Hallo Minna #kisshug
Ohayou.. Konnichiwa.. Konbanwa..
Hana tidak bisa menentukan kapan publish. Tapi Hana berusaha secepat mungkin buat publish. Hana lagi sibuk di duta. Yang mau ngobrol" bisa di sosmed sama Hana yaah.
Maaf minna, Hana lagi-lagi telat publish. Tapi nggk papa yaah, yang penting ini cerita tetap lanjut dengan ide dari otak Hana.
BALASAN REVIEW
Hana tidak bisa bales reviewnya yah. Chapter depan baru Hana bales. Maaf telat, Hana banyak orderan olshop nih. Yang mau nyapa Hana bisa di ping di 5B794C5B.
Hana ucapkan terima kasih banyak yang sudah menunggu cerita ini.
Okee cukup sampai disini cuap-cuapya mari langsung menuju ke cerita.
Selamat menikmati !
.
.
#_#
.
.
Disclaimer of Masashi Kishimoto
Pairing NaruHina
Rated M lebih dominan Romance
Warning: OOC, GeJe, berantakan, typo dimana-mana, jauh dari kata sempurna, lemonnya akan berjalan sesuai dengan keadaan dan jalan cerita.
‰ HAPPY READING ‰
Chapter sebelumnya
"Apa kamu ingin pergi ke suatu tempat?" bukannya menjawab, Naruto kembali bertanya.
"Aku ingin menemui Saku-chan."
"Baik. Tunggu sebentar, aku akan menghubungi Sasuke. Terakhir kali aku mendengar kalau Sasuke membawa Sakura ke rumah besarnya di Tokyou." Naruto mengeluarkan ponsel pintarnya dan menekan beberapa nomor lalu mendekatkan ke telinganya. Dia sedang menelpon Sasuke.
Hinata hanya bisa mendengar perkataan Naruto tanpa mendengar jawaban dari Sasuke. Hinata semakin senang saat mendengar perkataan Naruto, kalau mereka akan ke apartemen Sakura nanti malam.
"Kau sudah dengar?" tanya Naruto setelah mematikan ponsel pintarnya.
"Hu'um." tanpa sadar Hinata tersenyum.
"Kalau begitu-" Naruto menggantung kalimatnya.
Naruto berdiri dari kursinya dan berjalan ke kursi Hinata. Naruto menundukkan kepalanya dan mencium Hinata tepat di bibir. Hinata membelalakkan matanya, terkejut.
"Kalau begitu, aku akan mengambil sendiri upahku." Naruto menyeringai.
.
.
Lift yang mereka naiki langsung menuju ke apartemen Sasuke. Di lantai apartemen hanya ada 5 pintu. Naruto berjalan menggandeng tangan Hinata. Dia menuju pintu apartemen paling pojok sendiri. Dia menekan beberapa tombol lagi di depan pintu sampai pintu terbuka dengan sendirinya.
Naruto dan Hinata terkejut melihat pemandangan yang disuguhkan oleh sang tuan rumah. Mereka tidak melihat sesuatu yang mewah, tapi sepasang anak adam yang berbeda jenis saling melumat diatas sofa. Saking asyiknya dengan kegiatannya, mereka tidak merasakan kehadiran Naruto dan Hinata.
"Ehem. Kurasa sebaiknya kita pulang saja, hime." kata Naruto yang langsung berbalik menarik Hinata keluar dari apartemen itu.
"Eh?" Sakura langsung tersadar dan mendorong Sasuke yang berada di atasnya.
Sasuke langsung berdiri dan membiarkan Sakura pergi mengejar sahabatnya.
"Tunggu Naruto, hime." teriak Sakura mengejar kedua sahabatnya.
"Aku bilang tunggu Naruto!" Sakura berhasil meraih pergelangan tangan Hinata.
.
.
"Ehem. Ada yang aku katakan pada kalian." kali ini Sasuke yang berbicara.
"Ada apa teme, kenapa wajahmu serius begitu?" tanya Naruto.
"Aku dan Sakura sudah menikah. Hanya beberapa teman dan keluarga yang kami undang. Maaf tidak mengundang kalian, aku-"
"Tidak Sasuke-kun. Bukan aku tapi kita." potong Sakura.
"Kita memang sengaja tidak mengundang kalian karena kita tahu kalian akan pergi ke luar negeri." jelas Sasuke.
Hinata yang mendengar penjelasan Sasuke langsung menatap Sakura tajam. Padahal dia adalah sahabatnya, tapi dia tidak mengetahui pernikahan dari sahabatnya sendiri.
"T..tidak hime.. bukan seperti itu. Kita memang sengaja selain itu, kita menikah hanya secara tertutup. Kita akan melaksanakan pestanya setelah lulus sekolah." Sakura menjelaskan.
"Tapi itu sakral Sakura dan aku sebagai sahabatku tidak tahu dan tidak datang. Apa aku masih pantas sebagai sahabatmu?" Hinata tanpa sadar mulai mengekspresikan emosinya.
.
.
Naruto yang baru saja memasuki kamar mereka langsung mengernyitkan keningnya. Pasalnya, seorang Hinata Hyuuga tidak akan tidur dengan gaun tapi kenyataannya yang berbaring di atas ranjang itu adalah Hinata dengan pakaian lengkapnya.
"Hime bangunlah. Pakaiannya diganti dulu." Naruto menekan-nekan pipi Hinata.
Hinata hanya menggeliat setelah itu kembali tidur. Naruto masih berusaha membangunkannya. Setelah beberapa kali membangunkannya, Hinata membuka matanya dengan sayu.
"Naruto-kun~ aku benar-benar membencimu." Hinata bangun dari posisi berbaringnya.
"Eeh?" Naruto menatap Hinata lekat-lekat.
"Dari keadaan dan tatapan matanya, sepertinya dia sedang mabuk." pikir Naruto.
"Namamu seperti nama pangeran kecilku. Dia berjanji akan datang menjemputku, dia janji akan selalu mencintaiku. Begitu juga dengan Gaa-kun. Dia berjanji tapi dia mengkhianatiku. Aku sendirian, hiks..hiks.." Naruto yang mendengar penjelasan Hinata membelalakkan sapphire tanda tak percaya.
"Aku takut hiks.. Mereka meninggalkanku sendirian hiks.. Aku benci Naru-kun hiks.. Aku benci Gaa-kun hiks.. Aku benci semuanya hiks.. Aku juga benci dengan teman Naru-kun hiks.."
Naruto menenangkan Hinata dengan memeluknya. Dia mengelus punggung sang gadis indigonya. Tiba-tiba kepalanya terasa sangat sakit. Naruto memegangi kepalanya dengan tangan satunya. Dia tak tahu kenapa tiba-tiba kepalanya sakit. Naruto semakin tak mengerti saat ada bayangan-bayangan terlintas di benaknya. Kepalanya semakin sakit dan dia harus menahannya demi Hinata.
"Sudahlah hime. Tenanglah, ada aku disini. Kamu tidak sendirian saat ini. Sekarang ganti pakaianmu dan kembali tidur." Naruto membantu Hinata bangun dari posisi berbaringnya. Dia yakin, saat ini calon istrinya itu sedang mabuk.
"Naruto-kuun~" kata Hinata bergelanyut manja di lengan Naruto.
"Hime, apa yang kau makan tadi?" Naruto mulai curiga dengan tingkah Hinata. Dia yakin kalau Hinatanya bukan hanya mabuk saja.
"Hmm. Tentu saja aku makan cokelat. Lihaat laah~ adah~ banyak bungkuus~ cohkelaat~" Hinata menunjuk lantai yang banyak bungkus cokelat berserakan.
.
.
"Kita sudah sampai." ujar Naruto ditelfon.
Tak menunggu waktu lama, beberapa bodyguard datang menjemput Naruto dan Hinata. Naruto keluar lebih dulu dan membukakan pintu untuk Hinata. Hinata keluar dengan wajah datarnya. Naruto meletakkan tangannya di punggung Hinata. Sedangkan Hinata mencoba untuk menahan amarahnya. Memang awalnya Naruto meletakkan tangannya di punggung Hinata tapi lama-kelamaan tangan itu turun menuju pantatnya. Naruto sengaja melakukan hal itu untuk memancing amarah Hinata.
"Wow, sudah aku duga pengendalian emosi seorang Hyuuga sangat hebat." bisik Naruto sambil meremas pantat Hinata.
Sedangkan bodyguard yang berada di belakang mereka hanya memalingkan wajahnya. Hinata hanya tersenyum menanggapi perlakuan Naruto. Para wartawan yang melihat senyum Hinata mengira kalau Naruto dan Hinata adalah pasangan yang sangat mesra sekali.
"Naruto-kun.. Hinata-chan.." teriak Kushina dari arah berlawanan.
Selain Kushina, disana juga ada Minato, Hiashi, dan ibunya Hinata. Naruto dan Hinata segera berjalan menuju mereka.
Chapter 16
NARUTO POV
Dengan tetap merangkul Hinata, aku berjalan menuju mama. Para bodyguard sudah bersiaga di samping kanan-kiri kita. Para wartawan banyak yang datang.
"Okaeri mama, papa." aku melepaskan rangkulanku pada Hinata dan memeluk mama dan papa bergantian.
Hinata berjalan menuju kedua orang tuanya. Dia juga melakukan hal yang sama denganku.
"Maaf, bisakah kami para wartawan melakukan pers saat ini?" tanya salah satu wartawan.
"Tentu saja." jawab Hiashi Hyuuga.
Kami dipandu menuju ruangan pers yang ternyata sudah disiapkan. Aku mengernyitkan kening merasa heran. Aku membawa Hinata kembali ke rangkulanku agar tidak ada celah kecurigaan mereka.
Beberapa pertanyaan tentang bisnis keluarga dipertanyakan disini. Aku dan Hinata hanya diam saja sampai tiba-tiba pertanyaan dari mereka membuatku terkejut.
"Apakah tuan muda Naruto akan segera menjadikan nona Hinata sebagai istri sahnya?" aku gelapan dan menatap Hinata yang hanya diam tanpa ekspresi.
Aku mengernyitkan kening dengan sikap Hinata. Aku tahu ada yang aneh dengan Hime. Aku akan menjawab tapi urung saat papa mengambil alih.
"Tentu saja. Kami telah membahasnya bersama. Naruto akan segera menjadikan Hinata nona mudanya. Bahkan Naruto sudah meminta ijin sendiri pada Hiashi. Bukankah begitu, Naruto?" jawaban papa membuatku shock. Aku pandangi lagi Hinata, dia mulai menampakkan raut ketakutan dan aku paham kalau masa lalunya datang lagi.
"Tentu saja. Bahkan aku dan Hinata sedikit mulai membahas masa depan." jawabku dusta.
"Aku juga sudah memberikan ijin pada mereka berdua. Tinggal menunggu tanggalnya." sambung Hiashi.
Aku sudah tidak peduli lagi dengan ucapan para orang tua. Saat ini, aku hanya mengkhawatirkan Hinata yang ada di sampingku ini. Aku tidak mau awak media tahu akan keadaan Hinata yang masih dalam penyelidikanku.
"Hime, kita pulang sekarang." bisikku sambil meremas tangannya.
"..." tidak ada tanggapan dari Hinata.
"Kapan kira-kira hal itu terjadi. Apakah awak media akan diberi tahu?" tanya salah satu wartawan.
"Untuk waktu tepatnya kami serahkan pada mereka berdua, tapi yang pasti awak media akan tahu tentang pernikahan anakku." ucap mama dengan tersenyum sumringah.
"Permisi, maaf aku dan hime akan pulang lebih dulu. Bisakah kita sudahi pers ini?" Aku berdiri dari dudukku dan membungkuk.
Aku menatap mama dan papa dengan memohon. Aku juga memohon pada calon mertuaku. Mereka akhirnya menganggukkan kepala. Aku langsung pergi menggendong Hinata ala bridal style. Aku sudah tidak peduli lagi dengan flash dari kamera para wartawan yang sibuk mengambil fotoku dengan Hinata.
Kupandangi wajah Hinata, dia masih tetap sama. Diam dengan tatapan kosong. Aku semakin mempercepat langkahku karena tidak mau hime kambuh di depan umum.
Para bodyguard yang melihatku langsung membukakan pintu mobil. Kududukkan Hinata di depan samping kemudi. Aku menuju mama dan papa. Aku meminta maaf dan meminta ijin untuk segera ke apartemen.
"Ma, pa, Sara sudah menyiapkan semuanya. Dia akan melayani kalian. Maafkan kami tidak bisa mengantar kalian. Aku janji setelah Hinata cukup istirahat kita segera menemui kalian." ucapku sambil membungkuk hormat dihadapan mama dan papa serta calon mertua.
"Naruto, tolong jaga Hinata yah." Hiashi menepuk pundakku pelan.
Aku menganggukkan kepala dan berjalan menuju mobil. Melihat aku mendekati mobil, para bodyguard segera pergi meninggalkan aku.
Aku masuk ke dalam mobil, saat itu aku melihat Hinata mulai menggigil ketakutan. Aku segera membawa Hinata ke dalam pelukanku mencoba menenangkannya. Aku melajukan mobil secara perlahan meninggalkan halaman hotel.
.
.
"Pa..pangeran..hiks..hiks.." Hinata mulai meracau dalam pelukanku.
"Sial, ada berapa orang yang terlibat dalam masa lalu Hinata sih. Aku benar-benar akan mencari tahu besok pada mereka. Aku ingin mereka membuka mulutnya terutama Gaa-kun. Aku yakin kalau dia adalah Gaara." geramku.
"Hime kangen hiks.. kenapa pangeran tak pulang hiks.."
"Hinata, tenanglah. Aku ada disini." aku mencoba membuat Hinata menyadari keberadaanku.
"Pangeran?" dia menatapku dengan tatapan penuh cinta. Aku semakin gelagapan. Aku tak tahu harus melakukan apa selain menganggukkan kepala.
"Jangan tinggalkan aku lagi..hiks.."
"Tenanglah hime. Kita akan pulang sebentar lagi." aku mengelus kepalanya.
"Iya." jawabnya sambil tersenyum manis.
Ini bukan Hinata yang kukenal. Dia terlalu manis. Sialan orang yang dipanggil pangeran itu. Lihat saja, aku akan membuat Hinata menjadi milikku satu-satunya.
Aku membawa Hinata ke kamar untuk beristirahat. Awalnya dia menolak tapi, setelah aku yakinkan dia akhirnya mau menurut juga.
"Aku ada di ruang kerjaku hime. Kamu bisa melihatku disana setelah bangun. Sekarang tidurlah." aku menyelimutinya.
Aku meninggalkan kamar untuk menemui papa dan Hiashi otou-sama. Kami akan membahas tentang perusahaan yang akan diambil alih olehku serta perkataan papa mengenai pernikahanku dengan Hinata.
.
.
Setelah terlibat percakapan yang cukup lama, aku akhirnya undur diri ke ruang kerjaku. Anehnya, pintu yang tadi aku kunci sekarang tak terkunci lagi. Aku mengernyitkan kening. Perlahan-lahan masuk ke dalam dengan sikap waspada.
Aku melihat seonggok ba-
"Astaga! Itu kan hime." pekikku tertahan.
Aku segera mendekat kearah Hinata yang tertidur di sofa. Aku mengangkatnya ala bridal style dan kembali membawanya ke kamar kita. Sesampai di kamar, kubaringkan dia dengan perlahan agar tidak membangunkannya.
Ketika hendak pergi, sesuatu menahanku. Aku berbalik menatap tanganku yang tertahan oleh tangan Hinata dalam keadaan tidam sadarnya.
END NARUTO POV
Naruto hanya tersenyum melihat himenya kembali berubah menjadi manja. Dia melepaskan genggaman tangan Hinata dan berjalan menuju sisi kasur yang lain. Setelah mendapatkan posisi tidurnya, Naruto mendekap Hinata, menjadikan lengannya sebagai bantal.
Naruto menautkan tangan mereka dan mulai memejamkan mata, mengistirahatkan otaknya sebentar.
.
.
"Nggh~" Hinata menggeliat dalam dekapan Naruto. Dia mengerjap-ngerjapkan kedua matanya, memandang sekitar. Matanya terkejut melihat Naruto tidur di sampingnya dengan keadaan bertelanjang dada. Hinata segera memeriksa keadaan tubuhnya itu dan menghela nafas lega saat dirinya masih berpakaian lengkap.
Hinata segera beranjak dari kasur dengan perlahan agar tidak membangunkan Naruto. Dia sekarang ingat bagaimana Naruto memperlakukannya dengan baik saat jumpa pers dan tiba di apartemen. Setelah itu, dia tidak ingat apapun lagi. Dia tidak ingat telah menceritakan soal pangeran kepada Naruto.
Hinata keluar dari kamar dan berencana akan menyiapkan makan malam.
"Astaga. Oka-sama dan mama membuatku terkejut." ujar Hinata ketika sampai di dapur.
"Maaf yah sayang kalau kita bangunin kalian." ujar Kushina.
"Tidak ma, Hinata sudah bangun dari tadi hanya Naruto-kun yang masih tidur pulas." jawab Hinata sambil melangkah kearah kulkas.
"Kalau begitu, bangunin Naruto saja. Biar oka-sama dan mama Kushina yang menyiapkan makan malam." ini perintah dari ibu Hinata.
"Hinata ingin membantu kalian. Urusan Naruto-kun nanti saja sekalian mandi." pinta Hinata.
Akhirnya tiga wanita cantik ini sibuk masak di dapur. Kushina benar-benar kagum dengan keahlian Hinata memasak. Bahkan Hinata meminta ijin membuat ramen versinya. Tanpa mereka sadari, Naruto berdiri diambang pintu sambil tersenyum.
"Sebaiknya aku tidur lagi saja." Naruto kembali masuk ke dalam kamarnya.
.
.
Menu makan malam sudah siap semuanya. Kushina dan Yuki, ibu Hinata pergi ke kamar masing-masing untuk mengajak suami mereka. Sedangkan Hinata berjalan menuju kamarnya untuk siap-siap.
Selesai mandi, Hinata keluar dengan memakai yukata mandi. Dia berjalan ke kasur dan membangunkan Naruto. Tidak terlalu sulit membangunkannya mungkin karena tadi Naruto sudah bangun.
"Pergilah mandi. Makan malam sudah siap." ujar Hinata yang langsung direspon Naruto dengan menuju ke kamar mandi.
Hinata mulai merias diri. Rambut indigonya dia biarkan tergerai. Dia memakai dres ungu yang panjangnya sampai selutut tanpa lengan. Dia padukan dengan blezer hitam berbulu. Tak lupa ia juga menyiapkan baju untuk Naruto. Ponsel Hinata berdering sebentar menandakan ada pesan masuk.
From: Mama Kushina
To: Hinata Hyuuga
Hinata-chan, kami akan ke kamarmu 15 menit lagi. Tunggu kami yaah :*
Hinata buru-buru ke ruang makan dan menata makanan serta memanaskannya lagi. Beberapa masakan yang masih panas dia hidangkan di atas meja. Saking sibuknya, dia tak menyadari kalau Naruto sudah berada di belakangnya. Saat akan berbalik, Hinata terkejut bukan main.
"Maaf membuatmu terkejut hime. Bisa aki bantu?" tanya Naruto sambil mengambil panci yang dibawa Hinata.
"Biar aku saja. Kamu bisa membawa yang ada di meja bar itu." ucap Hinata sambil berjalan menuju ruang makan.
Setelah selesai menata menu makan malam, Hinata kembali menuju dapur untuk mencuci piring. Naruto mengikuti Hinata dari belakang dan tanpa aba-aba langsung memeluknya dari belakang.
Hinata hanya diam saja dan masih fokus mencuci piringnya. Naruto menghirup aroma yang keluar dari tubuh Hinata. Dia suka aroma ini, membuatnya tenang.
"Hime, aku tidak tau seperti apa masa lalumu. Aku juga tidak tau siapa itu Gaa-kun dan Saku-chan. Tapi, hanya Sakuralah yang kamu panggil seperti itu." ujar Naruto menyandarkan kepalanya di lekukan leher Hinata.
Hinata menegang dan membelalakkan kedua matanya terkejut. Naruto tidak bisa melihat ekspresi Hinata tapi dia tau dari gerak bahunya yang menegang.
"Aku akan mencari tau siapa pangeranmu. Aku akan membawanya padamu dan setelah itu menikahlah dengannya, hime. Tapi, ijinkan aku menikahimu dulu selama aku mencari pangeranmu." Naruto diam dan menenggelamkan wajahnya di leher Hinata.
"Biarkan aku menjadi suamimu walaupun nanti kita akan berpisah. Aku tidak tahu kenapa, saat mengucapkan hal ini, dadaku sakit tapi ada rasa senang karena bisa membuatmu bahagia kelak." Hinata tau, dia sangat tau kalau Naruto saat ini menangis. Bahunya basah dengan air mata Naruto.
"Aishiteru, Hinata Uzumaki." ucap Naruto tegas sambil mendongakkan kepalanya.
Hinata membalikkan badan mendengar perkataan terakhir Naruto. Dia benar-benar terhipnotis dengan perkataan Naruto begitu juga perlakuan Naruto saat ini.
"Naruto...-kun." ucap Hinata lirih.
Mata mereka saling beradu, seolah hanya dengan saling menatap mereka bisa berkomunikasi. Perlahan tapi pasti jarak diantara mereka semakin habis sampai akhirnya bibir mereka saling bertemu. Melumat, menghisap, merasakan getaran jiwa yang membuncah. Naruto memeluk pinggang Hinata, membawanya mendekat dan Hinata mengalungkan tangannya di leher Naruto.
Mereka melupakan keadaan sekitar, mereka sudah terbawa arus dasar saling mencintai. Sedangkan empat pasang mata yang baru sampai terkejut dengan keadaan anak-anak mereka. Tak ada yang menegur bahkan menghentikan karena para orang tua ini tak tahu harus bagaimana.
Menelan ludah, "ehem" Minato berdehem untuk menyadarkan sepasang kekasih yang lagi kasmaran ini.
Hinata segera mendorong Naruto dan memalingkan wajahnya. Sedangkan Naruto cemberut dan berjalan menuju ruang makan. Kushina dan Yuki segera membantu Hinata di dapur. Minato dan Hiashi menuju ruang makan.
"Jangan memasang wajah kesal begitu. Berlakulah sopan dihadapan mertuamu, Naruto." ujar Minato saat sudah berada di ruang makan.
"Tidak apa Minato-kun. Setidaknya kamu harus menahannya sampai hari H, Naruto-kun." ucap Hiashi bijaksana.
"Hai Hyuuga-san." Naruto bersikap formal.
"Hei, kenapa kamu bersikap formal seperti itu, Naruto-kun. Anggap saja kita orang tuamu juga." Yuki keluar dari dapur disusul Hinata dan Kushina.
"Hai, oka-sama." jawab Naruto.
"Sudah. Sebaiknya kita mulai makan malamnya." ujar Kushina.
Makan malam keluarga yang paling berpengaruh di Jepang ini dimulai. Selama acara makan malam tidak ada yang berbicara. Selesai makan, para wanita membereskan meja makan sedangkan para laki-laki menuju ruang tamu.
Tak berapa lama kemudian, Hinata, Kushina, dan Yuki menyusul ke ruang tamu.
"Baik karena semua sudah berkumpul, saya selaku ayah dari Naruto Uzumaki meminta restu untuk segera menikahkan anak kami dengan Hinata Hyuuga." mulai Minato.
"Terima kasih Uzumaki-san. Kami dengan senang hati menerimanya." jawab Hiashi dengan formal.
"Ayolah. Kalian jangan seformal itu. Jadi, kapan tanggalnya?" tanya Kushina.
"Bagaimana kalau sebulan lagi?" saran Yuki Hyuuga, ibu dari Hinata.
"Setuju." ucap Kushina.
"Baik. Sudah diputuskan pernikahan antara Naruto Uzumaki dan Hinata Hyuuga akan diadakan bulan depan. Kita adakan pesta besar-besaran." Yuki bersemangat.
"Itu pasti. Pesta yang besar untuk penerus perusahaan keluarga Uzumaki dan Hyuuga." ujar Hiashi.
"Maaf menyela. Kalau boleh tahu, kenapa secepat ini? Bagaimana dengan sekolah kami?" tanya Hinata.
"Sedangkan program akselerasi akan selesai paling cepat 6 bulan." timpal Naruto.
"Kami sudah memikirkannya, Naruto-kun. Bulan depan kalian akan menikah secara tertutup. Kalian bisa mengundang teman kalian. Hanya keluarga yang tahu. Papa dan mama akan menetap beberapa tahun di London karena perusahaan disana mengalami masalah." jawab Kushina yang disertai anggukan kepala sang suami.
"Sedangkan kami akan tinggal bersama Hanabi dan juga sesering mungkin mengunjungi perusahaan yang dikelola oleh Neji. Dia ingin membangun rumah sakit disana." sambung Hiashi.
"Jadi Naruto-kun, ayah dan ibu akan menitipkan Hinata padamu dengan membuat kalian menikah." pinta Yuki.
"Tapi Naruto, kau tidak boleh menghamili Hinata. Jangan menjadi orang tua diusia muda." saran Minato yang disetujui Hiashi.
"Aish, kalian ini bagaimana. Semakin cepat Naruto menikah dan melakukan 'itu' maka semakin cepat pula kita punya cucu. Kalian sudah tua, seharusnya kalian bangga menggendong cucu." Kushina sewot yang disetujui Yuki.
Sedangkan kedua calon suami istri ini hanya bisa merona malu.
"Oya, kami akan mengurus pesta kecilnya. Kalian urus saja dokumen serta perlengkapannya. Kushina dan Yuki-san akan membantu kalian." ujar Minato mantap.
Naruto dan Hinata hanya bisa pasrah apalagi alasan orang tua mereka mempercepat tanggal pernikahan sangat masuk akal. Neji yang kuliah S3nya sambil mengelola perusahaan Hyuuga disana. Dia juga mempunyai niatan akan membangun rumah sakit. Sedangkan Hanabi yang sudah kelas 3 SMP membutuhkan bimbingan orang tuanya.
Perusahaan Uzumaki Corp yang dikelola sendiri oleh Minato juga dibantu Kushina serta keluarga besarnya. Tidak menutup kemungkinan, kelak Naruto yang pewaris tunggal akan menjadikan satu perusahaan itu dibawah pengawasannya. Sedangkan Menma dia lebih suka memilih bebas menentukan hidupnya.
.
.
Para orang tua kembali ke kamar mereka masing-masing begitu juga dengan Hinata. Sedangkan Naruto kembali ke ruang kerjanya untuk menyelesaikan beberapa berkas.
"Naruto." panggil Hinata yang sudah berada di dalam ruang kerja calon suaminya.
"Ada apa hime?" Naruto menatap Hinata yang berdiri di depan mejanya. "Kenapa belum tidur?"
"Aku tidak bisa tidur. Apakah perusahaan Uzumaki Corp mendapat untung jika kamu menikah denganku?" tanya Hinata langsung duduk di sofa.
"Tentu saja hime. Jika kamu tidak setuju dengan perjanjian itu, aku bisa merubahnya." jawab Naruto.
Kali ini Hinata benar-benar dalam mode serius. Naruto mengernyitkan keningnya karena Hinata bukan lagi gadis cuek, manja lagi. Sekarang ini, dia berhadapan dengan Hinata yang lain lagi.
"Hah~ ada berapa banyak kepribadian yang dia miliki sih. Aku benar-benar nggak paham." pikir Naruto.
Naruto berjalan menuju sofa dan mengamati Hinata dengan seksama.
"Baiklah, sepertinya kau ingin membicarakan hal yang serius, nona Hyuuga." kata Naruto formal.
"Naruto, aku hanya tak ingin mengendalikan perusahaan Hyuuga Corp. Aku bercita-cita jika kelak menikah, aku akan menjadi istri yang baik dan menjaga anak-anak di rumah. Aku tak ingin harta." ujar Hinata.
"Awalnya aku ingin menikah dengan orang sederhana saja tapi cukup untuk membiayai keluarga. Tapi, takdir berkata lain. Aku dijodohkan denganmu yang mempunyai segalanya. Maka dari itu Naruto, aku hanya ingin di rumah menunggumu pulang. Sejatinya, aku terpaksa menerima pertunangan ini tapi aku ingin menjadi seperti oka-sama yang setia dan selalu peduli pada keluarga." cerita Hinata sambil menatap kearah jendela.
Suasana hening.
"Lalu?" tanya Naruto setelah keheningan melanda.
"Aku ingin kamu mengurus dua perusahaan sekaligus. Aku tahu akan sulit tapi aku akan membantumu. Kamu bisa tetap memberikan 40% bagianku seperti perjanjian itu tapi aku tidak memakainya untukku tapi aku akan memakainya untuk keluarga kecil kita." ujar Hinata.
"Lalu bagaimana perusahaan Hyuuga Corp yang lain?" tanya Naruto tak mengerti dengan jalan pikir Hinata.
"Aku sudah memikirkannya. Hyuuga Corp serta cabang yang ada di Jepang akan diambil alih oleh kita. Sedangkan diluar negeri akan aku serahkan pada Hanabi-chan dan Neji-niisama. Kalau tidak salah ada sekitar 5 perusahaan yang bernaung dibawah Hyuuga Corp. Otou-sama lebih suka membuka cabang di luar negeri." jelas Hinata.
"Baiklah. Apa ayah sudah setuju?" Hinata hanya menganggukkan kepala.
"Kalau begitu, tolong bantu aku untuk menjadi suami yang baik hime. Aku yakin kamu sudah tahu kalau aku besar di Amerika saat remaja. Aku hidup di dunia yang bebas. Aku sering keluar masuk club malam serta sudah banyak wanita yang melebarkan pahanya diatas ranjangku." cerita Naruto yang membuat Hinata terkejut.
"Aku tahu kamu pasti kecewa. Tapi yang pasti aku tidak pernah menggunakan milikku secara langsung. Aku selalu menggunakan pengaman karena aku hanya ingin ISTRIKU yang merasakan milikku secara langsung." ujar Naruto ditelinga Hinata dengan menekan kata istriku.
Blush..
Hinata merona dan Naruto dapat melihat dengan jelas pipi porselennya memerah.
"Se..sebaiknya aku pergi. Tidurlah jangan memaksakan diri." ujar Hinata gugup dan langsung pergi begitu saja ke kamar. Naruto yang melihat itu hanya tersenyum.
.
.
Keesokan harinya, Naruto dan Hinata datang ke sekolah seperti biasanya. Tidak ada yang spesial. Hanya kelas saja yang berbeda. Mereka sudah pindah ke kelas khusus program ekselerasi. Hanya ada 6 siswa kelas XII yaitu, Naruto Uzumaki, Hinata Hyuuga, Sasuke Uchiha, Shikamaru Nara, Temari Sabaku, dan Gaara Sabaku. Sedangkan kelas X dan XI kelasnya beda.
Mereka berenam akan melakukan Ujian Nasional lebih dulu daripada yang lainnya. Hari-hari mereka dipenuhi oleh latihan soal. Mereka tidak mengeluh karena memang otak mereka dapat menampung semua materi kecuali Temari, tapi dengan adanya Shikamaru hal tersebut dapat dilalui Temari.
.
.
Naruto dan Hinata pulang sekolah langsung menuju ke rumah kediaman Uzumaki atas permintaan Kushina.
"Dimana mama?" tanya Naruto sesampainya di rumah.
"Nyonya dan tuan besar ada di taman belakang." ucap sang kepala pelayan.
"Ayo hime!" Naruto langsung menggandeng tangan Hinata menuju taman belakang.
Sesampainya di taman belakang, mereka terkejut mendapati Kushina dan Minato yang sedang berciuman panas.
"Ehem." Naruto berdehem untuk menghentikan kelakuan orang tuanya.
"Naru-kun, Hina-chan okaeri." sambut Kushina dengan tersenyum.
"Jika mama dan papa menyuruh kami kesini untuk menunjukkan kelakuan bejat kalian, kami akan pergi."
Pletak
Kushina langsung memberikan pukulan cinta di kepala Naruto.
"Ittai ma." keluh Naruto.
"Jangan sembarangan berbicara Naruto." geram Kushina.
"Iya maaf." sesal Naruto sambil mengelus-elus kepalanya.
"Nah Hinata-chan, ayo kita bicara di dalam." ucap Minato yang langsung merangkul Hinata. Hinata yang dari awal diam saja hanya mengikuti Minato.
"Hoi, papa mesum! Jangan sentuh milikku." Naruto langsung melepaskan rangkulan ayahnya dan memberikan tatapan membunuh.
Pletak
Kushina memberikan pukulan cintanya lagi untuk Naruto dan Minato. Sedangkan Minato dan Naruto hanya dapat mengelus-elus kepalanya.
"Sekarang kita bicara." Kushina berjalan menuju ruang keluarga bersama Hinata tanpa menghiraukan para pria dibelakang mereka.
Di ruang keluarga para pelayan sibuk keluar masuk menyiapkan cemilan untuk majikannya. Kushina dan Hinata masuk ke dalam yang langsung disapa sang kepala pelayan. Mereka hanya menganggukkan kepala sebagai jawabannya. Minato dan Naruto menyusul dibelakang mereka.
Minato mengambil duduk di sofa dengan ditemani Kushina dan Naruto duduk di sofa di depan orang tuanya ditemani Hinata. Kali ini mereka saling berhadapan dengan meja sebagai pemisah diantara mereka.
"Naruto, Hinata, kami menyuruh kalian datang kesini untuk memberitahukan sesuatu." mulai Minato.
"Hanabi-chan lagi sakit." ucap Kushina.
"Kenapa bisa seperti itu?" Hinata mulai cemas.
Minato dan Kushina terkejut melihat ekspresi khawatir Hinata. Masalahnya selama ini, wajah Hinata datar tanpa ekspresi. Naruto menggenggam tangan Hinata sebagai pemberi semangat.
Minato dan Kushina saling pandang melihat pasangan muda di depannya ini. Lalu mereka tersenyum dan saling menganggukkan kepala.
"Hiashi dan Yuki langsung menuju ke tempat Hanabi tanpa memberitahumu dulu, Hinata." jelas Kushina lagi.
"Hana-chan, baik-baik saja kan ma?" tanya Hinata sambil memandang Kushina penuh harap.
"Kamu tenang saja, Neji sudah memeriksanya dan dia tidak apa-apa. Kata Neji dia hanya demam." jawab Kushina dan Hinata menghela nafas lega dan bersyukur.
"Kabar selanjutnya, Neji sudah berhasil mendirikan rumah sakitnya di China. Dia akan tinggal disana bersama tunangannya tenten. Itu yang kami tahu. Selain itu, pesta kecil pernikahannya sudah kami urus dan beberapa dokumen yang tidak kalian pahami." jelas Minato.
"Besok kalian sepulang sekolah akan pergi ke rumah sakit untuk melengkapi dokumen pernikahan kalian." lanjut Minato.
"Selanjutnya, kita akan fitting baju dan melihat-lihat dekorasi ruangan pestanya." ucap Kushina.
"Ma, kita akan mengadakan pesta kecil buat keluarga saja. Selain itu, kita juga perlu belajar karena 4 bulan lagi akan Ujian Nasional." protes Naruto.
"Baiklah. Kalau begitu dekorasi ruangan kita coret. Kita akan menggunakan halaman belakang rumah saja untuk berpesta. Kita akan melakukan fitting makanan juga. Setelah itu kalian bisa fokus ke sekolah." jelas Kushina.
"Baiklah." jawab Hinata singkat.
"Kalau begitu, kalian tinggallah disini." perintah Minato yang langsung berdiri dari duduknya. "Pembicaraan selesai sampai disini." lanjutnya.
Kushina ikut berdiri di samping Minato. Mereka berdua langsung keluar dan meninggalkan Hinata dan Narutk sendirian.
"Hime, ayo kita juga ke kamar. Sebentar lagi makan malam dimulai. Kita istirahat dulu." Naruto beranjak dari duduknya yang diikuti Hinata.
Naruto berjalan lebih dulu ke lantai atas tempat dimana kamarnya berada. Hinata hanya mengikutinya saja.
.
.
Sesampai di kamar, Naruto menyuruh Hinata untuk mandi terlebih dahulu. Sedangkan dirinya keluar dari kamar setelah meletakkan tas sekolahnya. Dia meminta pelayan untuk mengantarkan makan malamnya dan Hinata ke kamar. Setelah itu, dia berjalan menuju ruang kerjanya.
"Ada kabar apa?" tanya Naruto langsung saat seseorang menghubunginya.
"Kami mendapatkan info dari sumber terpercaya kalau anda dan Hinata-sama adalah teman masa kecil. Ada dua orang lagi yang menjadi teman anda yaitu, Gaara Sabaku dan Uchiha Sakura." jelas seseorang diseberang sana yang merupakan anak buah Naruto.
"Ada lagi?" tanya Naruto sambil memegangi kepalanya yang tiba-tiba sakit.
"Hanya itu yang kami dapat karena pihak keluarga anda dan Hinata-sama sangat sulit untuk digali informasinya." jawab suruhan Naruto.
"Baiklah. Cari tahu semuanya." Naruto langsung menutup telfonnya tanpa menunggu jawaban dari anak buahnya.
"Sial! Jadi selama ini empat bayangan yang ditakuti Hinata adalah kita? Sebenarnya apa yang terjadi? Lalu siapa pangeran itu? Uchiha Sakura? Gaara Sabaku? Kenapa kalian berdua tutup mulut? Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa aku bisa melupakan masa kecilku?" Naruto bertanya-tanya sendiri sambil memegangi kepalanya.
"Aaaaaarrgghhhh... kusoo.. kenapa aku tidak ingaaat bakayarouuu..." teriak Naruto dan melempar semua yang ada di atas mejanya.
"Kusoo..kusoo..kusooo.. ada apa ini? Kenapa kepalaku sakit! Siaaaaal.." Naruto terduduk dilantai dengan menjambak rambutnya.
Naruto menoleh kearah pemandangan malam kota Konoha. Dia mencoba berdiri dengan susah payah, kepalanya pusing, dia berjalan menuju balkon yang tertutup pintu kaca dengan terhuyung-huyung. Saat ini dia sangat lemah. Dia membenci dirinya sendiri karena tidak tahu apapun yang ada disekitarnya selama ini.
"Kenapa..kenapa selama ini aku tidak tahu kalau Hinata adalah teman masa kecilku. Kenapa..kenapa aku tidak tahu kalau Hinata orang yang aku cintai trauma pada diriku sendiri. Kenapa? Kenapa? Kenapaaa?" teriak Naruto yang langsung memukul bayangan dirinya yang ada dipintu kaca.
Prang!
Tes..tes..tes..
Dia pukul bayangannya berkali-kali. Dia tidak peduli dengan kaca yang pecah selama dia masih melihat dirinya di kaca itu. Dia tidak peduli dengan pecahan kaca yang menusuk kulitnya. Dia juga tidak peduli bau anyir dari tangannya yang mulai tercium. Dia tidak peduli kalau darah ditangannya terus menetes ke lantai. Bahkan dia tidak peduli dengan keberadaan Hinata yang shock di belakangnya.
.
HINATA POV
.
Setiba di kamar Naruto, dia menyuruhku untuk menggunakan kamar mandinya lebih dulu. Tanpa banyak bicara, aku langsung menuju ke kamar mandi. Pintu kamar mandi aku kunci untuk berjaga-jaga siapa tahu si Naruto itu tiba-tiba masuk.
Aku melepas semua seragam sekolahku. Aku langsung berendam untuk menghilangkan letih dan penat selama di sekolah apalagi kabar yang dibawakan mama dan papanya Naruto.
Setelah merasa cukup, aku segera mengambil baju dan aku baru sadar kalau tadi langsung masuk ke kamar mandi tanpa mengambil pakaian terlebih dahulu. Tidak ada pilihan lain, aku memakai yukata mandi yang panjangnya hanya setengah paha. Aku mencoba memanggil-manggil Naruto, memastikan dia tidak ada di kamar.
Setelah aman, aku keluar dari kamar dan memakai kaos Naruto yang kebesaran di tubuhku. Kusisir rambut dan menguncirnya asal.
"Permisi nona, saya kesini untuk mengantarkan makan malam." seorang pelayan masuk ke dalam kamar.
"Letakkan saja di meja." ucapku tanpa menoleh pada pelayan tersebut.
"Saya permisi nona." pamit si pelayan yang hanya kujawab dengan anggukkan kepala.
Aku segera menuju menu makan malamku karena ini perut sudah tidak bisa diajak kompromi.
Tiba-tiba terdengar bunyi barang-barang jatuh. Aku terkejut dan langsung mencari asal suara tersebut yang ternyata berasal dari ruangan sebelah kamar Naruto. Aku yakin pasti itu ruang kerjanya. Aku sudah berdiri di depan pintu, kudengar Naruto berteriak dan kembali senyap. Kuulurkan tangan untuk membuka knop pintu tapi kembali kutarik. Aku ragu.
Prang!
Kali ini aku mendengar suara barang pecah. Tanpa pikir panjang, aku segera masuk ke ruang kerjanya dan disana terlihat Naruto yang sedang memukul kaca pintu balkon. Kupandangi sekitar ruang kerjanya yang seperti kapal pecah. Banyak barang pecah dan beberapa berkas yang berserakan dilantai. Kulihat Naruto yang masih memukul-mukul kaca balkon. Sudah banyak pecahan kaca yang berserakan dilantai dan dia menginjaknya tanpa sadar. Aku segera menghampirinya.
"Naruto, hentikan." ujarku dibelakangnya.
"..."
"Hentikan Naruto!" teriakku tapi dia tak kunjung merespon.
Tanpa pikir panjang, aku menginjak pecahan kaca dan langsung memeluk Naruto dari belakang. Aku mengernyit menahan sakit di kaki.
"Naruto-kun, sudah cukup. Hentikan semua ini! Kumohon hiks..hiks.." bisikku sambil terisak. Kulihat dia mulai berhenti memukuli pintu kaca.
"Astaga! Ada apa ini?" teriak mama Kushina saat memasuki ruang kerja anaknya.
"Ma, pa, tolong hentikan Naruto..hiks..hiks." aku tetap merangkul Naruto dari belakang.
Papa Minato memisahkan kami. Aku segera berada dipelukan mama Kushina dan Naruto dibantu papanya untuk keluar berjalan menghindari pecahan kaca dilantai. Aku masih terisak. Tiba-tiba Naruto pingsan sebelum mencapai kami.
"Kami-sama, ada apa dengan kalian berdua ini?" mama Kushina terkejut melihat anaknya pingsan dipelukan suaminya.
"Cepat panggil ibu!" perintah papa Minato kepada pelayan. Aku tak menyadarinya mungkin mereka masuk bersama papa dan mama.
"Kushina, bawa Hinata ke kamar Naruto biar aku yang akan membawa Naruto." perintah papa Minato tegas.
Tanpa banyak bicara lagi, mama Kushina membimbingku berjalan ke kamar. Aku berjalan tertatih-tatih karena beberapa pecahan kaca yang menusuk kakiku. Aku lihat papa Minato mendahului kami dengan menggendong Naruto ala bridal style. Kulihat tangan Naruto yang berlumuran darah, kaki yang penuh pecahan kaca serta darah yang masih mengalir deras dari tangan dan kakinya. Aku melihat nenek Tsunade berjalan menghampiri kami, aku langsung melepaskan papahan mama. Tapi, aku langsung jatuh tersungkur ke lantai.
"Hina-chan..Hinata-chan." panggil mama dan nenek bersamaan. Aku menoleh dan tersenyum.
"Tsunade-baasan, tolong Naruto-kun. Dia lebih membutuhkan anda. Tolong, selamatkan dia..hiks..hiks.." ujarku memohon.
"Tentu saja Hinata-chan. Selama aku mengobati calon suamimu, tolong kamu bertahanlah jangan sampai pingsan seperti cucuku." nenek Tsunade langsung memasuki kamar.
Mama Kushina kembali memapahku. Aku dan mama masuk ke dalam kamar. Aku lihat, disana nenek dan asistennya mulai mencabuti pecahan kaca yang ada di kaki Naruto. Mama Kushina mendudukkanku di sofa. Mama Kushina membantu nenek Tsunade dengan membalut tangan Naruto.
Entah kenapa, saat melihat Naruto dalam keadaan kacau seperti tadi membuat dadaku sesak. Aku seperti merasakan sakit yang dia tanggung. Seharusnya aku tidak peduli padanya, tapi disisi lain aku tidak ingin kehilangannya. Seolah dia sangat berarti untukku. Tiba-tiba pandanganku menjadi kabur dan gelap.
.
.
Aku terbangun saat matahari mulai masuk ke jendela kamar. Aku yakin para pelayanlah yang membuka tirai ini. Aku menatap sekeliling dan kulihat dua pelayan sedang menata sarapan pagi. Aku mencoba duduk tapi kepalaku pusing mungkin akibat semalam darah yang mengalir dari kakiku.
"Selamat pagi nona. Apa anda baik-baik saja?" sapa salah satu pelayan sambil membantuku duduk.
"Hn."
"Kami disuruh nyonya untuk membawakan sarapan pagi untuk tuan dan nona muda. Kami disuruh tidak berisik agar tidak mengganggu tidur tuan dan nona muda. Jadi, maafkan kami." ucap pelayan itu sambil menundukkan kepala.
Aku mengernyitkan keningku dan menatap ke samping. Aku terkejut melihat Naruto terbaring di sampingku. Aku menatap dua pelayan itu. Salah satu pelayan yang lainnya membawakan troli berisi sarapan pagi kita. Aku menganggukkan kepala dan menyuruh mereka pergi.
Setelah mereka pergi, aku pandangi Naruto kali ini dengan seksama. Kedua tangannya yang diperban, begitu juga kedua telapak kakinya. Melihat kedua telapak kakinya, aku menyadari bahwa tadi malam aku nekat menginjak pecahan kaca di lantai hanya untuk menghentikan Naruto. Aku berharap Naruto tidak mengingatnya. Kedua telapak kakiku juga diperban tapi tidak separah seperti Naruto. Kembali kulihat wajahnya pucat karena kekurangan darah.
"Sudah puas memandangi wajah tampan suamimu, hime?" sapaan Naruto sontak membuatku terkerjut.
"Tidak. Aku hanya ragu mau membangunkanmu atau tidak. Pelayan membawakan sarapan. Makanlah! Aku akan pergi mandi." aku beranjak dari kasur menuju kamar mandi dengan berjalan tertatih-tatih.
Selama di kamar mandi, aku hanya mencuci wajah dan membasuh badan. Aku berusaha tidak membuat perban di kaki basah. Setelah mengganti perban dan memakai yukata mandi, aku kembali ke kamar. Disana kukihat Naruto sedang berusaha duduk tapi gagal karena tangan dan kakinya yang diperban. Aku membantunya duduk bersandar dikepala ranjang.
"Terima kasih hime. Aku benar-benar tertolong." aku tak menjawabnya. Aku mengambil baju di almari dan memakainya di kamar mandi.
"Hime, aku lapaar~" rengeknya.
Aku menuju ke troli dan membawanya ke hadapan Naruto. Aku mengambil mangkuk supku dan membawanya ke sofa.
"Himee~ aku tidak bisa makan. Kamu tidak lihat yah kedua tanganku diperban. Aku butuh makan sekarang. Cacing-cacingku sudah disko di dalam perut." dia kembali merengek.
Kuletakkan mangkukku dan berjalan ke kasur. Aku ambil mangkuknya dan duduk ditepi tempat tidur. Aku menyendok supnya dan mengarahkan ke mulut Naruto.
"Aish, supnya terlalu panas hime. Kalau tidak ikhlas ya sudah panggilkan aku Shion pasti dia mau menyuapiku tanpa berniat membunuhku~" dia ngambek.
"Makanlah, sudah dingin." ujarku menyodorkan sesendok sup yang sudah aku tiup terlebih dahulu.
"Hm?" dia memandangku penuh curiga dan tanpa basa-basi aku langsung memakan supnya.
"Kenapa dimakan?" tanya Naruto.
"Kau mencurigaiku, ya sudah aku makan sendiri." kataku sambil memakan sendok kedua setelah aku tiup.
"Aku akan memakannya. Sekarang suapi aku!" perintahnya dan aku langsung mengambil sendok ketiga sup dan dia langsung memakannya.
Aku menyuapinya dan dia juga memintaku untuk memakan sup yang ada dimangkuknya. Setelah mangkuknya habis, dia menyuruhku makan serta menyuapinya dengan sup yang ada dimangkukku.
Tok..tok..tok..
"Masuk!" perintah Naruto sedangkan aku sibuk dengan menyuapinya.
"Maaf tuan, saya disuruh nyonya untuk mengantarkan ini." seorang pelayan masuk dan meletakkan perban serta obat di nakas sampingku.
"Terima kasih. Sekarang kamu boleh pergi." perintah Naruto.
Aku mengambil obat itu dan memberikannya pada Naruto. Dia menggelengkan kepala dan aku menatapnya penuh tanda tanya.
"Aku mau mandi dulu, hime. Tolong yah mandiin aku. Aku tak berdaya dengan luka-luka ini." ucap Naruto memelas.
"Itu salahmu sendiri." ucapku yang mulai memapah dia berjalan. "Tubuhmu berat."
"Maaf hime. Mau bagaimana lagi kaki dan tanganku lumpuh total. Sekarang letakkan aku di kursi roda saja." aku memapah dia sampai duduk manis di kursi roda. Memang jaraknya tidak jauh, tapi melihat kondisi kaki kami itu adalah hal yang sangat sulit.
Aku membantu dia menyamankan posisi duduknya. Lalu, mendorongnya menuju kamar mandi. Aku membantu dia melepaskan semua pakaiannya termasuk celana dalamnya.
Aku menatapnya dengan tajam saat tanpa permisi penisnya tegang di depanku. Dia hanya cengengesan saja.
"Maaf hime. Sekarang tutupin saja sama handuk."
Aku mengambil handuk dan meletakkan diatas penisnya sampai menutupi paha. Aku mulai membasuh tubuhnya.
END HINATA POV
.
.
NARUTO POV
Dengan hati-hati Hinata mulai membasuhi tubuhku. Dia berusaha agar perban di tangan dan kakiku tidak terkena air. Sedangkan aku tidak bisa membantu apapun hanya duduk pasrah. Setelah selesai, dia mengeringkan tubuhku.
"Aku akan ambil pakaianmu dulu." ucapnya yang langsung keluar.
Tak butuh waktu lama, Hinata kembali ke kamar mandi dengan membawa pakaianku lengkap dengan pakaian dalamku. Dia dengan telaten memakaikannya.
Setelah benar-benar selesai, dia mendorong kursi rodaku menuju ke kamar. Dia mengambil perban dan obat.
"Hime.." panggilku.
"Diamlah Naruto, aku sedang mengganti perbanmu." jawabannya yang menyebut namaku membuatku tersenyum.
Kuperhatikan dia yang mulai membuka perban bagian tanganku. Aku tersenyum melihat wajah seriusnya. Tapi, ketika ingat kejadian tadi malam membuatku merasa harus memberi jarak. Dia sepertinya takut pada kita bertiga. Aku mencoba mengalihkan perhatianku dari kejadian tadi malam.
"Kau tau hime. Sejak kecil aku sudah berpindah-pindah tempat tinggal karena perusahaan papa yang semakin meluas dan bercabang. Suatu ketika, aku bertemu seorang anak perempuan kecil yang menangis dipinggir sungai. Kita terlalu asyik mengobrol sampai lupa memperkenalkan diri. Aku langsung dibawa oleh bodyguard ke rumah tanpa pamit dulu sama dia. Aku lupa dia, tapi yang aku tau matanya sewarna milik di..rimu" aku menyadari sesuatu dan melihat wajah Hinata membeku.
"Hi..hime.. Itu.." kataku tak berkedip melihatnya.
"A..ano Uzumaki-san biarkan aku mengganti perban dikakimu." ucapnya sambil mengambil perban yang baru.
"Ya." jawabku singkat.
Kualihkan pandanganku melihat langit dari jendela kamar. Gaara dan Sakura harus menceritakan semuanya. Tapi, setauku Gaara sudah lama tinggal di New York bukan Jepang. Lalu, kenapa kami bisa bersahabat?
Aku tak mungkin bertanya pada mama dan papa apalagi keluarga Hinata. Aku harus mencaritahunya sendiri. Mungkin masa lalu Hinata ada hubungannya dengan kami berempat.
Kulihat, Hinata sudah selesai mengganti perbanku. Dia mulai membereskan semua peralatan untuk mengganti perbanku.
"Minumlah obatnya. Nenek Tsunade menyuruhmu untuk istirahat selama sebulan untuk sembuh total." jelasnya sambil menyerahkan obat dan segelas air padaku.
"Urusan kantor dan sekolahku, bagaimana?" tanyaku.
"Urusan kantor Menma yang pantau. Papa sudah berangkat tadi pagi ke London untuk beberapa hari." jelas dan jawabnya. Aku menyerahkan kembali gelas yang sudah kosong.
"Aku bakal mati bosan disini. Apa tidak ada cara lainnya?" tanyaku penuh harap.
"Ohayou sayang. Anak dan menantu mama pagi-pagi sudah rapi. Emang kalian sudah siap mau fitting baju?" mama langsung masuk ke kamarku dan mencium Hinata dan aku bergantian.
"Tapi aku lagi sakit ma?" aku merengek manja.
"Tidak ada tapi-tapian. Mama sudah menyuruh beberapa desainger ternama membawa sepasang baju pengantin yang mereka punya serta baju pertunangan." jelas mamaku dengan semangat.
"Tapi mama Kushi, pernikahan kita masih lama. Bahkan kita ujianpun masih 4 bulan lagi. Setelah itu, menunggu ijazah keluar selama sebulan." kali ini Hime yang ikut berbicara.
"Astaga. Kalian berdua ini bawel sekali. Pokoknya kami para orang tua dan tetua sudah menyiapkan semuanya secara perfect. Jadi kalian cukup menuruti permintaan mama. Naruto, atau kamu ingin mama-"
"Oke..oke.. Naru ikutin kemauan mama." potongku cepat sambil memalingkan wajah. Sekilas aku lihat wajah Hinata yang mengernyitkan keningnya.
"Baguslah. Oya, Sakura-chan dan Sasuke-kun akan berkunjung hari ini. Nah, Hina-chan bantu mama siapkan makanan untuk mereka yah." pinta mama.
"Baik ma." Hinata keluar dari kamar diikuti mama.
Perlahan, mataku terasa berat. Rasanya ngantuk sekali. Mungkin ini efek dari obat yang diberikan Hinata tadi.
END NARUTO POV
.
.
Hinata membantu Kushina untuk membuat makanan di dapur. Seorang pelayan menginterupsi kegiatan mereka.
"Maaf nyonya, tuan muda Sasuke sudah datang bersama istrinya." ujar sang pelayan.
"Baiklah. Hina-chan, biar nanti mama yang meneruskan. Kamu temui dulu mereka. Kamu bisa ajak mereka ke kamar Naruto." ucap Kushina.
"Iya ma." Hinata berjalan ke ruang tamu.
Sesampai di ruang tamu, Hinata melihat Sakura dan Sasuke yang sedang menikmati minuman yang sudah tersedia diatas meja.
"Mungkin salah satu maid yang menyiapkannya." pikir Hinata.
"Aah Hime." pekik Sakura heboh. "Ooh hime, aku merindukanmu~ Seharian tanpa dirimu di sekolah terasa sepi. Sini..sini.. aku ada gosip terbaru dari Ino, nanti dia bakal menjenguk Naruto juga." lanjutnya sambil menarik Hinata untuk duduk di sofa.
Hinata yang kakinya terluka tidak bisa mengikuti langkah Sakura yang terkesan buru-buru.
"Hime." panggilnya dan melihat ke arah kaki Hinata. "Ya ampun Hinata! Ada apa dengan kakimu itu." ucap Sakura panik dan hanya direspon decihan kesal saja.
"Tadi malam dia nekat menghentikan Naruto yang kerasukan iblis dengan memeluknya dari belakang tanpa peduli ada pecahan kaca dibawahnya." jawab Kushina yang datang dari arah dapur.
"Bibi Kushina." sapa Sakura yang langsung berlari memeluk Kushina. Sasuke yang sedari tadi hanya duduk diam, kini berdiri menyambut Kushina.
"Duduklah kembali Sasuke-kun." suruh Kushina yang dijawab anggukan kepala.
Kushina membawa Sakura duduk di sofa di samping suaminya. Kushina menyuruh Hinata duduk di sampingnya.
"Bagaimana kabar kalian? Maaf bibi tidak bisa datang di hari pernikahan kalian." ujar Kushina.
"Tidak bibi. Pernikahan kami belum dirayakan. Hanya resmi secara hukum dan agama." jawab Sakura.
"Bagaimana keadaan dobe, bi?" tanya Sasuke.
"Sasuke-kun!" peringatan dari Sakura.
"Tidak apa Saku-chan. Sejak kami pindah di USA dia sering memanggil Naru-kun dengan sebutan dobe. Bahkan diapun mendapat julukan teme hehehe" jelas Kushina.
"Ne Sasuke-kun, kamu berhutang penjelasan padaku." ujar Sakura.
"Apa Sasuke-kun tidak menceritakannya?" tanya Kushina yang dijawab dengan gelengan kepala Sakura. "Ya ampun Sasu-kun. Sejak kami pindah waktu itu, Sasukelah teman pertama Naruto. Dimana ada Sasuke, disitu ada Naruto. Si palyboy dan si tukang tidur hihihi." lanjut Kushina yang diakhiri cekikikan mengingat masa kecil anaknya.
"Bi, aku ingin melihat keadaan dobe." pinta Sasuke mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Lihat, dia sangat perhatian kan Sakura-chan hehehe." goda Kushina yang langsung mendapat respon tawa keras Sakura.
"Ehem. Biar aku antar." Hinata yang sejak tadi diam beranjak dari sofa.
"Ya ampun hime, aku sampai lupa kalau kau ada disini. Ayo aku juga ingin lihat keadaan Naruto." Sakura ikut beranjak dari duduknya.
"Baiklah Hina-chan, antarkan mereka ke kamar Naruto. Mama sebentar lagi menyusul dengan berbagai macam cemilan." ucap Kushina.
Kushina berjalan menuju dapur sedangkan Hinata berjalan lebih dulu menuju kamar Naruto yang diikuti oleh pasangan suami istri muda.
"Hime, kamu satu kamar dengan Naruto?" tanya Sakura.
"Hn."
"Apa kalian sudah melakukannya? Maksudku melakukan hubungan layaknya suami istri." tanya Sakura lagi yang langsung mendapat tatapan tajam dari Hinata.
"Himeku tersayang, kalian sebentar lagi mau menikah. Setidaknya ubahlah sifatmu hime. Kasihan kan Naruto harus menikah dengan wanita es. Toh, kami bertiga merindukanmu yang ceria dulu."
Deg..
Hinata hampir jatuh dari tangga tapi urung karena Sasuke secara spontanitas menahannya.
"Kami-sama, hime kau tidak apa-apa?" panik Sakura.
"Uh~" Hinata hanya melenguh sambil memegang kepalanya.
"Sasuke-kun, ayo kita bawa hime ke kamar Naruto. Dia butuh istirahat sekarang. Ayoo cepat gendong dia!" perintah Sakura.
.
.
SASUKE POV
Aku berjalan mengikuti Hinata. Seperti biasa, Sakura mengoceh hal-hal yang tidak penting. Sampai akhirnya perkataan Sakura menarik perhatianku.
"Himeku tersayang, kalian sebentar lagi mau menikah. Setidaknya ubahlah sifatmu hime. Kasihan kan Naruto harus menikah dengan wanita es. Toh, kami bertiga merindukanmu yang ceria dulu."
Deg..
Hinata hampir jatuh dari tangga tapi urung karena Sasuke secara spontanitas menahannya.
"Kami-sama, hime kau tidak apa-apa?" panik Sakura.
"Uh~" Hinata hanya melenguh sambil memegang kepalanya.
"Sasuke-kun, ayo kita bawa hime ke kamar Naruto. Dia butuh istirahat sekarang. Ayoo cepat gendong dia!" perintah Sakura.
Dengan enggan, aku turuti saja permintaan Sakura. Kugendong Hinata dengan bridal style. Sebuah ingatan tiba-tiba melintas dibenakku.
END SASUKE POV
"Shit." umpat Sasuke.
"Sasuke-kun, ada apa?" tanya Sakura khawatir.
"Tidak." aku berjalan mendahului Sakura.
Sakura membantu suaminya membuka pintu kamar Naruto dan disana, Naruto sudah bangun bersandar di kepala ranjang. Dia memandang tajam Sasuke yang sedang menggendong calon istrinya. Sakura yang menyadari arti tatapan Naruto segera mencairkan suasana.
"Naruto, tadi Hinata tiba-tiba pingsan di anak tangga. Jadi, aku suruh Sasuke buat menggendongnya." jelas Sakura.
"Ooh terima kasih. Letakkan dia secara perlahan di sampingku." jawab Naruto.
Tanpa disuruh dua kali, Sasuke membaringkan Hinata di samping Naruto.
"Aku mencurigaimu." kata Naruto ambigu.
"Eh?" Sakura tak mengerti maksud Naruto.
"Iya." jawab Sasuke menyetujuinya.
"Ada apa ini Sasuke-kun?" tanya Sakura tak mengerti.
"Sudahlah Saki. Bukankah hari ini kamu akan menjenguk si dobe, hmm?"
"Ah, kamu benar Sasu-kun." Sakura menghampiri Naruto. "Ne Naru-kun, apa kamu baik-baik saja?" tanya Sakura.
"Seperti yang kamu lihat." jawab Naruto. "Saku-chan, aku ingin berbicara denganmu. Berdua." lanjutnya.
"Kalau kau tidak lupa, Sakura sekarang menjadi istriku." sela Sasuke.
"Aku mencurigaimu jika kau lupa, teme." jawab Naruto dengan ketus.
.
.
#_#
.
.
%TBC%
Selesai sudah chapter 17nya. Ada yang kangen Hana? Atau kangen kisah cinta Naruto dan Hinata. Di chapter ini sudah mulai terbuka jalan menuju masa lalu Hinata. Ada yang sepemikiran dengan Hana tentang masa lalu Hinata?
Kira-kira apa yang ingin dibicarakan oleh Naruto dengan Sakura? Lalu, kenapa Naruto mencurigai Sasuke yang notabene adalah sahabatnya?
Terima kasih yang sudah review dan kasih dukungan buat Hana. Makasih juga yang sudah ngeflame dan ngasih masukan. Hana suka kalian semua. Salam dari Hana :)
Jangan lupa review yaah minna :)