Ini adalah fanfic pertamaku yang terinspirasi oleh video-fic berjudul "Angle Never Should Never Touch The Ground" dari iTherebithia. Semoga kalian menyukainya, maaf bila ada salah tulisan dan kata :)

Ya, di sini kalian tidak akan menemukan Lucy dan Edmund sebagai adik dan kakak, tapi ini juga bukan incest, cerita ini sangat AU

saya sangat mengharapkan review yang membangun, bila tidak suka saya harap jangan membacanya.

oke, mari kita mulai...

Title :Malaikat Jatuh

Disclaimer : C.. (Bila saya mempunyai Narnia, saya akan membuat Lucy-Edmund bersatu)

"Ketika cinta datang, sebuah obsesi melandanya..."

Seorang anak laki-laki berumur sembilan tahun,melangkahkan kakinya menuju altar yang indah. Disekelilingnya nampak beberapa binatang aneh serta manusia menatap hormat padanya. Di depan altar, seorang wanita cantik memiliki tubuh tinggi di atas normal menyeringai melihat anak laki-laki itu.

"Edmund White, kau akan dinobatkan sebagai pangeran dari Narnia ,,, apa kau bersedia?"

"Iya ibu, aku bersedia..."

"Maka dengan ini aku menyatakan Edmund White sebagai Pangeran Narnia..." Semua hewan dan manusia yang ada bersorak gembira mendengar pengangkatan Pangeran baru mereka. Edmund White hanya tersenyum kaku menanggapi pengangkatannya. Wanita yang dipanggil ibu oleh Edmund menempatkan mahkota perak diatas kepala Edmund dan pergi meniggalkan Edmund, dia merasa kehadirannya akan mengganggu ketika ayah Edmund datang menemuinya. Namun terlambat, seorang pria berwajah garang masuk dengan angkuh ke dalam altar. Sorakan gembira yang tadi bergema hilang bagai tertelan bumi. Edmund menatap lelaki itu sejenak lalu mengangguk hormat dibalas dengan anggukan lelaki tersebut. Namun lelaki tersebut mengalihkan perhatiannya dari Edmund dan memandang wanita itu dengan ekspresi jijik.

"Jadis..."

"Miraz..." Balas Jadis dengan dingin.

"Kau masih sama seperti dulu, begitu angkuh dan dingin. Jadi apa penobatan anakku sudah terlaksana?" Ujar Miraz menekankan kata anakku, Jadis menatap Miraz tajam.

"Dia adalah anakku, kau terlalu memuji diri sendiri."

Terdengar geraman marah dari Miraz, tapi dia menahan kemarahannya. Sedangkan Jadis kembali melangkahkan kakinya masuk ke dalam istana.

"Apa kau senang dengan pengangkatanmu ini?" Tanya Miraz tanpa menoleh pada Edmund.

"Ya...aku senang ayah." Jawab Edmund singkat.

"Edmund...tak bisakah kita berbicara berdua saja?" Tanpa harus diperintahkan semua binatang dan manusia juga pengawal Miraz pergi dari altar.

"Sebenarnya aku lebih senang kau memerintah Telmar daripada Narnia. Tapi wanita itu begitu keras kepala dan kau juga tidak menolaknya. Aku kesini ingin memberikanmu pilihan kedua. Kalau kau bosan dengan Narnia, kau bisa tinggal di Telmar."

Edmund tersentak kaget, bagaimana bisa dia menjadi pewaris untuk dua negara?

"Tapi ayah, bagaimana bisa aku memimpin Telmar? Maksudku...aku adalah Pangeran Narnia!"

Miraz menyeringai licik. "Aku adalah Raja Telmar dan aku berhak memberikan tahtaku pada anakku sendiri. Kau bukanlah anak wanita itu saja, kau juga anakku."

Ada keheningan panjang diantara mereka. Edmund masih tidak bisa percaya dengan "keberuntungannya" atau lebih tepatnya "kesialannya".

Miraz menghela napas panjang. "Tenang saja, aku hanya ingin memberikan informasi untukmu. Sehingga nanti saat aku sudah tidak ada, tidak ada yang bisa memanfaatkan kepergianku dan merebut takhtamu. Sudah saatnya aku pergi..." Miraz melangkah keluar altar, Edmund melihat kepergian ayahnya hingga tidak terlihat lalu membanting vas kaca di dekatnya. "Lalu, aku akan menjadi gila!"

Edmund berlari pergi ke dalam kamarnya, melempar mahkota peraknya ke lantai dengan keras. Namun mahkota itu tetap utuh, tidak cacat sedikitpun.

"Makhota itu aku berikan sihir, terlalu indah untuk kau hancurkan."

Edmund memejamkan mata, lalu menatap ibunya yang dia sayangi. "Kau tahu ayah akan memberikan takhtanya?"

"Aku selalu tahu itu sejak kau lahir. Lelaki itu tidak akan pernah menyerah padamu walau aku mencoba."

Edmund mulai berpikir ibu dan ayahnya sama-sama sinting. Ia muak dengan keadaan yang selalu seperti ini dan butuh melarikan diri.

"Aku akan pergi sejenak, kumohon ibu membiarkan aku sendiri." Ujar Edmund lemah.

Jadis mengerutkan kening tanda tak setuju. "Tidak, kau tidak bisa, aku tidak bisa meninggalkanmu sendiri, berbahaya bila kau pergi sendiri."

"Ibu, aku akan baik-baik saja. Aku hanya berkeliling di sekitar hutan Utara Narnia."

Jadis meletakkan tangannya dibahu Edmund. "Baiklah, berjanjilah padaku kau akan pulang sebelum malam tiba." Edmund mengangguk kaku lalu melangkahkan kakinya keluar istana. Ini mungkin akan menghapus masalahnya sejenak.


Lucy POV

Aku tidak tahu apa salahku sehingga aku bisa bertemu dengan Jack-pengurus panti asuhan-. Pertama kali aku masuk, Jack sudah membuatku menjadi lelucon untuknya dengan menggantung papan di leherku bertuliskan "Ugly". Saat aku tidak membersihkan debu di kaca dengan benar, dia akan memukulku dengan balok sedang hingga semua badanku membiru. Anak-anak di panti asuhan juga mengalami hal yang sama, sehingga mereka juga tidak bisa membantuku. Terkadang aku tidak tahan dengan penyiksaan yang aku alami. Aku hanya gadis kecil berusia 7 tahun dan aku lemah. Aku tidak tahu harus mengadu dengan siapa.

Pagi ini aku bertugas untuk mengelap kaca panti asuhan seperti biasa. Jack belum pulang –entah apa yang dia lakukan- dan sebenarnya aku cukup lega tanpa kehadirannya. Saat aku membersihkan kaca keempat, suara pintu terbuka kasar. Terdengar erangan dari arah luar. Jill, sahabatku satu-satunya berlari cepat ke arahku.

"Lucy, cepat bersembunyi. Jack datang dalam keadaan mabuk." Kulihat beberapa anak mulai berlarian mencari tempat sembunyi. Semua tau Jack lebih mengerikan saat mabuk. Tanpa pikir panjang aku berlari ke arah loteng yang mungkin tidak pernah di pakai panti asuhan ini. Saat masuk, aku tertegun melihat lemari tua yang besar terpampang diantara barang bekas yang bertumpuk di mana-mana. Ini tempat yang sempurna untuk bersembunyi. Sesaat sebelum melangkah, aku mendengar jerit kesakitan dan omelan Jack. Buru-buru aku melangkah masuk ke dalam lemari, berdoa agar Jack tidak akan pernah menemukanku. Aku melangkah mundur, berharap aku sampai di belakang dinding lemari. Namun yang kurasakan hanya baju tua, sebelum aku sempat menoleh kakiku tersandung. Aku terjatuh tetapi yang kurasakan bukanlah kayu,ini sesuatu yang dingin dan basah. Aku menoleh ke belakang, memandang takjub ke hutan yang dikelilingi oleh salju.

"Apa...bagaimana bisa?" Aku tersenyum senang dan mengambil salju. "Ini nyata..." Pekikku girang. Aku bermain-main dengan salju di sekitarku. Aku selalu menyukai salju, ini mengingatkanku pada orang tuaku. Mereka tewas dalam kebakaran dua tahun yang lalu. Awalnya aku di asuh oleh saudara ayahku, namun ternyata mereka merawatku untuk mendapat harta ayahku dan membuangku ke panti asuhan. Dan akhirnya di sinilah aku berada. Mencoba melupakan masalahku dan juga Jack.


Edmund POV

Aku melangkah gusar ke dalam hutan, bagaimana bisa aku begitu ceroboh tidak membawa mantel kemari? Hutan Narnia utara merupakan bagian terdingin dari wilayah Narnia dan kini aku tersesat di dalamnya. "Bagus sekali Ed, kau lupa dengan mantel sihirmu sendiri..." Pujiku pada diriku sendiri. Aku menyalahkan kedua orang tuaku atas kesalahanku, kalau bukan karena kegilaan mereka, aku mungkin tidak kemari. Saat sibuk mencari jalan keluar, aku mendengar suara gemerisik dan suara tertawa. Segera aku mencabut belatiku –yang selalu aku bawa- dan perlahan mendekati suara. Aku tertegun sesaat mendapati seorang gadis kecil bermain dengan salju, wajahnya begitu gembira dan hangat. Pipinya kemerah-merahan, matanya biru cemerlang memancarkan keindahan. Mengetahui aku memperhatikannya, dia berbalik dengan ekspresi waspada. Matanya lurus menatap belati yang ada di tanganku, menyadari hal itu segera aku menyembunyikan belatiku ke tempatnya. Saat aku maju mendekatinya, dia mundur sesuai dengan langkah majuku. Apa dia takut padaku?

"Tenang...aku tidak akan menyakitimu."

"Apa kau manusia?" Aku mengerutkan kening, sebuah pertanyaan konyol.

"Kau bisa lihat aku apa, aku seorang anak laki-laki."

Dia tersenyum lega dan melangkah maju, lalu mengulurkan tangan kanannya. "Aku Lucy Dirgory, senang berkenalan denganmu..."

Aku menatap tangannya, tidak tau apa maksud dia mengulurkan tangannya. "Aku Edmund White..."

"Oh...semestinya kau menjabat tanganku dan menggoyangkannya..." Ujarnya polos.

"Maksudmu? Bagaimana itu bekerja?"

Dia terlihat berpikir sejenak. "Aku...tidak tahu, tetapi di Inggris dengan cara itu kami berkenalan."

Aku mengangguk paham dan menggenggam tangannya. Rasa hangat menjalar ketika aku menyentuhnya, entah mengapa membuatku merasa nyaman. Kami saling menggenggam sampai akhirnya dia menarik tangannya, aku tidak tahu mengapa aku begitu kecewa.

"Kau berasal dari mana?" Tanyaku menutupi kekecewaanku.

Lucy tersenyum lebar, "Dari dalam lemari, aku tidak tahu mengapa aku bisa sampai kemari, tapi di sini sungguh indah..."

"Kalau begitu tetaplah di sini dan tinggalah bersamaku di Narnia." Aku tidak tahu mengapa bisa kata-kata tersebut meluncur dari mulutku.

Sebelum Lucy menjawab, tiba-tiba terdengar suara jeritan dari suatu tempat. Lucy menoleh dan menggumamkan sebuah nama. Aku tidak begitu perduli dengan jeritan itu, aku menunggu jawaban dari Lucy.

"Maaf Edmund, aku harus segera pergi. Temanku dalam bahaya..." Secara naluri, aku menahan tangannya, dia memandangku bingung.

"Apakah kau akan kembali? Bolehkah aku menjadi temanmu?" Tanyaku gugup.

Lucy kembali tersenyum lebar, "Tentu Edmund, aku senang kau menjadi temanmu. Aku akan kembali kemari jika kau minta..." Aku terseyum senang mendengar jawabannya.

"Baiklah, dan aku akan menunggumu di sini sampai kau kembali..."

Perlahan aku melepas genggamanku, Lucy segera berlari meninggalkan aku. Setelah Lucy tidak terlihat, aku membunyikan Lonceng emas yang ada di saku itu merupakan tanda bahwa aku membutuhkan pertolongan menyeringai senang, dalam beberapa menit ibu akan datang kemari.


Lucy POV

Aku berlari secepat mungkin ke dalam lemari. Semakin lama jeritan Jill semakin jelas di telingaku. Aku begitu takut, apa yang dilakukan Jack pada Jill? Saat keluar dari lemari, aku kembali berlari keluar loteng dan menuruni tangga, aku melihat Jack tengah menjambak rambut Jill.

"Dimana anak-anak yang lain?" Bentak Jack. Kulihat Jack masih memegang botol minumannya.

"A..aku tidak tahu...aku sungguh tidak tahu..." Jawab Jill dipenuhi air mata.

"Kurang ajar!" Jack mengayunkan botol minumannya ke arah Jill. Entah keberanian dari mana, aku mengambil Vas besar di dekatku dan memukul Jack sebelum dia menyakiti Jill. Jack jatuh dengan kuat sehingga menghasilkan suara berdebum dan tidak terbangun lagi. Keheningan melanda kami berdua.

"A..apa di..dia mati?" Tanya Jill sendiri tidak tahu apa dia mati atau tidak, tapi aku tidak menyesal membantu Jill. Malah aku berpikir ini kesempatan bagus untuk meminta bantuan pada polisi. Beberapa anak keluar dari persembunyiannya dan menatapku ketakutan.

"Jangan cengeng, kalian tidak membantuku seperti Lucy. Jangan menatapnya seperti itu." Jill berteriak membelaku. Aku tersenyum senang mendengar penuturannya.

"Jill, kita bisa melapor pada polisi tentang kelakuan Jack terhadap kita. Tidakkah kau berpikir seperti itu?"

Semua anak panti asuhan terkejut namun dari mata mereka aku tahu mereka setuju.

"Aku setuju, biar dia rasakan bagaimana meringkuk di penjara."

Akhirnya kami berdua pergi meninggalkan panti dan pergi ke pos polisi terdekat. Mereka mempercayai kami dan menangkap Jack yang sedang pingsan. Beberapa menit kemudian polisi menelepon seseorang, entah siapa. Dan setelah beberapa jam berlalu, seorang wanita muda dan terlihat kaya datang, tanpa peringatan memeluk kami. Aku merasakan kehangatan dan kasih sayang dari wanita tersebut, aku merasa dia orang yang baik.

"Katakan hai pada pengurus panti kalian yang baru..." Polisi yang membantu kami melirik kepada kami.

Aku dan Jill menyapanya dengan sopan. Dia mengangguk terharu.

"Oh...aku tidak menyangka Jack berkelakuan seperti itu, selama ini aku dan suamiku telah tertipu."

"Ya, ma'am, dia menyembunyikan sifat aslinya dengan baik. Dan setelah kami periksa, uang yang kau berikan sebagai bantuan dia gunakan untuk berjudi."

"Demi tuhan, semestinya aku tidak mempercayakan panti asuhanku padanya. Pantas saja aku tidak boleh berkunjung kemari, dia bilang anak-anak di sini mempunyai penyakit yang berbahaya." lalu menggandeng kami berdua dengan lembut, menuntun kami untuk duduk. Aku agak meringis saat dia menyentuh bahuku, menyadari itu dia membuka kerah bajuku dan menemukan memar besar. Aku terdiam saat dia menatap prihatin padaku.

"Lucy anak panti yang paling baru ma'am. Orang tuanya meninggal karena kebakaran dan saudara ayahnya yang menitipkan dia di sini. Jack sering memukulnya dengan balok. Aku juga tidak tahu mengapa Jack lebih kejam padanya." Jill penjelaskan riwayat hidupku panjang lebar.

"Oh, Lucy, aku akan membayar keras perbuatan Jack padamu. Kau gadis yang pemberani, Peter dan Susan pasti menyukai mempunyai adik baru." Sesaat aku merasa dunia berhenti berputar, apa maksudnya? Namun belum sempat aku menjawab, aku teringat Edmund yang menungguku dan menawarkan hal yang sama.

"Maaf ma'am, aku...masih ragu...Bagaimana dengan anak panti yang lain?" Ucapku sambil menatap Jill.

"Lucy, jangan begitu bodoh! Kami semua akan baik-baik saja, kau akan bahagia bersama mereka dari pada di sini." Sentak Jill sambil memelukku erat.

"Ta..tapi..." Aku menangis sesenggukan.

"Sayangku...aku tidak akan membawamu sekarang bila kau mau. Kau bisa memikirkannya dahulu. Dan jangan khawatir dengan temanmu. Mereka akan segera menemukan orang tua yang baik. Aku berjanji..." Tukas .

"Terima kasih ma'am, akan kupastikan Lucy menerima tawaranmu." Jawab Jill tegas, tertawa ringan melihat kelakuan Jill.

Jam 21.00

Aku menatap jam di kamarku dengan gelisah. Apa Edmund masih menungguku? Hari ini menjadi hari yang menggembirakan bagiku. bagitu ramah pada kami semua. Dia memasakkan kami cake cokelat yang besar. Kami bermain dan tertawa riang bersama. Entah mengapa aku ingin Edmund tahu kegembiraanku. Malam ini sudah kuputuskan, aku akan menemuinya. Pelan-pelan aku turun dari tempat tidurku, mengambil sweater hangat dan sepatu boot. Mengendap-endap menaiki tangga menuju loteng lalu masuk ke dalam lemari. Saat sampai di hutan, aku tidak menemukan Edmund.

"Edmund...dimana kau?" tidak ada sahutan.

Ketakutan mulai menyergapku, apa yang terjadi padanya? Apa dia dalam bahaya?

"Hey gadis kecil...pstt..." Samar-samar aku medengar suara. Aku tersentak kaget melihat seorang manusia tapi memiliki kaki seperti kuda bersembunyi di balik pohon besar.

"Anda...anda berbicara padaku?" Tanyaku memastikan, dia mengangguk. Sepertinya dia tidak berbahaya, aku mendekatinya perlahan.

"Gadis kecil, kau harus segera pergi dari sini. Berbahaya apabila kau bertemu dengan keluarga kerajaan..."

Aku mengerutkan kening tanda tak mengerti. "Apa maksudmu? Keluarga kerajaan? Aku bukan ingin menemui mereka, aku ingin menemui Edmund..."

"Apa? Kau sudah bertemu pangeran Edmund?" Manusia setengah hewan itu tersentak kaget.

Tunggu,apa yang sebenarnya terjadi, mengapa dia menyebut Edmund pangeran?

"Kau harus pergi dari sini, Pangeran Edmund tidak akan membiarkanmu pergi, dia akan menyerahkanmu untuk Ratu Narnia. Kau bisa di bunuh..."

Aku menggeleng tidak percaya. Tidak mungkin Edmund membunuhku, kami berdua adalah teman. "Tidak...aku tidak percaya padamu, Edmund adalah temanku, dia berjanji akan menemuiku di sini."

Manusia setengah hewan mendesah frustasi. "Percayalah padaku, kalau dia temanmu, mengapa dia tidak menunggumu.."

Air mataku mengalir pelan, aku merasa terkhianati. "Kau benar, lalu apa yang harus aku lakukan?"

"Kembalilah ke tempat asalmu. Dia tidak akan bisa pergi ke sana." Aku menganggukan kepala dan berlari menuju lemari, sesaat aku melihat sekeliling hutan, berharap Edmund terlihat. Namun tidak ada tanda-tanda kehidupan, "Aku tidak akan percaya padamu lagi Edmund..." Ucapku pedih lalu masuk kedalam lemari.


Normal POV

"Ibu cepatlah...aku takut dia sudah kembali!" Edmund menarik ibunya dengan kasar. Jadis mengeram marah pada anaknya.

"Edmund! Apa yang kau pikirkan? Dia adalah orang luar.."

"Tidak, dia berbeda ibu...dia baik dan menyenangkan!" Jadis tertegun mendengar jawaban anaknya. Menatap matanya yang penuh semangat dan keinginan.

"Ibu...itu dia..." Pekik Edmund girang. Saat akan melangkah menemui Lucy, Lucy masuk ke dalam lemari dan pergi. "Tidak! Mengapa dia pergi?" Edmund berlari dan mencoba membuka lemari. "Ini tidak bisa di buka..." Edmund mendesah kecewa, kemarahan menyelimuti hatinya. Jadis mendengar suara gemerisik dari arah berlawanan, melihat seorang faun menyelinap di antara pepohonan.

"Anakku, sepertinya faun cokelat yang bertanggung jawab atas kepergian gadis kecil itu..." Dengan kemarahan memuncak, Edmund mengejar faun itu dan menangkapnya.

"Apa yang kau katakan padanya? Mengapa dia pergi begitu saja..."

Jadis meraih bahu Edmund lembut, mengambil tongkat sihir yang ada di sakunya. "Jangan marah padanya Edmund, biar aku yang menanganinya." Edmund mengangguk pelan. Jadis beralih pada faun tersebut.

"Kau telah membuat anakku sedih, kau akan merasakan penderitaan yang sama." Seketika faun tersebut berubah menjadi batu. Edmund menyeringai licik melihat faun tersebut.

"Ayo anakku, mari kita pulang..." Jadis menarik Edmund pergi, namun Edmund terpaku melihat sebuah jepitan rambut yang ada di bawahnya. Seketika dia menyambar jepitan tersebut lalu menaruhnya perlahan-lahan di dalam tas-nya. "Saat kau kembali, kau akan menjadi milikku Lucy Dirgory..."

Bagaimana? Aneh ya? Mohon Reviewnya :)