Disclaimer: 7 Seeds adalah milik Tamura Yumi dan semua puisi yang saya gunakan di fanfic ini adalah milik Sapardi Djoko Damono. Saya cuma bermain-main sebentar dengan dunia kata milik mereka.


Fanamu Abadi

Bagian Empat : Pulang

dan karena hidup itu indah
aku menangis sepuas-puasnya…

(Dalam Diriku – Sapardi Djoko Damono)

Kanto adalah tanah yang tidak asing baginya.

Ia lahir dan dibesarkan di Kanagawa. Yokohama, Kamakura, Kawasaki, Hakone... album fotonya bersama keluarga dan teman-teman dipenuhi berbagai kenangan dari tempat-tempat itu. Ia juga cukup sering bepergian ke Tokyo, bahkan pernah juga ke Saitama, Gunma, Ibaraki, dan Chiba. Ia masih mengingat dengan jelas, gedung-gedung pencakar langit dan sistem tata kota yang mencirikan peradaban tinggi.

Tapi sekarang, yang tersisa dari Tokyo dan Yokohama hanyalah puncak dari gedung-gedung tertinggi. Tumbuhan liar merambati puing-puing bangunan yang tampak lapuk, kalah di bawah amukan alam. Di balik kehijauan, menanti tatapan awas para hewan pemangsa berbadan besar dan bertaring tajam, dari jenis yang bahkan sebelumnya hanya pernah ia lihat di film fiksi ilmiah.

Saat kembali ke tanah kelahiran, ia tak bisa lagi mengenali tempat yang dulu pernah ia sebut kampung halaman.

Ia bermukim selama lima bulan di Tokyo sebelum melanjutkan perjalanan ke Kanagawa. Pikirnya, diantara puluhan orang yang terpilih dalam Proyek 7Seeds, pastilah ada beberapa orang yang berasal dari kawasan ibukota. Dan, seperti insting dasar yang ada pada manusia dan hewan tingkat tinggi lainnya, mereka pasti akan mengikuti naluri untuk pulang ke tempat yang paling karib bagi mereka.

Dan seandainya mereka tiba di sini nanti, apa mereka juga akan merasakan nostalgia yang getir?

Awal tiba di Kanto, ia sedikit terkejut oleh pemandangan yang menanti di depannya. Hamparan tanah kering kerontang yang luas, nyaris menyerupai padang pasir. Perbedaan mencolok yang ada hanyalah bangkai hewan dengan tumbuhan menyerupai kaktus yang tumbuh dari atasnya. Musim kemarau begitu ganjil dan menyengat, hingga ia berharap hujan segera turun.

Tapi saat hujan turun sebulan berikutnya, yang tercipta justru neraka yang menggeliat keluar dari kehijauan pekat. Siapa yang menyangka akan ada dinosaurus di abad ini? Predator yang besar, tangkas, dan sangat berbahaya.

Sudah nyaris terlambat saat ia menyadari kehadiran mereka. Makhluk-makhluk itu berlari dengan kecepatan tinggi ke arah dirinya dan kawanan serigalanya. Dan bukan hanya ada satu atau dua ekor dinosaurus, melainkan sekawanan.

"Semuanya, lari!"

Gua tempat mereka bermukim untuk sementara tidak jauh letaknya dari sini. Celah untuk jalan keluar masuk gua itu cukup sempit, pasti tidak akan bisa dilewati predator besar itu.

Ia pikir keberuntungan pasti berpihak pada mereka, karena bisa sampai di gua perlindungan tepat pada waktunya.

"Semuanya sudah masuk? Fubuki, Mitsuru, Base, Mound, Mit, Grab, Ball, Ace..."

"Ace?" Dimana si bungsu Ace?

Rasa dingin segera menjalari darahnya saat menyadari skenario terburuk yang mungkin terjadi. Ace tertinggal di belakang, terpisah dari orangtua dan saudara-saudaranya.

Apa mungkin hewan kecil itu bisa selamat dari kawanan dinosaurus tadi?

Saat ini, mungkin monster-monster itu masih menunggu di luar. Makhluk tak lazim yang berhibernasi di musim kemarau dan hidup lagi setelah terkena siraman air hujan. Curah hujan sebesar ini pasti sangat menguntungkan bagi mereka.

"Fubuki, Mitsuru... maaf... Kita tidak bisa mencari Ace sekarang. Maaf... nanti kalau hujan sudah reda..."

Tapi hari itu, hujan terus turun sampai malam. Dan keesokan harinya, betapa pun mencari, mereka tidak bisa menemukan Ace dimanapun.

"Maafkan aku... Fubuki, Mitsuru..."

Ia menekurkan kepala dalam penyesalan. Andai saja ia langsung mencari saat ia menyadari Ace tidak ada di antara mereka kemarin...

Pengecut! Pengecut!

Tapi, andai tidak punya sifat pengecut, apa ia masih bisa bertahan hidup sampai saat ini? Apa mereka semua masih bisa bertahan hidup?

Tokyo meninggalkan pengalaman pahit di sudut ingatannya. Ia harus belajar untuk lebih waspada dan siaga.

Pergerakan mereka ke tempat berikutnya menjadi jauh lebih lamban. Sambil menunggu musim hujan berakhir, mereka hanya bisa bergerak dalam radius sempit.

Perjalanan selanjutnya ke Kanagawa baru dimulai saat musim sudah berganti.

Ia pikir hatinya akan menjadi lebih koyak saat tiba di tempat rumahnya pernah berdiri. Namun, saat berdiri di depan sisa-sisa kawasan yang paling familiar di depan matanya, ia hanya menyunggingkan senyum getir. Lalu mati rasa.

Sudah delapan tahun berlalu sejak ia terakhir kali melihat manusia yang hidup, dan masih juga belum ada tanda-tanda ia akan bertemu spesies yang sama dengannya.

Dari hari ke hari, yang tersaji di hadapannya hanyalah runtuhan dan runtuhan bangunan, sisa peradaban gemilang yang telah remuk oleh bencana alam. Dari Hokkaido, Tohoku, sampai Tokyo, tidak ada bentuk kehidupan yang ia kenal di dunia sebelumnya.

Berkali-kali ia berharap, dan berkali-kali pula harapan itu mengkhianatinya.

Apa akan ada yang berubah bila ia menemukan 7Fuji yang ada di Gunung Kyogatake nanti? Apa ia benar-benar bisa menemukan manusia lain, selain dirinya, di sana?

Bahkan menemukan tempat penyimpanan itu pun bukanlah hal yang mudah. Tertutup oleh semak-semak dan tumbuhan liar, ia sudah berkali-kali melewati area itu sebelum akhirnya menemukan ukiran Buddha di depan dinding batu.

Tak ada manusia ataupun pemukiman penduduk di sekitarnya, tentu saja.

Saat membuka pintu penutup dan melangkahkahkan kaki ke dalam shelter, ia menemukan pemandangan yang lebih mengecewakan. Genangan air menutupi lorong yang seharusnya menuju tempat penyimpanan makanan, benih, tekstil, dan peralatan.

Ia sama sekali tidak bisa berenang, dan lebih mustahil lagi baginya untuk menyelam dalam jarak jauh. Ia tidak bisa menggunakan benda apapun dari tempat penyimpanan ini.

Mungkin, dalam cuaca yang tidak menguntungkan, ia bisa memanfaatkan bagian ruangan yang tidak terendam air untuk tempat berteduh dan berlindung. Dan genangan air tanah itu mungkin bisa dipakai untuk suplai air selama musim kering, tentunya setelah disaring terlebih dahulu.

Bahkan, jika nanti, ada anggota tim lain yang menemukan tempat penyimpanan ini, apa mereka akan mau tinggal dalam waktu yang cukup lama di sekitar sini? Apa nilai dari tempat penyimpanan yang isinya sama sekali tidak bisa diambil, apalagi dipakai?

Tidak... sebelum itu, apa ada anggota tim lain yang hidup cukup lama untuk bisa mencapai tempat ini dan bertemu dengannya? Bagaimana kalau mereka sudah keburu dibunuh oleh tangan-tangan alam, seperti teman-teman setimnya dahulu?

Ia tertawa.

Lihat, betapa Takdir mempunyai selera humor yang tinggi! Sebenarnya, untuk apa selama ini ia berusaha menempuh perjalanan panjang yang membahayakan nyawanya? Untuk apa ia memupuk harapan?

Untuk apa? Untuk apa!

Jangan menyerah, Taka...

Ia merasakan lidah-lidah basah menjilati pipi kiri dan kanannya. Dalam sekejap, kehangatan menyelinap ke dalam hatinya yang mulai patah oleh kebencian dan keputus-asaan.

Benar... Selama ini, ia tidak benar-benar sendirian, kan? Ada Mitsuru, ada Fubuki, ada anak-anak mereka... Mereka yang selalu mendampingi dan menjaganya dengan hangat dan sabar.

Mereka yang mungkin lebih bisa mencerna agungnya makna kehidupan. Sambil menentang dan menerima takdir, berulang dan berulang...

Siklus yang mengikat dan membebaskan.

"Kalian benar. Masih terlalu cepat untuk menyerah. Fubuki... Mitsuru... Maaf, lagi-lagi aku memperlihatkan kelemahanku yang memalukan di depan kalian..."

Besok, ia akan mennyimpulkan rumput dan menyusun bebatuan di sepanjang jalan yang menuju tempat ini. Ia masih membawa buku petunjuk survival yang ia dapatkan dari tempat penyimpanan Meakandake. Ia akan membuat kode yang bisa dimengerti oleh orang umum... Tanda yang dipakai di gunung.

Semoga akan ada seseorang, beberapa orang, yang menyadari tanda yang ia buat. Semoga mereka akan dibimbing ke tempat ini dan dipertemukan dengannya.

Semoga kehidupan tidak mengkhianati mereka semua hingga saat itu tiba.

Hidup... Hiduplah...

A/N: Aah, akhirnya mini seri ini selesai juga *tepar*

Sudah lama saya ingin menulis tentang Aramaki Takahiro, chara yang paling saya kagumi di 7 Seeds. Hidup tanpa manusia lain selama 15 tanpa kehilangan kewarasan dan kemanusiaan bukanlah hal yang bisa dilakukan oleh banyak orang ^_^