Rating: T
Genre: Saya galau.. mungkin Fantasy/Adventure/Romance. Tapi tidak menutup kemungkinan adanya genre yang lain.
Warning: Absurd thing, AU, (mungkin) typo, kata-kata kasar Lovi, dan mungkin juga OOC ._.
Bersantai di siang hari itu memang pilihan yang paling menyenangkan. Semua orang pasti akan mengatakan begitu jika hari ini lidah-lidah api dari panasnya matahari terasa membakar dirimu. Padahal kau berada di dalam ruangan dan terlindung dari sinar ultraviolet yang bisa menghitamkan dirimu saat ini. Apa yang kau lakukan sih? Di atas sofa berbahan kulit berwarna merah gelap bagaikan pewarna bibir milik ibumu yang begitu kau benci, kau terus menekan-nekan tombol remote TV kotak itu untuk melihat apakah ada sesuatu yang bagus ditonton untuk hari ini. Tetapi nyatanya, tidak ada acara yang begitu menarik minatmu. Maka, di sinilah dirimu sekarang. Terus memencet-mencet tombol tak bersalah itu dengan wajah bosan.
Kau melirikkan matamu sejenak ke arah dapur yang tertutup oleh tirai bergaris kotak-kotak berwarna hijau daun dan merah tomat itu. Di sana ada adikmu, Feliciano. Ia sepertinya sedang memasukkan pasta ke dalam panci berisi air panas untuk direbus sambil menyenandungkan lagu konyol yang sering muncul di TV akhir-akhir ini. Walaupun dia konyol dan merepotkan, dirimu merasa beruntung memiliki adik sepertinya yang selalu mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak, menyapu, mencuci, dan lain sebagainya. Walaupun terlihat jelas di wajahmu saat ini, bahwa kau membantah jika dirimu yang menyuruhnya untuk melakukan itu semua. Siapa tahu? Mungkin saja adikmu itu yang terlalu rajin.
'Ting tong'
Terdengar suara yang seakan-akan menyembul dari balik dinding. Dengan malas, kau bangkit dari tempatmu terbaring tadi dan mendesis pelan, tidak suka ketika kesenanganmu itu diusik.
Cih, siapa yang mau bertamu pada hari sepanas ini? Dasar kurang kerjaan!
"Fratello, tolong bukakan pintunya ya, vee."
Alismu berjengit. Kau menolehkan kepalamu ke arah dapur dan di sana kau mendapati Feliciano yang masih sibuk mengaduk-aduk pasta yang berada di dalam panci aluminium itu.
"Aku tidak mau. Memangnya kau sesibuk apa sih sampai harus menyuruhku," cibirmu sambil memajukan bibirmu dengan kesal.
"Vee, aku sedang merebus pasta. Nanti kalau ditinggalkan bisa–"
"Baik, baik! Aku yang akan membukakan pintunya! Puas kau?"
Rasanya sangat menyebalkan jika harus meninggalkan posisi yang sudah memasuki tingkat kenyamanan tertinggi hanya demi menyambut orang yang tidak diketahui juntrungannya. Dan itulah yang kaulakukan sekarang. Berdiri dan berjalan ogah-ogahan menuju pintu depan ruang apartmenmu. Dan sepertinya, kau sudah memikirkan apa yang akan kau katakan kepada orang itu ketika kau membuka pintu kayu yang berada beberapa meter di depanmu.
Seperti "Maaf, kau salah alamat" atau "Enyahlah kau sekarang, sialan!" atau "Kau salah rumah. Rumah yang kau cari ada di sebelah sana" jika yang datang adalah orang penagih kredit laptop barumu. Memikirkan ide yang terakhir membuatmu tidak merasa semakin bersemangat untuk membuka pintu.
Waktu berjalan begitu cepat hingga tak terasa, kau sudah berada tepat di depan pintu itu sekarang. Kau menghembuskan napas dengan berat, menyiapkan alasan-alasan yang meyakinkan jika yang datang itu memang penagih kredit. Dengan gerakan lambat, kau membuka pintu itu. Ketika kau membuka mulutmu untuk bersuara–oh, bahkan kau tak akan menduga ini.
Orang itu berlari menghampirimu. Benar, berlari dan menabrakmu. Hampir saja kau terjatuh menimpa lantai–dan menimbulkan bunyi bedebam keras, lalu Feliciano akan keluar dari dapur dan berkata, "Fratello kenapa tiduran di lantai? Nanti masuk angin vee!"–jika orang ini tidak segera menahan berat tubuhmu. Dan, ya. Ia memelukmu. Pelukan yang sangat erat, seakan-akan ia telah mendapatkan apa yang ia dambakan dari dulu dan tak akan pernah melepaskannya ketika ia telah mendapatkannya.
Dan kau tersadar dari lamunanmu.
"Kau siapa, orang asing? Lepaskan aku, goblok!" Kau berusaha sekuat tenaga untuk mendorong orang yang tidak kauketahui ini. Melihat wajahnya saja saja belum sempat, orang ini langsung main tabrak seperti ini. Apa dia orang gila? Tapi untuk ukuran orang gila, dia terlalu rapi dan wangi, menurutmu.
Orang itu melepaskan pelukannya pada dirimu perlahan. Sekarang kau dapat melihat dengan pasti bahwa kulitnya berwarna kecokelatan terkena sinar matahari. Mungkin orang pantai? Kau mulai menduga-duga. Dan rambutnya yang acak-acakkan berwarna cokelat gelap diterpa oleh sinar matahari pada siang itu. Mungkinkah dia orang Latin? Wajahnya khas sekali. Mulutmu terus menganga dan lupa kau katupkan. Sepertinya, terlalu mengagumi tampang dari orang ini. Meskipun kau langsung membantahnya dengan cepat, terilihat dengan jelas ketika kau menggeleng-gelengkan kepalamu dengan liar dan terdapat rona merah pada kedua pipimu itu. Dan yang membuatmu mengangkat sebelah alismu, orang ini memakai jaket tebal. Pakaian yang ada di urutan terakhir pada daftar pakaian yang akan kau pakai pada hari sepanas ini. Kau mengingat-ingat kembali, bulan apa sekarang ini? Juli? Pertengahan musim panas? Sepertinya benar dugaanmu sebelumnya. Dia orang gila.
"Romano.."
Kau menatap mata orang itu ketika orang itu mulai mengeluarkan suara. Kau menangkap sepasang bola mata hijau zamrud terpasang dengan apik di sana. Kau tidak tahu kenapa, tapi kau merasa bahwa tatapannya itu.. apa yang harus kaukatakan? 'Kuno' mungkin cocok. Tetapi, kau melihat secercah kilatan sinar pada kedua matanya itu yang membuat orang lain akan melihatnya dua kali jika bertemu pandang dengan kedua bola matanya. Mungkin saja kantung matanya itu yang membuat tatapannya sekuno itu. Sepertinya orang ini kurang tidur, entah mengerjakan apa. Yah, lagi pula itu juga bukan urusanmu 'kan?
"Akhirnya aku menemukanmu!"
"Hah? A-apa yang kau bicarakan? Aku tidak–MMH!"
Dunia terasa berjalan melambat. Dirimu tidak tahu sekarang ini sedang berada di kenyataan atau apa. Mungkin kau sedikit berlebihan? Tapi memang masih bisa dimaklumi. Orang asing memanggilmu dengan bukan namamu, dengan tenaga kuda langsung memelukmu dengan pelukan beruang, dan sekarang orang itu sedang menciummu. Ups!
DEMI TUHAN! Aku laki-laki, dia laki-laki. KAMI LAKI-LAKI!
.
.
.
"GYAAAAAAAAAAAAAAAAAA–AAAAH!"
Lovino Vargas, pemuda yang sekarang berada tepat di bawah tempat tidurnya tengah mengatur napasnya yang berantakan. Terjatuh dari tempat tidur akibat mimpi 'buruk', sepertinya. Matanya mengerjap sekali, dua kali untuk memastikan dirinya tengah berada di mana saat ini.
"Hanya mimpi buruk.." ia tersenyum sarkastis.
"Hanya mimpi, hanya mimpi, hanya mimpi! DAN AKU TIDAK GAY!"
Hetalia Axis Powers © Hidekazu Himaruya
Tale of Legendary Stones © Ritsu Ricchan
"Selamat pagi, fratello!~" Feliciano, sang adik menyapa dengan senyum manisnya seperti biasa ketika sedang menaruh dua piring pasta yang akan menjadi sarapan mereka pagi ini.
"Pagi." Sang kakak menjawab seperlunya. Ia menarik kursi dengan gontai dan meletakkan seluruh beban tubuhnya di atas benda itu. Wajahnya tampak kusut dengan kantung mata yang cukup gelap menggantung di bawah kedua matanya. Hal itu sudah lebih dari cukup untuk memberikan sinyal kepada saudaranya bahwa dirinya sedang merasa tidak baik hari ini.
"Fratello terlihat tidak sehat! Mimpi buruk, ve?" Mengenai tepat ke sasaran, Feliciano sayang. Lovino menolehkan kepalanya ke arah adiknya itu dan memberi tatapan 'Diam atau kuenyahkan kau' kepada Feliciano yang sekarang bergidik ngeri. "EEEHH! Maaf vee!" Feliciano segera membalik tubuhnya dan berlari kecil ke kamarnya dan sesekali menggumamkan 'Aku melupakan buku tulisku vee!'.
Lovino mendelik ke arah adiknya dengan kesal, yang membuatnya teringat kembali akan mimpinya hari ini. Karena tidak ingin memikirkan mimpi itu sampai membuatnya hampir frustasi, ia segera menyambar piring pasta yang terhidang di depannya itu. Memang, kecepatan makan sang pemuda bertambah jika ia sedang kesal. Lambungnya terasa seperti membelah diri bagaikan amuba yang sedang melakukan reproduksi non seksual itu. Dan apa sudah dituliskan sebelumnya bahwa ada dua piring pasta di atas meja itu?
"Cih, aku berangkat," seru Lovino sambil membawa tas sekolahnya, meninggalkan Feliciano yang biasanya berangkat bersamanya. Dan dari belakang terdengar Feliciano bergumam tentang betapa repotnya jika memasak pasta lagi sekarang, sambil menatap dengan sedih dua piring pasta yang sudah tidak tersisa apa-apa lagi.
"Maka, pada saat itu pula, Girolamo Savonarola* dihukum bakar di Florence yang kita tinggali ini." Suara sayup-sayup sang guru yang tengah menjelaskan tentang mata pelajaran hari ini terdengar sangat membosankan bagi telinga Lovino dan sebagian besar anak yang berada di kelas tersebut. Pelajaran sejarah memang selalu menjadi pelajaran yang paling membosankan. Benar?
Lovino membalik-balik buku paketnya, berharap menemukan gambar-gambar wajah 'pelaku sejarah' yang berada di sana. Untuk apa? Tentu saja untuk dijadikan sarana untuk melepas rasa bosan–mencoret-coretnya.
Hingga ia sampai pada satu halaman. Halaman yang membuatnya tertarik karena akhirnya ia menemukan sesuatu untuk di coret-coret lagi. Di gambar itu terdapat tiga orang laki-laki yang berupa lukisan berwarna. Lagipula, kamera belum ditemukan saat itu. Pemuda yang berada di sebelah kiri berambut pirang sebahu dan sedikit bergelombang. Yang berada di tengah sepertinya berkulit paling gelap dari antara yang lain. Ia memiliki rambut gelap acak-acakan yang mengingatkan Lovino akan mimpinya pagi ini. Ia menatap orang yang berada di tengah tersebut sambil sesekali mengerjapkan matanya.
'Ya ampun, aku benar-benar sudah gila sejarah,' pikirnya.
Dan yang terakhir, di sebelah kanan terdapat seorang pemuda yang mempunyai potongan rambut cepak dan berwarna putih bersih. Persamaannya, mereka semua memakai baju yang serupa, hanya berbeda warnanya. Baju perang zaman abad pertengahan. Semuanya memegang pedang masing-masing seakan-akan ingin mencincang orang yang melihat gambar tersebut–seperti yang Lovino lakukan sekarang. Yang membuat Lovino tertegun, semua ekspresi dari mereka. Ekspresi yang menggambarkan keseriusan yang mengancam.
Lovino melihat penjelasan yang berada di bawah gambar. Di sana tertulis,
Para Ksatria Sisilia (15xx)
Mata ambernya memperhatikan sekali lagi orang yang berada di tengah gambar tersebut.
'Kalau dilihat-lihat lagi, dia cukup menarik.. EH? APA YANG AKU BILANG?' seraya menyadari akan ucapannya barusan, Lovino mengacak-acak rambutnya frustasi–yang mengundang seluruh pasang mata di kelas itu untuk melihatnya.
"Lovino Vargas, apa ada masalah?" tanya sang guru yang merasa terganggu.
"A-ah, tidak. Silahkan lanjutkan lagi." Lovino tertunduk malu dan menatap gambar orang yang di tengah dengan tatapan membunuh.
'Gara-gara kau, sialaaaaaaaaan!' Lovino segera mengambil bolpennya dan menggoreskannya asal pada gambar tersebut. 'Huft. Begini lebih tampan!' seru Lovino dalam hati sambil memandang puas hasil karyanya.
Tak terasa hari sudah menjelang sore. Lovino berjalan menyusuri Piazza della Signoria untuk menuju tempat kerjanya, sebuah cafeyang terletak sedikit tersembunyi dari ramainya alun-alun. Sebenarnya ia sangat malas untuk bekerja walaupun hanya part-time seperti ini. Hal ini dikarenakan uang bulanan yang dikirim oleh orang tuanya terasa masih kurang untuk membiayai kebutuhan hidupnya dan adiknya. Jika ia bekerja seperti sekarang ini, biaya yang dikeluarkan per bulan tidak akan pas-pasan. Ia tidak akan berani membeli laptop baru–walaupun dengan mencicil setiap bulannya–kalau ia tidak memiliki penghasilan tambahan. Feliciano sendiri juga bekerja di cafe itu sebagai koki. Tadinya, Lovino ingin mencegah Feliciano untuk bekerja juga. Karena ia pikir, sudah cukup Feliciano disibukkan dengan pekerjaan rumah. Namun Feliciano tetap kukuh pada pendiriannya dan mengatakan hal seperti pentingnya kakak dan adik yang selalu bersama.
Lovino membuka pintu cafe dan bel kecil yang terpasang di depan pintu pun mengeluarkan bunyi bergemerincing kecil. Walaupun letaknya sedikit terpencil, cafe tersebut terlihat rapi dengan arsitektur kuno dan elegan. Tidak terlalu besar, namun terasa nyaman. Lovino segera berjalan ke ruang pegawai untuk mengganti pakaiannya yang berupa kemeja polos berwarna putih polos dengan apron dan celana panjang berwarna hitam polos. Namun ia berhenti sesaat ketika melihat meja yang terletak di sudut cafe yang terlihat sedikit reman-remang. Ada tiga orang yang sedang duduk di sana sambil membaca buku menu. Yang menarik perhatiannya: pakaian mereka tertutup. Benar-benar tertutup, dari atas kepala sampai ujung kaki. Mereka semua memakai topi, jaket cokelat kulit yang terlihat kebesaran, celana panjang, serta sepatu boot hitam tinggi. Tidak lupa juga mereka memakai kaca mata hitam dan masker. Lovino berpikir dua kali, mengingat mimpinya hari ini.
'Laki-laki itu juga memakai baju tebal, walaupun tidak separah mereka.. Apa aku yang salah? Apakah sekarang sedang musim dingin? Di pertengahan bulan Juli? Ah, lagi pula itu hanya mimpi.. Tidak mungkin ada hubungannya dengan pelanggan aneh itu,' pikir Lovino dalam hati. Ia berjalan beberapa langkah, namun terhenti lagi ketika merasa dirinya diperhatikan orang tiga orang aneh itu. 'Mungkin hanya perasaanku saja,' pikirnya. Ia segera berjalan memasuki ruang pegawai dan mengganti bajunya tanpa memikirkannya lagi.
Hari sudah menggelap dan kecurigaan Lovino semakin menjadi-jadi. Pasalnya, ketiga orang yang dari tadi dicurigainya tidak kunjung pergi dari cafe.Bahkan mereka tidak memesan apapun. Sekarang, masing-masing mereka tengah membaca koran pagi ini yang entah dari mana. Lovino ingin sekali untuk mendatangi meja mereka dan mengusir mereka keluar cafe. Tapi dia masih mengingat posisinya di cafe ini hanya sebagai waiter semata. Mencari pekerjaan sangat sulit pada masa sekarang ini..
Lovino menengokkan kepalanya ke belakang untuk melihat jam dinding yang terpasang di dinding kayu belakangnya. Jam tersebut memiliki ukiran yang sangat indah di sekitarnya dengan kedua jarum jam yang terlihat sangat antik dan serasi. Sangat cocok jika dipasang pada dinding kayu bercat cokelat susu tersebut
'Jam 18:50? Baiklah, sebentar lagi kau akan segera pulang dari tempat ini, Lovino. Bersabarlah sedikit lagi.'
"Fratello~" suara Feliciano terdengar dari balikcounter, Lovino pun berjalan mendekatinya.
"Ada apa?" tanya sang kakak.
"Hari ini fratello pulang duluan saja! Sehabis selesai bekerja, aku ingin ke perpustakaan dulu untuk mengembalikan buku, ve~"
"Kenapa harus malam-malam begini? Kau kan bisa mengembalikannya besok siang saja," ucap Lovino dengan kasar.
"Aku juga mau begitu ve! Tapi hari ini adalah batas pengembalian buku yang terakhir. Kalau kukembalikan besok, sudah terkena denda." Feliciano menundukkan kepalanya ke bawah. Biasanya, sang kakak akan mengomeli sang adik jika membicarakan hal merepotkan seperti ini. Lovino menghela napas berat.
"Ya sudah, hati-hati di jalan. Dan berhati-hatilah dengan orang-orang di sana," kata Lovino seraya mendelikkan matanya sesaat ke arah ketiga orang misterius itu berada. "Aku curiga dengan mereka."
"Fratello juga, ve?" Raut wajah khawatir menghiasi wajah Feliciano sekarang ini.
"Apa maksudmu dengan juga?" Lovino berusaha merendahkan suaranya agar orang-orang tersebut tidak merasa kalau mereka sedang dibicarakan sekarang.
"Mereka mengikutiku saat berjalan ke sini, ve!"
"Ssst! Bodoh, kecilkan suaramu! " Lovino melirikkan matanya sebentar dengan salah satu telapak tangannya membungkam mulut Feliciano. "Aku akan pulang sekarang. Telepon aku jika mereka masih membututimu."
Feliciano menganggukkan kepalanya–tidak bisa berbicara karena mulutnya masih ditutup oleh kakaknya–dan memegang telapak tangan kakaknya yang lain dengan kedua tangannya erat-erat, kebiasaan mereka untuk menguatkan diri mereka masing-masing.
Lovino berjalan keluar dari cafe yang sekarang sudah cukup ramai. Cafe tempatnya bekerja memang selalu ramai pada malam hari. Walaupun ia pulang terlebih dahulu yang berarti langit belum begitu gelap, namun tetap saja ia mengkhawatirkan keadaan adiknya itu.
'Bagaimana jika Feliciano diculik? Bagaimana jika Feliciano dirampok? Bagaimana jika Feliciano dibunuh?' Pikiran-pikiran seperti itu terus berkelebat dalam bayangannya. Membuat dirinya semakin gelisah. Ia menyesal sekarang, mengapa ia tidak menemani adiknya yang ceroboh itu untuk mengembalikan buku. Walaupun pulang lebih larut, setidaknya ia tidak akan merasakan khawatir yang berlebihan seperti ini.
Apartemennya tidak terletak begitu jauh dari Piazza della Signoria, hanya tinggal lurus dan belok ke kiri menuju ke arah gang yang lebih sempit. Malam yang dipenuhi oleh lampu jalan yang remang-remang ini tidak begitu ramai, Lovino bertanya mengapa. Padahal biasanya tidak sesepi ini. Walaupun begitu, ia masih mendapati beberapa pejalan kaki di sana.
Tiba-tiba, Lovino merasakan sesuatu yang bergerak dari saku celananya yang membuatnya terlonjak kaget. Lovino hampir saja berteriak ketika ia baru ingat bahwa itu adalah handphone miliknya. Ia merutuki handphone berwarna putih polos yang bergetar itu dengan sebal dan tangan kirinya mulai merogoh saku celananya itu untuk mengambil benda itu. Ketika melihat siapa orang brengsek yang hampir membuatnya jantungan itu, segala umpatan yang tadinya menggunung–siap untuk diledakkan–mendadak sirna. Rupanya sang adik yang menelepon. Kekhawatiran terlihat semakin nyata pada wajahnya. Takut kalau pikiran buruknya tadi akan menjadi kenyataan.
Dengan terburu-buru, Lovino segera mengangkat telepon dari Feliciano.
"Hey, kau baik-baik saja, Feliciano?" suara Lovino terdengar sedikit bergetar. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat agar sang adik tidak mendengar adanya getaran di dalam suara kakaknya itu. Bisa-bisa ia malu seumur hidup kalau ternyata tidak terjadi apa-apa pada Feliciano dan ia akan menertawai suara kakaknya yang terdengar seperti penakut itu.
"Fratello baik-baik saja?" Itulah kata-kata yang menyulut kemarahan seorang Lovino Vargas.
"Harusnya aku yang bertanya seperti itu padamu, bego! Sekarang cepat kau pulang ke rumah!" Lovino meneriakkan kekesalannya pada Feliciano yang berada di ujung telepon. Walaupun tidak dapat melihatnya, Lovino yakin bahwa Feliciano sedang berjengit menahan teriakkan kakaknya yang sangat kencang itu.
"Vee~ Aku baru keluar dari cafe. Dan–"
"ABAIKAN BUKU SIALAN ITU DAN PULANG SEKARANG!" Lovino sudah tidak dapat menahannya lagi. Ia lebih memilih dilihat oleh orang-orang yang lewat dengan tatapan aneh dari pada menemukan berita 'Tewasnya Remaja SMA di Depan Cafe xxx' di halaman depan koran esok pagi.
"Aku belum selesai bicara, vee!" Akhirnya Feliciano mengeluarkan protesnya.
"Apalagi yang perlu kau bicarakan?"Sang pemuda berambut cokelat dan ber-ahoge itu menepuk dahinya frustasi.
'Aku tidak mau terjadi apa-apa pada Feliciano ataupun–
"Orang-orang itu meninggalkancafe ketika melihat fratello keluar dari cafe. Dan aku rasa, sepertinya mereka sedang mengikutimu, vee!"
–aku yang mereka incar.'
Lovino tidak bergerak sedikitpun dari posisinya semula. Ia merasa tubuhnya mati rasa dan bulu kuduknya berdiri seluruhnya.
'Tidak mungkin.. Kenapa jadi berbalik seperti ini? Ha.. hahahaha..' Ia menundukkan kepalanya dan menatap jalan berbatu yang berada di bawahnya. Sinar dari lampu jalan membuat bayangannya terlihat dengan jelas di sana. Namun, tubuhnya tersentak ketika ia melihat bayangan yang lain. Terlihat banyak. Mungkin tiga?
"Fratello tidak apa-apa, ve?" Lovino mengabaikan Feliciano yang suaranya terdengar begitu khawatir. Ia melepaskan handphone yang menempel di telinganya itu dengan pelan danmemutuskan hubungan telepon dengan adiknya itu.
'Tidak ada jalan lain.. satu.. dua.. TIGA!'
Tanpa memikirkan apapun lagi, Lovino segera berlari secepat mungkin untuk menghindari mereka. Yang ternyata merupakan pilihan buruk, karena mereka pun ikut mengejar. Ia berbelok ke kiri dan memasuki jalan yang lebih sempit dari jalan yang dilaluinya tadi. Dan mereka masih mengejar.
"Sialan! Mereka masih terus mengejarku!" Lovino menolehkan kepalanya sekilas ke belakang dan ia masih dapat menangkap bayangan ketiga sosok itu. Ia mempercepat larinya agar tidak terkejar oleh ketiga sosok itu.
Di kala Lovino berlari, ia merasakan akan sesuatu yang tidak normal pada derap kaki orang-orang itu. Derap kaki mereka terdengar.. lengket? Basah? Yang jelas tidak normal.
Sebentar lagi, ia akan tiba di tempat tinggalnya. Betapa rasanya ia begitu merindukan apartemennya saat ini. Namun wajahnya berubah ngeri ketika melihat dua orang yang serupa dengan mereka yang mengejarnya berada di depan pintu gerbang apartemen yang ditinggalinya. Dengan segera, Lovino merubah haluan ke jalan yang lebih sempit lagi.
Entah Dewi Fortuna tidak sedang memihaknya atau apa–jalan yang dilaluinya buntu. Tetap saja ia tidak kehilangan akal untuk bersembunyi. Matanya melihat ke sekeliling dan mendapati tumpukan brang-barang bekas yang berada di sana. Mau tidak mau, ia berusaha menenggelamkan diri ke dalam rongsokan itu. Setelah bunyi benda-benda berbahan besi itu terdengar karena usaha bersembunyi dari Lovino, sekarang keheningan pun mulai menyelimuti. Lovino memejamkan matanya, berharap dirinya telah terkubur sepenuhnya. Tetapi, ia masih dapat mendengarkan langkah kaki itu. Langkah kaki yang aneh. Terdengar tidak teratur dan lembek. Apakah mereka bukan manusia? Dengan cepat, Lovino menyangkal pikiran akan hal itu.
'Mana mungkin ada monster pada zaman sekarang ini! Aku bukan anak kecil lagi!'
Atau mungkin mereka ada sekelompok mafia? Lovino sejenak memikirkan keluarganya. Seingatnya, mereka tidak pernah terlibat dengan apapun yang berhubungan dengan mafia. Lalu, mereka ini apa dan apa yang mereka lakukan dengan membututi Lovino dan Feliciano?
Pikiran Lovino terbuyarkan dengan mendengarkan langkah kaki yang kali ini terdengar dekat. Begitu dekat. Matanya terbuka sedikit, berusaha mengintip dari celah-celah barang rongsokan tersebut. Dan benar saja, mereka tepat berada di depannya dan sekarang hendak menghampirinya. Kedua matanya membelalak lebar, ngeri.
Salah satu dari mereka mengangkat mesin cuci yang sudah rusak yang tadinya menutupi kaki Lovino. Dan sekarang kakinya terekspos dengan sangat jelas, membuat mereka semua tersenyum mengerikan. Mereka pun semakin bersemangat mengangkat barang-barang itu sampai akhirnya, tubuh Lovino terlihat seluruhnya.
Mereka semua menatap Lovino dengan gembira, tetapi juga mengancam. Mereka melepas kaca mata mereka dan hal itu begitu mencengangkan bagi Lovino. Mata mereka berwarna hitam. Bukan hanya bola mata, atau mungkin bisa dibilang bahwa mereka tidak memiliki bola mata? Ya, seluruhnyahitam. Mereka melepas masker, topi, baju, semua yang melekat pada tubuh mereka. Sekarang, semua terlihat jelas. Wajah mereka rata, yang berarti tidak memiliki hidung sama sekali. Tubuh mereka sedikit lebih besar dari ukuran manusia normal dan berwarna putih dekil. Serta ada sebuah tulisan yang terukir di dahi sang monster. Lovino tak yakin akan bahasa yang digunakan, tapi ia merasa pernah melihat tulisan seperti itu sebelumnya. Dan yang melengkapi keganjilan pada tubuh mereka: tubuhnya lengket dan mencair. Itu semua menjawab pertanyaan Lovino bahwa mengapa mereka menutupi tubuh mereka dengan terlalu berlebihan.
"Ka-kalian monster! Pergi dariku!" Lovino berteriak dengan penuh kengerian. Ia berusaha mengambil barang apapun yang bisa di ambil di belakangnya untuk dilempar kepada mereka.
Monster pertama datang mendekat, sepertinya ingin mencengkeram tubuh Lovino. Sebelum ia sempat menyentuhnya, Lovino terlebih dahulu berhasil melemparkan sebuah raket badminton usang yang sudah berlubang kepada makhluk itu. Lovino menatap dengan jijik kepada raket itu yang ternyata menancap ke dalam mata monster itu. Monster itu meraung kesakitan seraya tangannya menggapai-gapai raket yang tertancap tepat mengenai matanya. Ketika monster itu ingin menarik raket tersebut dengan putus asa, tak sengaja tangannya menggosok tulisan yang berada di dahinya sehingga tulisan tersebut terhapus sudah. Monster itu pun terdiam, dan yang mencengangkan, meleleh dan mengotori jalan yang tadi dipijaknya. Lovino memegangi perutnya yang mual sekarang ini.
"A-apa yang terjadi?" Lovino akhirnya membuka suara. Namun, monster yang lainnya mulai berjalan mendekatinya. Jantungnya berpacu begitu cepat, mendadak muncul kembali impiannya dulu bahwa ia ingin mati dengan gagah dan berani, seperti mati setelah melawan naga yang akan memakan tuan putri-tentu saja itu di dalam imajinasi kanak-kanaknya. Namun, begitu kontras dengan keadaan yang sekarang. Monster-monster tersebut telah berhasil menyudutkannya. Tinggal menghitung detik lagi sampai ia mati di dalam tangan para monster ini.
"Pergi kalian semua!" Lovino memukul-mukul para monster dengan membabi buta. Walaupun mengenai tubuh mereka, tetap saja Lovino mengernyit jijik merasakan kulitnya bertemu dengan sesuatu yang lengket yang membuatnya ingin memuntahkan kembali makanan yang baru dimakan olehnya.
Sayangnya, salah satu monster berhasil menghentikan amukan Lovino. Monster tersebut menggenggam kedua tangan Lovino kuat-kuat dan semakin memojokkannya sampai punggung Lovino menabrak dinding di belakangnya.
"LEPASKAN AKU, SIALAN!" Kakinya menendang-nendang putus asa ke arah sang monster yang mencengkeram kedua lengannya kuat-kuat. Cengkeramannya begitu kuat hingga dapat dipastikan kedua lengannya akan mendapat luka yang cukup berarti. Monster-monster yang lain pun mendekatinya. Sekarang Lovino bertanya dalam hati, apakah dirinya memang primadona bagi semua monster?
Seluruh badannya melemas. Tenaganya terbuang untuk hal yang percuma. Lovino memejamkan kedua matanya, sudah pasrah akan apa pun yang akan menimpanya.
'Jadi seperti ini akhinya.. keren sekali..'
Selama Lovino memejamkan kedua matanya, sayup-sayup ia mendengar langkah kaki. Suara orang yang tengah berlari. Atau monster yang lainnya lagi? Apapun itu, yang pasti sekarang ini Lovino Vargas sudah tidak peduli. Kematian sudah berada di hadapannya. Lagi pula mana ada manusia yang akan berani melawan monster seperti ini? Mereka pasti akan berlari sekencang-kencangnya dan bersembunyi untuk menghindari monster ini.
Lovino membuka sedikit matanya. Sekarang ia melihat monster yang berada di depannya sedang melayangkan tinjunya tinggi-tinggi. Lovino sudah tidak peduli. Ia kembali memejamkan matanya, menunggu ajal menjemputnya.
"LEPASKAN TANGANMU YANG HINA DARINYA!"
Lovino masih menutup matanya. Ah, betapa inginnya ia mendengar itu dari orang yang datang menyelamatkannya. Suara pedang yang begitu luwes mencincang para monster, dan terdengar suara para monster yang mencair mengikuti pendahulunya.
'Imajinasiku berjalan begitu baik. Hahaha.' Lovino tersenyum masam. 'Tapi, kenapa monster sialan ini tidak memukulku?' Karena penasaran, Lovino kembali membuka kedua matanya. Seiring dengan matanya yang terbuka, ia merasakan cengkeraman pada lengannya melonggar. Dan yang ia tahu, monster yang tadi hendak memukulnya telah berubah menjadi cairan lengket menjijikan di bawah sepatunya.
Ia menatap ke depan dan mendapati seorang pemuda dengan sebilah pedang pada genggamannya. Entah apa itu tadi hanya imajinasinya saja atau ia melihat api yang membara menyelubungi bilah besi pedang itu? Yang membuatnya terkejut adalah ketika sang penolongnya tersebut menatap dirinya yang tidak tahu harus mengucapkan apa sekarang. Wajah pemuda itu.. Lovino sangat yakin bahwa ia pernah melihatnya..
Pemuda itu berjalan mendekat ke arahnya. Sekarang ia telah menyarungkan kembali pedangnya. Emosi yang tergambarkan pada wajah pemuda tersebut sulit untuk ditebak. Cemas? Penasaran? Senang? Marah? Tentu Lovino tidak tahu.
Banyak sekali pertanyaan yang berkecamuk di kepala sang pemuda Italia. Mulai dari "Tadi itu apa?" sampai "Pedang apa itu?" atau bahkan Lovino ingin mengatakan "Oh, terima kasih, deh. Sekarang aku pulang dulu, dadah." Dan akhirnya yang keluar dari mulut Lovino adalah,
"Kau itu apa?"
Pemuda berambut cokelat gelap itu menatap sang pemuda Italia dengan tatapan sendu. Lovino dapat melihat ada sebuah luka yang tersembunyi ketika ia mengatakan hal itu. 'Oh sial..' umpatnya. Ketika ia ingin membuka mulutnya untuk berusaha mengatakan sesuatu yang berupa permintaan maaf, sang pemuda misterius ini tersenyum riang seperti anak kecil.
"Aku Antonio Fernandez Carriedo! Tapi kau hanya perlu memanggilku Antonio saja!" Orang yang mengaku bernama Antonio itu tersenyum tanpa beban. Lovino mengernyit bingung. Pasalnya, belum lama tadi ia melihat pemuda yang bernama Antonio ini memasang tatapan yang menyedihkan. Namun, voila! Sekarang ia tersenyum seperti orang bego. Itulah yang dipikirkan oleh Lovino.
"Oh.."
"Dan siapa namamu, señor?"
Lovino memiringkan kepalanya dengan bingung. 'Itu bukan bahasa Italia,' pikirnya. 'Itu bahasa Spanyol..' Pikirannya seperti disentakkan secara tiba-tiba ketika ia memikirkan hal itu. Membuatnya teringat akan.. mimpinya. Dan Lovino yakin hal itu–mendapat mimpi aneh dengan pemuda yang serupa dengan pemuda yang sekarang berada di hadapannya, dan di kejar-kejar oleh pasukkan monster yang berakhir dengan diselamatkan oleh pemuda ini–pasti ada hubungannya. Atau mungkin ia berada di dalam mimpi sekarang ini? Ia berharap begitu.
"Ka-kau siapa? Monster apa itu tadi? Dan mau apa kau ke sini?" Lovino merasakan suaranya tercekat. Ia merasa bahwa hidupnya tidak akan sama lagi sekarang.
Antonio mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa kali dan memiringkan kepalanya ke samping. "Kan tadi sudah aku bilang, namaku Antonio. Monster yang menyerangmu tadi adalah golem. Namun, kupikir mereka belum sempurna. Mereka semua terbuat dari lilin, yang berarti menandakan bahwa golem-golem tersebut adalah buatannya."Antonio menatap cairan lengket yang berada di sekitarnya dengan tatapan penuh kebencian. "Beruntunglah dia lebih suka memakai lilin dari pada besi seperti kaumnya yang lain. Akan sangat merepotkan jika harus berurusan dengan besi." Antonio memberikan jeda pada perkataannya. Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu. "Oh iya, kau belum menyebutkan namamu. Siapa namamu?"
"Lovino.. Vargas," jawab Lovino setengah hati. "Dan apa tujuanmu kemari? Dan apa maksudnya kau muncul di dalam.. ah, lupakan!" Wajah Lovino bersemu merah. Hampir saja ia berbicara akan hal yang memalukan. Kalau memang hanya kebetulan saja Antonio muncul di dalam mimpinya, Lovino berjanji akan segera berlari ke rumahnya dan bunuh diri saat itu juga. Sangat memalukan..
"Ah, maksudmu masuk ke dalam mimpimu? Ahaha, itu memang aku~"
Atau mungkin Lovino tidak akan jadi bunuh diri.. Melainkan membunuh orang yang berada di hadapannya sekarang ini. Belum sempat Lovino mengeluarkan suara protesnya, Antonio sudah berlutut di hadapannya. Dengan anggun dan bak gentleman, Antonio meraih lengan kanan Lovino dan mengecup punggung tangannya dengan lembut. Dan hal itu membuat Lovino semakin memerah, tentu saja. Lovino hendak menarik lengannya dengan kasar, namun terhenti ketika Antonio berkata,
"Selamat datang kembali, Il Principe."
To Be Continued
*Saya bingung mau masukkin apa ke dalam pelajaran sejarahnya itu. Mendadak saya inget sama buku Assassin's Creed yang saya pinjam dari teman saya sampai 5 bulan ngga dibalikin (curcol) dan yang paling saya inget adalah Girolamo Savonarola. Seorang rahib yang terkenal dengan ajarannya yang terlalu keras, seperti membakar atau menghancurkan benda-benda yang dianggap tidak baik, walaupun benda itu hanyalah benda-benda seni seperti lukisan, buku, dsb. Akhirnya ia dihukum mati dengan digantung, lalu dibakar oleh perintah Paus Alexander VI yang tidak menyukainya. Well, kalo di bukunya sih, Savonarola kurang lebih begitu juga, tapi dia nyolong apel dari si Ezio (bukan apel biasa loh ya). Intinya si Paus sama si Savonarola itu sejenis antagonis lah di sono.
A/N: Aduh.. Saya tidak tahu mau ngomong apalagi ._. Perkenalan diri mungkin? #plak Saya sebenernya udah dari lama nongkrong di FHI jadi silent reader, atau kadang-kadang ngereview pake akun yang satu lagi. Tapi ya.. ini cerita pertama saya di sini. Setelah memantapkan diri buat nge-publish cerita ini, akhirnya ke-publish juga ;v; Abis itu umm.. kalo ada yang mau berbaik hati ngereview, silahkan dengan senang hati deh XD
