Promise

Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto

Warning: Out Of Character, Typo (yang bertebaran), GaJe, Dll.

.

.

.

HAPPY READING!

.

.

Chapter 6: Relationship

Suasana pagi hari di rumah Haruno hening. Yang terdengar hanya suara sendok yang bertabrakan dengan piring dan suara dentingan gelas. Selain itu, nyaris tak ada suara.

Sakura yang baru saja meletakkan nasi goreng miliknya di meja dan duduk, tidak berani memandang ke depan. Ia hanya menunduk dan makan dalam diam. Tidak lupa, rona merah tipis menjalar di pipinya.

Ah, teringat lagi akan ciuman semalam. Kalau diingat-ingat, itu adalah ciuman pertama Sakura. Sungguh menyenangkan saat mengingat dirinya sudah tahu rasanya berciuman.

Tapi yang salah adalah pasangannya dalam berciuman. Salah besar jika semalam ia berciuman segitu panasnya dengan Uchiha Sasuke, sahabatnya dan orang yang disukai sahabatnya yang lain.

Gadis bermata emerald ini sedikit merasa bersalah dan mengkhianati sahabatnya yang berambut merah legam itu.

Tapi kalau diingat, bukan sepenuhnya salahnya. Siapa juga yang menarik kepalanya dan mendekatkannya pada bibir tipis itu? Siapa yang menggerakkan bibirnya hingga mengundang Sakura merasakan yang lebih jauh lagi?

Siapa yang—

Stop.

Pikirannya sudah ke mana-mana dan sekarang saatnya dihentikan. Ia merasakan kalau wajahnya sangat panas sekarang.

"Sakura, kau baik-baik saja?"

Sakura mengangkat kepalanya sedikit dan menjawab, "A-ah, ya papa. Aku baik-baik saja ..." Sedetik kemudian ia memakan makanannya dalam diam lagi.

"Terus kenapa muka Nee-chan merah? Panas?" kali ini adik Sakura bertanya. Ia telah menghabiskan nasi goreng porsi mungilnya dan segelas susu cokelat hangat.

Sakura menyentuh kedua belah pipinya. Ah ya, masih panas rasanya. "Enggak, kok. Ayo, kita berangkat."

Ayah Sakura tersenyum bijak dan berkata, "Ayo, sama-sama berangkat bersama Sasuke. Papa mau cuci piring habis ini." Ia segera membereskan peralatan makan yang baru saja selesai ia gunakan untuk segera dicuci.

Sakura diam. Bagaimana bisa ia biasa saja jika harus jalan bersama Sasuke menuju sekolah? Ya walaupun ada Mamoru, 'kan tetap saja ...

"Ayo Nee-chan!" Mamoru bangkit dari kursinya dan menarik-narik tangan Sakura agar cepat berangkat. Sejenak bocah kecil itu menatap sinis Sasuke yang masih makan dengan santainya.

Sakura menahan tangan Mamoru dan cepat-cepat menghabiskan makanannnya yang tersisa di piring. Ia segera berdiri dan berkata, "Tolong ya papa! Aku berangkat!" Sesaat kemudian, ia sudah melesat keluar dari ruang makan.

Sasuke juga sudah berdiri dan ber-ojigi singkat. Ia tidak berkata apapun namun ia yakin ayah Haruno itu tahu apa yang ia maksudkan.

"Jangan lupa perkataanku kemarin, Uchiha." Ayah Haruno itu tersenyum bijak kemudian lekas menghirup teh hijaunya. Ia melirik sekilas tubuh pemuda yang berada di hadapannya itu dengan tatapan penuh wibawa.

Sasuke menyeringai tipis dan membalas, "Tentu." Ia segera berjalan mengejar langkah anak-anak keluarga Haruno yang sudah jauh di depan.

"Ah, masa muda memang indah," gumam ayah Sakura dengan senyuman tipisnya.

.

.

.

Suasana kembali hening. Sakura dan Sasuke yang dibatasi oleh Mamoru juga diam tanpa kata. Hanya langkah kaki mereka yang sejajar satu sama lain.

Sakura menundukkan kepalanya lagi. Ia tidak berani menatap wajah di sampingnya apalagi mengangkat kepalanya. Jelas ia malu saat teringat apa saja yang mereka lakukan kemarin.

Tidak akan bisa lupa semudah itu!

"Nee-chan, sudah sampai."

Sakura mengerjapkan matanya cepat dan segera tersadar. "Hati-hati, ya." Ia mensejajarkan tubuhnya dengan Mamoru dan mencium kedua belah pipi adiknya yang tembem. Ciuman sayang yang diberikan adiknya setiap waktu.

Mamoru mengangguk. Awalnya ia ingin mengatakan sesuatu pada kakaknya tapi—

"Mamoru, ayo cepet masuuuuk!"

Ah, itu Yuka-chan. Ia tentu tidak mau tertinggal oleh gadis berkuncir dua itu. Ia segera melambai dan berlari ke arah kawannya. Sejenak ia berbalik dan memberikan tatapan, 'jangan-ganggu-nee-chan-ku' pada Sasuke, kemudian segera lalu pergi.

Sasuke memutar kedua bola matanya. Ia segera berbalik dan berkata datar pada Sakura, "Ayo cepat." Seperti biasa lelaki itu memerintah Sakura.

Deg deg

Jantung Sakura berdetak kuat begitu mendengar suara itu menuju arahnya. Ia segera berdiri dari posisi jongkoknya dan berjalan mengekor Sasuke. Tidak berani ia berjalan sejajar seperti dulu.

Sasuke menoleh ketika menyadari hal itu. Dengan cepat ia meraih tangan kanan Sakura dan menyeret tubuh gadis itu agar berjalan sejajar dengannya.

"S-sas, bisa k-kau lepas?"

Sasuke diam saja. Tangannya menggenggam tangan Sakura lebih erat lagi, seolah tak mau melepaskannya hingga gerbang sekolah.

"Sa-Sasu ..." Gadis itu memohon. Jantungnya mau meledak rasanya.

Sasuke berhenti dan hal itu membuat Sakura otomatis berhenti juga. Namun bedanya gadis itu menunduk—menghindari kontak mata pada mata kelam Uchiha.

Lelaki bermata onyx itu menaikkan dagu Sakura dengan tangan kanannya. Segera ia mengusap pinggiran bibir gadis itu dan membuang sisa-sisa—barangkali saus—yang ada di sana. Matanya terus mencari kontak pada mata Sakura.

Tepat. Kini mata emerald hijau itu kembali terjerat pada mata hitamnya. Dan seperti tersedot, mata itu tidak memutuskan kontak mata. Malah terus memandangnya. Lelaki menyeringai dalam hati. Kini—

"Sasuke-kun, apa yang kau lakukan?!"

Keduanya menoleh pada suatu suara. Beberapa meter di depan mereka berdiri seorang gadis berambut merah dan berkacamata berkacak pinggang. Mata ruby-nya menyalak penuh amarah.

"Hn?" Sasuke hanya bergumam datar. Malas sekali ia harus mengurusi pertanyaan tidak penting ini. Buang-buang waktu.

Semua orang juga tau kalau Uchiha Sasuke ingin meraih bibir gadis merah muda di depannya tadi. Untuk apa bertanya lagi?

"Ka-Karin, itu tadi cuma ada saus di mulutku." Sakura mencoba menenangkan keadaan dan juga jantungnya. Ia tersenyum sebaik mungkin untuk menyembunyikan apa yang terjadi pada jantungnya.

Karin menurunkan kedua tangan dari pingganya dan menjawab polos, "Oh, begitu." Segera saja ia berlari mendekat dan tersenyum lebar. Begitu sampai, ia segera memeluk kedua lengan sahabatnya dan menyeretnya.

Sakura tersenyum lega. Namun tidak lama karena Karin berbisik diam-diam ke arahnya,

"Sakura, bisakah kau biarkan aku berdua aja dengan Sasuke?"

Seketika itu pula, Sakura teringat akan posisinya. Ia mengangguk paham dan berlari mendekati Ino yang tidak jauh dari sana—mencoba menjauh. Menghindar sebisanya dan membantu Karin.

Karin tersenyum. Ia merasa senang mempunyai sahabat seperti Sakura. Saat itu pula, ia mulai berceloteh macam-macam pada Sasuke—melupakan yang lain.

Sasuke hanya diam. Ia memandang datar wajah Sakura yang sedang bercanda ringan dengan Ino. Sesekali didapatinya Sakura melirik dirinya, walau hanya sedetik.

'Hei, aku harusnya tahu diri, bukan?' batin Sakura kecut.

.

.

.

"Kemarin, kenapa kau pergi?"

Sasuke tidak menoleh. Ia hanya menutup kedua mata kelamnya dan menyandarkan kepalanya pada tumpuan tangannya.

Ia tidak mau tahu lagi. Suara-suara berisik perempuan memang sangat menganggunya beberapa hari ini. Kecuali Sakura tentunya.

"Kenapa?" Karin terus berusaha mencari jawaban. Sesaat kemudian ia menebak, "Apa kau menginap di rumah Sakura?" Matanya berpendar gelisah dan gusar.

Sasuke membuka kedua bola matanya dan memberikan tatapan, kau-tahu-dari-mata melalui mata kelam hitam itu. Ia kemudian membuka mulutnya dan berkata datar, "Kau mengikutiku?"

Karin awalnya ragu menjawab. Namun akhirnya ia mengangguk.

Sasuke mendengus kemudian bangkit. Ia tidak ingin lama-lama dalam suasana seperti ini. namun sebuah tangan kecil menarik dan mencegahnya pergi.

Karin mencegah lelaki itu pergi. Dengan wajah setengah memohon dan berharap ia berkata,

"Sasuke-kun, aku ..."

.

.

.

"Sakura?"

Gadis yang kini duduk berdiam di salah satu pohon besar itu menoleh singkat dan tersenyum. "Ah, Neji-kun?"

Lelaki yang dipangggil Neji itu mengangguk dan duduk di samping Sakura. Ia segera merogoh kantung celana seragamnya dan memberikan sesuatu pada gadis di sampingnya.

"Plester?" Sakura menaikkan alisnya tinggi-tinggi begitu melihat apa yang dijulurkan ke arahnya. Apanya yang perlu diplester?

Neji mendengus dan langsung membuka bungkus pelindung plester tersebut. Dengan cepat ia menempelkannya pada sudut bibir Sakura dan menepuknya pelan.

"Bibirmu berdarah."

Sakura mengerjapkan matanya lucu kemudian meraba sudut bibirnya yang tertutupi plester.

"Jangan terus gigiti bibirmu," nasihat Neji dengan wajah datar nan tenang—walau tidak sedatar Sasuke. Matanya kemudian beralih pada lapangan yang ada di depannya.

Sakura terkesiap. Ia sampai tidak sadar kalau sedari tadi ia menggigiti bibirnya hingga berdarah. Ada apa dengannya?

"Terima kasih," ucap Sakura dengan suara agak menggantung. Ia memegangi ujung bibirnya dengan senyuman tipis dan canggung.

"Ya."

Mata Sakura turut beralih pada lapangan di hadapannya. Lapangan basket yang berisi beberapa siswa yang sedang bermain basket. Entah kenapa melihat itu membuat mereka nyaman.

"Hoooi, pass ke sini!"

Keduanya kembali terdiam. Menyelami pikirannya masing-masing, yang bahkan masing-masing di antara mereka tidak tahu apa yang terjadi pada lawan sebelahnya.

Hanya diam. Dan itu cukup.

.

.

.

"Kenapa Mamoru-chan?"

Mamoru mengerjapkan matanya dan menoleh lucu. "Aku sedang berpikir."

Gadis kecil berkucir dua itu mengerjapkan mata balik. "Kenapa memangnya?" tanyanya penasaran. Biasanya pada saat seperti ini mereka bakal bermain bersama di lapangan belakang.

"Kau tahu Nee-chan-ku?" tanya Mamoru dengan kepala bertopang di lengan tangannya. Ternyata sejak tadi pikirannya tak dapat lepas dari sang kakak.

Gadis kecil berkuncir dua itu mengangguk. "Yang rambutnya pink tadi?"

Mamoru mengangguk. Ia nampak murung.

"Memangnya kenapa, Mamoru-chan?" tanya gadis itu sekali lagi. Ia jadi ikut penasaran dengan yang dipikirkan Mamoru.

Kedua tangan kecil bocah lelaki itu ia tutupkan pada wajahnya dan ia berbisik kecil, "Kemarin malam aku lihat Sasuke cium Nee-chan."

Mata caramel gadis kecil itu membelalak. Ia beringsut mendekati Mamoru dan berbisik balik, "Sama yang rambutnya kayak bokong ayam itu?" Ia mencoba menebak siapa yang namanya Sasuke.

Mamoru menghela napas kesal. "He-eh." Ia menyembunyikan wajahnya dibalik kedua lengan tangannya. Perasaannya agak bingung.

"Kau lihat apa saja?" tanya gadis kecil itu dengan wajah memerah seraya mencolek-colek lengan tangan Mamoru.

"Semua." Nampaknya wajah Mamoru sendiri memerah dibalik lipatan tangannya itu. "Tapi aku gak ngerti, Yuka-chan," katanya dengan suara parau.

Gadis berkuncir dua dan bermata caramel itu diam mendengarkan. Suaranya tercekat di tenggorokan.

"Kenapa mereka cium-cium?" tanya Mamoru masih pada posisi yang sama. Diam-diam ia mendengus kesal di sana.

"I-itu karena mereka saling suka." Kini Yuka mulai membuka suaranya. Dengan ia meremas ujung baju terusannya yang mengembang sempurna dan melanjutkan, "Di tivi banyak yang kayak gitu."

Mamoru segera membuka wajahnya yang sejak tadi ia sembunyikan dan memandang Yuka dengan alis terangkat tinggi-tinggi. "Kok bisa?"

Yuka mengangkat bahunya tidak tahu.

Terpaksa Mamoru harus berpikir lebih keras lagi.

Apa sebaiknya tanya papa, ya?

.

.

.

Sakura menggenggam belakang jaket lelaki itu erat-erat. Tubuhnya serasa terbang saat lelaki itu mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi.

"Pelan-pelan Nejiiiiiiiiiii!" Sakura berteriak tertahan di belakang boncengan sang Hyuuga. Rasanya ia bisa melayang kapan saja jika ia tidak berpegangan dengan ujung jaket hitam kecoklatan itu.

Namun sepertinya lelaki Hyuuga itu tidak mendengar suara teriakan Sakura. Ia tetap pada kecepatannya yang tinggi itu bahkan tetap melaju kencang walau ada tikungan 90 derajat di depannya.

"Kyaaaaaaaaaaa! Tuhan, aku masih belum dibaptiiiis!" teriak Sakura begitu ia merasakan tubuhnya oleng ke kanan dan hampir menyentuh aspal. Menakutkan rasanya berbonceng dengan Hyuuga Neji.

Neji mendengus geli secara diam-diam di kemudinya.

Beberapa menit kemudian kecepatan motor itu menurun sedikit-demi sedikit. Sakura membuka kedua bola mata hijaunya dan menoleh sekeliling. Begitu mesin berhenti dan kakinya menginjak tanah, rasanya ia ingin mencium tanah seperti tokoh di buku sejarahnya.

"Bagaimana?" tanya Neji dengan seringai tipisnya. Ia segera membuka pelindung kepalanya dan menaruhnya di spion motor.

"Mengerikan," jawab Sakura sarkastik. Dengan langkah kaki gemetar, ia berjalan menuju bangku taman yang tidak jauh dari sana dan duduk.

Neji turut duduk di samping gadis itu ketika ia selesai membeli minuman di vending machine yang tidak jauh di sana. Sakura bergumam terima kasih begitu sebotol air diberikan padanya.

"Bukankah melegakan habis berteriak seperti tadi?" tanya Neji yang kemudian meminum seluruh air di botolnya hingga tidak tersisa. Ia melirik Sakura yang berada tepat di sampingnya dengan ekspresi yang tak terbaca maksudnya.

"Iya juga sih," ucap Sakura menyetujui kata-kata Neji padanya. "Tapi tetap saja jantungku hampir copot begitu melewati tikungan tadi." Gadis itu memukul pelan lengan kanan Neji dengan wajah merajuk kesal.

"Itu Sakura-chan, kan?"

Mata Neji menatap lekat wajah Sakura dan tangan lelaki itu membelai rambut gadis merah muda yang berkibar oleh tiupan angin itu.

"Mau jadi pacarku?"

"APAAAAAAAAAAA?!"

Bukan, itu bukan suara Sakura Haruno. Sakura yang asli hanya diam membatu di tempat ketika mendapat pernyataan itu. Itu suara Naruto dan lelaki itu sedang berjalan bersama Hinata.

Neji mendengus kesal. Yang ia tembak Sakura kenapa yang teriak malah lelaki berambut kuning ini?

"Ne-Neji-nii, bukannya kau su-suka ..." kata-kata Hinata terpotong karena suara berikutnya tidak keluar. Ia terlalu terkejut mendengar dan melihat pernyataan kakaknya pada Sakura.

Sakura yang ada di sana hanya bisa membuka mulutnya tidak percaya.

Apa sih yang sebenarnya terjadi? Kenapa semua nampak rumit?

.

.

.

"Aku mau bicara sebagai sesama laki-laki!"

"Hn?"

Adik Sakura itu berkacak pinggang sambil memandang tajam mata Sasuke di hadapannya. Walau tubuhnya kalah besar dengan Sasuke, ia sama sekali tak gentar.

Sasuke sendiri hanya memasang wajah datarnya. Ia sebenarnya sedikit bingung, bagaimana bisa adik Sakura ini datang ke apartemennya dan tiba-tiba berbicara seperti tadi. Namun seperti biasa, ia bisa mengendalikan raut wajahnya dengan begitu baik.

Adik Sakura itu masih berkacak pinggang dan berkata, "Sopankah membiarkan tamu berdiri di depan pintu?" Ia mengucapkan kalimat tadi dengan wajah terkesan serius.

Sasuke mendengus. Tamu? Bahkan ia tidak menganggak Mamoru sebagai tamunya. Namun ia membuka jalan yang tertutupi tubuhnya agar adik Sakura itu bisa masuk.

"Ada apa?" tanya Sasuke to the point begitu Mamoru masuk ke dalam apartemennya. Baru saja lelaki itu membersihkan ruangan, sepatu bocah ini mengotorinya.

Mamoru duduk di sofa tanpa permisi. Ia duduk dan melipat kedua tangannya. Mata bulatnya menatap bimbang sejenak, sebelum ia kembali menatap Sasuke dengan tatapan serius.

"Aku mau tanya," ungkap Mamoru, "apa kau suka Nee-chan?"

Sasuke sedikit tersedak ludahnya. "Apa maksudmu?" tanya lelaki itu mulai serius. Dia beranjak duduk di hadapan Mamoru dan memasukkan kedua tangan di kantong celananya, menyembunyikan kegugupan.

Mamoru memutar kedua bola matanya. "Jawab saja, kau suka Nee-chan?" tanyanya sekali lagi. Tas sekolah bocah yang tersampir di bahu kanannya tidak ia pedulikan lagi. Ia ingin segera tahu jawaban lelaki di hadapannya.

"Jujur saja, aku gak setuju kau pacaran sama Nee-chan. Apalagi setelah cium-cium kemarin ..." ungkap Mamoru lagi. Ia menutup kedua bola matanya dengan cepat dan memutar kembali memori yang terjadi sebelumnya.

Sasuke membatu. Jadi bocah ini melihatnya?

Bocah ini melihat bagaimana mereka saling berdekapan, berguling dan memeluk satu sama lain? Apalagi dengan bibir yang menyatu, mendecap dan bergerak satu sama lain? Dengan li—

"... Tapi aku gak bisa ngelarang lagi, kalo Nee-chan emang suka sama kamu."

—oh Sasuke, apa yang sudah kau pikirkan barusan.

Rasanya lelaki berambut raven itu ingin mencelupkan kepalanya masuk ke dalam baskom berisi air es saat itu juga. Apa yang barusan ia pikirkan, itu semua tidak pantas untuk dipikirkan dalam keadaan seperti ini.

"Kau dengar aku?"

Sasuke melirik Mamoru yang memanggilnya kasar.

Belum lagi di sini ada adiknya Sakura. Untung saja bocah kecil ini tidak bisa membaca pikirannya.

"Hn," gumam Sasuke menjawab panggilan Mamoru. "Sakura suka atau tidak suka bagiku sama saja," katanya dengan raut datar terkendali. Wajahnya memang sudah di desain untuk berubah datar sedemikian rupanya.

Mamoru memelototkan matanya, sedikit tidak terima.

"Karena bagimanapun aku tetap suka dia," ucap Sasuke dengan ujung bibir yang terangkat naik. Ia bangkit dan mengacak rambut bocah kecil itu. "Ayo pulang," katanya seraya mengambil jaket di sofa.

Mamoru terperangah dalam diam mendengar ucapan khas nan datar milik Uchiha tersebut mengenai perasaannya. Dalam hati ia merasa kalah telak. Bagaimana caranya lelaki itu bersikap sedemikian tenang?

"Berisik!" Mamoru menepis tangan Sasuke di kepalanya dan ia memasang tas sekolahnya, bersiap pulang.

Ya, bagaimanapun ...

... Mamoru tidak bisa apa-apa, kan?

.

.

.

"Sakura benar tidak apa-apa?"

Sakura mengangguk dan memberikan helm yang digunakannya tadi pada lelaki di hadapannya. Ia tersenyum dan berkata, "Sudah kupikirkan baik-baik."

Lelaki berambut cokelat yang tengah duduk di sepedanya tersenyum tipis dan mengacak rambut gadis di depannya. "Arigatou."

Wajah Sakura memerah begitu tangan besar nan hangat itu menyentuh puncak kepalanya. Seperti seseorang yang mengingatkannya pada—

—eh? Hentikan! Lupakan saja yang kemarin malam telah terjadi. Sakura akan menguburnya rapat-rapat dan menganggap itu adalah sebuah rahasia besar untuk dirinya.

"Besok?" tanya lelaki itu sekali lagi. Wajahnya masih dengan raut tenang, tapi matanya bergulir cemas.

"Ne, Neji -kun. Bagaimanapun aku sudah setuju, kan?" Sakura tersenyum seraya mengedipkan matanya pada Neji. Ia mengerdip jahil berusaha menjahili orang di hadapannya ini.

"Nee-chan!"

Sakura dan Neji serentak menoleh. Di sana ada Mamoru yang tengah memanggul tas sekolahnya tersenyum cerah pada Sakura seraya melambaikan tangannya.

Dan juga seseorang di belakang bocah kecil tersebut.

Sakura balas tersenyum dan menyambut adiknya dalam pelukannya. Ia segera menggendong adiknya dengan kedua tangannya dan berkata, "Mamoru, ini Neji Hyuuga."

Mamoru yang berada dalam gendongan Sakura tersenyum sekilas dengan melambaikan tangannya. "Mamoru Haruno, salam kenal, Nii-chan," ucapnya dengan sopan.

Neji mengangguk dan tersenyum tipis. "Salam kenal," balasnya ramah dan terkesan tenang.

Ah ya, lupa ya dengan Sasuke?

Lelaki itu mendecak kesal di samping Sakura dan memasang wajah malas. Bisa-bisanya dia tidak dianggap, padahal ia sudah repot-repot mengantarkan adik Sakura yang garang itu.

"O-oh ya, ini Sasuke," kata Sakura dengan sedikit gugup. Pasalnya bukan karena rasa bersalah telah mengindahkannya tapi lebih tepatnya ia teringat akan kejadian kemarin.

Neji menatap tenang Sasuke di atas sepedanya dan berkata, "Neji Hyuuga."

Sasuke sendiri menatap dengan pandangan datar terbaiknya dan menjawab, "Sasuke Uchiha."

Kini Mamoru yang angkat bicara. Masih dalam gendongan kakaknya, ia bertanya, "Nii-chan, siapanya Nee-chan?"

Neji melirik Sakura sekilas—yang dibalas dengan pandangan salah tingkah milik Sakura—kemudian memberikan jawaban yang membuat Sasuke Uchiha terhenyak di tempat.

"Aku, pacar Sakura."

-TBC-

Special thanks:

To You all on the review box, PM, FB, twitter, SMS, Whatsapp and manymore... GOD bless you all... :D

Hai semuanyaaaaaa... :D

Senang sekali bisa melanjutkan cerita ini dan membaca semua review kalian. Terima kasih banyak sudah membaca dan review. Maaf kalau lama yaaa...DX sunggu maafkan author yang gak konsisten ini... T_T

Author berusaha membalikkan rasa tidka nyaman ini keluar dari hati... bersabar, ya? :"O

Kali ini, konflik mulai bermunculan. Walau bukan yang berarti, tapi akan jadi moment penting untuk SasuSaku. :D hohoho, nantikan terus ya!

Ditunggu review dan concrit kapanpun!

Karikazuka