Kami berbeda.
Tentu saja, kami berdua sangat tahu akan hal itu. Orang luar tidak perlu memberi tahu kami.
Bagaikan langit dan bumi, perbedaan di antara kami terlampau bertolak belakang.
Biarkan kami yang mengatasinya. Ini hidup kami, tidak perlu campur tangan orang lain. Hanya aku dan dia yang memiliki perbedaan ini lah yang bisa.
Karena kami memiliki satu hal berharga yang akan menutup semua perbedaan itu.
.
.
.
Naruto © Masashi Kishimoto
Story © Air Mata Bebek & Kira Desuke
.
Sasuke POV version
.
.
.
ROMANCE
.
.
.
End
.
.
.
Aku berdiri di sampingnya. Tidak ada yang memulai pembicaraan di antara kami berdua sejak matahari terbenam beberapa waktu lalu. Aku bisa merasakan Haruno Sakura mengerling padaku beberapa kali. Tapi setiap aku hendak membalas tatapannya, gadis itu langsung memalingkan wajahnya dengan cepat. Membuat aku mengangkat sebelah alisku dan menghela napas untuk yang ke sekian kalinya.
Sakura memeluk kedua lututnya sendiri ketika aku masih memperhatikannya. Gadis itu menunduk—menenggelamkan kepalanya di antara tubuh dan kedua lututnya yang ditekuk itu. Tak butuh waktu lama sampai aku duduk setelah cukup lama berdiri di sampingnya. Sakura sempat mengangkat kepalanya ketika aku memposisikan diriku untuk duduk senyaman mungkin sebelum kembali pada posisi awalnya.
Aku menatap langit di atas kami yang semakin lama semakin gelap seiring waktu berputar. Kutarik jas yang menutupi lenganku lalu melihat jam yang melilit di pergelanganku. Jam enam, huh? Masih sekitar dua belas jam lagi sampai penjaga sekolah datang untuk membukakan pintu-pintu ruangan yang ada. Aku memejamkan mata lalu menyandarkan punggungku pada tembok di belakangku.
"Kau akan tidur, Sasuke?"
Pertanyaannya dengan cepat membuka kedua mataku. Aku menoleh untuk menatap kedua matanya yang beriris hijau emerald tersebut. Aku terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, "Tidak."
"A-Ah sou..." jawabnya kaku lalu kembali pada posisinya yang menghadap depan—setengah menunduk. Mungkin dia bermaksud untuk memecahkan keheningan di antara kami. Dan... harus kuakui, telah terbiasa dengan kepribadiannya yang ceria membuatku merasa ada yang kurang melihatnya tidak banyak bicara seperti ini.
Terbiasa... ya?
Aku kembali menegakkan posisiku, membuat perhatiannya kembali teralihkan padaku. Kubuka mulutku untuk berbicara, "Kau ngantuk?" entah kenapa pertanyaan itu keluar dari mulutku. Walau begitu, tetap kulanjutkan, "Jika memang ingin tidur, tidur saja."
Dia terdiam menatapku. Aku melihat pipinya memerah sekilas sebelum dia kembali membuang mukanya, "Bagaimana bisa aku tertidur di saat seperti ini?" gerutunya pelan. Aku mengangkat bahuku sesaat lalu kembali menatap lurus ke depan.
"Aku tidak akan berbuat macam-macam—jika itu yang kau takutkan."
"Si-Siapa yang berpikir seperti itu?!" balasnya seketika—nyaris berteriak. Baiklah, kata-kata tadi memang tidak sengaja kukeluarkan dari mulutku ketika melihatnya seperti ini. Tapi, tetap saja reaksinya yang di luar dugaan itu membuatku mendengus menahan tawa secara reflek, "Jangan ketawa! Aku serius, Sasuke!" dan kali ini dia memutar tubuhnya hingga menghadapku—meskipun aku masih menghadap depan. Wajahnya sudah sepenuhnya memerah.
Tak bisa kutahan lagi, kali ini aku tertawa lepas.
Ya.
Aku tertawa.
Untuk yang pertama kalinya di depan orang selain keluargaku sendiri.
Tersadar, aku segera menghentikan tawaku. Aku langsung berdehem pelan, "Ehem, maaf," bisikku. Tangan kananku yang mengepal menutup bibirku sendiri dan aku langsung memalingkan wajahku. Kuharap dia tidak melihat wajahku yang juga ikut memerah karena malu.
Aku tidak bisa melihat lagi bagaimana ekspresinya saat ini karena aku melirik ke sembarang arah—asal tidak menatap langsung kedua matanya, "Sa-Sasuke..." panggilannya tidak membuatku menoleh padanya. Tapi, sepertinya tanpa perlu melakukan itu pun, dia tahu bahwa saat ini aku mendengarkannya dengan baik, "...mungkin waktunya tidak tepat tapi banyak sekali yang ingin kukatakan dan kutanyakan padamu."
Mendengar nada bicaranya yang serius membuatku menolehkan kepalaku pelan. Dan kali ini kami bertatapan. Saling mencari arti tatapan satu sama lain. Perasaan yang masih belum kuketahui apa itu kembali mengikatku. Alisku sedikit tertarik, membentuk ekspresi sedih yang tidak bisa kutahan. Kenapa... kenapa aku selalu merasa bersalah setiap melihat sepasang bola mata yang beriris hijau emerald itu?
Aku nyaris saja membuang wajahku lagi saat mendengarnya berkata, "Jangan menghindar lagi, Sasuke," aku menunduk, "aku juga... tidak akan menghindar lagi. Karena itu... kumohon tatap aku sekarang," pintanya dengan nada pelan. Aku tidak menjawab, tapi kuakui dia benar. Aku pun kembali mengangkat kepalaku.
Sepertinya aku dan dia tahu.
Jika kami terus lari...
...semuanya tidak akan pernah selesai.
"Sejujurnya, aku tidak tahu harus mulai dari mana," Sakura membuka pembicaraan. Aku hanya diam menunggu, "ne, bagaimana kalau kita mulai saling menjelaskan dari awal?" sarannya. Aku mengangkat sebelah alisku tidak mengerti.
"...Maksudmu?"
Dia tertawa kecil sebelum menyandarkan tubuhnya pada tembok di sampingnya, "Saat kau memintaku untuk menjadi kekasihmu..." aku tertegun. Degup jantungku berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Setiap mengingat hal itu, duniaku seakan berhenti karena aku terus mencari alasannya, "...apa yang kau rasakan waktu itu?" tanyanya.
Aku terdiam seribu bahasa. Mulutku terbuka, tapi aku tidak tahu apa yang harus kukatakan dan bagaimana. Namun, sebelum aku sempat menjawab, Sakura kembali bertanya, "Kenapa aku?" tangan kirinya bergerak mencengkram lengan atas tangan kanannya. Senyumnya terlihat dipaksakan, "Bukankah... masih banyak perempuan lain yang jauh lebih baik dariku? Kupikir laki-laki sepertimu lebih memilih tipe perempuan yang tenang dan dewasa—dan aku jelas-jelas berlawanan dengan itu semua. Benar, 'kan?" angin malam meniupkan sedikit rambut berwarna soft pink miliknya.
"Kenapa?"
Iris onyx milikku melirik sudut kiri mataku. Saat aku kembali menatap kedua matanya, aku bisa tahu bahwa saat ini dia ketakutan. Takut mendengar jawabanku. Takut merasa sakit karena jawabanku nanti. Tapi, aku sendiri sama. Aku takut dengan jawaban yang akan kukeluarkan. Bagaimana mengatakannya saja aku tidak tahu. Hanya saja, aku cukup sadar posisiku di sini. Dia sudah mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk menanyakan hal itu padaku. Tidak mungkin aku mengabaikannya begitu saja.
Aku harus menghargai keberaniannya.
Dan mengutuk diriku sendiri karena telah menjadi pengecut yang terus melarikan diri dari kenyataan.
"Mungkin... aku juga harus menanyakan diriku sendiri," aku menarik napas lalu mengeluarkannya. Mulai dari sini, aku akan berbicara lebih banyak dari biasanya, "kenapa aku memintamu menjadi kekasihku tanpa berpikir panjang terlebih dahulu."
Sakura menunduk hingga poninya menutupi kedua matanya. Aku tidak bisa melihat bagaimana ekspresinya saat ini dan aku hanya tersenyum tipis. Aku tahu, Sakura bisa menangis kapan saja ketika pertahanannya runtuh nanti. Dan aku tidak mau membiarkan hal itu terjadi. Akan kulanjutkan cerita ini...
"Apa kau ingat pertemuan pertama kita di sekolah ini?" dia mengangkat wajahnya dan kembali menatapku. Terdiam sesaat, aku tahu dia tengah mencoba mengingat semuanya, "Waktu itu... bunga sakura berguguran karena akan masuk musim gugur. Aku melihatmu yang sedang kebingungan mencari kelas kita, lalu kau bertanya padaku. Setelah aku menjawabmu, kau berterima kasih. Namun sebelum kau pergi, aku memberi tahumu bahwa ada kelopak bunga sakura di rambutmu."
Sakura tertawa pelan lalu mengangguk, "Iya aku ingat," kali ini dia menarik kedua lututnya lalu memeluknya. Senyum manisnya masih belum hilang dari wajahnya, "aku tak percaya kau masih mengingatnya, Sasuke," lanjutnya lagi sebelum menyandarkan kepalanya di atas kedua lututnya.
Aku ikut tersenyum—meskipun sangat tipis, "Mana mungkin aku lupa," aku sendiri menekuk kaki kiriku sehingga aku bisa menyandarkan tanganku di atas lututku, "lebih tepatnya... aku tidak bisa melupakan senyummu saat kau berterima kasih padaku lalu tertawa kikuk sembari mengambil kelopak bunga itu dari rambutmu," jelasku lagi. Detak jantungku masih belum kembali normal, malah semakin bertambah cepat.
"Apa kau akan percaya jika aku mengatakan..."
Entah dari mana keberanian yang mulai berkumpul di dalam diriku ini.
"...aku telah tertarik padamu jauh sebelum kau menyadarinya?"
Kedua bola matanya membulat setelah aku mengatakan itu. Perlahan tapi pasti pipinya kembali memerah. Dia langsung salah tingkah—seakan tidak tahu harus melakukan apa dalam situasi ini. Mulutnya terbuka dan tertutup, sepertinya tidak tahu harus berkata apa. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk kembali melanjutkan jawabanku.
"Seperti yang kau ketahui, aku ini anti-social. Aku tidak gampang mempercayai orang lain dan hanya mementingkan diriku sendiri. Karena itu, awalnya aku mati-matian mengabaikan perasaan aneh yang mengusik setiap aku melihat senyummu dari kejauhan," Sakura menunduk lagi. Mungkin tidak berani menatapku, "dan klimaksnya... saat kita berpapasan. Kata-kata itu keluar begitu saja tanpa kusadari. Begitu sadar, aku berniat menarik kembali perkataanku tapi kau sudah lebih dulu menerimaku membuatku kaget."
Ah, iya benar.
Ketika aku berhenti menjelaskan, Sakura mengangkat kepalanya. Kini aku yang justru menatapnya dengan intens. Membutuhkan jawabannya, "Sekarang aku yang bertanya," jeda sesaat. Aku menarik napas panjang, "kenapa kau menerimaku waktu itu?"
Gadis itu terlihat menelan ludah. Seperti sebelumnya, dia kembali bergerak gelisah. Aku mencoba menenangkan diriku, "Padahal kau juga tahu kalau kita tidak pernah berkomunikasi lagi sejak pertemuan pertama kita," kugigit bibir bawahku pelan, "lalu kenapa? Sejujurnya, aku tidak yakin kalau kau juga tertarik padaku sejak dulu," lanjutku. Berkata apa adanya.
Sakura terus seperti itu. Dia terlihat berpikir begitu lama, entah apa yang dipikirkannya. Sedangkan aku di sini hanya bisa menanti jawabannya dengan sabar. Kuperhatikan lagi Haruno Sakura yang masih kebingungan di tempatnya. Aku tersenyum kecil mengingat aku telah berbicara lebih banyak dari biasanya karena gadis bermahkota soft pink tersebut. Meskipun aku tak ingin dan mencoba menahannya, tetap tak bisa. Seolah diriku sendiri telah diatur secara otomatis untuk memperlakukannya berbeda dari perlakuanku pada orang lain.
Oh ya, ada satu lagi pertanyaannya yang belum kujawab. Tapi, sepertinya untuk sekarang aku harus menahan diriku dulu. Kulirik jam di tanganku... sudah pukul delapan malam. Waktu terasa berjalan begitu cepat. Aku kembali mengalihkan perhatianku pada Sakura.
Tiba-tiba dia menggeleng pelan, "Maaf Sasuke... aku... masih belum tahu," kedua tangannya meremas ujung rok seragam yang dikenakannya, "maafkan aku... padahal kau sudah menjawab pertanyaanku. Tapi aku..." dan detik berikutnya, aku tertegun ketika melihat genangan air yang mulai berkumpul di matanya.
"Sa-Sakura?" aku tidak harus berkata apa. Rasanya seperti menjadi orang bodoh. Sekarang aku memutar tubuhku, sehingga tubuh kami benar-benar berhadapan. Aku bingung. Apa yang harus kulakukan? Memegang bahunya? Mengelus kepalanya? Apa? Aaargh!
Sakura menunduk sekilas sebelum menatapku lebih mantap dari sebelumnya, "Yang kutahu, saat aku menerimamu, aku merasa ada suara yang bergema di kepalaku. Entahlah... seperti mengatakan bahwa kau adalah orang yang tepat untukku—a-aku tidak tahu bagaimana mengatakannya," aku terdiam. Masih memperhatikannya ketika dia mengusap air matanya dengan lengannya, "yang pasti... akhirnya aku yakin dengan perasaanku sekarang setelah terus tenggelam dalam kebingungan dan aku ingin kau tahu."
Tatapannya membuatku menahan napas. Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana ekspresiku saat ini. Tapi, sekilas aku bisa merasakan tubuhku bergetar...
"Aku menyukaimu, Sasuke."
Kedua bola mataku membulat karena kaget untuk yang ke sekian kalinya. Tubuhnya juga bergetar sepertiku. Aku tahu dia memaksakan keberanian untuk keluar di dalam dirinya. Karena bagaimana pun juga, akhirnya dia kembali menangis. Dengan lancar mengalirkan air mata itu melalui pipinya lalu jatuh mengenai tangannya yang masih mencengkram ujung roknya. Aku masih terpaku di tempatku sampai dia kembali melanjutkan.
"Suka, suka... aku sangat menyukaimu... aku bahkan tidak bisa menahan diriku lagi," Sakura menunduk di depanku. Dan kali ini suaranya mulai nyaris berbisik, "maafkan aku... aku tahu aku yang memutuskanmu. Kupikir kau tidak menyimpan perasaan apapun padaku. Aku... terlalu takut karena aku tidak bisa membaca perasaanmu."
Kini kedua tangan Sakura berusaha menyeka air matanya yang terus mengalir. Aku masih belum bergerak dari posisiku. Kedua alisku kembali tertarik.
"Maafkan aku... Sasuke."
Aku memejamkan kedua mataku lalu menghela napas. Dia masih belum menyadari perubahan ekspresi pada wajahku. Hari sudah semakin malam, jadi kuputuskan untuk melepas jasku. Sakura mengangkat kepalanya ketika aku mengenakan jas itu pada tubuhnya dari belakang sementara aku cukup mengenakan kemeja putihku. Kurapikan kerah jas itu agar saling berdekatan sehingga hampir menutupi keseluruhan tubuh bagian atasnya.
Kali ini aku mencoba tersenyum lembut padanya, "Sudah tenang?" Sakura masih sesenggukan. Dia belum menjawabku tapi kedua matanya menatapku begitu dalam. Seolah masih tak percaya dengan apa yang baru saja kulakukan untuknya, "Bodoh sekali, kau tidak perlu meminta maaf hanya karena kau menyatakan perasaanmu padaku," lanjutku.
Aku sempat ragu, tapi akhirnya aku memajukan tanganku dan mengelus pucuk kepalanya perlahan. Baru segini, dan aku sudah merasakan kehangatan tak kasat mata yang menjalar ke dalam tubuhku. Rasanya begitu nyaman. Sakura kembali menutup kedua matanya dengan kedua tangannya. Aku sedikit menelengkan kepalaku.
"Terima kasih," kali ini aku mendekatkan tubuhku padanya, perlahan tapi pasti, "berkat pernyataanmu, kini aku juga tahu perasaan aneh apa ini dan semakin merasa yakin," Sakura memajukan kepalanya sehingga saat ini kepalanya yang masih menunduk itu mulai menyandar pada dadaku.
"Aku juga menyukaimu, Sakura."
Tangan kananku bergerak mendorong punggungnya agar tubuhnya berada dalam posisi yang cukup nyaman. Isakannya sudah berhenti. Karena daguku menyandar di atas kepalanya, aku tidak bisa melihat bagaimana ekspresinya saat ini. Lega sekali. Bebanku seakan terangkat semua dan tubuhku terasa bebas. Aku bisa tersenyum lebih leluasa—hal yang sangat jarang kuperlihatkan pada orang selain keluargaku sendiri.
"Sekarang... kita ulang lagi dari awal hubungan ini," bisikku. Cukup lama sampai aku merasa kepalanya mengangguk pelan. Belum sempat aku tersenyum lagi, Sakura menarik kepalanya menjauh dari tubuhku.
"Tapi... Sasuke," dia sudah tidak menangis lagi. Jejak-jejak air mata masih terlihat di pipinya, "kau belum menjawab pertanyaanku yang kedua. Kenapa aku? Kenapa bukan perempuan lain?" tanyanya dengan suara yang serak setelah menangis.
Aku terdiam namun tak lama. Kupejamkan mataku sebelum kembali membukanya. Kuraih tangannya di atas lantai semen di bawah kami lalu menggenggamnya erat seakan enggan melepaskannya.
"Apa itu penting?"
Sakura menatapku. Kedua bola matanya membulat sesaat sebelum akhirnya sebuah senyuman terulas di bibir tipisnya. Tak lama kemudian dia tertawa hingga kedua matanya menyipit. Aku hanya tersenyum tipis melihat itu sementara tawanya terdengar semakin keras. Sepertinya dia sudah kembali pada dirinya yang biasa. Ceria dan enerjik. Sakura memelukku secara tiba-tiba, membuat tubuhku hampir saja oleng. Untung sebelah tanganku masih sempat menahan beban tubuh kami agar tidak terjatuh.
"Iya... itu tidak penting lagi, Sasuke-kun."
.
.
.
.
.
Lalu, memang kenapa jika kami berbeda?
Bukankah dengan begitu, kami bisa saling menutupi kekurangan kami dengan kelebihan masing-masing?
Hubungan kami akan seimbang. Tanpa ada rasa iri satu sama lain.
Selama kami berada di bawah langit yang sama, selama kami saling berpegangan tangan dan membagi kehangatan satu sama lain... tidak ada lagi yang perlu kami khawatirkan.
Dengan bersama dan saling menutupi perbedaan satu sama lain, hidup kami akan sempurna. Tidak ada orang lain yang bisa memisahkan kami begitu saja.
Dan kami... tidak membutuhkan alasan apapun untuk saling mencintai.
.
.
.
Risk
One
Mistake
Annoying
None
Choose
End
.
.
.
FIN
.
.
.
Terima kasih pada semua readers yang telah mereview fic kami sampai akhir :)
=w= Sampai jumpa lagi =w=