati kedua orang itu; mendapati Potter mengangguk pelan dengan tangan yang menunjuk ke arah sebuah benda di pangkuan Scorpius. Sebuah pesawat terbang dengan remote control. "Good. Karena itu berarti aku harus segera membawa Scorpius pulang. Come on, 'Pius—"

"—Tapi Father, Mr. Potter ini menraktirku makan es krim. Bisa kita pulang nanti?"

Draco tidak mau repot-repot menyempunyikan ketidaksetujuannya. "Aku rasa itu bisa menunggu, Scorpius. Apa kau ingin membuat nenekmu menunggu kita dengan cemas sendirian di Manor, huh?" Draco berkata sembari melirik sekilas ke arah Potter. Sempat menautkan kedua alisnya melihat kilat aneh di kedua mata pria itu. Hanya sekilas sehingga membuatnya meragukan apa yang baru saja dilihatnya.

Scorpius merenggut pelan sembari menyodorkan pesawat mainan di tangannya kepada Potter. "Mungkin kita bisa makan es krim lain kali, Mr. Potter? Sepertinya Father tidak sabar untuk pulang."

Draco hanya bisa memutar bosan kedua matanya mendengar perkataan Scorpius. Ia berusaha mengabaikan tawa pelan yang dilontarkan Potter tentang dirinya. Diraihnya tangan kiri Scorpius dan membimbing anak laki-laki itu untuk meninggalkan pusat perbelanjaan. Ia tidak perlu mendengar anak laki-lakinya membicarakan dirinya dengan orang lain.

"Ah, Malfoy!" Potter berteriak memanggilnya; membuat langkah kaki Draco terhenti dan membalikkan tubuh dengan enggan. "Well, aku masih berhutang rasa terima kasih kepadamu dan juga Scorpius. Keberatan jika saat Natal aku mengundang kalian makan malam?"

"Aku—"

"—Tentu, Mr. Potter! Father dan aku dengan senang hati akan datang. Bukan begitu, Father?" Scorpius menyela terlebih dahulu; menatapnya dengan kedua iris kelabu yang sama dengan miliknya. Draco terkadang membenci dirinya yang selalu luluh oleh kedua tatapan anak laki-lakinya.

Pada akhirnya ia hanya bisa mengangguk ragu; tertegun karena melihat senyum yang diberikan Potter padanya.

。。。

Sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat bagi dirinya. Selama sepuluh tahun ini hidup di tengah para Muggle di sebuah flat sederhana sudah menjadi hal yang biasa bagi Harry. Ia bahkan merasa lebih nyaman tinggal di lingkungan seperti ini daripada berada di komunitas sihir dimana setiap orang bahkan mengenalnya. Setidaknya di sini kehidupannya jauh lebih tenang. Ia tidak perlu harus mendapati setiap orang melihat ke arahnya setiap kali pergi ke tempat umum atau meminta berjabat tangan bersamanya.

Namun yang tidak diharapkan Harry, ia justru bertemu dengan seorang Draco Malfoy di tengah pusat kota seperti ini. Terkejut? Tentu. Ia sudah tidak pernah bertemu orang itu lagi setelah mereka lulus. Dan mengetahui kabar keberadaan pria itu adalah hal terakhir yang ia inginkan.

Sepuluh tahun memang bukan waktu yang singkat tetapi juga bukan waktu yang lama bagi Harry. Ia sudah tidak ingat apa saja yang dilakukannya sepuluh tahun belakangan ini. Semua waktunya berlalu tanpa ia sadari. Tidak heran jika sampai sekarang Mrs. Weasley selalu menanyakan kepadanya kapan ia akan mencari pendamping hidup jika melihat kedua sahabat baiknya—Ron dan Hermione—yang sudah menikah dan mempunyai seorang anak perempuan. Heh, bahkan Ginny pun berencana akan menikah dalam waktu dekat ini.

Bukannya Harry tidak pernah memikirkan hal itu. Selama ini ia memang pernah berkencan dengan beberapa orang baik dari kalangan penyihir ataupun gadis Muggle. Tapi... harus ia akui, tidak ada satupun dari semua hubungan itu yang berlangsung lama. Harry bahkan sampai tidak tahu harus berbuat apa lagi setelah menyadari kalau semua orang di sekitarnya mulai menjodohkannya dengan beberapa orang.

Suara desis dari wajan tidak jauh darinya membuyarkan lamunan pria berambut hitam berantakan itu. Ia mendesah pelan menyadari kalau masakannya hampir saja gosong. Dengan cemas, pandangannya tertuju ke arah jam dinding; menyadari kalau tamu yang ditunggunya sejak tadi pagi akan segera tiba dan Harry tidak ingin membuat kedua orang itu menunggu.

Mungkin ia memang sudah gila dengan mengundang pewaris Malfoy beserta anak laki-laki pria itu untuk makan malam bersamanya hari ini. Harry bahkan hampir membenturkan kepalanya ke dinding terdekat begitu kedua Malfoy itu menghilang dari pandangannya setelah mengutarakan undangan makan malam darinya. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Scorpius akan menerima undangan itu.

Dan sekarang... Harry tidak bisa mencegah dirinya untuk tidak cemas menunggu kedatangan pemilik iris kelabu tersebut.

"Damn it!" Harry mengumpat pelan menyadari kalau sekarang dirinya terlihat seperti seorang gadis remaja yang tengah cemas menunggu kencan pertamanya. Sadarlah, dirinya sudah hampir berumur tiga puluh tahun. Bukan usia yang pantas untuk bersikap seperti ini. Lagi pula bukankah Malfoy ke sini untuk memenuhi undangan makan malam? Apa yang tengah ia harapkan?

Terkadang, Harry sendiri tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya.

Bukan suatu kebohongan jika ia mengatakan kalau dirinya terkejut saat tidak sengaja melihat sosok Malfoy yang duduk di dalam sebuah restoran Muggle dengan seorang anak laki-laki di hadapan pria itu. Anak laki-laki yang memiliki perawakan sama dengan mantan Pangeran Slytherin tersebut. Awalnya ia ragu apakah harus mendekati kedua orang itu atau tidak. Namun sudah terlambat baginya untuk mundur ketika kedua kakinya melangkah tanpa sadar; membuatnya mematung sejenak di hadapan pria itu.

Sekelebat ingatan mengenai apa yang terjadi sepuluh tahun silam melintas di kepalanya saat matanya bertemu dengan sepasang kilau kelabu itu. Ia masih belum melupakan apa yang terjadi sebelum ini sekeras apa pun dirinya mencoba. Ingatan itu tetap melekat di benaknya seperti parasit yang sewaktu-waktu akan berkembangbiak tanpa bisa dicegah.

Mengapa melupakan perasaannya kepada sang pewaris Malfoy itu sangat susah dibandingkan dengan hubungan-hubungan yang telah dijalaninya selama ini?

Mungkinkah ia masih menyukai Malfoy sampai sekarang?

Pertanyaan itu tidak sempat terjawab ketika mendengar suara bel pintu. Dengan cepat ia membereskan semua kekacauan di dapur miliknya dengan satu kali lambaian tongkat sihir sebelum menjawab panggilan tersebut. Ia tersenyum sedikit canggung melihat dua sosok yang berdiri di depan pintu flatnya.

"Selamat sore, Mr. Potter!" Scorpius berseru senang. "Kami tidak terlambat, bukan? Father terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan hampir lupa kalau ada undangan makan malam darimu."

Harry mendecak pelan dan tertawa melihat raut kesal di wajah Malfoy. "Bekerja di hari Natal? Aku baru tahu ayahmu adalah orang yang sibuk, Scorpius. Dan tenang saja, kalian belum terlambat. Well... masuklah."

Sebuah anggukan pelan diterimanya dari Malfoy. "Terima kasih atas undanganmu, Potter," kata pria itu sembari memasuki flat. Harry sempat melihat Malfoy menatapnya dengan intens selama beberapa saat; membuat Harry segera mengalihkan pandangan ke arah lain. Ia bahkan bisa merasakan panas merambat dari leher menuju wajahnya.

Bloody hell...

。。。

Draco cukup menikmati hidangan yang disajikan Potter kepadanya. Ia bahkan mengakui masakan pria itu tidak buruk. Malah jauh lebih baik dibandingkan masakannya sendiri. Dan selama makan malam berlangsung, Draco mengakui kalau kedua pandangannya tidak luput mengamati apa pun yang dilakukan Potter malam ini. Mulai dari saat makan malam sampai saat Scorpius akhirnya terlelap di atas sofa panjang dengan kepala yang berada di paha pria itu setelah anak laki-lakinya berkeras untuk tinggal dan menonton tayangan di televisi—begitu Potter menyebutnya.

Ia hanya bisa menghela napas panjang. Sejak kapan Scorpius terlihat begitu terbuka dengan orang yang bahkan baru ditemuinya seminggu yang lalu?

"Aku menyukai, Mr. Potter. Dia orang yang baik." Draco mengingat kata-kata Scorpius saat makan malam di hari yang sama seminggu yang lalu; membuatnya tidak sengaja tersedak oleh potongan daging yang tengah digigitnya. "Apalagi sepertinya Father tidak pernah berhenti untuk mencuri pandang ke arah Mr. Potter. Apa Father tertarik padanya?"

Sampai sekarang, Draco bersyukur karena hanya ada dirinya yang mendengar apa yang dikatakan Scorpius. Narcissa—ibunya—tengah tidak enak badan sehingga memutuskan untuk menikmati makan malam di dalam kamarnya sendiri. Dan ayahnya? Lucius Malfoy sudah meninggal lima tahun yang lalu akibat kondisi fisik yang lemah. Hal itu jugalah yang membuatnya bisa bercerai dengan Astoria. Selama ini ia mempertahankan pernikahannya demi kesehatan ayahnya dan juga Scorpius. Ia tidak akan bisa memberikan alasan yang pantas jika sampai Narcissa mendengar kata-kata yang diucapkan Scorpius.

Tertarik? Apa itu tidak terdengar terlalu berlebihan? Selama ini tertarik terhadap sesama jenis bukanlah hal yang pernah ia pikirkan. Ia tidak pernah berpikir kalau sesama jenis bisa bersama.

"... Kau terlihat sedang berpikir keras, Malfoy."

Draco dengan cepat mengalihkan pandangannya ke arah asal suara. Ia sama sekali terlihat tidak menyadari kehadiran Potter di belakangnya. "Sejak kapan hal itu menjadi urusanmu, Potter?" Draco bertanya dengan pandangan yang menyusuri ruangan di sekitarnya. Ia mendapati sosok anak laki-lakinya yang masih terlelap di atas sebuah sofa dengan selimut tebal yang menutupi tubuh anak laki-laki itu. Membangunkan dan mengajak Scorpius pulang adalah hal yang ingin ia lakukan sekarang.

"Err—apa aku tidak boleh bertanya?" Potter berbalik mengajukan pertanyaan; membuat Draco pada akhirnya hanya memutar kedua matanya. Ia tidak berniat menjawab pertanyaan itu. "Well, daripada kau mengajukan pertanyaan yang tidak jelas, apa kau mau minum anggur? Aku masih punya—"

"—Aku ke sini bukan untuk menghabiskan waktu bersamamu, Potter. Aku datang ke sini hanya untuk menyenangkan Scorpius. Hanya itu." Draco terlebih dahulu memotong kata-kata pria beriris hijau cemerlang di hadapannya; tidak luput mengamati perubahan ekspresi di wajah mantan murid Gryffindor tersebut. Ia tidak tahu mengapa tiba-tiba saja dirinya menyesali kata-kata yang telah diucapkannya.

"Oh. Oke. Apa kau akan membangunkan Scorpius sekarang?"

Pria berambut pirang platina itu menjawab dengan anggukan pelan. Berjalan ke arah di mana Scorpius terlelap sambil mencoba tidak mengacuhkan tatapan dari kedua emerald itu. Ia sungguh tidak mengerti mengapa salah satu bagian dirinya membisiki dan menyuruhnya untuk tinggal lebih lama di tempat ini daripada kembali ke Manor. Draco menggeleng pelan dan mencoba mengenyahkan pikiran aneh di kepalanya.

Hal seperti ini tidak seharusnya terjadi.

Bukankah ia sudah mengatakan pada dirinya sendiri kalau kedatangannya ke tempat tinggal laki-laki itu hanya untuk memenuhi undangan makan malam? Tidak seharusnya ia memikirkan hal seperti itu.

"—Apa lain kali aku bisa mengundang kalian untuk makan malam lagi? Atau paling tidak—uh... apa boleh aku mengajak Scorpius pergi ke taman di dekat sini?"

Draco yang ketika itu mencoba membenarkan posisi Scorpius di pangkuannya berhenti sejenak. Kedua iris kelabu miliknya hanya bisa melayangkan sorot setengah tidak percaya ke arah Potter yang berdiri tidak jauh darinya. Pria itu hanya menggaruk bagian belakang kepalanya seolah-olah tidak yakin atas pertanyaan yang baru saja dilontarkan.

"Ah, aku tidak mempunyai maksud apa pun. Hanya saja aku menyukai kehadiran Scorpius di sini," kata Potter dengan senyum tipis di wajahnya. Lagi-lagi, Draco merasakan desir aneh di dadanya setiap kali melihat senyum di wajah pria itu. "Well...? Apa kau keberatan?"

Draco terdiam sejenak. Kedua iris kelabu miliknya mengerling ke arah sosok Scorpius yang tertidur lelap di pangkuannya sebelum teralih ke pemilik iris emerald itu. Ia menggeleng pelan.

"Aku rasa itu bukan hal yang tepat, Potter. Membiarkan Scorpius bertemu denganmu adalah hal terakhir yang ingin kulakukan. Kuharap ini adalah pertemuan terakhir kita," ujar Draco sebelum meninggalkan flat pria itu. Ia tidak mau repot-repot untuk menengok ke arah dimana Potter berdiri.

To be continued

Review? Terima kasih sudah berkunjung dan maaf untuk semua kekurangan di fic ini.