Naruto belongs to Masahi Kishimoto

Warning : AU, highly OOC, typos, sho-ai detected, informal style

Pair : GaaHina, SasoSaku, SasuNaru/NaruSasu

Disusun untuk memenuhi tuntutan plot bunny yang minta direalisasi juga sebagai birthday fic untuk seorang teman nun jauh di sana.

Happy reading minna ^^

.

.

"Mau disimpen di mana muka ganteng gue!"

Jeritan frustasi itu meluncur dari bibir si bungsu Uchiha. Serius, Anda nggak salah baca. Ketahuilah, sesungguhnya image cool Sasuke hanya berlaku di animanga Naruto saja. Berhubung ini hanyalah fanfiksi karya author asal Indonesia, maka anggap saja image tersebut tak berlaku jika ia sedang bersama keluarganya.

Jika yang terpikirkan saat menyebut kata keluarga adalah pasutri bahagia, maka benahilah sedikit persepsi yang ada. Keluarga yang ada di sini adalah dua orang pria yang memutusan hidup bersama setelah mengukuhkan cinta mereka di negeri Belanda. Dan berhubung mereka tinggal di Jepang, maka dipastikan keduanya merupakan pasangan yang banyak diburu para fujoshi.

"Ayolah, Teme. Sebagai istri hokage, kau … "

"Aku seme-mu, Dobe!" sergah Sasuke sembari mencomot pisang goreng yang baru digoreng Naruto, "Kenapa bukan kau saja yang membawa Hinata ke Posyandu? Hitung-hitung contoh yang baik untuk menyukseskan program kerjamu."

Bletak!

Spatula berminyak mendarat di kepala si bungsu Uchiha. Naruto merengut pertanda tak suka dengan lingual pasangannya. Ia melipat tangan di depan dada sebelum menyuarakan keberatannya.

"Hey, yang seme itu aku, tahu! Lagipula, besok aku harus menjamu Kazekage untuk merealisasi program sumbangan air bersih untuk Suna. Ayolah, Sas. Kamu masih sayang sama anakmu, kan?"

Sasuke masih terlihat memasang wajah tak setuju. Membayangkan dirinya menggendong Hinata di antara ibu-ibu rasanya lebih horor ketimbang membayangkan Sadako tiba-tiba jadi model iklan shampo UNCLEAR. Naruto mulai merasakan hawa-hawa penolakan yang semakin mengganggu.

"Ayolah, Sas." Naruto menatap pasangan hidupnya dengan mata sedikit berkaca-kaca.

Sasuke menggerutu dalam hati. Overdosis sinetron Seme yang Ditukar memang nggak bagus buat kesehatan mental sang hokage. Sepertinya ia memang harus mengecam produser sinetron yang nggak berperike-seme-an itu.

"Papa."

Seorang gadis kecil berpipi bulat kemerahan menghampiri pasangan ye-a-o-i paling fenomenal di anime Narto Syaippudin itu. Matanya masih terlihat sembab akibat tangis kehilangannya gara-gara bocah berambut merah yang merusak bonekanya.

Naruto tersenyum sembari melangkahkan kaki mendekati putrinya. Nggak sia-sia ia dan Sasuke terbang ke Winchester demi mendapatkan bocah yang baru berusia tiga tahun tersebut. Bukan hal yang mudah mengingat seorang mantan petani tebu yang banting setir jadi detektif nomor satu juga menginginkan bocah itu. Sasuke bahkan nyaris jambak-jambakan dengannya di The Wacky's House kalau Naruto tidak segera menjewernya agar segera pergi dari tempat itu.

"Hinata-chan, ayo petik tomat sama Ayah." Sasuke bergerak lebih cepat dengan menggendong putrinya. Menjauhkannya dari si bapak rumah tangga yang bahkan masih nyaman mengenakan celemek bermotif bunga-bunga.

"Hiks ... hiks ... Teddy-kun ... " isak Hinata.

Sasuke langsung paham, yang dimaksud Teddy-kun adalah boneka beruang super unyu milik putrinya. Sasuke tahu boneka itu rusak gara-gara teman Hinata. Itulah sebabnya sejak ia menjemput putrinya dari sekolah tadi, Hinata menitikkan air mata.

"Tidak apa-apa," Sasuke mengusap kepalanya, "nanti biar dijahit sama Mama."

Andaikata Hinata tak berada dalam gendongan Sasuke, bisa dipastikan spatula di tangan Naruto akan kembali mendarat. Ia tak pernah setuju Sasuke mengajari Hinata memanggilnya Mama. Bagaimana pun ia adalah kepala keluarga –meskipun Hinata 'dipaksa' memakai nama Uchiha sebagai nama keluarganya.

"Nanti Papa belikan lagi deh. Jangan nangis lagi, ya. Sini sama Papa aja. Ayah bau, belum mandi kayak ayam peliharaan kita," ucap Naruto sembari menebar senyum semanis fruktosa.

Sasuke menanggapinya dengan death glare level dewa. Kalau dia nggak lagi menggendong Hinata, sudah pasti jitakan manisnya akan bersarang di kepala kuning milik 'istri'nya.

Hinata mengulurkan lengan mungilnya. Naruto menyambutnya dengan penuh suka cita. Sedangkan Sasuke mengepalkan tangannya. Mau marah juga nggak bisa. Toh, yang dibilang Naruto memang sebuah fakta. Setidaknya ini pelajaran berharga baginya. Selain untuk menjaga kesehatan, ternyata mandi juga menjadi aset penting untuk bisa selalu dekat dengan putrinya.

"Papa, Teddy-kun akan masuk ke sulga, kan?" tanya Hinata saat Naruto memberikannya sebungkus biskuit susu.

Naruto hanya tertawa ringan mendengarnya. Pikirannya mencari-cari cara menjelaskan pada Hinata bahwa boneka hanyalah benda mati yang nggak mungkin masuk surga.

"Nggak dong, Sayang. Kan boneka itu benda mati."

Tidak. Itu terlalu merusak imajinasi anak-anak. Selama ini boneka memang menjadi teman setia anak-anak, tak terkecuali bagi putrinya. Naruto harus mencari jawaban yang tepat, meski hanya untuk menghindar dari pertanyaan itu.

"Papa juga berharap begitu. Selama ini kan Teddy-kun selalu jadi teman yang baik untuk Hinata-chan," jawab Naruto. Ia menatap iris keunguan milik putrinya, "Besok Hina-chan ikut Ayah ke Posyandu, ya. Biar Hinata-chan diperiksa sama ibu dokter biar tambah sehat. Teman-teman Hinata-chan juga ikut kok."

Mendengar kata teman-teman, maka yang diingat Hinata adalah bocah berambut merah dan bocah gendut yang merusak bonekanya. Padahal tadinya Hinata mengira Gaara adalah anak yang baik. Tapi ternyata dia juga ikut merusak bonekanya. Jahat sekali … padahal dia tahu itu boneka kesayangan Hinata.

"Lho, kok Hina-chan sedih. Ada apa? Bilang dong sama Papa," tanya Naruto saat melihat perubahan ekspresi putrinya.

"Teman-teman di Posyandu baik-baik kan, Pa?"

"Tentu saja," jawab Naruto.

"Nggak ada yang suka lusakin Teddy kan, Pa?" Gadis kecil itu kembali bertanya.

"Hinata-chan masih sedih, ya gara-gara Teddy-kun rusak?" tanya Naruto.

Hinata menganggukkan kepala. Raut wajahnya menyiratkan ekspresi kecewa. Naruto hanya menggaruk-garuk kepala. Bingung bagaimana cara menghibur putrinya. Oh, astaga. Ternyata menjadi orang tua memang tidak mudah.

Apalagi dengan kondisi rumah tangganya yang boleh dibilang abnormal. Tak ada wanita dalam hierarki rumah tangganya. Agak sulit baginya untuk memahami kondisi psikologis putrinya. Seingatnya, saat kecil dulu ia tak pernah main boneka.

"Anak Ayah nggak boleh sedih, dong." Sasuke yang baru muncul menepuk pipi Hinata, "besok setelah ke Posyandu, kita cari boneka sama-sama, ya."

Dalam sekejap, manik lavender itu menampilkan ekspresi gembira. Naruto tak kalah bahagia. Setengah berbisik, ia meledek si bungsu Uchiha.

"Naa … jadi setuju kan, kau yang menemani Hinata? Sasuke, kau memang benar-benar uke teladan seantero Kono … aw!" Sebuah cubitan bersarang di perut Naruto.

"Pa-Papa kenapa?" tanya Hinata keheranan.

"Abaikan saja, Hinata. Hinata tahu kan, Papa suka mengada-ada," sambar Sasuke.

Naruto meringis kesakitan, namun tetap saja wajahnya menampilkan cengiran. Ia tak mungkin mengatakan bahwa Sasuke memberinya cubitan. Yah, beginilah resikonya menjadikan Uchiha Sasuke sebagai pasangan.

.

.

.

Senandung riang berkumandang dari sebuah rumah mungil nan sederhana. Bukan karena yang punya nggak mampu beli rumah mewah berlantai tiga. Ini karena nyonya rumahnya memang teramat bersahaja. Nggak apa-apa deh rumah mungil asal kebun buat menanam tanaman obat keluarganya seluas lapangan bola.

Dan si nyonya rumah berbudi pekerti luhur, cinta alam dan kasih sayang sesama manusia itu sedang berkutat di dapurnya. Menggerakkan dengan cermat pisau dapurnya untuk memotong-motong bawang bombay –yang sayangnya cuma dibeli di Pasar Konoha, bukan di India sana- berdasarkan rumus trigonometri yang pernah dipelajarinya. Yah, setidaknya dapat terlihat betapa pemanfaatan matematika memang tidaklah mudah. Apalagi kalo aplikasinya dalam hal-hal yang salah.

Sakura –nama sang nyonya rumah- memang tengah berjuang dengan segenap jiwa dan raga memasak hidangan makan siang untuk suami dan putranya. Seumur hidupnya, frekuensinya memegang panci bisa dihitung dengan jari. Itu pun gara-gara ia kelaparan dan terpaksa makan mie instan yang menjadi makanan pokok bagi anak kos di salah satu negara kawasan Asia Tenggara sana.

Yang biasa berperan di dapur, tentu saja sang bapak rumah tangga. Yah, nggak percumalah namanya mirip-mirip brand saos tiram dan saos teriyaki itu. Dilihat dari tampangnya sih, rata-rata orang menganggapnya sebagai siswa SMA. Jarang ada yang bisa menebak dengan tepat kalau si bapak bertampang ala jabang beybeh ini udah kepala tiga.

"Motong bawangnya yang bener dong, Saku-chan," ucap Sasori.

"Iya, iya. Aku tau kok. Motong bawang itu membutuhkan gerakan presisi agar menghasilkan irisan-irisan yang berkesesuaian dengan ekspektasi. Jika tidak, maka yang dihasilkan justru irisan-irisan yang inkonsisten," jawab Sakura.

"Tapi, Saku-chan ... "

"Sebaiknya kautemani saja Gaara main puzzle. Jangan mengganggu konsentrasiku," ucap Sakura tanpa menoleh.

Tapi gue udah laper, Saku-chaan~ Kenapa sih nggak gue aja yang masak? Atau kalo nggak, makan di luar aja kayak biasanya.

Oh, seandainya Sasori bisa sejujur itu pada istrinya. Tapi sebagai suami yang baik, dia nggak tega merusak semangat empat-lima istrinya yang mendadak pingin belajar masak setelah mendapat sebuah 'sindiran' dari putra mereka. Biarpun baru berumur tiga tahun, Gaara cukup cerdas untuk melihat bahwa hampir semua teman-teman di playgroup-nya membawa makanan yang dibuatkan oleh ibunda tercinta.

Sasori memandangi bocah kecil berambut merah sepertinya. Gaara terlihat asyik menyusun puzzle tanpa warna dengan ukuran tak biasa. Ugh, Sakura pasti menurunkan gen penyuka teka-teki pada putranya. Bukan masalah sih. Semoga saja, putranya nanti bisa sehebat istrinya.

"Papa, aku lapal." Aksen cadel mengiringi ucapannya.

"Sabar, ya. Mama lagi masak kok," Sasori mengusap kepala Gaara, "sambil menunggu, mau main boneka sama Papa?"

"Papa bisa benelin Teddy nggak?" Gaara justru melempar sebuah tanya. Mata bulat berwarna hijaunya menatap lingkar amber milik Papanya. Sasori tahu, Gaara akan membaginya sebuah rahasia. Sebagai seorang ayah, ia hafal bagaimana perangai putranya.

"Memangnya Teddy-nya Gaara 'sakit'?" tanya Sasori. Ia menebak-nebak dalam hati. Mungkin boneka beruang warna cokelat milik Gaara tersangkut kawat berduri. Jika memang begitu, Gaara pasti akan memintanya memperbaiki bonekanya.

Gaara menggeleng. Ia terlihat sedikit murung saat akan menjelaskannya.

"Teddy-nya temen Gaala lusak sama Gaala."

Sasori mengernyitkan alis saat mendengarnya. Gaara sedikit ragu meneruskan ceritanya. Ada rasa takut yang tersirat bahwa Papanya akan murka.

"Nggak sengaja kok, Pa. Tadi Gaala lali-lali, nggak sengaja nalik bonekanya sampe tangan Teddy-nya putus."

Oh, kejamnya. Biarpun benda mati, boneka juga perlu disayangi dan dicintai sepenuh hati. Lain kali, ia harus mengajarkan ini pada Gaara. Setidaknya agar Gaara tahu, lari-lari ternyata berpotensi membahayakan keselamatan boneka.

"Teman Gaara pasti sedih karena kehilangan sahabatnya. Gaara harus membawakannya teman yang baru. Nanti Papa ambilkan Teddy yang baru untuknya, ya. Tapi Gaara janji, Gaara tidak boleh merusak barang milik orang lain lagi, apalagi kalau barang itu adalah boneka. Gaara mengerti?"

Gaara menangguk cepat. Binar matanya menampilkan sebuah semangat. Sepertinya ia sudah menemukan sebuah solusi yang tepat.

FLASHBACK

Suara riang khas anak-anak mendominasi tempat ini. Hal yang wajar karena memang di sinilah balita-balita itu menempuh pendidikan usia dini. Tak seperti kebanyakan teman-temannya, Gaara lebih suka bermain di ayunan sembari memainkan rubik yang ia sukai.

Kebanyakan anak-anak di sini memang tak akrab dengannya. Lingkar hitam di bawah matanya tampak tak wajar untuk anak seusianya. Sayangnya tak ada yang bertanya, apakah ia sering insomnia. Ini karena seringkali Gaara tak mampu membaca waktu jika tengah berkutat dengan mainannya.

Sejauh ini, temannya bicara hanya si bocah Uchiha. Gadis cilik berpipi tembam itu sering duduk di ayunan yang ada di sebelah Gaara. Sesekali ia menawarkan bekal lezat yang dibuat oleh Papanya. Diam-diam Gaara bersyukur mendengarnya. Ternyata bukan hanya dirinya yang membawa bekal buatan Papa.

"Ga-Gaala-kun, o-ohayou," sapa Hinata saat duduk di sebelahnya.

Gaara hanya menoleh sekilas. Lengan kirinya memeluk Teddy Bear kesayangannya. Sedangkan lengan kanannya dibebani buku gambar dan beberapa pensil warna di tangan Hinata. Mungkin ia akan menggambar seperti biasanya.

Tiba-tiba beberapa anak mendekatinya. Tanpa banyak bicara, mereka mengambil boneka milik Hinata kemudian lari sembari mengejek Hinata.

"Hiks ... hiks ... bonekaku ... " Hinata menitikkan air mata sembari berusaha mengejar anak-anak itu.

Gaara memandangi Hinata yang tengah mengisak karena kehilangan boneka. Di hati kecil nan polosnya timbul rasa iba. Dan tiba-tiba, kakinya sudah bergerak mengejar anak-anak yang mengganggu teman pertamanya.

"Kembalikan!" Ia memberikan death glare terbaiknya. Tak sabar menanti reaksi si gendut ingusan itu, ia merebutnya.

"Apa sih! Ini kan bukan punyamu!" tukas anak itu.

"Pokoknya kembalikan!" Gaara tak mau kalah.

"Nggak mau!"

Breett ...

Olala, tangan Teddy Bear milik Hinata sobek akibat tarikan dari kedua bocah keras kepala. Tak urung, lelehan cairan bening kian menggenangi pelupuk mata Hinata. Teddy Bear kesayangannya kini kehilangan salah satu lengannya.

"Hiks ... hiks ..." Gadis kecil itu berbalik meninggalkan Gaara.

Gaara menatap lengan Teddy Bear di tangannya. Ia merasa sedikit bersalah telah membuat gadis cilik itu semakin kecewa. Boneka ini pasti berharga sekali untuknya.

Semoga saja ... semoga saja Papa bisa membantunya.

FLASHBACK OFF

.

.

TBC

.

.

Akhir-akhir ini, saya baru sadar kalau punya tanggungan fic-fic serius ternyata berat juga. Makanya, saya bikin fic ini sebagai variasi supaya saya sendiri juga bisa melampiaskan plot bunny ngaco yang ada di kepala saya. Mohon maaf jika ini nggak sesuai sama ekspektasi Anda ^^

Soal pairing, mungkin ada yang mengerutkan kening saat saya menambahkan SasuNaru/NaruSasu dalam fic ini. Selama di FNI, saya memang selalu menggunakan straight pairing. Tapi di luar FNI, saya termasuk semi-fujoshi kok.

Anw, fic ini saya dedikasikan untuk ultah salah satu teman terbaik saya dari jaman seragam putih-merah. Felice compleanno, la beneamata amica ^^

Terakhir, terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca fic asal jadi ini. Kalo nggak keberatan, berikan kesan Anda setelah membaca fic ini. Kotak review saya masih muat untuk menampung segala atensi.

Molto grazie ^^