Disclaimer: 7 Seeds adalah milik Tamura Yumi, dan saya hanyalah fans yang selalu menunggu dengan tidak sabar volume baru 7 Seeds yang diterbitkan Elex hanya dua kali dalam setahun *meratap* Dan semua puisi yang saya pakai dalam fanfic ini adalah milik pengarangnya masing-masing, bukan milik saya.

Fanfic ini adalah fanfic serial pertama saya, yang saya tulis untuk Infantrum FFC: Sans Romance. Mohon doakan saya agar bisa menyelesaikannya sebelum deadline m(_ _)m


Fanamu Abadi

Bagian Satu: Yang Abadi dan Yang Fana

Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu.
Kita abadi.

(Yang Fana Adalah Waktu – Sapardi Djoko Damono)

Dimana ini?

Ia membuka mata perlahan, berusaha melenyapkan sisa-sisa kantuk yang memberati kelopak matanya. Otaknya mulai bekerja, memutar kembali adegan peristiwa yang ia lalui sebelum ia jatuh tertidur tadi malam. Kemarin...

Kemarin? Apa sudah satu hari berlalu?

Pelan-pelan ia mencermati benda-benda yang ada di sekitarnya. Ia tertidur di atas tumpukan kain yang difungsikan sebagai kasur dan selimut. Sama seperti biasanya. Tapi kali ini, bukan di dalam tenda ataupun gua. Melainkan struktur solid berbentuk bundar, dan pastinya ada atap kokoh di atas kepalanya.

Ah, ya... ia tengah berada di salah satu dari 7 Fuji, tempat penyimpanan berbagai barang yang diperlukan untuk bertahan hidup. Lebih tepatnya lagi, 7 Fuji yang ada di Gunung Meakandake, Hokkaido. Ia berhasil menemukannya secara kebetulan kemarin, setelah kebakaran hutan. Bersama-sama dengan Fubuki, akhirnya ia berhasil menemukan tempat tujuan mereka ini.

Bukan... Fubuki...

Salah! Yang menempuh perjalanan bersamanya hingga ke tempat ini bukan Fubuki, melainkan serigala yang pernah ditolongnya. Fubuki telah tewas saat mereka diserang oleh harimau beberapa hari lalu. Dan Mitsuru juga... sudah menyusul Fubuki segera setelah itu. Hanya ia manusia yang tersisa.

Sendirian.

Sendirian.

Kata yang dulu terdengar begitu biasa bila diucapkan di dunia yang normal – dunia yang belum hancur akibat tumbukan meteor – kini terasa begitu mengerikan. Setelah terbangun dari cold sleep di dunia dengan bentang alam serta jenis hewan dan tumbuhan yang berbeda dari yang pernah diingatnya, manusia lain yang ditemuinya hanya empat orang. Fubuki, Mitsuru, Mutsuki, dan pemandu mereka, Kumakawa. Tapi Kumakawa dan Mutsuki tewas diterkam harimau hanya beberapa hari setelah mereka terbangun di dunia ini. Untuk beberapa bulan, ia menjalani hidup bertiga dengan Fubuki dan Mitsuru. Itu sebelum Fubuki tewas diserang harimau yang sama, lalu Mitsuru mati beku setelah memberikan seluruh pakaian padanya yang terbaring luka. Sampai akhir, ia tidak melakukan apapun untuk sahabatnya. Ia menjadi orang yang terus-menerus dilindungi. Tidak berguna!

Setelah tinggal sendiri pun, ia masih terus dilindungi, kali ini oleh serigala yang pernah ia tolong dan menolongnya dari serangan harimau. Saat itu, ia menyangka bahwa yang mendampinginya dalam perjalanan terakhir adalah Fubuki. Ia tidak ingin menerima kenyataan bahwa Fubuki telah meninggal. Ia tidak ingin menerima kenyataan bahwa ialah satu-satunya manusia yang tertinggal di dunia ini.

Sendiri itu terlalu menakutkan...

Apa yang harus ia lakukan sekarang? Bahkan setelah menemukan 7 Fuji, apa artinya kalau ia tak bisa berbagi kebahagiaan ini dengan manusia lain?

"Guk!" Sesosok makhluk mungil berbulu tiba-tiba saja melompat dan menjilati pipinya. Ia tertawa kegelian.

"Guk! Guk!" Gumpalan bulu lain ikut-ikutan menyerangnya.

"He... hei, kalian! Geli! Hentikan!" Ia susah-payah berusaha mengucapkan kata-kata itu di sela-sela tawanya. Kedua makhluk kecil itu sama sekali tidak mendengarkan protesnya. Untuk beberapa saat ia harus bersabar membiarkan wajahnya dijilati dan menahan rasa geli.

"Kalian... sehat dan ceria, ya. Meskipun induk kalian sudah..."

"Guk?"

Apa hewan-hewan kecil ini mengerti kalau induk mereka sudah tiada? Apa mereka mengerti kalau mereka ditinggalkan begitu saja di dunia yang tidak aman ini?

"Kalian mau makan?" Makanan apa yang sebaiknya ia berikan pada mereka? Karena mereka adalah anak serigala, tentunya mereka juga pemakan daging, bukan?

Ia berjalan mendekati salah satu sisi ruangan dimana ia meletakkan ranselnya. Seingatnya masih ada beberapa kerat daging kering dalam persediaan bekalnya. Sepertinya masih cukup untuk kedua hewan itu, dan juga untuk dirinya sendiri. Setidaknya untuk dua atau tiga hari ini...

Bersama daging kering, ia juga mengeluarkan wadah makan. Ia meletakkan satu piring logam di lantai dan mengisinya dengan dua potong besar daging kering.

"Hanya ada ini... Kalian tidak keberatan, kan?"

"Guk!" Kedua anak serigala itu segera menyerbu makanan yang ia sajikan.

"Hei, pelan-pelan saja makannya!" Ia tersenyum melihat betapa lahapnya mereka makan. Perutnya juga mulai terasa keroncongan. Ia mencomot sepotong daging kering dan mulai mengunyahnya.

"Enak..."

Gelombang emosi kembali menyerangnya. Ia bisa merasakan lapar. Ia bisa merasakan makanan yang tengah ia makan. Ia masih hidup. Ia masih akan terus hidup... Sendirian.

Haruskah ia bersyukur atau justru mengutuk Takdir?

"Guk! Guk!" Kedua hewan kecil itu rupanya sudah selesai makan, dan segera melompat ke badannya.

"Hei, hentikan!" Lagi-lagi mereka menjilati wajahnya.

Apa terlalu banyak tertawa bisa membuat orang mual, ya? Bagaimana kalau ia sampai memuntahkan makanan yang barusan dimakannya?

Kenapa ia harus memikirkan hal-hal tidak penting seperti itu?

Apa yang harus ia lakukan sekarang? Prioritas... pikirkan skala prioritasnya dengan benar!

Ah, kemarin ia hanya sempat melihat sekilas barang-barang yang ada di tempat penyimpanan ini. Karena ada begitu banyak laci yang dibangun melingkar, tersusun rapi mulai dari lantai dan berlanjut ke atas sampai langit-langit ruangan. Semuanya terbuat dari logam dan sama-sekali belum berkarat. Sekarang ia harus memeriksa satu persatu isi dari laci-laci penyimpanan itu.

"Beras..." Ia memeriksa dengan teliti isi laci pertama yang dibukanya. Apa beras ini masih bisa ditanak? Sepertinya masih, karena bulirnya masih utuh dan keras, juga belum ada debu-debu tepung. Sepertinya ia bisa makan nasi putih nanti, makanan yang sudah begitu lama tidak ia nikmati. Ia tidak begitu tahu cara menanak nasi, tapi bisalah dikira-kira saja.

"Jagung..." Laci kedua yang ia buka juga berisi biji-bijian yang lazim dimakan. Selain itu, biji jagung ini juga bisa ditanam, kan? Apa mereka juga menyimpan padi?

Setelah membongkar beberapa laci lagi, ia menemukan padi. Bukan hanya itu, ada juga kentang, makanan kaleng, garam, rempah-rempah, bahkan obat-obatan. Ia tidak tahu pasti sudah berapa lama waktu berlalu sejak peristiwa bencana itu terjadi, jadi ia tidak tahu pasti apa beberapa produk sudah melewati tanggal kadaluwarsanya. Mungkin sebaiknya ia tidak memakan makanan kaleng itu...

Semakin banyak laci yang ia periksa, semakin beragam pula jenis barang yang ia temukan. Selain berbagai jenis makanan, ada juga peralatan memasak, peralatan bertukang, peralatan bercocok tanam, bahkan berbagai kain lengkap dengan peralatan menjahitnya.

Apa mereka berpikir pelajar SMA biasa bisa menggunakan semua peralatan ini? Apa mereka menyuruhnya membangun kembali kebudayaan dan peradaban manusia? Apa mereka pernah memperkirakan bahwa akhirnya hanya akan tersisa satu orang saja? Tidak akan ada generasi berikutnya...

Proyek 7 Seeds ini adalah proyek gagal.

Untuk apa ia ditinggalkan sendirian di tengah tumpukan harta karun ini? Limpahan barang yang sebagian besar justru tidak ia ketahui cara penggunaannya.

"Guk! Guk!" Kedua serigala kecil yang dari tadi mengikutinya mengitari kelompok laci, kini berhenti di salah satu bagian ruangan. Dengan tenang mereka duduk di depan dinding, seolah menunggunya berjalan ke sana.

"Kalian ingin aku melakukan apa?"

Ia mengamati dinding itu dengan cermat. Ada beberapa bagian yang tidak rata, atau seperti tidak menyambung dengan utuh. Mirip seperti pintu... tapi kenapa tidak ada pegangannya?

Ia memutuskan untuk mendorong bagian dinding itu. Terdengar suara derit pelan, dan...

"Apa ini? Ternyata ada ruangan lain?" Ia memandang tempat yang baru ia temukan ini dengan takjub. Berbeda dengan kumpulan laci di luar sana, tempat ini berisi penuh dengan deretan rak buku. Buku-buku yang berjejer di sana dibungkus rapi dengan plastik. Ia mulai memeriksa beberapa judul buku.

"Cara membuat rumah... cara membuat saluran air... cara menanam jagung... cara membangun jembatan... cara membuat rakit..." Berapapun buku yang ia lihat, semuanya sama saja: petunjuk manual cara untuk membuat atau melakukan sesuatu.

Rupanya perancang proyek ini benar-benar serius ingin mendirikan kembali peradaban manusia mulai dari nol. Tapi bagaimana ia harus melakukannya sendirian?

Fubuki... Mitsuru...

Kalau begitu, Taka hanya perlu menemukan manusia lain, kan?

Apa masih ada manusia lain selain dirinya yang tersisa di dunia kacau ini? Kalaupun ada, apa ia bisa menemukan mereka?

Berjuanglah, Taka!

Benar, ia harus berjuang! Ia harus menemukan manusia lain yang masih hidup. Kali ini, ia ingin berguna bagi seseorang... ia ingin menolong dan melindungi manusia lain. Mungkin ia harus menempuh perjalanan jauh, dan entah untuk berapa lama... Segera setelah cuacanya menjadi lebih hangat, ia akan memulai perjalanan mencari manusia lain itu.

Ah... bukankah Fubuki pernah mengatakan kalimat itu?

Kapanpun, dan dimanapun kau berjuang... di sanalah Koshien.