"Coba buktikan kalau kau memang lebih hebat dariku, Anak Manja!"

"Huh! Lihat saja. Aku pasti akan dapat beasiswa sepertimu, nee-chan!"

"Dapat beasiswa sepertiku tidak membuatmu lebih hebat dariku, Konohamaru."

"Tunggu dulu, nee-chan. Beasiswaku nanti akan lebih keren daripada beasiswamu."

"..."

"Beasiswaku nanti tidak akan di Jepang, nee-chan. Aku akan dapat beasiswa ke Amerika!"

"..."

"Bagaimana, nee-chan? Keren, kan?"

"Hahaha ... kita lihat saja nanti, Anak Manja..."

.

.

.

WAY TO HEAVEN

by : Ran Kajiura

Disclaimer : Naruto belongs to Masashi Kishimoto, while this story and its eccentricity is mine...

Warning : AU, NaruSaku, typo—entah dimana, better not expect too much...


.

.

.

"Jadi, ini rumahnya?"

Malaikat cantik berambut pendek itu berdiri menatap bangunan di hadapannya. Bola mata emasnya berulang kali membaca huruf-huruf yang merangkai kata Uzumaki di gerbang. Setelah puas memastikan bahwa ia tidak salah alamat, kepalanya mendongak. Menatap jendela di lantai 2 rumah itu. Jendela—yang menurut penjelasan Hinata—milik kamar pemuda bernama Uzumaki Naruto.

Saat matanya menangkap sosok yang tengah duduk di jendela, refleks malaikat itu memutar badannya. Sembari bersembunyi di balik tembok pagar rumah itu, matanya mencuri-curi pandang ke jendela kamar yang baru saja ia tatap.

Otaknya berpikir cepat. Kalau penjelasan Hinata benar—bahwa itu adalah kamar Uzumaki Naruto—maka kemungkinan besar sosok itu adalah si Naruto. Dan kalau sosok itu benar Naruto, artinya dia bisa melihat Sakura.

"Ah, kalau begitu aku tidak bisa langsung muncul begitu saja di hadapannya. Bisa-bisa dia langsung terkena serangan jantung dan meninggal seketika," gumamnya.

Awalnya, malaikat itu berniat membuat kemunculannya di hadapan Naruto terlihat keren, seperti yang pernah ia tonton di film manusia yang ia pinjam dari Hinata. Tapi nampaknya ia harus mengganti rencana tersebut. Pasalnya, ia tidak tahu apakah si Naruto ini punya penyakit jantung atau tidak. Kalau punya, maka melihat Sakura yang tiba-tiba melayang melewati jendelanya kemudian menyampaikan salam perkenalan bisa langsung mengantarnya menuju pintu kematian.

Tunggu. Bukankah itu bagus?

Bukankah itu artinya si Naruto ini akan meninggal lebih cepat sehingga Sakura juga bisa kembali ke Dunia Atas lebih cepat?

Sambil tersenyum jahil, Sakura kembali melayang perlahan menuju pagar rumah sampai kemudian ia tiba-tiba berhenti. Sebuah fakta tiba-tiba menghancurkan imajinasi liarnya untuk membunuh pemuda yang masih duduk di kusen jendela itu.

Fakta bahwa, jika pemuda itu mati sekarang, kemungkinan ia akan berakhir di Dunia Bawah akan lebih besar daripada Dunia Atas.

Dan itu artinya, kemungkinan Sakura juga akan ikut terseret ke Dunia Bawah lebih besar lantaran ia gagal membawa pemuda tersebut ke Dunia Atas.

Perlahan, ia melayang kembali ke belakang. Kembali bersembunyi di balik tembok pagar, tapi mata masih sibuk mencuri pandang ke arah jendela.

"Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa aku langsung masuk ke dalam rumah saja, ya?" gumam Sakura. Matanya masih terus mengikuti gerak-gerik sosok yang berada di kusen. Setelah sibuk bergumul dengan pikirannya sendiri, malaikat itu akhirnya memutuskan untuk segera melesat memasuki rumah itu.

"Safe!" ujarnya lega setelah berhasil menembus melewati pintu depan.

Tapi belum selesai malaikat itu mengagumi usahanya menembus pintu depan tanpa ketahuan sang sosok yang nongkrong di jendela, ia kembali dikejutkan oleh pemandangan lain.

"Astaga, ada apa ini?"

Matanya mengamati jejak-jejak air yang menggenang di sana-sini. Dan setelah ditelusuri, jejak-jejak itu mengarah ke arah tangga. Dengan anggun, Sakura melayang mengikuti jejak-jejak air itu, menuju ke lantai 2.

Malaikat itu kemudian berhenti di depan pintu yang berada di sebelah kiri tangga. Pintu yang menurut perhitungannya merupakan pintu kamar si Uzumaki Naruto. Jejak-jejak air yang sejak tadi diikutinya nampaknya menghilang di balik pintu kamar itu. Jelas sekali bahwa jejak-jejak itu milik si pemilik kamar.

Dan lagi-lagi, malaikat berambut pendek itu kembali bergumul. Antara langsung masuk atau mengetuk pintu terlebih dahulu.

Tangan kanannya sudah menembus pintu berwarna coklat tua itu sampai kemudian ia kembali menariknya.

"Tidak. Aku tidak boleh masuk begitu saja. Itu akan sama seperti aku masuk melalui jendelanya. Yah, akan sama mengagetkannya, kan?" Sakura bergumam. Dia terus berdebat dengan dirinya sendiri sampai telinganya menangkap sesuatu yang ganjil.

Suara denting piano.

Seingatnya, Hinata sama sekali tidak menulis ada piano di dalam rumah ini dalam rincian tentang kehidupan Uzumaki Naruto. Satu-satunya alat musik yang ada di rumah ini hanyalah sebuah gitar. Dan Hinata sendiri ragu gitar tersebut milik Naruto karena ia sendiri tidak pernah melihat pemuda tersebut memainkan alat musik yang satu itu.

Jadi, kenapa ada suara denting piano?

Sakura semakin merapatkan telinganya ke daun pintu. Mencoba mencuri dengar suara-suara yang bermain di kamar tersebut. Semakin lama ia mencuri dengar, semakin bertambah pula kerutan di dahi lebarnya. Ia semakin tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di dalam kamar itu.

Suara nyanyian seorang wanita yang diiringi oleh piano.

Dan ditambah dengan suara isak tangis.

Selagi ia mencuri dengar, matanya mendapati satu kenyataan menarik saat menunduk menatap lantai.

Ia tidak mendapati adanya cahaya yang merembes ke luar melalui celah pintu. Itu artinya, kamar yang saat ini sedang ia curi dengar ternyata berada dalam kondisi gelap.

Dan artinya, tidak mungkin ada seseorang yang sedang bermain piano dalam kondisi kamar yang gelap, kan? Tidak dengan nada-nada yang terdengar begitu pas di telinga seperti yang saat ini ia curi dengar.

"Sedang mendengar kaset kah?" Sakura mencoba berhipotesis sendiri. Ia benar-benar mencoret adanya kemungkinan seseorang sedang bermain piano di kamar tersebut. Sedetik kemudian, ia terkesiap karena hipotesisnya membawa Sakura pada satu kesimpulan menyedihkan, paling tidak menurutnya.

"Bocah ini ... menangis karena mendengarkan kaset? Oh, yang benar saja..."

Telinganya yang tadi sempat menjauh karena asik berspekulasi, kini kembali ia tempelkan ke pintu. Samar-samar, suara isakan itu masih terdengar. Dan wanita yang sejak tadi menyanyi, ternyata masih menyanyi.

"Don't leave me lonely

Please ... don't go anywhere

I want you to love me more than anyone..."

Karena semua ini terasa konyol—mendengarkan kaset sambil menangis—akhirnya Sakura memutuskan untuk segera masuk. Dan tanpa pikir panjang lagi, ia langsung menembus pintu kamar tersebut. Dan seperti dugaannya, kamar yang ia masuki benar-benar gelap.

Satu-satunya sumber cahaya di kamar itu saat ini, hanyalah tulisan 'Play' berkedap-kedip di display digital radio yang membuktikan kebenaran hipotesis Sakura. Bahwa radio tersebut tengah memutar sebuah kaset rekaman dan suara wanita beserta denting piano yang sejak tadi ia dengar berasal dari benda itu.

Sakura memandang tajam sosok yang sedang duduk di kusen jendela. Dibantu dengan sedikit cahaya bulan, malaikat itu memastikan bahwa sosok itu adalah Uzumaki Naruto. Dan meskipun Sakura hanya bisa menangkap gambaran setengah badan, ia cukup yakin kalau sosok itu benar-benar pemuda yang menjadi tanggung jawabnya.

Dan ia hanya bisa menggeleng jengkel melihat apa yang dilakukan pemuda tersebut. Duduk di kusen jendela, bahu bergetar, dan air mata yang mengalir...

Bagi Sakura, pose itu adalah pose yang mengecewakan.

Jadi, pemuda seperti ini yang bisa membuat Hinata jatuh cinta, batin Sakura.

Sakura mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Bola mata emasnya mencoba mencari sakelar lampu di tengah kegelapan. Untungnya, letak benda putih itu tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang sehingga malaikat itu tidak perlu berpindah posisi dari depan pintu.

TREK

Dan lampu pun menyala. Sakura tak melepas pandangannya dari sosok di kusen jendela. Matanya masih menatap sinis sosok yang, belum apa-apa sudah menghilangkan simpatinya. Karena di matanya saat ini, semua pujian Hinata atas Uzumaki Naruto sama sekali tidak berarti apa-apa.

Uzumaki Naruto hanyalah seorang pemuda yang mentalnya lemah, pikirnya.

"Menyedihkan. Hanya mendengar lagu seperti ini saja kau bisa menangis?" ujar Sakura sinis.

Sedetik setelah Sakura mengeluarkan kalimat barusan, sosok itu membeku. Tangannya yang tadinya sibuk menutupi matanya terjatuh lemas. Matanya yang mengejap lantaran sibuk beradaptasi dengan ruangan yang tiba-tiba terang akibat ulah Sakura, berhenti mengejap.

Shimatta! Aku lupa! Jangan-jangan dia benar-benar punya penyakit jantung, batin Sakura panik melihat pemuda itu diam membeku di tempatnya. Malaikat bertubuh pucat itu enggan bergerak dari tempatnya, menanti adegan jatuh Naruto lantaran terkena serangan jantung.

Kini keduanya malah saling tatap. Emas dan biru, dua-duanya sama-sama membeku. Si biru nampaknya sudah bisa beradaptasi dengan kondisi sekitarnya dan terpaku menatap Sakura. Sakura sendiri yang merasa ditatap, malah menunduk. Lalu ia menyadari sesuatu yang salah.

Sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan, malah ia lakukan...

Mata emas sang malaikat memandang nanar bagian bawah tubuhnya. Memandangi kakinya sendiri yang tidak menapak lantai kamar, lalu kemudian beralih memandangi sosok yang terus menerus memandangnya. Ia benar-benar lupa rencananya semula, untuk masuk dan memperkenalkan diri layaknya manusia normal. Dan kini ia menghancurkan semua rencananya sendiri. Mulai dari masuk tanpa membuka pintu, tidak mengucapkan salam sama sekali, sampai berdiri tanpa menapaki lantai.

Sakura terus menanti adegan ambruknya si pemuda pirang sampai kemudian ia dikejutkan oleh gerakan tiba-tiba pemuda itu. Alih-alih ambruk, pemuda itu malah berlari ke arahnya. Tubuh tegapnya itu berlari sampai kemudian menabrak tubuh Sakura. Dan kalau tidak direngkuh oleh kedua lengan pemuda itu, mungkin Sakura sudah mendarat di lantai dengan sukses.

Sakura hanya bisa diam karena jujur saja, dia kaget. Ditambah lagi, pemuda itu membenamkan wajanya di lekuk leher Sakura, membuat malaikat itu bisa merasakan hembusan napas hangat dari hidungnya dan air mata yang menempel di pipinya.

Bukankah seharusnya pemuda yang saat ini tengah memeluknya ini ketakutan melihat sosok yang melayang? Bukankah seharusnya ia berteriak dan lari ketakutan—atau setidaknya melakukan tindakan ofensif? Melempari Sakura, mungkin...

Tapi kenapa ia malah memeluk Sakura?

Sedetik kemudian, pemuda itu terhuyung ke depan. Tangannya yang tadinya merengkuh Sakura, kini terlihat kosong. Sakura sendiri jadi berada beberapa langkah di belakang punggung pemuda itu. Rupanya malaikat itu berhasil membuat dirinya terlepas dari rengkuhan Naruto—tentunya dengan cara yang sungguh, sangat tidak manusiawi.

Sangat tidak manusiawi, lantaran malaikat berpostur kecil itu membuat tubuhnya tak padat sehingga ia bisa melayang menembus tubuh tegap Naruto. Bukan cara yang manusiawi, kan?

"Mesum! Seenaknya memeluk seorang wanita yang baru pertama kali ini kau temui! Apakah kau tidak tahu sopan santun?" bentak Sakura.

Rasa takut akan kematian yang bisa saja tiba-tiba merenggut pemuda itu kini tergantikan oleh rasa kesal bukan main. Sakura nampaknya benar-benar terganggu akan pelukan tiba-tiba yang didapatnya dari Naruto.

Sementara Naruto, ia hanya terkejut dengan tindakan makhluk yang baru saja dipeluknya. Badannya lalu barbalik dan memandang nanar Sakura, menatap malaikat itu lekat-lekat.

"Jangan melihatku seperti itu! Kau ini menyebal—eeh ... jauhkan tanganmu! Maumu apa sih?" bentak Sakura lagi dengan ketus. Omelannya terpaksa terpotong karena pemuda di depannya ini malah menjulurkan tangannya ke arah wajahnya. Dengan cepat dijauhkannya wajahnya dari jangkauan tangan Naruto dan ditepisnya tangan itu.

"Ada apa dengan matamu, Sakura-chan?" tanya Naruto dengan raut muka sedih.

Sakura bingung. "Memangnya kenapa dengan mataku? Dan ... darimana kau tahu namaku?"

"Eh, tentu saja aku tahu namamu, Sakura-chan. Kau ini kena—"

"Berhenti memanggilku dengan embel-embel chan, Mesum! Kita bahkan tidak saling kenal!" bentakan Sakura sukses memotong kalimat Naruto. Pemuda itu membelalakkan matanya, terkejut.

Sakura sendiri tersentak mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari bibirnya. Sebenarnya ia tidak bermaksud sekasar itu. Tapi ia tidak cukup berani meminta maaf. Salahnya sendiri seenaknya memelukku, pikirnya.

"Kau tidak mengenalku?" tanya Naruto. Ada nada kecewa tersembunyi di pertanyaannya barusan.

"Tidak. Dan aku cukup yakin ini pertama kalinya kita bertemu. Aku belum pernah mengurus masalah manusia sebelumnya," jawab Sakura hati-hati. Ia tidak mau menyinggung Naruto lebih lanjut. "Kau punya kemampuan cenayang, ya?"

Naruto menggeleng. "Tidak. Kenapa memangnya?"

"Lalu kenapa bisa tahu namaku? Aku bahkan belum memperkenalkan diri," balas Sakura. Ditatapnya perubahan air muka Naruto. Air muka yang tadinya sedih, kini terlihat sangat kecewa.

Ah, aku pasti terlalu kasar tadi, batinnya.

"Kau ... mirip seseorang yang kukenal," jawab Naruto singkat. Matanya ia alihkan dari Sakura. Tindakannya ini otomatis membuat Sakura semakin tidak enak hati. Malaikat itu segera berpikir bagaimana memperbaiki suasana yang telah ia rusak dengan sukses.

"Seberapa mirip aku dengan orang yang kau kenal itu?" tanya Sakura takut-takut. Takut kalau lagi-lagi ia merusak segalanya.

Dipandanginya Naruto yang masih mengalihkan tatapan darinya. Pemuda itu terus menatap dinding kamarnya, seakan-akan dinding itu lebih menarik daripada pertanyaan Sakura. Baru saja Sakura mau mengulang kembali pertanyaannya, matanya menangkap gerakan dari bibir Naruto.

"Tidak terlalu mirip kok. Mungkin aku salah lihat," jawab pemuda itu singkat.

Sakura merasa ada yang aneh dengan jawaban Naruto barusan. Tapi ia memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh. Toh itu bukan urusannya, kan?

Ditariknya satu napas panjang sebelum menyemburkan kalimat perkenalannya. "Aku Sakura, malaikat penghuni Dunia Atas. Selama beberapa bulan ke depan, aku akan banyak merepotkanmu dan kau akan menjadi tanggung jawabku. Jadi, mohon kerjasamanya."

Naruto membalas tangan Sakura yang sedang terulur. Dengan dahi berkerut, ia menanyakan maksud kalimat Sakura barusan.

"Aku ditugaskan untuk memastikan jiwamu meninggalkan dunia dengan tenang, Uzumaki Naruto. Karena itu, sampai saatmu tiba, aku akan tinggal di bumi. Bersamamu. Jadi, maaf kalau nantinya aku akan merepotkan," Sakura menjelaskan.

"Maksudmu, kau ini malaikat pencabut nyawaku?"

"Bukan. Bukan seperti itu." Sakura panik. "Aku tidak akan mencabut nyawamu. Aku hanya bertugas memastikan arwahmu pergi ke Dunia Atas setelah kau meninggal."

"Caranya?"

"Caranya..." Sakura berpikir sesaat. Sulit merancang kalimat penjelasan mengenai hal ini. Otaknya berpikir keras, menyusun kata-kata agar tidak terjadi salah paham. "... dengan memastikan kalau segala urusanmu di bumi selesai sebelum kau meninggal."

Naruto terdiam. Nampaknya ia berpikir keras, mencerna kata-kata Sakura barusan. Sambil berpikir, ia berjalan ke arah meja belajarnya. Lalu duduk di sana.

"Maksudmu, aku harus mati dengan bahagia?"

Sakura mengerutkan kening. Agak bingung dengan cara Naruto menyimpulkan kalimat penjelasannya. "Ya-yah ... anggap saja begitu, tidak masalah."

"Jadi, kapan aku mati?"

Sakura terkejut. Pertanyaan pemuda ini benar-benar mengejutkannya.

"Aku tidak tahu pasti mengenai hal itu, Uzumaki Naruto. Aku sendiri tidak diberi tahu mengenai tanggal pastinya. Yang pasti..."

Naruto memandangi Sakura, menanti malaikat berambut pink itu melanjutkan kalimatnya. "Yang pasti?"

Sakura ragu. Tadinya ia ingin bilang kalau yang pasti, Naruto akan meninggal dalam hitungan bulan. Seperti yang dikatakan oleh Tsunade. Tapi entah kenapa, malaikat itu mengurungkan niatnya untuk memberitahu hal itu pada Naruto.

"Yang pasti, aku akan menemanimu sampai saat itu tiba," jawab Sakura mantap. Matanya memandang Naruto was-was, takut pemuda tersebut menyadari keanehan dalam nada suaranya. "Kau tidak usah khawatir," tambahnya.

Tangannya menggapai rambut pirang Naruto yang bentuknya tidak keruan, lalu mengusapnya perlahan. Sedikit banyak, ia merasa tidak enak pada pemuda itu. Memasuki kamarnya tanpa ijin, lalu tiba-tiba membentaknya. Belum lagi Naruto yang awalnya menganggap ia malaikat pencabut nyawa. Jadi, anggap saja usapan ini sebagai tanda permohonan maafnya pada pemuda itu.

Hening menyelimuti kamar itu sampai akhirnya keduanya terlonjak akibat suara seruan dari lantai bawah.

"Tadaimaaaa! Bocah, kau ada dimana, hah!" seru seseorang. Keduanya sempat saling tatap sebelum kemudian Naruto bangkit dan berlari keluar kamarnya.

"Aaah! Ero Sennin! Hahaha..." sahut Naruto. Derap langkahnya menuruni tangga terdengar kemudian.

Sakura yang keheranan karena ditinggal begitu saja oleh Naruto, melayang pelan menyusul pemuda itu. Dari ujung atas tangga, dilihatnya pemuda itu sedang memeluk seorang pria berambut putih. Sepertinya pria ini adalah orang yang sama yang ada di foto yang terpajang di meja belajar Naruto—yang tadi sekilas dipandanginya selagi mengusap rambut Naruto.

"Kau tambah kurus, Naruto. Memangnya uang saku yang kukirim kurang, ya?" tanya pria itu. Tangannya meremas-remas lengan Naruto.

"Oh ya?" Naruto melihat badannya sendiri. "Ah, sudah kubilang kan, tidak usah mengirimiku uang lagi, Ero Sennin. Aku bukan anak kecil lagi," Naruto merajuk sambil mengerucutkan bibirnya.

Sakura tersenyum simpul melihat ekspresi Naruto saat ini. Kalau semenit yang lalu saat bersamanya wajah pemuda itu terlihat begitu sedih, sekarang? Wajahnya seakan-akan ia tidak pernah bertemu Sakura semenit yang lalu. Begitu manja. Begitu bahagia.

"Berhenti menceramahiku soal perlu tidaknya aku mengirimimu uang, Gaki. Aku sudah berjanji pada Minato—"

"Untuk menjagaku, aku tahu," potong Naruto. Pria yang dipanggil Ero Sennin itu hanya tersenyum. "Tapi uang dari part-timeku sendiri sudah cukup, Ero Sennin. Aku bahkan masih bisa mengirimkan uang pada Konohamaru."

Sementara si tamu duduk bersantai di sofa keluarga, Naruto berjalan ke dapur dan mengambil segelas teh untuk disuguhkan pada pria itu. Kemudian ia ikut duduk di sofa keluarga.

"Konohamaru? Miniatur dirimu itu? Bagaimana kabarnya?"

"Sepertinya baik-baik saja, dattebayo. Aku sendiri sudah lama tak melihatnya. Sejak musim semi tahun lalu..."

"Oh ya?" Ero Sennin menyeruput tehnya. "Memangnya dia pindah?"

Naruto mengangguk. "Amerika. Anak itu dapat beasiswa kuliah di Frisco. Obsesi lamanya..."

"Frisco, eh?" Ero Sennin menaikkan alisnya. "Major apa?"

"Teknik, kalau tidak salah."

"Teknik ya..." pria itu menerawang sejenak. "Universitas?"

"UC Berkeley," jawab Naruto singkat. Ada nada bangga terselip disana.

"Berkeley? Wah, tak kusangka. Kupikir dia sama bodohnya denganmu," kelakar Ero Sennin.

"Hei, aku kan juga dapat beasiswa!" Naruto tidak terima mendengar penghinaan si tamu. "Tanpa bantuanku, anak itu juga tidak akan mendapatkan beasiswanya!"

"Oh ya?" goda Ero Sennin. Matanya mengerling jahil ke arah pemuda yang tengah mengerucutkan bibirnya karena dihina. "Bukannya kakaknya yang membantunya belajar, hm?"

Sakura menyadari ekspresi aneh yang sempat bermain sebentar di wajah Naruto sampai kemudian ekspresi tersebut berganti dengan ekspresi kesal yang dibuat-buat. Ekspresi aneh barusan—campuran antara ekspresi sedih dan menahan perih—terekam kuat dalam ingatan Sakura. Rasanya seperti melihat ekspresi Naruto saat ia bentak beberapa saat yang lalu.

Perlahan, malaikat itu melayang menuju tempat Naruto dan sang tamu berbincang-bincang. Berniat mengikuti percakapan keduanya.

"Tapi kalau bukan karena aku kan..." Naruto berhenti mengoceh. Matanya kini memandang nanar sosok yang tengah melayang menuruni tangga kayu rumahnya. Sang tamu yang menyadari keanehan ini, segera mengikuti arah pandang pemuda itu.

"Kenapa Naruto? Seperti lihat hantu saja..."

"E-eh..." Naruto bingung. "Kau tidak lihat apa-apa, Ero Sennin?"

Sakura yang kini sudah tiba di sebelah Naruto, menghempaskan tubuhnya dan duduk di sebelah Naruto. Diukirnya seutas senyum jahil saat melihat mata Naruto terpaku padanya, panik.

Dan selagi Naruto memelototi Sakura, Ero Sennin masih sibuk menengok ke belakang, masih mengecek apa yang baru saja dilihat Naruto. "Ada apa sih?"

"Tenang saja, dia tidak bisa melihatku," bisik Sakura.

"A-aah ... tidak apa-apa. Ta-tadi ada, umm ... ada ..." Naruto gugup. Matanya berputar liar, mencari ide untuk melanjutkan kalimatnya. "... ada CICAK! Ya, ada cicak..."

Sakura terkikik melihat usaha keras Naruto untuk menyembunyikan keberadaannya—yang sebenarnya tidak perlu. Kikikan—yang tentunya hanya bisa didengar Naruto—itu dibalas delikan tajam si rambut jabrik.

"Cicak?" Ero Sennin mengerutkan dahinya. "Sejak kapan kau takut cicak, hah?"

"Bukannya takut, dattebayo! Cicak tadi besar sekali. Aku kira tadi komodo malah..." dalih Naruto. Nada manja kembali terdengar, membuat senyum Sakura kembali terkembang melihat kelakuan kekanakan pemuda itu.

"Komodo? Yang benar saja..." pria tua itu lalu bangkit dan berjalan menuju dapur, menuang segelas air. "Tidurlah. Mungkin kau kelelahan. Sampai tidak bisa membedakan mana cicak dan komodo..."

Dengan sedikit menggerutu, Naruto berjalan menuju kamarnya. Sakura melayang mengikutinya dari belakang.

"Apa malaikat juga perlu tidur?" tanya Naruto sesampainya di kamar.

"Tentu saja. Tapi aku fleksibel, kok. Tenang saja. Tidur di sofa ruang keluarga tidak masalah bagiku," jawab Sakura enteng.

"Eh, jangan!" cegah Naruto sebelum gadis itu sukses menembus pintu kamarnya. "Ero Sennin akan tidur di sana. Kau ... tidur di sini saja," tawar Naruto.

"Kalau aku tidur di sini, kau bagaimana?"

Sambil diam, Naruto lalu menarik futon yang terlipat rapi dari dasar lemari pakaiannya. "Aku tidur di sini," jawabnya sambil tersenyum. Setelah melihat pemuda itu memosisikan dirinya dengan nyaman di atas futon, Sakura akhirnya berbaring di tempat tidur Naruto. Padahal tadinya ia ingin bertukar tempat dengan pemuda itu.

"Uzumaki Naruto—"

"Naruto saja, Sakura," potong Naruto cepat.

"Baiklah Naruto..." Sakura menghela napas. "Sebenarnya pria tadi siapa, sih?" tanya Sakura dengan nada menyelidik. Nada formal yang tadinya ia gunakan menguap sudah, tergantikan dengan nada ingin tahu yang tidak sabaran.

Lihat saja posisinya sekarang. Tubuh mungil berbalut gaun tidur putihnya ia miringkan ke samping, menghadap Naruto yang berbaring di futon. Tangan kirinya menyangga kepalanya, bersiap mendengar penjelasan panjang Naruto atas pertanyaan yang baru saja diajukannya.

Dan Naruto sendiri? Badannya yang tadinya membelakangi tempat tidurnya—membelakangi Sakura, kini berubah telentang. Satu helaan napas keluar dari hidungnya sebelum pemuda itu mulai menjawab.

"Ero Sennin itu ayah asuhku. Yah, sebenarnya kalau ditilik umurnya, dia lebih pantas disebut kakekku, sih..." Naruto terkekeh. "Semenjak kaa-chan dan tou-chan pergi, dia yang merawatku. Aku tinggal bersamanya sampai umur 13. Setelah itu, dia pergi berkeliling mencari inspirasi untuk novelnya yang tidak laku itu."

"Namanya memang Ero Sennin—Pertapa Genit?" Sakura bertanya lagi.

Naruto terkekeh lagi sebelum menjawab pertanyaan Sakura. "Bukan. Nama aslinya Jiraiya. Hanya aku yang memanggilnya dengan sebutan Ero Sennin, 'ttebayo! Sakura tahu kenapa?"

Sakura menggeleng.

"Karena ... semua novelnya yang sudah diterbitkan adalah novel roman khusus dewasa, Sakura-ch—Sakura." Hampir saja Naruto menyebut Sakura dengan embel-embel chan lagi. Namun dengan cepat dikoreksinya. Sakura yang menyadari hal itu, hanya berjengit.

"Dan lagi, mencari inspirasi hanya dalihnya untuk melanjutkan hobi yang terhenti karena membesarkanku. Mengintip pemandian air panas wanita..." Naruto tersenyum. Matanya terlihat berbinar saat menceritakan pria bernama Jiraiya ini. Sakura mengangguk, puas akan penjelasan Naruto.

"Pantas saja Hinata tidak menceritakan apa-apa soal Jiraiya-sama. Ternyata, dia tidak lagi tinggal bersamamu, ya..." ujar Sakura.

"Eh, siapa katamu barusan?" Naruto tiba-tiba bertanya, penuh selidik. Kali ini ia memiringkan badannya ke arah Sakura, menumpu kepalanya dengan tangan kanan. Keduanya berhadapan dengan pose yang sama.

"Hah?" Sakura mengingat kalimatnya barusan. "Oh, Hinata? Dia malaikat yang bertugas untuk menyelidiki tentang kehidupanmu, Naruto. Beberapa minggu yang lalu ia ke bumi dan tinggal di rumah ini."

"Oh ya? Kok aku ngga liat?" tanya Naruto makin penasaran.

"Dia hanya bertugas mencari tahu segala sesuatu tentangmu, Naruto. Karena itu, dia tidak perlu kelihatan olehmu, supaya hasil penyelidikannya lebih objektif," jawab Sakura. Malaikat itu tersenyum miris, harusnya posisi itu dikerjakan olehnya. Ia sedikit teringat akan kebodohan yang dilakukannya bersama Hinata.

"Jadi kenapa aku bisa melihatmu, dattebayo?"

"Aku bertugas membimbingmu. Memastikan segala urusan duniawimu terpenuhi sebelum jiwamu beristirahat dengan tenang. Karena itu, aku perlu terlihat olehmu, supaya kita bisa saling komunikasi dan mempermudah segala urusanmu."

Naruto diam sejenak, mencerna penjelasan Sakura barusan. Konsep malaikat dan Dunia Atas ini adalah konsep baru yang terlintas di pikirannya. Butuh waktu untuk beradaptasi dengan segalanya. Termasuk dengan makhluk yang saat ini menempati kasurnya yang nyaman.

"Kalau masih belum jelas, akan kujelaskan besok. Kau harus bangun pagi, kan? Tidurlah sekarang," ujar Sakura. Naruto mengangguk lalu mematikan lampu kamarnya, membiarkan sinar bulan yang masuk melalui jendela menjadi satu-satunya sumber cahaya.

"Oyasumi, Naruto."

"Oyasumi, Sakura."

"..."

"..."

"Naruto?"

"Hm..."

"Sakura-chan kedengarannya tidak terlalu buruk."

Naruto menyeringai mendengar kalimat Sakura barusan. Lagi, ia mengucapkan salam tidurnya. "Oyasumi, Sakura-chan."

"Oyasumi, Naruto."

.

.

.

Langit malam Frisco yang gelap tidak menghalangi penglihatan seorang gadis berambut jingga terang. Dengan lincah, ia berjalan sambil melompati jalan-jalan becek di Powell Street yang sejak siang tadi diguyur hujan. Matanya memandangi logo sebuah kedai kopi yang ada di seberangnya, memastikan kalau ia memang sudah tiba di tujuannya.

Saat gadis berkuncir aneh itu mendorong pintu kedai kopi tersebut, suara riang pegawai menyapa kedatangannya.

"Selamat da—aah ... ternyata kau, Moegi!" sapa barista berambut jabrik dari dalam. Gadis itu hanya tersenyum kecut menanggapi sapaan barusan.

"Kenapa, Konohamaru-chan? Kau kecewa karena aku bukan wanita seksi yang kau harapkan, ya?" tanya gadis—yang disapa Moegi itu—sinis.

Barista itu hanya memutar bola mata hitamnya menanggapi kalimat sinis Moegi. Tangannya yang sempat terhenti kembali mengerjakan kegiatannya.

"Sudahlah, Moegi. Jangan bentak-bentak Konohamaru-kun dengan bahasa Jepang begitu di sini," ujar seorang pemuda berkacamata dari tempat duduk, tak jauh dari tempat Moegi berdiri sekarang. Matanya sibuk melihat ke sekeliling, memastikan orang-orang Amerika di tempat itu tidak merasa terganggu.

"Huh, biar saja! Lagipula sekarang sudah jam setengah 11, Udon. Sudah tidak ada pengunjung lagi," kilah Moegi. Dan itu memang benar. Pemuda bernama Udon ini memang selalu mengkhawatirkan yang tidak perlu.

"Datte..." Udon bersiap membantah lagi, tapi kemudian ia bungkam setelah melihat gadis itu duduk tepat di sebelahnya. Dengan posisinya saat ini, tentu membantah Moegi bukanlah tindakan bijak. Selama kau masih berada dalam jarak pukul Moegi, ada baiknya kau menjaga kelakuanmu, begitu teori yang dianut Konohamaru—si barista dan Udon.

"Kenapa kau tidak pulang sekarang saja sih, Konohamaru-chan? Toh, pengunjungnya sudah tidak ada lagi, kan?" usul Moegi. Diseruputnya Peppermint Hot Chocolate favoritnya yang baru saja disuguhkan oleh Konohamaru.

"Tidak bisa, Moegi. Jam kerjaku sampai jam 11, kore. Aku bisa dipecat kalau seenaknya mengubah jam kerja," jawab Konohamaru santai. Moegi hanya bisa mengerucutkan bibirnya lantaran usulnya ditolak mentah-mentah oleh barista jabrik itu.

Ketiganya lalu hening. Sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Konohamaru yang masih sibuk membereskan meja dan kursi tamu, Udon yang sibuk membaca, dan Moegi yang sibuk memandang ke luar sambil menikmati minumannya.

"Oh iya Konohamaru-kun, sepertinya Naruto nii-chan mengirimimu uang lagi," ujar Udon memecah keheningan. Konohamaru dan Moegi segera memusatkan perhatian mereka pada kata-kata Udon barusan. Pemuda berkaca mata itu lalu mengeluarkan sebuah buku tabungan, yang nampaknya milik Konohamaru.

"Lagi? Mattaku, sudah kubilang tidak perlu mengirimiku uang lagi, kore. Naruto nii-chan ini benar-benar..." keluh Konohamaru. Tangannya segera meraih buku tabungan yang disodorkan Udon. Setelah meneliti kebenaran kalimat Udon barusan, kepalanya menggeleng kesal.

"Ingatkan aku untuk menghajarnya kalau aku pulang nanti, kore!" ujarnya kesal. Dikembalikannya buku tabungannya ke tangan Udon, lalu melanjutkan aktivitasnya. "Arigatou ne, Udon. Maaf merepotkanmu, kore."

"Douita shimashite. Lagipula aku sekalian mengecek kiriman kaa-san, kok," balas Udon santai.

Setelah Konohamaru menyelesaikan jam kerjanya, ketiganya lalu keluar kedai kopi tersebut. Tapi baru saja mereka tiba di pertigaan antara Geary Street dan Mason Street, hujan kembali turun dari langit. Dengan cepat, ketiganya berlari ke arah Pinecrest Diner dan berteduh di depan rumah makan itu.

"Hujan terus. Ada apa sih dengan langit Frisco akhir-akhir ini?" keluh Moegi. Tangannya sibuk menyeka air hujan yang sempat mengenai sweaternya.

"Itu artinya ada malaikat yang baru jatuh ke bumi, kore..." gumam Konohamaru. Matanya menerawang ke langit yang masih menjatuhkan air.

"Hah? Kau bilang apa, Konohamaru-chan?" tanya Moegi.

Konohamaru menggeleng. "Nandemonai."

Moegi melempar tatapan curiga pada Konohamaru atas gumamannya yang enggan ia perjelas. Gadis itu baru berhenti ketika Udon tiba-tiba bertanya. "Kapan rencana kepulanganmu ke Jepang lagi, Konohamaru-kun?"

Konohamaru terdiam sejenak sebelum menjawab. "Entah. Mungkin akhir Maret nanti, kore. Kenapa, Udon?"

"Ah, cuma tanya. Kaa-san menyuruhku pulang kalau ada waktu. Aku pikir, ada baiknya kalau ada teman," ujar Udon.

"Aku ikut!" seru Moegi. "Kalau kalian pulang, aku juga ikut pulang!"

Udon yang tengah menutup telinga karena teriakan Moegi barusan, balas berseru. "Astaga, Moegi! Kau tidak perlu berteriak sekencang itu! Aku masih butuh kupingku, tahu!"

Konohamaru yang melihat kedua teman seperjuangannya itu saling melempar seruan, terkekeh pelan. Ditariknya kunciran rambut Moegi yang mencuat ke atas sambil tersenyum jahil. "Boleh, tapi kau tidak boleh melarangku membaca majalah Playboy lagi, kore," candanya.

Mendengar tawaran Konohamaru, Moegi langsung mendelik. "Dasar mesum! Lepaskan tanganmu dari rambutku, Mesum!" protesnya.

Konohamaru tertawa keras melihat penderitaan Moegi sampai kemudian ia melepas tangannya dari rambut gadis itu dan berlari menerobos rintik-rintik menyusuri Mason Street yang sepi. Moegi berlari menyusul sambil meneriaki pemuda itu, berniat membalas perbuatannya. Sedangkan Udon?

"Konohamaru-kun! Moegi! Tunggu akuuuuu!" seru pemuda berkacamata itu. Ikut menerobos lapis demi lapis tetesan air langit sembari berlari seperti kedua sahabatnya.

.

.

.

つづく


A bit glossary...

Frisco = sebutan lain untuk San Francisco, salah satu kota dari negara bagian California, Amerika Serikat.

UC Berkeley = University of California Berkeley


*ngos-ngosan*

Akhirnyaaaa...

Setelah cukup lama ngga update, chapitre 3 ini kelar juga. Baru selesai melewati mimpi buruk (baca:UTS) dan langsung cepet ngerjain Way to Heaven. Sebenernya udah selesai dari awal April kemaren sih, tinggal edit-edit doang. Tapiiii... tugas kuliah begitu menyiksa tanpa ampun sampe akhirnya ketemu UTS.

Dan baru bisa lanjutin sekarang :'(

A really, big, huuuuuugggee grateful, dedicated to: holmes950, Jimi-li, naruto lover, Asakura Rei, Yashina Uzumaki, Jielly N.S, Kazahana Miyuki, Hoshi Yukinua, dan nona fergie yang udah sangat berbaik hati menyisihkan waktunya dan ninggalin sepatah-dua patah kata di kotak review saya... :D

Oh, sama yang udah baca, fave, dan alert juga. Makasih yaa...

Semua pertanyaan yang menyangkut pria berambut putih udah jelas di chapter ini, kan? Konohamaru juga diceritain dikit, tapi belum cukup jelas. Nanti sepanjang cerita juga semakin jelas kok..

Kenapa Hinata ngga bilang kalo Naruto suka nyebut nama Sakura? Well, nanti bakal dijelasin di chapter yang... entah chapter berapa. Tapi nanti pasti dijelasin kok :)

Pada suka lagu yang dinyanyiin Sakura, ya? Saya juga suka loooh... Itu lagunya AZU yang Ima Sugu ni trus aku terjemahin ke English biar ngga kena songfic. Hehehe... Awalnya aku dengerin yang versi piano-nya dulu. Baru tau belakangan, ternyata versi aslinya lebih riang dari versi piano. Tapi lagunya asik buat nge-galau kok...

Terakhir, kalo sempet review yaa.. and see ya at Chapitre 4 – The List

xoxo

Ran Kajiura