Freedom presents.. A Naruto Fanfiction

YOUR SMILE

Rate: M

Genre: Romance, Drama, Hurt/Comfort, Slice of Life

Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Warning: AU, Shounen-ai/YAOI, mungkin typos, DON'T LIKE DON'T READ!

Pair: SasuNaru

Author: Uzumaki Aoi


Act 4: The Beginning of the Past


.

.

Sosok jankung berkulit pucat berjalan menelusuri sebuah ruangan yang dipenuhi dengan lukisan-lukisan menggantung di dindingnya. Iris onixnya memandang peralatan lukis yang tersusun rapi di atas meja panjang yang berada di tengah ruangan.

Lalu, pemilik iris onix itu menemukannya, sebuah lukisan yang sedari tadi dicarinya. Lukisan seorang pemuda berusia 17 tahun yang berdiri tegap menghadapnya. Pemuda berambut blonde dengan iris safire itu benar-benar terlihat sangat berwibawa dengan setelan jas putih yang dikenakannya. Wajahnya yang berhias 3 pasang garis itu bagaikan kumis kucing.

Kosong.

sekarang pandangan Sasuke kosong memandang sosok yang sudah berbulan-bulan tidak dilihatnya. Wajah itu. Wajah mataharinya. Dimana? Dimana ia sekarang? Dimana mataharinya sekarang? Dimana jiwa dan segala cahayanya itu sekarang?

"Sasuke! Hey! Sasuke!"

Sebuah senyuman langsung merekah di bibir tipis itu begitu mendengar suara cempreng yang sangat dirindukannya. Iris onix itu memandang ke arah meja yang dipenuhi peralatan melukis.

.

.

-Uzumaki Aoi-

.

.

-FLASHBACK-

Sosok blonde yang mengenakan jas putih itu memandang marah ke arahnya. Iris safire itu terlihat begitu jengkel. Tubuh mungil yang mengenakan jas itu terlihat seperti anak kecil dengan tingkah merajuknya.

"Hn?"

"Aku dari tadi memanggilmu 'Suke! Kapan kau mau melukisku? Aku sudah siap dengan jas ini!" protes Naruto. Ia mengipas-ngipas dirinya. Jengah dengan jas yang terbalut rapi di tubuhnya.

"Lukisanku tidak sebagus Sai."

"Suke~" rengek Naruto.

Ia langsung berjalan mengitari meja dan menghampiri Sasuke. Ia berhenti. Tepat di depan Sasuke. Naruto sedikit mendongak untuk melihat wajah kekasihnya karena perbedaan tinggi yang kentara. Safire dan onix bertemu. Malam dan siang. Ah, betapa indahnya mata yang bagaikan langit musim panas itu.

"Aku tidak perduli apakah lukisanmu jauh lebih jelek dari punya Sai, aku cuma mau kau yang melukisku Uchiha Sasuke," ucap Naruto dengan serius. Lalu, sebuah cengiran merekah di bibirnya. Tidak lupa, rona indah yang menghiasi wajahnya. "Ehehehehe, aku mau lukisan yang special dari tunanganku yang tampan," tambahnya.

"Benarkah?"

Pipi itu langsung menggelembung mendengarnya. Naruto langsung berbalik memunggungi Sasuke. Jengkel dengan ucapan tunangannya yang terlewat dingin itu. Tanpa sadar sebuah senyuman tulus terukir di bibir Sasuke. Tangannya terulur, dan sebuah pelukan didapat Naruto.

"Jangan marah, aku hanya bercanda," bisik Sasuke di telinga Naruto.

Wajah Naruto memanas. Jantungnya langsung berpacu cepat, namun ia benar-benar merasa senang mendapatkan pelukan yang hangat itu.

"Aku akan melukismu, my dear…"

"Ah, umn… ka, kalau begitu tolong lepaskan pelukanmu," ucap Naruto malu. Ia benar-benar salah tingkah dengan pelukan dan nafas panas yang berhembus di kupingnya. Sebuah seringai langsung merekah di bibir Sasuke. Dengan jahil, ia justru mempererat pelukannya.

"Tidak mau," ucapnya nakal.

"Lepaskan aku! Dasar mesum!" berontak Naruto. Wajahnya semakin terasa panas. Tangannya mencoba melepaskan pelukan di pinggangganya, namun hasilnya nihil. Iseng, Sasuke mencium tengkuk caramel itu hingga membuat Naruto merinding.

"SASUKE!" panik Naruto.

"Kau manis sekali Naru," goda Sasuke.

"Sasuke, kalau kau berani macam-macam lag—ah—hentikan!" tiba-tiba saja Sasuke sudah menjilat leher Naruto.

Nafas Naruto langsung memburu. Ia benar-benar panik sekarang. Jantungnya berpacu cepat, adrenalinnya meningkat.

"As you wish," ucap Sasuke seraya melepaskan pelukannya.

Naruto langsung mengambil jarak begitu merasakan tangan putih itu tidak melingkar di tubuhnya lagi.

Dengan wajah yang sangat merah, ia memandang Sasuke dengan jengkel. Sementara Sasuke memandang Naruto dengan geli. Wajah memerah Naruto benar-benar terlihat manis, ingin sekali Sasuke mencicipinya lagi, namun tidak. Ia tidak ingin membuat makhluk indah ini marah dan membuat jarak lagi dengannya.

"Ka, kau…." Dengan nafas terengah, Naruto mencoba untuk membentak Sasuke, namun tidak bisa. Isi kepalanya benar-benar terasa kacau sekarang. Sasuke menghela nafas.

"Baiklah, bila kau ingin aku melukismu," ucap Sasuke seraya berjalan mengambil beberapa alat lukis. "Aku akan melukismu."

Seketika mood Naruto berubah, ia jadi tidak bisa menahan senyumannya begitu mendengar ucapan Sasuke. Dengan semangat ia langsung berjalan menuju depan korden. Berdiri tegap dan menatap Sasuke dengan tatapan kebahagiaan. Sasuke menghela nafas. Belum sempat ia menyentuhkan kuasnya di kanvas, Naruto membuatnya ingin melukis Naruto yang terlihat indah. Bukan sebagai bangsawan, namun sebagai dirinya.

"Naruto," panggil Sasuke. "Kalau kau seperti itu, aku tidak bisa melukismu."

"Loh? Tapi—"

Ceklek.

Kedua iris yang berbeda itu langsung memandang ke arah pintu ganda yang terbuka. Sosok seorang gadis cantik dengan rambut blonde panjang memasuki ruangan itu. Iris safirenya memandang ke-2 pemuda yang sudah sangat dikenalnya itu.

"Wah! Naru-chan! Ternyata kau di sini!" ucap Namikaze Ino.

Gadis blonde pucat itu lebih tua 2 tahun dari Naruto. Wajah Naruto langsung memanas begitu mendengar panggilan sayang kakaknya.

"Neechan! Sudah berapa kali aku bilang! Jangan panggil aku dengan nama itu!" gerutu Naruto.

Ino hanya tertawa geli mendengarnya sambil menghampiri Sasuke.

"Wah… kau meminta Sasuke melukismu Naru?" ucap Ino seraya memandang Sasuke.

"Hn."

Ino mendengus mendengar jawaban Sasuke. Singkat sekali. Lalu ia kembali memandang adiknya. Sebelah alis Ino terangkat begitu sadar apa yang dikenakan adik lelakinya itu.

"Jas itu…."

"Yup! Ini jas turun-temurun keluarga Namikaze," setuju Naruto. Dia nyengir begitu menyadari kekagetan kakaknya.

"Sejak kapan Tousan memberikannya kepadamu?" tanya Ino dengan nada curiga. Khawatir adik lelakinya yang kelewat aktif ini mencurinya dari lemari Tousan-nya.

"Umn..sejak ulang tahunku yang ke-17 bulan kemarin," jawabnya sambil mengangkat bahu.

Ino mendengus. Jas itu harusnya diberikan saat keluarga Namikaze berusia 13 sampai 15 tahun. Tapi mengingat ukuran tubuh adiknya.. Haah, wajar saja Tousan mereka memberikan jas itu di saat usia Naruto menginjak 17 tahun.

"Baiklah. Kalau begitu aku mau menonton kalian saja. Silahkan lanjutkan melukismu Sasuke," ucap Ino seraya duduk di samping Sasuke.

Sasuke tidak menjawab mendengarnya dan ia memilih untuk kembali fokus dengan objek lukisnya. Naruto.

Naruto mendesah. Ia langsung memandang Sasuke kembali. Safire dan onix bertemu. Saling memandang satu sama lain. Saling menarik ketertarikan masing-masing. Iris onix yang bagaikan malam tanpa bintang dan iris safire yang bagaikan langit tanpa awan. Kedua warna yang sangat kontras namun berdampingan dan saling mengisi satu sama lain. Tanpa sadar sudut bibir Naruto terangkat. Membuat sebuah senyuman yang membuat siapapun yang melihatnya terpesona akan ketulusan yang terpancar dari senyuman itu.

"Ehem!"

Senyuman itu menghilang. Kini kedua iris yang berbeda warna itu memandang gadis yang tadi berdeham. Menghancurkan suasana indah yang tadi sempat terbentuk. Ino menghela nafas lelah. Tidak percaya dengan apa yang ada di hadapannya.

"Naruto, kau ingin membuat lukisan cinta dengan ekspresi itu?" sindir Ino.

Naruto memandang kakaknya dengan bingung. Tidak mengerti apa maksud ucapan sang Kakak. "Maksud Neechan?" tanya Naruto.

Ino menghela nafas lelah. Ia langsung berjalan menghampiri Naruto dan langsung berdiri tepat di belakangnya. Tinggi mereka sama. Hanya saja Ino terlihat lebih tinggi karena hak dan kuncir yang dikenakannya.

"Kau harus bersifat seperti bangsawan bila ingin dilukis dengan mengenakan jas ini," jelas Ino seraya menarik bahu Naruto supaya lebih tegap dan terbuka. Naruto mengerjap kaget mendengarnya. Baru sadar apa maksud ucapan Neechannya. Wajahnya memanas.

"Nah, angkat dagumu, tunjukan kewibawaanmu sebagai lelaki Naruto," ucap Ino lalu mengangkat dagu Naruto hingga iris itu kembali memandang sosok yang ada di hadapannya. Sasuke. Sasuke hanya menhela nafas melihat Ino memperbaiki posisi objek lukisnya.

"Nah, tahan posisi ini sampai Sasuke selesai melukismu," ucap Ino dengan nada puas seraya berjalan kembali ke tempat Sasuke. Alis Naruto terpaut mendengarnya. Ia sangat mengerti artinya.

"Kalau begitu nanti aku pegal—"

"Kan lukisannya tidak mungkin langsung selesai hari ini Naru," desah Ino. Lalu ia memandang Sasuke yang mulai menggoreskan kuasnya ke kanvas. "Benar kan Sasuke?"

"Hn."

Iris safire itu langsung memandang sosok yang duduk di hadapannya.

"Dan, jangan pandang Sasuke, pandang aku saja," ucap Ino tiba-tiba. Naruto langsung memandang kakaknya dengan bingung kembali. "Memandang wajah Sasuke itu hanya membuat wajahmu tak terlihat seperti bangsawan pada umumnya."

"Apa hubungan—"

"Jangan berbicara," sela Ino, "Tegapkan badanmu lagi Naru!—ah, jangan tersenyum! Ya ampun… aku sudah bilang jangan tatap Sasuke, tetapi tatap aku Naru!" geram Ino begitu melihat pergerakan Naruto.

Naruto hendak mengeluh, namun ia ingat bahwa kakaknya hanya ingin membuat lukisannya jauh terlihat lebih bagus. Akhirnya, Naruto hanya bisa menurut saat Sasuke ikut membela apa yang diucapkan Ino walaupun hanya dua kata saja. "Hn" khas Sasuke.

Dan setelah 2 jam berlalu Naruto sudah tidak kuat lagi. Dengan frustasi ia menggerakkan seluruh badannya sambil mengaduh karena beberapa sendinya berbunyi saat ia bergerak. Seperitnya sendi-sendinya ikut kaku gara-gara tidak digerakkan selama 2 jam lebih.

"Hihihihi, mau periksa ke rumah sakit Naru?" tanya Ino geli sambil memandang adiknya yang tengah mengaduh kesakitan setiap kali menggerakkan seluruh badannya. Naruto langsung memandang kakaknya dengan jengkel.

"Dasar! Kalau bukan karena hanya aku saja yang belum buat lukisan, mana mau aku berdiam diri seperti ini!" gerutu Naruto.

Ino hanya terkikik geli lalu meninggalkan ruangan itu. Membiarkan Naruto berdua dengan Sasuke di dalam ruang lukis itu.

"Masih sakit?" tanya Sasuke. Agak khawatir dengan beberapa anggota tubuh Naruto yang tak henti-hentinya berbunyi setiap kali digerakkan. Naruto langsung nyengir mendengarnya.

"Ehehehe, tidak apa-apa kok Sasuke! Aku kan kuat!" ucap Naruto bangga.

Sasuke tidak mengatakan apapun lagi mendengarnya. Ia lebih memilih diam dan berencana akan langsung memanggil dokter sendi dan tulang terbaik di dunia tanpa sepengetahuan Naruto.

-END FLASHBACK-

.

.

.

.

Iris onix itu mengerjaP. Ia kembali ke alam kesadarannya. Ah..lagi-lagi ia mengingatnya. Tersadar bahwa ia hanya berdiri mematung dan hanya mengingat kenangan yang menyakitkan itu. Sasuke langsung berjalan keluar dari ruangan seni. Mencoba menenangkan kekosongan hatinya yang mulai kembali terguncang menuntut untuk diisi oleh mataharinya.

"Tuan Muda."

Panggilan itu lagi.

Entah sudah keberapa kalinya Sasuke mendengar suara dan panggilan itu lagi hari ini. Kenapa setiap kali ia ingin sendiri selalu dan selalu saja ada pengawal dan para pelayan yang mengganggunya? Entah berapa banyak pelayan dan bodyguard di mansion ini, Sasuke tidak perduli. Ia hanya akan perduli bila para pelayan atau bodyguard itu bekerja untuk mencari Narutonya.

Tidak ada tanggapan dari Sasuke. Ia terus berjalan tanpa memperdulikan sapaan-sapaan itu. Para pelayan yang memanggil dan menyapanya itupun tak terlihat bosan menyapa, sekalipun sapaan itu bahkan dianggap tidak pernah ada sama sekali. Yah, tentu saja kalau bukan karena kewajiban, para pelayan itu tidak mungkin mau mempamerkan senyuman dan sapaan kepada orang yang selama bertahun-tahun mereka kenal sebagai 'Tuan Muda' mereka.

.

.

-Uzumaki Aoi-

.

.

"Akh! Payah sekali kau Sai! Kenapa bisa lupa membawa ban cadangan!" protes seorang pria beriris ruby seraya menatap garang pemuda yang tengah berjongkok mengeluarkan ban mobil yang sudah pecah akibat panasnya aspal.

Sai tersenyum mendengarnya seraya memandang Kyuubi yang berdiri di sampingnya.

"Bukankah ini kesalahan mu Kyu? Seandainya kau mau mendengar nasihatku untuk mengganti ban tadi, semua ini tidak akan terjadi," balas Sai.

Wajah Kyuubi memerah mendengarnya. Ia memang melarang Sai untuk mengganti ban, tetapi itu semua hanya demi mereka sampai ke tempat tujuan. Mana Kyuubi tahu kalau hasilnya akan seperti ini.

"Jadi kau menyalahkanku, hem!" geram Kyuubi.

Sai hanya tersenyum lalu melanjutkan pekerjaannya. Kyuubi berdecih kesal melihat reaksi Sai. Senyuman palsu itu entah bagaimana terus saja menghiasi wajah Sai. Rasanya tangan Kyuubi jadi gatal ingin menghajar wajah yang memasang topeng itu.

Tidak ingin menguras energi dengan menahan diri untuk tidak memukul wajah itu, Kyuubi memilih untuk kembali masuk kedalam mobil. Ia menghempaskan tubuhnya di kursi penumpang bagian depan. Lalu menengok ke belakang melihat sosok bertubuh mungil yang tengah terlelap tidur di sana.

"Naruto..," panggil Kyuubi lirih tidak mau sampai membangunkan sosok itu.

Tatapan itu memandang sendu ke arah adik sepupunya yang ia sayangi. Entah bagaimana melihat sosok Naruto yang seperti ini mengingatkannya pada seseorang. Seseorang yang sangat ia benci namun juga ia hormati. Sosok yang sangat mirip dengan Naruto. Sosok yang kini telah tak terlihat dan takkan mungkin menampakkan wujudnya lagi. Secara fisik mereka memang mirip, namun Kyuubi yakin Naruto benar-benar berbeda dengannya.

Kyuubi menghela nafas lelah. Ia kembali membetulkan posisi duduknya seraya memandang ke arah luar di jalanan beraspal dengan diapit hutan lebat. Ya, di sinilah mereka sekarang. Dan tidak ada satupun kendaraan yang melewati tempat ini. Hah..ya, jelas saja. Bukankah ini jalan khusus yang dibangun hanya untuk keluarga Uchiha dan Namikaze? Jadi hanya keluarga Uchiha dan Namikaze saja yang dapat melewati tempat ini. Dalam artian, kalau mereka meminta bantuan maka keberadaan Naruto akan diketahui dan mereka tidak mungkin dapat menelfon bengkel atau sejenisnya, karena jelas hanya keluarga Namikaze dan Uchiha-lah yang dapat melalui jalan ini.

"Kyu…"

Kyuubi langsung memandang kearah kursi pengemudi. Terlihat Sai membungkukan badannya sambil memandang ke arah Kyuubi lewat jendela yang terbuka.

"Bisa kau membantuku?" tanya Sai.

"Membantu apa?" tanya Kyuubi heran.

Agak curiga Sai sebenarnya tidak dapat mengeluarkan ban mobil yang pecah itu. Sebuah senyuman terukir di bibir Sai mendengar pertanyaan Kyuubi. Kyuubi menggerutkan kening., agak heran dengan senyuman itu. Karena bagaimanapun kali ini Sai sukses membuat senyuman yang dibuatnya terlihat tidak palsu. Bukan berarti senyuman itu terlihat seperti senyuman ramah, hanya saja..yah..senyuman itu terlihat 'agak' berbeda.

"Kau bisa berjalan keluar batas dan membeli ban?" tawar Sai.

Iris Ruby itu memandang tidak percaya ke iris onix yang menatapnya.

"NANI!" seru Kyuubi tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

"Kau tahu sendiri kan kalau aku yang pergi semua orang mungkin akan mengenaliku," ucap Sai santai. Sama sekali tidak memperdulikan keterkejutan dari lawan bicaranya.

"Kau saja yang pergi! Kau pikir jarak dari sini ke batas jalan berapa Mil, eh?" tolak Kyuubi. Ia benar-benar kesal sekarang.

"Masalahnya.." Sai langsung memasang wajah serius, "Aku itu keluarga Uchiha, apalagi aku lumayan terkenal di bidang seni, jadi infotaiment sering memburuku. Aku yakin semua orang sejagad raya ini mengenalku. Apa kata mereka bila melihatku membawa ban nanti?"

Kyuubi tergelak mendengarnya. Ya, bagaimana jadinya bila Sai diperhatikan oleh beberapa orang dan menjadi bahan pergunjingan. Masih lebih baik bila hanya seperti itu, bagaimana bila ada wartawan dadakan? Misinya membawa Naruto secara rahasia akan terkuak dengan cepat. Kyuubi mengerjap. Mencoba menjernihkan pikirannya.

"Kau saja yang pergi!" tolak Kyuubi. "Aku akan menjaga Naruto. Dan soal itu, itu kan masalahmu! Kau saja yang urus! Awas saja kalau sampai keberadaan Naruto sampai di ketahui!" ancamnya.

Sai menghela nafas.

Percuma saja membujuk Kyuubi.

Tanpa mengatakan apapun, Sai langsung meninggalkan Kyuubi dan membuka bagasi mobil. Ia langsung memakai sepatu roda dan helm yang berada di dalam bagasi.

"Hati-hati," peringat Kyuubi begitu melihat Sai sudah siap untuk berangkat. Nada Kyuubi terlihat serius saat mengatakannya. Sebuah senyuman kembali terkir di bibir Sai. Senyuman tulus untuk menenangkan seseorang.

"Ya," ucapnya. Lalu Sai terkekeh. "Kalau kau mencemaskanku, kenapa tidak kau saja yang pergi Kyuu?" goda Sai.

Wajah Kyuubi memerah mendengarnya. Marah dengan ucapan Sai.

"Apa katamu! Cepat pergi sana! Awas saja kalau kau tidak kembali sesegera mungkin!"

"Ahahahaha, baiklah," tawa Sai. "Kalau begitu aku berangkat dulu, bye!"

Dan dengan ucapan itu, Sai langsung meluncur dan pergi meninggalkan Naruto dan Kyuubi di dalam mobil. Kyuubi menghela nafas. Ia memandang sepupunya kembali. Entah bagaimana kesunyian di dalam mobil membuatnya teringat dengan kejadian tadi malam. Saat ia mencoba mengintrogasi Naruto.

.

.

.

.

-FLASHBACK-

"Jadi? Selama ini kau kemana saja Naruto?" tanya Kyuubi dengan serius.

Mobil yang mereka tumpangi terus melaju dengan kecepatan penuh. Memecahkan kegelapan di antara hutan belantara yang mengapit mereka.

Naruto hanya diam mendengarnya. Seolah-olah tidak mendengar pertanyaan yang entah keberapa kalinya terlontar dari mulut yang sama itu. Kyuubi mendengus lalu kembali memandang sepupunya yang bagaikan orang bisu itu. Atau mungkin juga tuli?

Jujur, habis sudah kesabaran Kyuubi menanggapi kebisuan sepupunya itu. Kyuubi bukan tipe orang penyabar hingga harus berbaik dan beramah tamah dengan sepupunya. Namun ia juga masih bisa berpikir secara jernih dibalik emosinya. Kekerasan dan emosinya tidak akan pernah dapat membuat sepupunya berbicara. Tidak. Tidak akan.

"Hmn..Naruto jadi mirip sekali dengan Sasuke ya," ucap Sai tiba-tiba setelah sekian lama hanya mendengarkan semua pertanyaan yang dilontarkan Kyuubi. Baik Naruto ataupun Kyuubi langsung memandang ke kursi pengemudi itu.

"He? Kau kira—"

"JANGAN PERNAH MENYEBUTKAN NAMA ITU!"

Sai dan Kyuubi terdiam. Mereka langsung sama-sama memandang Naruto. Lewat cermin di atasnya Sai dapat melihat Naruto memandangnya dengan sorot penderitaan yang kentara. Sorot mata yang berkilat tajam, namun penuh derita dan tersakiti yang..

Ah, benar-benar mirip dengan seseorang.

"Jangan…."

Suara Naruto kali ini terdengar lebih pelan. Iris safire yang redup itu terlihat berkaca-kaca. Kedua bahunya naik turun, terlihat sekali nafasnya tidak teratur.

"Kumohon.. Jangan sebutkan nama itu lagi..," pintanya pelan.

"Naruto.." Kyuubi kembali menyebutkan nama sepupunya itu. "Sebenarnya apa yang terjadi Naruto? Apa yang terjadi saat peristiwa—"

"Kyuu," sela Sai.

Kyuubi terdiam. Ia sadar bahwa ia terlalu cepat mencoba mengorek informasi dari sepupunya. Ah… melihat reaksi Naruto, Kyuubi bisa memperkirakan apa yang direncanakan Minato. Apapun itu, yang direncanakan Minato berhubungan dengan keluarga Uchiha.

Ya, Minato. Namikaze Minato, Ayah dari Naruto. Lelaki berambut pirang dengan iris safire yang merupakan pemimpin dari keluarga bangsawan Namikaze. Lelaki yang terlihat sangat sempurna. Cerdas, ramah, dan merupakan kepala keluarga yang baik bagi keluarganya. Tidak ada satupun cacat dari sosok Namikaze Minato. Lelaki tampan idaman banyak wanita.

Namun tentu saja, Kyuubi benar-benar tidak terpedaya dengan semua tipuan muslihat itu. Ia benar-benar tahu topeng yang dikenakan oleh lelaki yang dulu sangat ia kagumi dan hormati itu. Kenangan itu kembali merasukinya. Kenangan yang sampai kapanpun, tidak mungkin untuk dia lupakan.

"Kyuu, apa Naruto tertidur?" tanya Sai.

Kyuubi tersentak. Ia mengerjap beberapa kali begitu mendengar pertanyaan Sai. Kyuubi memandang ke sampingnya dimana sosok pemuda bertubuh mungil duduk meringkuk sambil menenggelamkan kepalanya di antara lututnya.

"Kurasa ya," jawab Kyuubi.

Kelopak tan itu menutupi iris safire yang redup. Terdengar dengkuran halus dari Naruto. Dengan hati-hati Kyuubi mengubah posisi tidur Naruto menjadi berbaring. Sai juga langsung memperlambat laju mobilnya hingga Kyuubi dapat pindah duduk di depan. Di samping tempat duduk pengemudi.

-END FLASHBACK-

.

.

-Uzumaki Aoi-

.

.

Roda-roda itu terus berputar di jalan beraspal. Dengan kecepatan penuh Sai dapat melewati jalan khusus itu dalam waktu 3 jam. Ini benar-benar menguras staminanya. Terlebih mengingat ia harus kembali membawa ban untuk mobil itu. Ah… semoga saja ia sanggup.

"Tuan Muda Sai!"

Sai tergelak. Ia hafal betul suara yang memanggilnya.

Di tengah keramaian kota seperti ini kenapa bisa ada suara itu?

Sai menarik nafas. Menimbang-nimbang apakah ia akan berhenti atau berpura-pura tidak mendengarnya. Namun tentu saja Sai tahu, pura-pura tidak mengetahuinya akan sangat beresiko terlebih pelayan yang satu ini sangat hebat dalam hal mengenali seseorang.

Hah… percuma saja mengelak.

Dengan berat hati Sai menghentikan laju sepatu rodanya. Ia membelok lalu berhenti. Terlihat seorang pemuda berusia 17 tahun berlari mendekatinya. Rambut coklatnya jabriknya yang berantakan dan wajahnya yang dihiasi sepasang tato segitiga terbalik berwarna merah. Pemuda itu berhenti di depan Sai. Tinggi mereka sama sebenarnya, namun karena Sai mengenakan sepatu roda ia terlihat lebih tinggi. Pemuda itu membungkuk, lalu menunjukan cengirannya yang khas.

Ya, Inuzuka Kiba, si pelayan khusus di keluarga utama Uchiha.

"Tuan Muda Sai, Anda dicari Tuan Muda Sasuke kemarin," ucap Kiba.

Sai tersenyum mendengarnya. Sebenarnya ingin sekali Sai memukul Kiba yang datang-datang langsung berniat membawanya pergi, padahal ia masih memiliki satu tugas yang belum selesai di sini.

"Ada apa Tuan Muda Sasuke mencariku Kiba?" tanya Sai ramah. Kiba mengangkat bahu mendengarnya.

"Saya tidak tahu, tetapi sepertinya lumayan penting. Bisa jadi ini masalah keluarga Namikaze," jawab Kiba.

Sai menghela nafas mendengarnya. Ia benar-benar tahu sekarang maksud Sasuke memanggilnya. Kyuubi. Namikaze Kyuubi.

"Tolong sampaikan salamku kepada Tuan Muda Sasuke. Katakan bahwa sampai kapanpun, Tuan Muda Kyuubi tidak akan mungkin menjadi pengganti Tuan Minato. Dan Nyonya Tsunade sudah lebih dari cukup sebagai seorang Kepala Keluarga Namikaze. Tolong sampaikan hal itu kepada Tuan Muda Sasuke," ucap Sai.

"Baik Tuan Muda," ucap Kiba dengan patuh sambil membungkuk. Sai langsung bersiap hendak pergi lagi mendengar persetujuan dari ajudan keluarga Utama Uchiha itu. "Ah, Tuan Muda Sai!" panggil Kiba lagi.

Sai langsung berbalik memandang Kiba. Agak heran kenapa Kiba mencegahnya pergi.

"Tuan Muda Sasuke menugaskan saya untuk membawa Anda ke Rumah Keluarga Utama. Ada yang ingin Tuan Muda Sasuke sampaikan kepada Anda," ucap Kiba mempertegas maksud kedatangannya.

Senyuman Sai merekah kembali mendengarnya. Inilah hal yang merepotkan bagi Sai. Sekarang apa yang harus ia perbuat? Kabur? Jangan harap ia akan dapat kabur dari ajudan yang satu ini. Yah, jangan pernah meremehkan ajudan remaja yang masih terlihat polos ini. Ia begitu setia dan kuat. Mungkin ia terlihat sendirian, namun kekuatan ilmu bela dirinya dapat mengalahkan 100 orang bodyguard keluarga Uchiha dalam waktu 1 menit.

Sai melirik singkat ke belakang Kiba. Seekor anjing besar berbulu putih berdiri di belakang Kiba. Ekornya mengibas-ngibas senang memandang Sai. Akamaru. Anjing yang dengan setia akan melindungi tuannya, Kiba. Bisa dibayangkan seberapa parah luka yang akan disebabkan oleh gigitan anjing itu. Sekalipun Sai akrab dengan Akamaru, tetapi tetap saja majikan Akamaru adalah Kiba dan Akamaru tidak pernah pandang bulu menyerang siapapun yang melukai Tuannya.

"Bisakah kita sedikit bernegosiasi?" tawar Sai. Hanya negosiasi yang ia punya sekarang.

"Maaf Tuan Muda Sai, tetapi Tuan Muda tahu sendiri kan bahwa negosiasi seperti apapun, tidak akan saya terima," tolak Kiba.

Sai juga tahu bahwa negosiasinya akan langsung di tolak seperti ini. Namun setidaknya ia sudah mencoba.

"Berapa waktu yang diberikan Tuan Muda Sasuke kepadamu?" tanya Sai.

Dalam mencari seseorang biasanya Kiba diberikan batas waktu tertentu oleh Sasuke. Dan hanya Naruto-lah satu-satunya orang yang tidak dapat ditemukannya. Sebuah kegagalan terbesar bagi Kiba, dan pukulan terberat bagi Sasuke.

"Umn…" Kiba langsung melihat arlojinya. "Ah, 2 jam lagi!" jawabnya. Ia merasa senang karena menemukan Sai di waktu yang 2 jam lebih cepat dari perkiraan Tuan Mudanya.

Sai tersenyum. Yah, semoga saja ia masih hidup.

"Maaf."

Dan dengan satu kata itu Sai langsung menerjang tubuh yang ada di hadapannya itu untuk yang kesekian kalinya.

.

.

.

.

"Cih, sialan! Kemana si Topeng itu!" bentak Kyuubi seraya menendang-nendang kerikil sambil berjalan bolak balik dari mobil ke pohon dan ke mobil lagi. Naruto hanya diam menonton sepupunya yang terus-terusan mengumpat sosok yang sedari tadi ditunggunya itu.

Naruto duduk di bawah teduhan pohon. Ia merapatkan jas yang dikenakannya ke tubuhnya karena hembusan angin yang membuatnya bergidik. Hari semakin senja. Itu tandanya sudah 5 jam Sai pergi meninggalkan mereka. Sekali lagi Naruto menggigit apel yang diperolehnya dari salah satu pohon yang ditemukan Kyuubi. Mengunyahnya dengan pelan sambil terus memperhatikan gerak-gerik sepupunya yang semakin lama semakin meracau tidak jelas.

Naruto menunduk. Memandang apel yang ada di tangannya dengan pandangan kosong. Ia dapat merasakan kekhawatiran Kyuubi lewat tingkah lakunya itu. Ya, tentu saja Naruto tahu. Sejak kecil ia sangat mengenal Kyuubi. Kakak yang egois, namun juga sangat mudah cemas dan sangat penyayang. Terlebih yang dikhawatirkannya sekarang adalah Sai.

Dulu Naruto benar-benar tidak mengerti dengan keakraban Sai dan Kyuubi sejak 2 tahun lalu. Dimana ada Sai, di situ ada Kyuubi. Selalu seperti itu sejak Itachi menghilang. Padahal biasanya Sai akrab dengan Itachi dan lumayan selalu bermasalah dengan Kyuubi, namun..

Ah, benar-benar pemikiran polos.

Setelah apa yang diketahui Naruto, masih bisakah ia berpura-pura tidak mengerti kecemasan sepupunya? Bukankah ini salahnya? Salah pendahulunya?

Emosi Naruto meluap. Ia menggigit bibir bawahnya. Salahnya. Ini semua salahnya. Seandainya ia tidak bertemu dengan Sasuke. Seandainya ia menyadarinya lebih cepat. Seandainya ia tidak sebodoh dan sepolos itu…

"Naruto."

Naruto tersentak. Ia langsung mendongakkan kepalanya memandang sosok Kyuubi yang sudah berdiri di hadapannya. Iris ruby itu memandangnya dengan pandangan khawatir.

"Kau masih merasa lapar Naruto?" tanya Kyuubi lagi.

Naruto hanya menggeleng mendengarnya. Kyuubi mengangkat sebelah alisnya. Agak tidak percaya, namun karena melihat apel yang ada di tangan Naruto tidak dihabiskannya maka Kyuubi lebih memilih untuk percaya. Dengan lemas, Kyuubi duduk disamping Naruto. Ia mendesah.

"Hah… kemana si Topeng itu?"

Sepertinya capek terus berjalan bolak balik dari tadi. Naruto memandang wajah Kyuubi. Terlihat kekhawatiran yang kentara dari wajah sepupunya itu.

"Maaf."

Kyuubi terdiam mendengarnya. Ia langsung memandang Naruto yang balas memandangnya. Iris safire itu terlihat begitu terluka. Begitu menyesal dengan sesuatu. Begitu…terlihat menderita.

"Maafkan aku, ini semua salahku," ucap Naruto kemudian.

Ah, jadi dia benar-benar sudah mengetahuinya?

Sebuah senyuman langsung merekah di bibir Kyuubi. Pandangannya melembut memandang adik sepupunya itu. Ia langsung mengacak rambut blonde itu.

"Ahahaha, jadi benar kau sudah mengetahuinya?" tanya Kyuubi geli.

Naruto menggerutkan kening mendengarnya. Benar-benar tidak percaya dengan reaksi yang diberikan Kyuubi.

"Yah, sesuatu yang berlalu biarlah berlalu Naru, sampai kapanpun, sebenarnya itu bukanlah salahmu," ucap Kyuubi dengan lembut.

Naruto hanya diam. Masih tidak percaya dengan reaksi yang diterimanya.

"Selamanya, aku tidak akan bisa melihatnya lagi. 'Jantungku masih berdetak. Masih ada kehidupan di tubuhku. Masih ada kebebasan di sekelilingku. Bukankah aku tidak boleh menyia-nyiakannya?' Itu yang akan ia katakan bila seandainya dia ada di sini Naru."

Ah, kata-kata itu.

Kata-kata dari sosok yang selalu memberikan kehangatan dan perlindungan bagi siapapun itu. Kata-kata dari sosok yang sangat berhaga bagi sepupunya. Naruto menunduk. Rasa bersalah semakin menghantuinya. Dan karenanya kini sosok yang begitu ia sayangi tenggelam dalam lautan kesendirian.

"Kyuu-nii," panggil Naruto.

Kyuubi agak terkejut dengan panggilan itu. Sudah lama sekali Naruto tidak memanggilnya Niisan.

"Aku akan menceritakan semuanya," ucap Naruto tiba-tiba.

Kyuubi terdiam. Alisnya bertaut bingung.

"Semua yang kudengar, kurasakan, dan apa yang terjadi saat peristiwa itu. Di saat seluruh anggota kaluargaku terbunuh," lanjut Naruto.

Naruto mendongak kembali. Menatap sepupunya dengan iris safire yang berkilat penuh keyakinan. Sebuah senyuman yang dipaksakan merekah di bibir yang merindukan cahaya itu. Entah bagaimana Kyuubi benar-benar merasa miris melihat senyuman itu. Dimana senyuman hangat sepupunya yang biasanya mampu mencairkan es yang membeku dan menerangi kegelapan itu?

"Kuharap, dengan menceritakan semua ini dapat menebus semua kesalahanku," ucap Naruto.

Ia menarik nafasnya. Memutar ingatan yang selama ini selalu mengganggu malamnya. Yang selalu ia simpan dan ia tenggelamkan hingga takkan pernah muncul ke permukaan kembali. Hari dimana ia menerima sebuah undangan. Undangan makan malam dari salah seorang bangsawan Uchiha. Undangan menuju kematian keluarganya.

.

.

TBC


Author's Note: Gomen tuk para readers (_ _) Author lagi masa 'galau' gara mau ujian nih, jadi gomen ya kalo lama.. T.T

Tapi tetep dong mau baca fic ini? :D

Nah, biar author makin semangat nulis & gak galau karena masalah Ujian, author minta reviewsnya ya! XD

Trims karena udah mau baca & udah nge-review fic ini! :D


Terima kasih buat para readers dan reviewers sekalian:

Haruka Hayashibara, satsuki naruhi, KireiNoTsuki, nine, Kazuki NightNatsu, Lilith Noir Lawliet, dan chy karin.

Terima kasih juga untuk yang menambahkan ke Story Alert dan Favorite Story:

Nakamura Nezumi, tori uzuki, tsukihime akari, Farenheit July, Wulan-chan, ChaaChulie247, Aoirhue Kazune, Haruka Hayashibara, Queen The Reaper, Uchy-san

Nyuu cHan94, iztha dark neko, Ashikaga Akane, MIKIcintaCOKLATselalu, Imperiale Nazwa-chan, Aria-NaSu Potter-Malfoy, Chaos Seth, KitsuKitsune 3, Mami Fate Kamikaze, imelia

Cheshire The Cat, Guru Besar Innocent, Lilith Noir Lawliet, KyouyaxCloud, dan Maurineko Aiko.


Untuk para flamer: Kalo gak suka sama cerita yang kubuat, kenapa masukin ceritaku ke story alert atau favorite story? Bukannya aneh kalo kayak gitu? Jujur saja apapun pendapat kalian kuterima lapang dada. Itu hak kalian untuk memberi tanggapan. Tapi, sebelum flame harusnya kalian lihat kan ada warning "DON'T LIKE DON'T READ"?

Kalo ceritanya gak termasuk dalam kategori favorite kalian maka kalian tidak perlu membacanya. Kalo aku gak masukin warning itu maka wajar saja kalian flame fic-ku ini. Tapi kali ini sangat aneh dan unreasonable. Well..tidak apa-apa, nasi sudah menjadi bubur. Kuharap untuk ke depannya tidak ada flamer yang salah sasaran seperti kali ini.

Arigato.