Requested by Platoniclus Nue
A/N: Helow~ Seperti yang kalian lihat, saya mengeluarkan lagi judul baru. Gomen ne, ga bisa nahan untuk cerita yang satu ini. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini saya main dengan Hollow Ichigo x Ichigo. Bagi kalian yang ga tau, saya selalu memberi nama Shirosaki untuk Hollow Ichigo. Saya sendiri masih ga yakin ini cerita bakalan seberapa panjang, atau ada konflik apa saja, karena itu saya OPEN untuk ide/masukan.
Pairing: Hollow Ichigo x Ichigo, Aizen x Ichigo
Summary: Sebagai seorang manusia, Kurosaki Ichigo sudah ditakdirkan untuk menjadi milik sang Raja Iblis, Aizen Sousuke. Siapa pun yang mendekati Ichigo hanya akan menggali lubang kuburnya sendiri, karena di sisinya ada sesosok iblis yang sudah diperintahkan untuk menjaganya agar tidak ditandai oleh manusia atau makhluk lainnya. Shirosaki melakukan tugasnya itu dengan sangat baik, walau setelah bertahun-tahun bersama sang Berry, pada akhirnya ia merasakan bahwa ia pun menginginkannya.
Warning: Yaoi, boy x boy relationship n LEMON, alternate universe, Demon/Angle style, mature content, rape, light bondage, gore, dan... kemungkinan OOC selalu ada. Beware~
Disclaimer: I don't own Bleach. It's Kubo Tite. I used it just for fun...
.
.
My Demon, My Protector
Chapter One
Tidak! Tidak! Kumohon... tolong...
Suara yang serak karena terus berteriak, tidak ia pedulikan. Tidak ada yang mendengar, juga tidak ia pedulikan. Karena walau pun manusia tidak ada yang bisa melihatnya, tidak ada yang bisa mendengarnya, ia yakin para Dewa bisa mendengar jeritannya, permohonannya.
Tolong! Tolonglah! Kumohon!
Air mata yang bercucuran deras membasahi wajah cantiknya yang kini terlihat begitu sedih. Keningnya berkerut dalam kerutan yang sudah lama sekali tidak pernah ia tampakkan semenjak ayahnya meninggal karena sakit dahulu. Surai oranye-nya yang panjang tersapu ke segala arah, berantakan, menutupi sebagian wajahnya, bahkan ada yang masuk ke dalam mulutnya.
Tapi, ia tidak peduli.
Ia tidak peduli jika dirinya harus mati, ia hanya ingin bayinya selamat.
Suara bernada tinggi yang sedari tadi terus menggema di dalam ruangan, perlahan mulai berkurang. Dalam kepanikan, ia kembali berteriak. Menggunakan suara femininnya beberapa oktaf lebih tinggi daripada sebelumnya. Air mata yang terus mengalir, kedua tangan yang terus memeluk perut sendiri, teriakan, jeritan memohon terus keluar dari sela bibirnya yang terbuka lebar, tertuju kepada orang-orang berpakaian hijau-kebiruan dari atas kepala hingga kaki.
Orang-orang yang terus berusaha menariknya kembali ke dunia ini.
Satu di antara mereka, yang menangis, yang wajahnya berkerut paling gelap di antara lainnya, adalah pria yang sangat ia kenal. Sangat ia cintai. Namanya terus terbisik dari mulut yang tertutup oleh masker. Memanggilnya. Meminta dirinya untuk kembali.
Tapi ia tidak bisa.
Ia tahu sudah tidak ada harapan untuk dirinya. Benturan yang ia terima di kepalanya terlalu keras untuk bisa ia tahan dalam waktu lama. Ia bersalah. Ia bersalah karena akan meninggalkan pria yang begitu ia cintai itu, tapi tidak akan ia biarkan pria itu seorang diri.
Komohon! Bayiku! Kumohon tolonglah bayiku!
Tangan yang menggenggam bahunya, membuatnya berhenti berteriak. Dengan kedua mata yang terbelalak dan basah karena air mata, ia menoleh ke belakang, dan dalam sekejap nafasnya tercekat ketika beradu pandang dengan sepasang iris coklat gelap yang disertai senyum lembut terarah padanya. Aku bisa membantumu, tapi dengan syarat. Mendengar apa yang dikatakan, ia tidak lagi mempedulikan kenyataan bahwa entitas tersebut memiliki sepasang sayap hitam mirip dengan sayap kelelawar, dan langsung mencengkeram kuat lengan yang berada di bahunya.
Apa pun! Apa pun akan kulakukan kalau kau bisa menyelamatkan bayiku! Tolonglah!
Sepasang iris coklat sang wanita menatap penuh pengharapan kepada sang entitas asing. Keseriusan mengenai bahwa dirinya akan melakukan apa pun terdapat di sana, dan hal itu membuat entitas bersayap kelelawar itu tersenyum. Very well. Satu tangan terangkat, semakin lama bisa ia rasakan kegelapan semakin menyelimuti pandangannya.
Maafkan aku, Isshin. Aku mencintaimu.
Pasrah, ia biarkan kedua kelopak matanya menutup perlahan, sudah tahu bahwa ia telah sampai pada titik akhirnya. Hal terakhir yang ia dengar adalah bisikan dari entitas yang berkata akan menolongnya itu, Anakmu akan menjadi milikku.
XOXOXO
Ia mendesah saat merasakan sentuhan-sentuhan yang nampak memijit ringan dada telanjangnya. Suaranya terdengar begitu basah, seolah banyak saliva yang berkumpul di dalam mulutnya. Dan nampaknya, kenyataannya memang begitu, karena setetes saliva menuruni tepian bibirnya dan membasahi bantal berselimutkan sutra di bawahnya. Ia tidak merasa khawatir entitas di atasnya akan memarahinya karena mengotori barang yang mahal, karena entitas itu semakin melebarkan senyumnya, membawa alunan getaran pada seluruh tubuhnya.
Punggungnya tersentak ke atas sementara mulutnya terbuka lebar, dan erangan keluar di antara lidahnya yang terjulur sedikit. Benda lembek dan basah yang terus menjilati pucuk dadanya, terkadang memberikan hisapan serta gigitan, membuatnya menggelengkan kepala ke kiri dan ke kanan. Surai oranye yang tidak menempel ke kulit lantaran peluh, ikut bergerak dan beberapa semakin menutupi kedua iris coklat madu yang berkilat kuat akan nafsu syahwat.
Jemari-jemarinya ia gerakkan di antara helaian surai lawan, menjambak pelan hingga kedua telinganya bisa menangkap geraman ringan. Ia mendesis ketika kejantanannya yang menegang semakin tertekan di antara perutnya, bergesekkan dengan milik entitas di atasnya.
Terlalu banyak.
Terlalu kuat.
Padahal mereka belum sampai pada 'menu utama', tetapi bisa ia rasakan kalau hasratnya sudah mendekati puncak. Ia menutup rapat kedua matanya, membiarkan tubuhnya kembali tersentak, dan dalam satu gesekan lagi, ia menjerit bersamaan dengan keluarnya bukti dari kegiatan mereka yang intens. Tubuhnya gemetar, nafasnya yang terengah kemudian kembali tertahan ketika menyadari bahwa milik lawannya masih keras di bawah sana.
Kembali ia membuka kedua matanya, menatap entitas di atasnya yang kini sudah menegakkan tubuh dan membawa kedua kakinya untuk bersandaran pada dua pundak yang kokoh. Desakan ringan di lapisan luar rectumnya, kembali membuat tubuhnya bergetar dalam antisipasi. Excited. Coklat gelap beradu pandang dengan coklat madu, "Mine." Suara yang begitu lembut, posesif, terdengar mengalun memanjakan kedua pendengarannya.
Dan tekanan di pangkal tubuhnya menguat, sampai melewati batas otot lapisan pertama.
"M-My lor—aaanghhh!"
XxxxxxxX
Tersentak bangun dari tidurnya, Kurosaki Ichigo melebarkan kedua bola matanya. Nafasnya yang memburu terdengar bersahut-sahutan dengan bunyi alarm yang memekakkan telinga. Menggenggam erat selimutnya, ia kemudian mengerang, lalu mengacak-acak surai oranye-nya. Ia mematikan suara berisik alarm yang terletak di meja kecil di samping tempat tidurnya, dan meregangkan tubuh sembari menguap lebar.
Puas dengan hasil peregangan ototnya, Ichigo menghela nafas panjang. Menepuk-nepuk wajahnya, lagi-lagi ia mengerang ketika benaknya dengan jelas kembali mengingat mimpi yang belakangan ini sering sekali menghantuinya kala tidur. Awalnya, ketika pertama bermimpi begitu, ia hanya berpikiran bahwa itu hanyalah mimpi basah biasa yang dulu beberapa kali ia impikan semenjak usianya menginjak remaja. Tapi, ia pun menjadi kepikiran karena walau pun pada awalnya dalam mimpinya ia melakukannya bersama seorang wanita, semenjak usianya menginjak 17 tahun beberapa bulan lalu, yang ia impikan lawannya selalu saja pria.
Walau tidak bisa ia lihat dengan jelas wajahnya, tetapi ukuran tubuh, bentuk tubuh, dan benda yang menggantung di antara selangkangan lawannya itu membuktikan bahwa sang lawan memang jelas seorang pria.
Ditambah dengan fakta bahwa ia memimpikannya dengan sangat sering, seminggu bisa sampai empat atau lima kali, dan ia yakin lawannya pun terus merupakan orang yang sama, Ichigo jadi semakin meragukan seksualitasnya. Kalau dulu ia bisa mengatakan dengan tegas bahwa dirinya itu straight, sekarang ia pasti akan membutuhkan waktu lama untuk menjawab, atau sekedar memutar bola mata saja demi menyembunyikan kegugupannya untuk menjawab.
Ia bahkan tidak mengerti, dalam mimpinya itu ia bahkan sampai memanggil lawannya itu dengan sebutan "My lord". Rasanya seperti menonton film porno zaman kerajaan saja.
Wajah Ichigo langsung merona ketika menyadari jalan pikirannya sendiri, padahal ia selalu nampak sebagai seorang remaja polos yang tidak tahu-menahu mengenai seks. Ichigo meringis saat secara tidak sengaja tangannya menyentuh bagian selangkangannya yang terasa begitu sempit di balik boxer yang dikenakannya.
Inilah alasan lain yang membuatnya beranggapan bahwa mimpinya itu mengganggu.
Karena ia bisa merasakan panasnya kegiatan yang ia lakukan di alam bawah sadarnya itu.
"Ssshh..." Ragu-ragu, tangannya masuk ke sela-sela celana boxernya dan menggenggam kejantanannya yang saat itu sudah meneteskan precum di puncaknya. Menarik nafas melalui sela-sela giginya, Ichigo kembali memejamkan mata dan mulai menggerakkan tangannya... tepat dengan waktu pintunya didobrak hingga terbuka lebar.
"IIICHIGOOOOOOO! WAKTUNYA BANGUN ATAU KAU—"
Ichigo melotot, Isshin mengerjapkan mata berkali-kali. Pandangan arah kedua iris gelap sang kepala keluarga Kurosaki langsung tertuju ke celana sang anak remaja. Wajah Ichigo memucat, sementara Isshin mengerutkan alis dan kedua matanya berkaca-kaca, "WAAAAHH! ANAK LAKI-LAKIKU SATU-SATUNYA TIDAK PUNYA SESEORANG YANG BISA MEMBANTUNYA MASTURBASI!" Isshin berteriak sambil berlari keluar kamar. Kedua mata sang pria banjir oleh air mata ketika mengadu pada poster istrinya yang terbentang besar di ruang keluarga.
Mendengar rengekan keras dari sang ayah, Ichigo bisa merasakan denyut kekesalan mencuat di dahinya. Wajahnya langsung merah karena rasa malu dan amarah yang meledak-ledak.
"BERISIIIIIIIKKK! AYAH MACAM APA KAMU MENGGEMBAR-GEMBORKAN HAL PRIBADI MILIK ANAK SENDIRI?"
Bahkan dari radius satu kilometer pun, orang-orang masih bisa mendengar teriakan putra sulung Kurosaki itu.
XOXOXO
Suara tawa nyaring memenuhi ruang loker Karakura High School, dan membuat beberapa murid memandang bingung ke arah di mana suara itu berasal. Beberapa di antara mereka mulai berbisik-bisik dengan teman di sebelahnya ketika menangkap murid senior bersurai merah menyala-lah yang menjadi ternyata sumbernya. "Argh! For Gods sake, hentikan tawamu itu, Renji!" Membanting keras pintu lokernya sendiri, Ichigo kemudian menyarangkan tendangan ke arah teman sekelasnya yang terus tertawa semenjak menjemputnya di rumah tadi. Renji yang berhasil menghindar dengan baik, membuat Ichigo semakin menggeram kesal.
"Aw, dude. Jangan timpalkan kekesalanmu itu padaku. Bukan aku lho yang teriak-teriak kalau kamu pagi ini masturbasi sendirian."
Belum sempat wajah Ichigo memerah karena penghinaan temannya sendiri, Renji sudah mengambil seribu langkah, jadi ia tidak harus menjadi korban ketika Ichigo meraung dalam kemarahan dan menghajar lokernya hingga penyok di sana-sini. Dengan langkah yang dihentak-hentakkan, ia berjalan menuju kelasnya sambil memberikan tatapan membunuh kepada setiap orang yang dilaluinya. Walau pun sebenarnya hal itu tidak perlu, karena tanpa pandangan itu pun, murid-murid yang masih berkeliaran di luar kelas, sudah pasti akan menghindari atau menganggapnya tidak ada jika ia lewat di dekat mereka.
Hal itu karena warna rambut, dan rutinitas sampingannya di sekolah.
Yeah, ia tidak akan mengelak jika ada orang yang menunjuknya sebagai berandalan, atau preman sekolah. Ia tidak merasa risih dengan rumor itu meski pun sebagian besar perkelahian melibatkan dirinya bukanlah ia yang memulainya. Yang penting, orang-orang itu meninggalkannya sendiri, dan tidak mengganggunya.
Lagipula, kelihatannya beberapa guru tidak peduli mengenai rumor itu selama ia masih bisa terus mendapatkan nilai di atas rata-rata.
Yep. Selama dirinya tidak bodoh, maka nilai dan jaminan kelulusannya tidak akan mampet.
"I~chi~go~!"
Karena pagi itu Ichigo sudah terlanjur bete, dengan sengaja ia menutup pintu kelasnya hingga suara benturan keras terdengar beberapa saat kemudian. Ichigo membiarkan seringai kecil terukir di bibirnya ketika mendengar suara rintihan Keigo dari balik pintu. Teman berambut coklatnya yang sembrono itu memang hanya berguna di saat seperti sekarang ini. Tapi, sebelum langkahnya sampai di mejanya sendiri, lengan kanan Ichigo ditarik. Ia menggeram, menyadari siapa pelakunya.
"Ichigo, aku butuh bantuanmu untuk pr matematika yang kemarin ini!"
Kuchiki Rukia adalah gadis yang berukuran kecil. Banyak yang memanggilnya kerdil atau kontet, atau bahkan kurcaci. Tapi, nampaknya ukuran tubuhnya itu sama sekali tidak berpengaruh karena dengan ukuran sekecil itu, Rukia masih sanggup mendorong dan menarik Ichigo ke mana pun ia suka.
"Kenapa kamu tidak minta bantuan Ishida saja sih?" Ichigo mengernyitkan dahi.
"Minta tolong padanya itu bersyarat. Aku sedang tidak mood untuk menjadi model fashion lolitanya." Mendengus, Rukia lalu menyodorkan sebuah buku kepada Ichigo yang sudah mengambil kursi untuk duduk di sebelahnya. Remaja bersurai oranye itu memutar kedua bola matanya ketika melihat lembaran jawaban milik Rukia masih kosong.
Heh. Sudah ia duga.
Mengeluarkan pensilnya, Ichigo pun mulai menjabarkan kepada Rukia mengenai langkah-langkah yang harus diambil untuk menyelesaikan beberapa persamaan yang ada. Ia memang tidak sepintar Ishida dalam urusan berhitung dan matematika, tapi masih lebih baik dari gadis kerdil di sebelahnya itu. Dan masih ada waktu 20 menit lagi sampai kelas benar-benar dimulai, jadi ia masih punya banyak waktu. Lebih baik begini, daripada tertidur lagi di mejanya dan dibangunkan dengan lemparan penghapus papan tulis yang dilempar oleh guru tepat mengenai kepalanya.
Belum sampai lima menit ia mengajari Rukia, Inoue Orihime pun bergabung dengan keduanya. Mengambil tempat duduk berhadap-hadapan dengan Rukia dan tersenyum gugup sambil menunjukkan lembar jawabannya yang juga masih kosong. Ichigo menghela nafas, kembali ia ulang penjelasan yang sebelumnya ia berikan pada Rukia, kali ini kepada Orihime. Selama menjelaskan, ia tidak menyadari kalau kedua gadis itu saling melemparkan tatapan tajam yang menimbulkan percikan api di tengahnya. Baru ketika Ichigo merasa ada seseorang yang memperhatikannya hingga membuat tengkuknya meremang, ia berhenti setelah menyuruh kedua gadis itu untuk mulai mengerjakan sesuai instruksinya.
Menoleh ke kiri dan ke kanan, kedua iris coklat madu Ichigo bertemu pandang dengan sepasang iris biru tajam. Ia mengerutkan dahi, menyadari kalau sepasang iris biru tersebut berkaitan dengan murid baru yang bergabung ke kelasnya tidak sampai dua minggu yang lalu. Grimmjow Jaegerjaquez. Remaja yang secara ajaib memiliki surai biru alami, yang membuat Ichigo terus memandang ke arah sang murid baru di hari pertamanya datang.
Bukan berarti Ichigo hendak mengejek. Mana mungkin ia akan mengejek warna biru kalau warna rambutnya sendiri saja sudah oranye. Ia hanya penasaran, apakah rambut biru itu selembut kelihatannya atau tidak. Karena warna biru yang menempel di kepala remaja yang katanya berasal dari Jerman itu selalu mengingatkannya pada warna langit ketika cerah. Hanya saja, dengan segera pikiran itu ia buang jauh-jauh ketika ia pertama kali beradu pandang dengan sepasang iris yang tidak kalah birunya dengan rambutnya.
Jika rambut Grimmjow merupakan warna langit, maka kedua iris remaja itu bagaikan dasar terdalam dari lautan. Begitu tenang, sekaligus membahayakan karena tidak jelas seberapa dalam adanya. Hanya dengan memandang saja, Ichigo merasa dirinya akan benar-benar tenggelam dan kemudian mati kehabisan udara. Karenanya, ia langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Seperti sekarang ini.
Ichigo langsung mengembalikan arah pandangnya ke lembar jawaban milik Rukia dan Orihime yang sudah mulai terisi.
Walau tidak pernah ia akui secara terang-terangan, tatapan mata Grimmjow sering kali membuatnya was-was. Tidak nyaman. Rasanya bagaikan menjadi makhluk hidup paling rendah yang ada di dunia. Saking besarnya aura intimidasi yang Grimmjow perlihatkan melalui kedua iris biru gelapnya tersebut.
Makanya, semenjak saat pertama itu, Ichigo selalu menghindari bertatapan mata dengan sang Jerman.
"Ichigo~~! Aku juga minta tolong pr-ku~!"
Dengan mudahnya, Ichigo melayangkan kepalan tangannya hingga tepat mengenai wajah Keigo. Membuat remaja yang—entah apa alasannya—selalu menempel padanya itu terguling-guling di lantai kelas sambil memegangi hidungnya yang terasa perih. Malangnya Keigo, tapi tidak ada seorang pun murid yang peduli padanya, apalagi memberikan pertolongan.
Mizuiro sendiri pun masih terus sibuk dengan ponselnya.
XOXOXO
"Hei, kamu sudah dengar? Katanya sudah 2 hari anak dari kelas 3-4 tidak pulang."
"Oh, yang namanya Kunimoto Daichi itu? Kudengar katanya ia mencoba mendekati Kurosaki beberapa hari sebelumnya."
"Eh, benarkah? Kalau begitu, jangan-jangan bernasib serupa dengan Kaya?"
"Aku bingung. Kenapa sih masih ada saja yang mendekati Kurosaki? Padahal sudah pasti siapa pun yang mendekatinya, kalau tidak menghilang, ya... mati."
"Katanya sih ini semacam kutukan. Karena tidak ada manusia yang bisa mematikan orang seperti itu."
"Aku dengar katanya seperti yang dicabik-cabik binatang ya?"
"Kurosaki memang cowok yang menarik, tapi kalau dikutuk begitu..."
Renji menggeram rendah memandang dengan kedua iris yang berkilat penuh amarah ke arah sekumpulan murid yang berkerumun di salah satu sudut kantin. Kedua tangannya mengepal, menahan keinginan untuk menerjang para murid yang sudah seenaknya menggosipkan sahabat karibnya. Gara-gara sekumpulan murid semacam mereka itulah, Ichigo sering kali terlibat masalah. Entah itu dengan polisi yang mendatanginya untuk meminta keterangan akan kasus yang seharusnya tidak ada hubungannya dengannya, para berandalan yang mencegatnya di jalan hanya untuk mengolok-olok dirinya sebagai orang yang dikutuk, atau orang-orang yang jadi menjauhinya hanya karena takut.
Bahkan Tatsuki yang merupakan teman sedari kecil Ichigo pun sudah menjaga jarak. Hanya tinggal Renji, Rukia, Orihime, Sado, Ishida, Mizuiro, dan Keigo yang terus berada di sebelah sang remaja bersurai oranye.
Ichigo menghela nafas. Telinganya yang sudah kebal dengan berbagai gosip yang dilimpahkan padanya, kadang rasanya gatal juga untuk melemparkan menu makan siangnya jika murid lain mulai kembali menggosipkannya secara terang-terangan di waktu istirahat siang. Entah sampai kapan gosip itu akan terus menjadi berita hangat. Padahal beberapa temannya yang tersisa di sini masih hidup dan dalam keadaan sehat.
Yeah, selama mereka tidak mendekatinya dalam konteks seksual.
Benar. Jika ia mencoba mengingat-ingat kembali. Mereka yang menghilang atau ditemukan sudah tidak bernyawa setelah mendekatinya, adalah mereka yang 'memaksa'nya sebesar apa pun ia menolak. Laki-laki, maupun perempuan. Tapi, bukan berarti juga jika ia tidak menolak, maka mereka akan tetap hidup. Karena orang yang pernah ia sukai, dan menyukainya balik pun, tetap saja tidak selamat dari kutukan yang katanya menimpa dirinya.
Semenjak saat itu, Ichigo sudah menyerah untuk bisa terpikat pada orang lain.
"Aku sudah selesai. Duluan ya."
Berdiri dari tempat duduknya, Ichigo melempar pandangan ke arah Rukia yang hendak berdiri menyusulnya, menyuruh gadis itu untuk tidak mengikuti. Ia pun tersenyum kecil ketika Rukia menurut, dan tidak memaksakan kehendak.
Bagaimana pun, ia butuh waktu untuk sendirian.
Dan ketika ia bilang sendirian, hal pertama yang terbayang olehnya adalah atap sekolah. Tapi, sebelumnya ia membutuhkan sedikit penyegaran, maka ia pun mengambil langkah menuju kamar mandi siswa. Betapa berterima kasihnya ia ketika mendapati kamar mandi itu kosong. Setelah buang air kecil di salah satu stall yang ada, Ichigo pun membasuh wajahnya dengan air di wastafel. Tangannya yang meraba-raba mencari tissue yang sering kali tersedia untuk mengelap wajahnya, secara tidak sengaja bersentuhan dengan tangan lain yang kemudian membuatnya tersentak kaget.
Tangan yang mengulurkan tissue ke arahnya sama sekali tidak ia pedulikan saat sepasang iris coklat madunya kembali beradu pandang dengan sepasang iris biru gelap untuk kedua kalinya hari itu. Ichigo membatu di tempatnya berdiri. Tidak sekali pun ia mendengar derikan pintu yang terbuka, atau pun suara langkah kaki yang mendekat sebelumnya, tetapi di hadapannya sekarang berdiri Grimmjow Jaegerjaquez yang karena perbedaan tinggi badan, memandang rendah ke arahnya.
Berdetik-detik, tidak ada satu pun yang berbicara, hanya saling memandang. Bahkan Ichigo sampai merasa kalau dirinya sendiri lupa bagaimana caranya bernafas. Ia tahu kalau sepasang iris biru itu begitu mempengaruhi dirinya, membuatnya merasakan ketakutan yang tidak bisa ia jabarkan, tetapi dalam waktu bersamaan, membuatnya tidak mau memandang ke arah lain. Seolah takut jika ia berkedip atau mengalihkan pandangan, maka warna biru itu sudah tidak akan ada lagi di sana untuk mempesonanya.
Ini pertama kalinya sepasang iris biru begitu sanggup mengacak-acak isi hatinya. Padahal warna itu bukanlah warna yang langka untuk iris mata. Di luar Jepang sana, ia bahkan yakin ada sangat banyak iris biru lainnya bertebaran. Tapi, ia juga yakin, kalau tidak akan ada iris biru yang begitu tajam, begitu dalam, begitu animalistik, lebih daripada milik Grimmjow.
"T-Thanks."
Ingin rasanya Ichigo bersorak riuh karena akhirnya bisa lepas dari lamunannya sendiri. Tapi ia tahan karena hal itu hanya akan membuatnya terlihat memalukan. Ia terima tissue dari tangan Grimmjow dan mengelap wajahnya sendiri, sementara murid bersurai biru itu melangkah mendekati salah satu stall. Suara risleting yang diturunkan membuat nafas Ichigo tercekat. Ia baru menyadari kalau wajahnya begitu merah ketika memandang ke arah cermin, dan semakin merah saat kedua pendengarannya menangkap suara cucuran air yang ia tahu dengan pasti apa.
Menelan ludah, Ichigo pun langsung berlari keluar kamar mandi setelah sempat membuang tissue ke dalam tempat sampah yang ada di dalam kamar mandi.
Fuck.
Kenapa jantungnya mendadak berdebar dengan begitu cepat?
XOXOXO
Pintu kamar mandi kembali berderit. Suara langkah yang berat, namun juga ringan, terdengar di dalam ruangan yang berdindingkan porselin itu. Figur bertubuh tinggi dengan surai coklat bergelombang yang panjangnya sepundak, berdiri tepat di sebelah Grimmjow yang tengah mengancingkan kembali celananya.
"Kau pikir itu dia?" Suara yang berat dengan rasa kantuk terdengar menggema di dalam ruangan yang sepi, bersamaan dengan suara air keran yang mengucur.
Grimmjow menggerung pelan, tidak segera menjawab pertanyaan yang jelas-jelas ditujukan kepada dirinya itu. Ia mengelap tangannya yang basah dengan tissue dan membenarkan posisi rambutnya yang di-gel sambil melihat ke arah cermin yang berada tepat di hadapannya. Siulan keluar dari sela-sela bibirnya tepat dengan figur yang kemudian muncul di sebelahnya, juga mencuci tangan.
"Kelihatannya kau sedang senang."
Seringai lebar yang kemudian tercetak di wajah remaja bersurai biru itu membuat figur bersurai coklat disebelahnya menghela nafas, mendadak merasakan kantuk lagi, makanya ia pun menguap.
"Fuck yeah! Aku sudah bisa merasakan reiatsu makhluk itu walau samar. Tapi, aku masih butuh bukti." Ia merogoh saku celana seragamnya dan mengeluarkan sebuah kotak dari sana. Mengambil sebatang nikotin dan menyalakannya dengan api kecil yang mendadak muncul di ujung telunjuknya, setelah menyematkan batangan nikotin itu di mulutnya. "Want some, Starrk?" Grimmjow menyodorkan sebungkus rokok lainnya ke arah Starrk yang memandangnya dengan pandangan mengantuk.
"Yeah, butuh sesuatu agar tidak tertidur lagi di kelas nanti."
XOXOXO
"Well... Well... Well... Bukankah ini Kurosaki yang belakangan menjadi hot topic di sekolah?"
Ichigo mengerutkan alis dengan berat. Kedua matanya memicing, sementara geraman tidak senang keluar dari sela-sela giginya yang menggeretak, memandang ke arah sekumpulan lelaki yang kini mulai melingkarinya. "Apa yang kau inginkan, Aota?" tanyanya disela-sela geramannya.
Aota, yang merupakan pemimpin dari gerombolan, menengadahkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak, membuat Ichigo mengepalkan tangannya kuat-kuat.
Padahal ia sudah sengaja mengambil rute yang paling dekat menuju rumahnya karena ingin cepat-cepat pulang. Tidak pernah ia sangka kalau di tengah perjalanan, sudah ada orang yang siap menyambutnya begini sementara ia yakin tidak ada seorang pun yang tahu mengenai rute yang terkadang ia ambil ini.
"Well, seperti yang kamu lihat, kami di sini untuk membayar hutang kami, Kurosaki." Aota menyeringai, dan tanpa aba-aba ketujuh orang yang bersamanya itu maju secara bersamaan, siap menyarangkan pukulan pada Ichigo. Satu di antara mereka menarik kerah jas seragam Ichigo sehingga membuatnya kehilangan keseimbangan. Akhirnya melepaskan genggamannya pada tas, Ichigo memutar tubuhnya dan menyarangkan tendangan tepat mengenai dagu lawannya.
Tahu dirinya tidak akan diberikan waktu untuk bernafas, Ichigo segera menghindari pukulan yang terarahkan berikutnya. Tapi, nampaknya penghindarannya itu membuat peluang terbuka bagi lawan lainnya untuk menendangnya tepat di pinggang. Meringis, Ichigo terpaksa mengambil beberapa langkah mundur, sebelum kemudian mengayunkan tinju yang mengenai wajah lawannya. Untuk beberapa waktu pertama, Ichigo masih lebih daripada sanggup untuk mengatasi posisinya. Tetapi, sekuat apa pun ia dalam perkelahian jalanan, tetap saja satu melawan delapan tetaplah bukan angka yang menguntungkannya. Apalagi saat ini dirinya berada di tempat terbuka di mana lawan-lawannya bisa menyerang dari segala arah sekaligus.
Nafasnya semakin terasa berat karena gumpalan darah mulai menyumbat tenggorokannya. Wajah dan tubuhnya mulai berdenyut sakit di berbagai sisi akibat beragam hantaman yang sempat mengenainya. Satu pukulan menyamping yang mengenai rahang kirinya, membuat keseimbangan Ichigo goyah dan ia perlahan tersungkur. Tapi, sebelum tubuhnya menyentuh tanah, Aota melayangkan pemukul kasti yang dibawanya, memukul Ichigo tepat di kepala dengan keras.
Bintik hitam mulai merajai penglihatannya ketika akhirnya Ichigo terjerembab di tanah. Pendengarannya yang berdenging samar-samar mendengar suara tawa Aota berubah menjadi jeritan yang melengking tinggi, dan pandangannya yang semakin menggelap menangkap sepasang sayap hitam serta iris emas yang nampak menyeringai ke arahnya, sebelum kemudian ia kehilangan kesadaran.
"Shirosaki at yer service again, Aibou~"
.
.
TBC
Review? Kalau saya mendapatkan banyak respon positif, pasti akan saya lanjutkan cerita ini. Tapi, kalau ternyata negatif, buat apa dilanjutkan. Ya gak? ;D