Rating: Biar dipelototin tujuh hari tujuh malem juga nggak akan berubah dari M

Genre: Masih parody, humor, action, drama, ditambah dengan unsur kesadisan, kemasokisan, kegalauan, kemachoan, de-el-el, dari para authornya yang tercermin dalam karakter-karakter mereka. Jangan salahkan bunda mengandung.

Warning: 5 OC!male!Indonesia & OC!Male!Portugal. AU. Nista membara. Style menulis campursari. Pop-culture references. Daleman berkibaran. Konten shounen-ai/yaoi/slash/straight plus scene2 menjurus dan adegan2 nista yang tidak aman untuk minor bertebaran. Mulut Guntur. Otak Joni. Gilbert dan Lovino sebagai pemanis(?).

.


.

Hai, Joni.

Apa kabar? Sudah lama sekali tidak bertemu. Dua belas tahun, kalau tidak salah? Kuharap kau masih bocah scumbag yang kukenal, yang pernah menaruh ular di kolong kasurku sebagai balas dendam sudah mendorongmu ke empang.

Apa kau sudah bisa berenang sekarang? Aku cuma bisa berharap kau tidak tercebur ke kolam atau sejenisnya selagi aku tidak ada. Sangat tidak elit kalau nanti masuk berita bahwa putra bungsu keluarga Setiabudi ditemukan mengambang di kolam lele orang. Mau ditaruh di mana muka Bapak dan Ibu nanti? Ah, ya. Ngomong-ngomong soal Bapak dan Ibu…

Kutebak kau sudah jadi penerus museum keluarga sekarang, hm? Hidupmu pasti mapan, dengan kesuksesan dalam genggaman tangan. Kubayangkan Bapak dan Ibu menghadiri wisudamu dengan penuh kebanggaan. Dan sebelum kau mulai mendengus geli, aku akan menegaskan sekali lagi. Aku sama sekali tidak iri, adikku yang manis. Karena tidak sepertimu, aku bukan favorit Bapak dan Ibu. Dan aku punya rencana sendiri untuk masa depanku. Rencana yang sayangnya tidak sejalan dengan apa yang sudah direncanakan oleh Bapak dan Ibu. Yang membuatku tak punya pilihan selain meninggalkan rumah dua belas tahun yang lalu.

Aku menulis surat ini karena menurutku, sudah waktunya kau tahu alasanku meninggalkan rumah. Dan sekalian membuat pengakuan; yang dulu memasukkan selusin kucing liar ke kamarmu dan membuatmu batuk pilek parah sampai tak bisa bangun dari tempat tidur itu aku. Aku tidak mau mengambil resiko kau entah bagaimana tahu aku mau kabur pagi itu dan menghentikanku. Tadinya aku berpikir untuk memasukkan dua puluh ekor, tapi dalam waktu sesingkat itu hanya bisa menemukan selusin di kompleks kita, jadi, yah. Bersyukurlah.

Sampai di mana aku tadi? Ah, alasanku meninggalkan rumah. Kau tahu sendiri, Joni, bagaimana aku ini cepat bosan. Hidup ini sama sekali tidak menantang. Lahir dalam keluarga Setiabudi berarti kau tidak perlu khawatir lagi tentang uang, respek, maupun masa depan. Aku hanya perlu mengikuti jalan yang sudah dipaving oleh Bapak; lulus SMA, masuk arkeologi, mewarisi museum dan properti keluarga Setiabudi—bersamamu, mungkin. Bapak selalu bilang bahwa kita berdua akan jadi kombinasi yang mengerikan, walaupun secara personal aku selalu menganggap kau lebih menarik sebagai saingan daripada rekan. Masa depanku sudah diatur dan ditata bahkan sejak sebelum aku belajar berbicara. Apa lagi yang ada untuk dikejar? Tidak ada.

Sampai aku bertemu dengan seseorang. Seseorang yang semangat hidupnya begitu menyilaukan. Seseorang yang walaupun tahu dia bisa mati kapan saja, dia tetap menjalani hari-harinya dengan penuh makna. Seseorang yang membuatku mulai menghargai hidup dan kesehatan. Seseorang yang ingin kubahagiakan. Seseorang yang ingin kusembuhkan.

Itulah tantangan yang kutemukan, alternatif lain untuk menjalani hidup ini tanpa seumur hidup harus menderita kebosanan. Aku akan masuk dunia kesehatan, menjadi dokter bedah terbaik yang pernah dilihat dunia. Itu jalan baru yang kupilih sendiri, yang akan kujalani apapun yang terjadi. Selebihnya, kau sudah tahu. Bapak dan Ibu sama sekali tidak setuju aku banting setir ke kedokteran, dan kami bertengkar hebat. Dan besoknya, aku menghilang. Aku sama sekali tidak mengirimi kalian surat untuk mencegah Bapak menemukanku dan menyeretku paksa kembali ke rumah. Barulah sekarang, ketika aku sudah resmi jadi dokter spesialis bedah jantung—salah satu yang terbaik di Jerman, kalau kau mau tahu—aku berani mengirimimu surat ini.

Aku masih menebak-nebak bagaimana perasaanmu padaku; apa kau benci setengah mati padaku yang kabur begitu saja dan meninggalkan semua tanggung jawab keluarga padamu? Atau kau rindu padaku, satu-satu orang yang bisa membuatmu histeris dan bersembunyi dengan tidak elit di balik punggung Ibu? Atau kau sudah gatal ingin memukulku? Atau kau cemburu karena ada orang lain yang bisa membuatku melakukan tindakan drastis seperti kabur dari rumah? Yang manapun, cepatlah putuskan reaksimu. Sebelum aku pulang untuk menepati janjiku menyembuhkan orang itu, dan mungkin sekali kepikiran untuk sekalian mengenalkanmu dengan kucing-kucing peliharaanku.

Kakakmu yang—seperti yang ada di foto yang kulampirkan—masih populer di kalangan wanita taken maupun lajang,

Razak Karna Setiabudi

.


.

Hetalia Axis Powers © Hidekaz Himaruya

.

Sanjoyo L. Setiabudi © ry0kiku

Rangga Wicaksono © are . key . take . tour

Guntur Mahendrata © Jowo . Londo

Garuda Eka Prakoso © vreemdleven

Bhinneka Adhi Jayawardhana © skadihelias

.

THE UNDIES © Spice Islands

.


.

"Itu dari kakakmu, Sanjoyo."

Cokelat gelap itu langsung melebar dalam keterkejutan yang cukup ketara. Joni terpaku lama, membisu menatap amplop lusuh bersegel rapat dalam genggamannya. Tak merespon bahkan ketika si albino melambaikan tangan di depan wajahnya—tak mengindahkan si pirang yang facepalm—dan mengatakan sesuatu tentang sebuah rumah sakit di Jerman, lulusan termuda, antrian panjang pasien wanita…

"Bang Joni? Masih belum selesai ya, urusannya? Sarapan udah siap, dan Ntur udah tinggal segini lagi kayaknya bakal nekat mulai makan aja tanpa Bang Joni…"

"Tukang ngadu lo, Gar! Tabok pantat, nih!"

Suara-suara itu mengalihkan perhatian Gilbert dan Ludwig dan membuat Joni mengerjapkan mata, tersadar dari keterkejutannya. Joni rupanya tadi terpekur lama, cukup lama bagi Gar yang keheranan dan Guntur yang kelaparan untuk menyusulnya ke pintu depan, dengan Eka dan Rangga mengekor tak jauh di belakang. Gar sudah setengah jalan membuka mulutnya untuk membalas omongan asal menjurus pelecehan seksual Guntur ketika dia menyadari kehadiran dua sosok orang asing di pintu depan. Dua sosok tinggi besar yang membuatnya harus mendongakkan kepala dan langsung panik menyuruh otaknya beralih ke bahasa asing yang sudah lama tidak ia gunakan.

"Oh. Ehm… good morning, SirHow may we—?"

"Tidak perlu repot-repot, nak. Kami sudah belajar bahasamu." Si pirang, Ludwig Beilschmidt, memotong sopan. Di sebelahnya, Gilbert Beilschmidt mengangguk-angguk bangga.

"Betul sekali! Tiga bulan intensif, dan Razak Setiabudi sendiri yang mengajarkannya pada kami begitu tahu kami akan ditugaskan ke negara ini. Sayangnya tidak gratis; kami harus mencari adiknya dan menyerahkan surat titipannya. Dia memberi daftar rumah dan properti yang keluarga kalian miliki, dan karena dia juga tidak tahu adiknya sedang tinggal di rumah yang mana, kami jadi harus mendatangi semuanya satu per satu. Selusin lebih rumah itu…"

"Bruder, jangan curcol…"

Keempat orang yang baru sampai di pintu depan itu mengerjap, masih belum begitu tersambung dengan pembicaraan.

"Selusin lebih rumah?" Guntur berkata dengan nada tercekik. Sudah setengah bulan dia tinggal bersama Joni dan ternyata dia belum melihat semua kehedonan sang sejarawan.

"Razak Setiabudi…" Eka bergumam pelan, nyaris tak terdengar.

"Joni, kau punya saudara?" Rangga mendongak menatap Joni, mata kelabunya melebar penasaran. Yang ditatap masih berdiri diam, tak memberi jawaban.

"Surat titipan?" Gar mengerjap, melirik amplop lusuh dalam genggaman Joni. Insting bigosnya mengisyaratkan akan terjadi sesuatu yang sangat sinetronis sebentar lagi.

Ludwig menghela napas, mengerenyit ketika melirik arlojinya. "Baiklah, kami ke sini hanya untuk mengantarkan surat itu. Kalau tidak keberatan, kami undur diri sampai di sini. Maaf sudah mengganggu pagi kalian."

"Tidak apa-apa. Terimakasih sudah meneruskan surat ini pada saya." Setelah lama membisu Joni akhirnya angkat suara, mengangguk sopan pada kedua bule bersaudara itu sambil menyunggingkan senyum profesional yang biasa ia berikan pada klien bar. Hanya saja, Rangga mengamati, sudut-sudut bibir Joni entah kenapa tampak lebih tegang dari biasa…

Ludwig membalas senyum Joni dengan sebuah anggukan sopan, sebelum berbalik dan mulai berjalan menuruni undakan. "Bruder, ayo pergi. Aku harus segera ke rumah sakit dan mengurus dokumen transfer secepatnya."

"Sebentar, Lud." Mata rubi itu menyipit, sang pemilik masih bertahan berdiri di pintu depan, tampak sedang berpikir keras. "Kau. Rasanya aku pernah melihat wajahmu, entah di mana… Apa kau pernah main di blue film yang dijual sampai ke Jerman? Atau jadi bintang iklan bir lokal? Tunggu, aku ingat! Mukamu mirip sama yang ada di foto yang dia bawa kemana-mana—"

"Bruder!"

"Iya, iya, aku jalan sekarang! Ya ampun, Lud, kaku amat sih, jadi orang." Si albino berdecak, berbalik dan menyusul adiknya. Namun tidak sebelum menoleh untuk terakhir kali dan melambai santai, "Oke, sudah dulu ya. Dan kau, Sanjoyo. Selamat bernostalgia dengan kakakmu tercinta."

Kelima Undies itu hanya bisa melongo dan melambai balik—alasan kesopanan—sampai taksi yang membawa kedua bule itu menghilang dari pandangan. Mereka lalu beralih ke satu-satunya tanda mata yang ditinggalkan kedua tamu asing itu; amplop putih di tangan Joni.

"Itu surat dari kakakmu, Joni?" Rangga bertanya polos.

"Buset, lo kok gak bilang ke kita-kita lo punya kakak sih, Jon? Gue kira tadinya lo anak tunggal, tahunya lo punya kakak. Di mana kakak lo sekarang?"

"Bang?" Gar bertanya, nadanya hati-hati. Dia bisa mendengar suara-suara berkecambuk dari pikiran Joni; suara-suara yang membuatnya was-was.

"Guntur. Kau bawa pemantik?" Joni berucap tiba-tiba, tidak menjawab satupun dari pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Yang ditanya mengangkat alis, heran.

"Yah, gue tinggal di kamar. Emang kenapa, Jon?"

"Kalau begitu, ambil sekarang dan," Joni menjejalkan surat itu ke tangan Guntur—bentuk amplopnya sudah tidak keruan bekas diremas—lalu berbisik dengan nada sedingin es Antartika. "Bakar surat ini. Sampai tak bersisa."

Tak mempedulikan ekspresi 'what the hell' yang dikenakan Guntur, ekspresi penasaran—dan sedikit khawatir—dari Rangga serta tatapan intens dan mengkalkulasi dari Eka, Joni berbalik dan meninggalkan rekan-rekannya dengan langkah lebar dan cepat, menaiki tangga menuju kamarnya. Rangga sudah bergerak hendak mengikuti, kalau saja tangan Gar tidak mendarat di bahunya dan sang pembaca pikiran menggelengkan kepala, isyarat bisu untuk membiarkan tuan rumah mereka sendirian untuk sementara.

"Kesambet apaan tu orang?" Guntur mengerenyit, masih menggenggam surat itu di tangan. Sang mekanik lalu beralih pada Gar, alisnya sedikit terangkat. "Gar, lo pasti tahu sesuatu, kan? Itu si Joni kenapa?"

Yang ditanya hanya menghela napas panjang, ekspresinya muram. Kadang bisa membaca pikiran itu teramat melelahkan. "Dari yang gue tangkep dari pikirannya sih, Bang Joni nggak begitu suka sama kakaknya. Udah sampe ke arah… benci, bahkan."

"Oke, itu cukup menjelaskan." Guntur membolak-balik amplop di tangannya, alisnya bertemu. "Terus, sekarang gue mesti apain nih, ni surat? Masa bakar gitu aja? Kalo semisal isinya penting gimana?"

"Ya tapi gimana, Bang Joni dari yang gue tangkep dari isi kepalanya sih kayaknya sampai lo ngaku di depan gedung DPR kalo lo gay juga gak bakal mau baca surat kakaknya itu…"

"Lo gak ada perbandingan lain yang lebih normal, Gar?" Guntur berdecak kesal. "Terus gimana? Apa gue jadiin alas kaleng oli di garasi? Tapi ukurannya nanggung gini..."

"Bagaimana kalau kita coba baca suratnya terus kasih tahu ke Joni isinya seperti apa?" Tiga pasang mata serentak menoleh ke arah pemuda berambut ikal yang baru saja menyuarakan usulan. Rangga Wicaksono menatap balik rekan-rekannya, manik kelabunya mengerjap polos. "Jadi, kita kayak R2D2 yang merekam pesan dari Putri Leia untuk diteruskan pada Obi-Wan Kenobi di planet Tatooine—"

"Ide bagus, Rangga." Guntur buru-buru memotong sebelum penjelasan Rangga menjalar ke mana-mana dari Tatooine ke Aldeeran, lalu lanjut ke Naboo dan Coruscant. Oke, abaikan yang barusan. "Jadi... kita baca aja nih, suratnya? Kalo nanti isinya penting, salah satu dari kita nanti nerusin isi surat ini ke-"

"Jangan." Untuk kedua kalinya, tiga pasang mata serentak menoleh ke asal suara. Namun kali ini yang bicara bukan si pemuda berambut ikal, namun pemuda berambut berantakan di sebelahnya. Suara dan raut mukanya menggambarkan ketidaksetujuan besar. "Ini kan surat pribadi dari kakaknya Bang Joni buat dia, masa' kita mau asal baca gitu? Nggak etis lah, Ntur."

"Etis itu apa Gar?"

Pertanyaan polos dari Rangga membuat Gar terlihat makin terganggu. "Emh… Etis itu… nggak sopan, Rang. Contohnya ngeliat sesuatu punya orang lain yang…. gak seharusnya kita baca atau tahu."

Rangga terdiam. Guntur menatap Gar dalam, keningnya berkerenyit. "Tapi Joni-nya udah jelas-jelas gak mau baca gitu. Nggak sayang apa lo kalo suratnya udah susah-susah ditulis dan dianterin dari seberang laut gini cuma dipake jadi alas oli?"

"…Tapi kan…"

Kata-katanya berhenti di tengah. Guntur melanjutkan argumennya dengan nada lebih pelan, "Kalo misalnya isinya penting, terus Joni telat dapet beritanya, gimana Gar?"

Guntur tidak bermaksud untuk adu mulut, Gar tahu. Seperti biasa, Guntur hanya mengatakan pendapat logisnya tentang hal ini. Ekspresi Gar terlihat makin putus asa, ditambah tatapan teman-temannya padanya… Gar menghela napas berat. Ia tahu Guntur benar. "Yah…terserah lo deh, Ntur."

"Eh, lo mau ke mana?" tanya Guntur, melihat Gar berbalik masuk ke dalam rumah, meninggalkan mereka.

"Dapur, bentar. Kalian sarapan aja duluan sambil baca tuh surat."

"Lo gak mau tau isinya? Siapa tau lo bisa ngasih saran apa gitu kalo-"

"Gue gak ikut baca juga gue bakal tau isinya kan?" Katanya sambil berlalu, meninggalkan Guntur, Rangga dan Eka bertiga menatap punggungnya sampai berbelok di pintu. Rangga menatap Guntur yang masih mengerenyit, keheranannya makin bertambah melihat teman-temannya yang mendadak aneh hanya karena satu surat. Kalau Joni dia masih bisa mengerti…

"Guntur, Gar kenapa?"

"Udah biarin aja, Rang. Entar juga dia oke sendiri, kok."

Guntur berjalan menuju meja bar terdekat, menarik kursi dan duduk di atasnya. Rekan-rekannya mengikuti jejaknya, berdesakan dan mencondongkan badan ke arah Guntur supaya bisa melihat lebih jelas. Amplop dirobek, menjatuhkan sebuah kertas yang terlipat rapi berikut sebuah foto pemuda berjas putih yang—membuat Guntur melotot iri—tengah dikelilingi wanita-wanita pirang berparas cantik nan seksi.

Pemuda yang sepintas tampak begitu mirip dengan Joni, versi tanpa kacamata dan rambut lurus yang dibiarkan jatuh alami sampai ke tengkuk. Pemuda yang tulisannya lima belas menit kemudian membuat Guntur terdiam lama, alis Rangga tertaut, dan Eka menatap kosong tanpa ekspresi seperti biasa. Ketiganya masih terdiam sampai akhirnya Rangga berdiri dan berkata hendak menemui Joni di kamarnya.

Kalau ada yang mesti menangani Joni dalam mood yang mendadak tak tertebak seperti ini, tidak ada yang lebih bisa dipercaya selain Rangga.

.


.

Sepasang manik abu-abu itu mengerjap, berusaha memfokuskan pandangan dalam kamar yang remang-remang. Tirai ditutup menghalangi cahaya matahari pagi dan lampu dimatikan. Suasana yang membuat Rangga merasa tidak nyaman dan agak tertekan. Tangannya meraba mencari sakelar lampu di dekat pintu dan menekannya, memenuhi ruangan itu dengan cahaya.

Sekaligus membuat sosok yang tengah duduk memunggunginya di tempat tidur mengejang seketika.

"…Garuda?"

"Bukan, ini Rangga."

Pemuda hilang ingatan itu menjawab pelan, sedikit mengerenyit mendengar nada begitu dingin yang baru saja keluar dari mulut sang sejarawan. Selama beberapa minggu ini Rangga tinggal bersama Joni baru pertama kalinya dia melihat pemuda berkacamata itu bersikap setertutup dan sedingin ini. Dan itu membuat dadanya terasa sesak, entah kenapa.

"Tolong tinggalkan aku sendiri, Rangga."

Diucapkan dengan nada biasa, namun bahkan Rangga bisa merasakan hawa dingin dalam setiap kosakata. Separuh instingnya menyuruhnya untuk segera keluar dari kamar dan kembali ke kehangatan ruang makan bersama Guntur, Gar, dan Eka, sementara separuh lagi menyuruhnya tinggal, bersama rekan yang saat ini tampak jelas sedang membutuhkan bantuan. Dan Rangga memilih yang kedua; memaku dirinya di tempat, tak menyerah.

"Kata Gar, sarapan sudah—"

"Tinggalkan aku sendiri."

Rangga bisa merasakan seolah sepotong es menuruni perutnya, merasakan geletar menjalari punggungnya. Joni tidak pernah bicara dengan nada seperti itu padanya. Nada yang membuatnya ciut, ingin mencari selimut terdekat dan meringkuk di baliknya. Nada yang membuatnya ingin berlindung di balik punggung orang yang ia percaya, orang yang bisa melindungi dan membuatnya nyaman. Ironisnya, saat ini justru orang itulah yang sedang membuatnya terintimidasi dan ketakutan.

Namun, itu tidak cukup untuk menghentikannya.

"Joni, aku—"

"Rangga, kumohon. Aku tidak ingin melukaimu tanpa sengaja, jadi tolong. Keluar. Sekarang."

Itu bukan bentakan; hanyalah gumaman rendah yang tak lebih dari bisikan. Namun didesiskan dengan begitu penuh emosi, penuh ancaman. Rangga bisa merasakan emosi baru di dadanya, berdampingan dengan ketakutan dan ketidaknyamanan. Emosi entah-apa yang—melawan akal sehatnya—justru mendorongnya untuk mendekati sosok yang duduk kaku di ranjang itu, lalu melingkarkan tangan di seputar pinggang, memeluk tubuh sang sejarawan dari belakang. Dia bisa mendengar tarikan napas panjang dan merasakan tubuh yang mendadak menegang, namun bertahan pada posisinya. Tak peduli apapun resikonya.

"…Rangga. Apa yang kau lakukan?" Desisan itu masih dingin, namun dosisnya bisa dibilang berkurang secara signifikan. Sudah bercampur dengan keterkejutan. Rangga merespon dengan mengeratkan pelukannya, memejamkan mata ketika sisi kiri wajahnya bertemu dengan tengkuk Joni yang tak tertutup piyama.

"Memelukmu. Kau bilang memeluk orang bisa membantu untuk meringankan beban pikiran. Kau juga sering memelukku kalau aku bermimpi buruk." Ya, potongan-potongan adegan mengerikan—yang selalu dia lupakan total begitu kembali ke alam sadar—yang dulu sering membuatnya terbangun malam-malam dalam keadaan histeris dan ketakutan. Pernah bahkan dia sampai memukul Joni tanpa sadar. Dan setiap kali mimpi buruk itu menyerang, Joni selalu memeluknya, mengusap punggungnya dengan begitu lembut, membisikkan kata-kata yang menenangkan sampai gemetarnya hilang. Sampai ia tertidur dalam dekapan sang sejarawan…

"Kupikir, kau yang sekarang sedang butuh dipeluk, Joni." Rangga berbisik perlahan, namun penuh ketegasan.

Tak terdengar respon apapun dari Joni selama beberapa detik yang terasa bagai berjam-jam, sampai akhirnya terdengar suara dengusan pelan. Rangga tak bisa melihat langsung wajah Joni dari posisinya, namun ia entah bagaimana tahu kalau Joni tengah menyunggingkan senyuman. Pemuda bermata abu-abu itu memejamkan matanya, lega mulai merambati tubuhnya sendiri begitu merasakan punggung kaku Joni merileks dan merasakan tangan besar sang sejarawan menyentuh lembut lengannya, membelainya. Seulas senyum lega mulai menghiasi wajah manis Rangga. Joni perlahan-lahan mulai kembali seperti semula.

Keduanya tetap di posisi itu selama beberapa saat; Rangga membenamkan wajahnya di tengkuk Joni, sementara Joni membelai lembut lengan Rangga yang merengkuh pinggangnya. Saling menikmati kedekatan dan kehangatan yang ditawarkan oleh tubuh masing-masing. Sampai akhirnya Joni memecahkan keheningan, dengan nada suara yang untungnya sudah kembali normal.

"Siapa yang menyuruhmu ke sini dan menenangkanku? Guntur atau Gar?"

"Tidak ada. Aku ke sini atas kemauan sendiri." Rangga bergumam, masih memejamkan mata dan menyandarkan kepala di tengkuk Joni. Menikmati kehangatan dan aroma tubuh sang sejarawan.

"…Kalian membaca surat kakakku?"

"Ya. Kata Guntur, tidak ada pilihan. Kau takkan mau membacanya apapun yang kami katakan."

"Memang." Respon mengiyakan yang cepat. Terlalu cepat. Rangga mengangkat kepalanya, mengerenyit penasaran.

"Kau… kenapa sebenci itu dengan kakakmu, Joni? Dia kan, keluargamu sendiri." Keluarga. Kata itu membuat Rangga tercekat, entah kenapa…

Joni kembali terdiam selama beberapa detik penuh sebelum menjawab, nada sedingin es itu sudah kembali ke suaranya. "Dia bukan keluargaku. Orang yang lari dari rumah dan dari tanggung jawab seperti dia tak layak disebut sebagai bagian dari keluarga." Bungsu Setiabudi itu terdiam sejenak, dan Rangga bisa melihat dari sudut matanya bahwa jemari itu tengah mencengkeram erat seprei ranjang. "Dia bahkan tidak menghadiri pemakaman orangtua kami…"

Terimakasih pada ingatannya yang hilang, Rangga mungkin masih polos dan belum begitu berpengalaman dalam komunikasi dan memahami masalah orang lain. Namun saat itu saja, Rangga menyadari bahwa Joni sedang butuh mencurahkan emosi dan perasaan. Butuh didengarkan dan ditenangkan. Dan hanya itu yang bisa ia lakukan.

"Kakakmu meninggalkan rumah karena ada alasannya, Joni. Dia—"

"Mau menjadi dokter bedah, aku tahu. Aku masih ingat bagaimana dia berdebat panas dengan orangtuaku, di malam sebelum dia kabur. Dan aku juga sudah tahu dia sudah jadi dokter bedah yang sukses di Jerman sewaktu aku memegang suratnya dan mengaktifkan psikometri-ku. Aku tidak tertarik."

"Tapi kau tidak membaca suratnya, kan? Ada alasan kenapa dia ingin jadi dokter. Sesuatu tentang… umm… hidup jadi bermakna… menyembuhkan seseorang…" Rangga terdiam, mencoba mengingat-ingat lagi isi surat yang barusan ia baca. Kakak Joni agaknya memakai tata bahasa yang mirip dengan Joni, bahasa kelewat formal dan berputar-putar yang kadang susah dimengerti.

Joni mendengus, campuran antara sinis dan geli. "Biar kutebak, pasti omongannya di surat itu terbaca begitu manis, mulia, dan gombal. Jangan tertipu suratnya, Rangga. Dia itu scumbag, mesum, dan kutuan pula."

Giliran Rangga yang mendengus geli.

"Kenapa tertawa? Aku tidak bercanda, Rangga—"

"Maaf, maaf. Aku cuma geli saja. Kalau kakakmu benar seperti yang baru saja kau deskripsikan itu, berarti dia mirip sekali denganmu, kecuali bagian kutuannya."

"Hei! Yang barusan itu maksudnya apa?"

Rangga tertawa jenaka ketika Joni mendadak berbalik, ekspresi marah yang dibuat-buat terpasang di wajahnya. Pemuda yang lebih tua itu lalu mencubit pipi Rangga gemas, gestur main-main yang membuat Rangga kian tergelak. Keduanya terus bergumul seperti itu, tertawa lepas sampai keduanya nyaris kehabisan napas.

"Aku senang… kau sudah kembali seperti semula." Rangga berkata di tengah napasnya yang masih sedikit terengah. Manik kelabunya menatap cokelat milik Joni dengan pandangan lembut. "Menjadi Joni yang kukenal, yang selalu bisa membuatku merasa nyaman dan tentram."

Cengiran itu bahkan masih belum lenyap dari bibir Rangga ketika rona jenaka dalam sepasang manik cokelat itu mendadak digantikan oleh emosi tak terbaca. Dan sebelum Rangga tahu, Joni sudah makin mendekatkan wajah ke arahnya, memaksa sepasang manik kelabunya untuk terus terpaku pada badam cokelat milik sang sejarawan.

"…Joni?"

Pertanyaannya lumer dalam desahan. Jemari itu meraih dagunya, membuatnya mendongak. Jarak keduanya begitu dekat sekarang; dia bisa merasakan napas Joni di pipinya. Rangga teringat situasi ini sangat mirip dengan yang pernah dialaminya dulu; malam saat dia bertanya tentang arti ciuman pada sang sejarawan. Jangan-jangan…

Dan bila ia menciummu di bibir, itu berarti dia mencintaimu.

Entah apa yang mendorong Rangga untuk perlahan menutup kedua matanya, menanti dengan hati berdebar tak karuan. Sosok sang sejarawan terasa semakin dekat, terlalu dekat sampai-sampai Rangga khawatir suara detak jantungnya yang semakin meliar—entah kenapa—terdengar olehnya. Jemari yang mengelus lembut dagunya kini sudah berpindah posisi, naik menelungkup di pipinya dan mengusap lembut pipi yang memanas tersebut.

Debar jantungnya semakin tak karuan, tanpa Rangga sendiri tahu mengapa. Sebuah rasa penuh harap dan kegembiraan memuncak mendadak muncul, serta merta memenuhi seluruh tubuhnya. Matanya masih terpejam, membuat semuanya terasa semakin menegangkan.

Desah napas panjang keluar dari mulut Rangga ketika sang pemuda berambut ikal merasakan ujung hidungnya mulai beradu dengan hidung Joni. Jarak antara bibir keduanya tinggal sebatas helai rambut, dipisahkan oleh celah kecil udara yang dalam waktu singkat akan benar-benar hilang.

Sayangnya, sensasi ciuman lembut di bibir yang selama ini hanya dibayangkan Rangga dan ia lihat di film-film tak kunjung datang, tidak juga untuk pagi ini. Karena, detik terakhir saat bibir mereka akan bertemu, Joni memiringkan wajahnya.

Dan mencium pipi Rangga.

Bagai diguyur air es, kehangatan dan gejolak aneh di perut Rangga mendadak hilang, beku. Kedua kelopak matanya sontak terbuka dan mengerjap berkali-kali, kebingungan. Sepasang mata kelabu itu melirik—sedikit tak percaya dan masih kebingungan—ke samping, tepat menatap Joni yang masih mencium lembut pipinya.

Entah mengapa, rasa kekecewaan tiba-tiba muncul.

"Terima kasih, Rangga," bisik Joni sambil melingkarkan tangannya di sekitar pinggang Rangga, memeluk sang pemuda hilang ingatan. Dia membenamkan wajahnya di atas pundak Rangga dan mendesah nyaman. "Kalau bukan karenamu, aku pasti masih dalam mood jelek. Kau memang teman yang paling mengerti aku."

Tenggorokan Rangga terasa tercekat dan suara tak mau keluar. Sebagai balasan, sang pemuda bermata kelabu hanya tersenyum tipis dan balik memeluk Joni, sementara pikirannya carut-marut.

Selama beberapa detik, keduanya terus berpelukan erat tanpa berbicara. Orang pertama yang menjauh adalah Joni. Sambil tersenyum lembut, sang sejarawan berambut hitam itu berbisik pelan, "Ayo kita ke ruang makan. Kasihan Gar, sudah capek-capek membuat sarapan malah tidak kita makan."

Joni bangkit dari tempat tidur, merapikan sedikit piyamanya yang masih kusut—dia tidak sadar kalau beberapa waktu yang lalu ia menerima tamu dengan piyama, sangat tidak profesional—lalu mengulurkan tangannya, mengajak Rangga untuk ikut bersamanya. Terlewat oleh sang sejarawan mimik wajah si pemuda yang sedikit kecewa.

"... Kamu duluan saja," bisik Rangga pelan. Senyum yang terpapar di wajah manisnya tampak begitu dipaksakan, namun tak disadari oleh si sejarawan. "Nanti aku susul. Toh, aku tadi sudah comot satu roti gandum, kok."

Sejenak, Joni menatap ragu ke arah Rangga yang masih tersenyum. Mata cokelatnya sejenak terpaku pada sosok pemuda berambut ikal dan merasakan kejanggalan dari senyuman itu, tapi Joni tak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan Rangga.

"Sana, sarapan dulu. Aku baca di internet kalau sarapan itu waktu makan yang paling penting, lho. Bahaya kalau nanti kamu pingsan di bar gara-gara kurang makan, kan?" ucap Rangga, kali ini dengan senyum yang lebih lebar dan tawa ceria seperti biasanya.

Joni tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya. Ah, mungkin yang barusan itu salah lihat. Tak mungkin Rangganya yang ceria dan selalu penuh senyum ini mendadak muram seperti mau menangis tanpa sebab, kan?

Sang sejarawan akhirnya berjalan keluar dari kamar, meninggalkan Rangga sendirian di kamar tidur yang luar biasa besar dan hening itu. Tubuh kurusnya masih terduduk di atas tempat tidur, di posisi yang sama ketika ia dan Joni duduk bersama. Pelan-pelan, tangannya merambat naik, merasakan dengan jemari tangannya posisi dimana Joni baru saja menciumnya.

Bila ia menciummu di kening atau pipimu, Itu berarti dia menyayangimu.

Pelan-pelan, jari-jari tangannya bergeser ke arah bibirnya. Joni mau mencium pipinya, tapi tak pernah mau menciumnya di bibir.

Dan bila ia menciummu di bibir, itu berarti dia mencintaimu.

Sikap sang sejarawan membuat Rangga bisa menyimpulkan satu hal: Joni tidak mencintainya. Ia hanya menyayanginya sebatas teman.

Rasa nyeri di dada terasa menusuk ketika kesadaran tersebut muncul. Rasa sakit yang bertambah nyeri ketika bulir air mata yang pertama jatuh menuruni pipi sang pemuda hilang ingatan tanpa ia tahu sebabnya.

.


.

Sore itu dihabiskan oleh kelima Undies dalam urusan mereka masing-masing. Guntur masih sibuk mengerjakan perlengkapan 'perang' mereka, Eka entah di mana—dipikir-pikir, sang android sedikit menarik diri semenjak membaca surat Razak untuk Joni—Gar mempersiapkan bahan masakan di dapur bar sambil menggerutu, Joni sibuk mengurus beberapa dokumen penting dari museum yang harus ia tandatangani, dan Rangga masih berguling-guling di atas sofa menonton film kesukaannya.

Sekalipun Rangga terlihat yang paling tak ada kerjaan—hanya nonton televisi, mengemut wortel rebus, memeluk guling motif strip biru-putih, dan menyeruput vodka layaknya air keran—pikiran si pemuda berambut ikal ini tak kalah kacaunya dengan teman-temannya. Apa yang terjadi tadi pagi masih membekas erat di pikirannya dan sulit dienyahkan. Acara menonton ulang Star Wars Episode 5 yang sudah ia hafal luar-dalam ini sebenarnya bertujuan untuk mengobati rasa sakit yang ia rasakan tadi pagi, tapi sialnya perih di dada malah semakin menjadi ketika adegan ciuman antara Han Solo dan Putri Leia terpampang di layar televisi.

Secara otomatis, tangan Rangga langsung menyambar remote dan menekan tombol pause. Mata kelabunya menatap lekat ke layar televisi, meresapi tiap detil adegan di depannya. Rupanya tak mustahil untuk saling cium bibir. Tadinya, pikiran polos sang pemuda berambut ikal sempat menarik kesimpulan bahwa Joni beralih mencium pipi karena hidung mereka saling terantuk, tak bisa dilanjutkan.

Tapi nyatanya, ciuman bibir itu bukan hal yang mustahil, bahkan ketika dilakukan secara tiba-tiba seperti Han dan Leia.

Mata kelabu itu masih menatap lekat ke layar televisi dan keningnya berkernyit dalam. Mulutnya yang semula sibuk mengemut wortel sekarang terkatup rapat dan sudut bibirnya melekuk ke bawah. Perasaan kecewa sekaligus sedih yang tadi ia rasakan kembali terasa menusuk di dada.

Penolakan halus—kelewat halus—tadi pagi rupanya masih membekas nyata.

"Rang, lo ngapain di-pause bagian ciuman, sih?"

Suara berat sang mekanik andalan Undies sukses menyentak Rangga dari lamunannya dan segera menekan tombol play, melanjutkan adegan yang sempat terhenti. Kepalanya dengan cepat menoleh ke samping dan mendapati sosok Guntur Mahendrata berdiri di samping sofa. Overall jins warna biru tua dan kaus oblong lengan pendek yang ia kenakan terlihat kotor oleh oli. Kemungkinan besar si pemuda berambut cepak ini bakal disemprot Gar lagi ketika menyetor pakaian kotor.

"... tidak apa-apa..." gumam Rangga yang kembali membenamkan mukanya ke guling yang ia seret keluar dari kamarnya. Dadanya masih terasa sesak entah karena apa dan matanya kembali perih. Buru-buru sang pemuda berambut ikal mengerjap-ngerjapkan matanya, berusaha mengenyahkan air mata yang mulai menggenang. Tak sudi ia bila harus meneteskan air mata di depan Guntur.

Sekalipun Guntur bukan orang paling sensitif di muka bumi, pria bertubuh tinggi ini tahu kalau rekannya sedang dilanda masalah. Seumur-umur ia tinggal dengan Rangga, tak pernah pemuda ini terlihat begitu... murung. "Beneran?" tanyanya, tak yakin.

"Aku mau tidur dulu, ya." Sebuah balasan di luar konteks meluncur keluar dari mulut Rangga dengan suara yang sedikit bergetar. Gerakan pemuda kurus itu begitu cepat, sampai Guntur tak sempat melihat ekspresi wajahnya. "Aku mau pamit Joni dulu ke bar." lanjut Rangga lirih, lalu menghilang di belokan, meninggalkan Guntur yang masih terdiam.

Sang pemuda berambut cepak itu menghela napas panjang lalu menggaruk kepalanya. Alis matanya bertautan, kebingungan, ketika mata cokelatnya menatap jam dinding tak jauh darinnya. "Padahal ini masih jam sepuluh kurang, tapi kenapa Rangga udah mau tidur? Biasanya dia tidur pagi, kan?"

Kaki berbalut kaus kaki tebal dan selop bulu itu menapaki tangga dengan terburu-buru. Rangga ingin lari dari kejaran pertanyaan dan pandangan mata menyelidik Guntur. Mau jawab apa dia bila ditanyai kenapa ia sedih? Bila ia menjawab dadanya perih, Rangga juga tak bisa memberikan jawaban atas perihnya dada. Lari dari pertanyaan adalah solusi terbaik dan paling melegakan, sejauh ini.

Rangga terhenti di ujung tangga, termenung ketika melihat lautan manusia berlalu-lalang memenuhi lantai satu rumah merangkap bar mereka. Bar Spice Islands baru dibuka sekitar dua jam yang lalu dan pengunjungnya sudah sebanyak ini.

"Permisi," gumam Rangga setiap kali tubuh rampingnya yang berbalut sweater warna biru tua bersenggolan dengan sosok asing –pria maupun wanita. Beberapa bahkan mencoba untuk mengajaknya bicara dan menawarinya minum, namun langsung ia tolak dengan halus. Beruntung tak ada orang kurang ajar yang berani menyolek pantatnya lagi...

Jarak antara Rangga dengan bar dimana Joni bekerja tinggal berjarak dua meter. Seulas senyum bahagia tersungging di bibir sang pemuda hilang ingatan ketika mata kelabunya berhasil menemukan sosok yang ia cari. Pemuda berkacamata itu sekarang sedang sibuk melayani pesanan tiga orang tamu yang bersorak antusias ketika melihat aksinya melempar botol dan shaker.

Baru saja Rangga hendak mendekat dan menyapa si pemilik bar, sesosok pemuda lain langsung menyeruak masuk ke balik counter bar. Sosok pemuda berambut berantakan yang mengenakan apron warna putih—sedikit kotor oleh noda minyak dan gravy—dan langsung marah-marah sambil mengacungkan buku menu.

"Bang Joni gimana, sih?! Ngubah menu, kok, gak pake izin aku?! Kan aku jadi repot masaknya!" bentak Gar.

"Jangan marah-marah di sini, dong, Garuda sayang." Bisik Joni lembut seraya menggamit lengan si pemuda pembaca pikiran dan menariknya mendekat. Joni menggiring Gar perlahan menjauh dari jangkauan pendengaran pelanggan tanpa melepaskan tangan di sekitar lengan Gar. Posisi keduanya begitu rapat sampai pundak saling bertemu. "Memang menunya kenapa?"

"Ini kenapa di menunya bisa mendadak ada sashimi? Edamame? Bang Joni mau bikin bar ato izakaya, sih?"

"Oh, itu. Berhubung aku mengamati cukup banyak juga pengunjung bar yang berasal dari Asia Timur, jadi kupikir mungkin ada baiknya kalau kita selipkan beberapa delicacy khas daerah sana ke menu kita. Biar lebih multikultural aja."

"Multikultural sih, multikultural. Tapi nggak tiba-tiba masukin sashimi juga, Bang! Aku yang biasa motong lele sama gurami kalo mendadak disuruh motong tuna mentah gini ya kelabakan, lah. Nanti kalo motongnya gak bener terus yang makan keracunan dan sakit perut terus kita dituntut—"

"Reaksimu berlebihan, Garuda. Tenanglah sedikit."

"Gimana aku bisa tenang dengan tangan Bang Joni udah setengah jalan menuju pantatku kayak gini?!"

"…Yah, ketahuan."

"BANGGGG!"

Percakapan antara bartender dan koki itu hanya terdengar samar bak radio rusak di telinga Rangga. Perhatian sang pemuda berambut ikal terlalu terfokus pada tangan Joni yang entah sejak kapan sudah berpindah dari lengan ke pinggang Gar, pada gestur Joni yang sampai sedikit membungkukkan badan sampai kepala keduanya nyaris sejajar, pada senyum menggoda di wajah Joni dan rona merah malu di wajah Gar...

Melihat itu semua membuat Rangga mendadak tidak ingin berada di sana.

Joni dan Gar terlalu sibuk berdiskusi untuk melihat sosok Rangga yang batal mendekat dan memutuskan untuk kembali ke atas. Lagi, dadanya terasa perih dan sakit. Ia bahkan tak sanggup membendung air mata yang entah kenapa membanjiri pipinya.

Guntur yang baru saja sampai di pertengahan tangga tertegun melihat sosok Rangga berjalan cukup cepat menyeruak lautan manusia dan menaiki tangga. Kepalanya menunduk begitu dalam, menyembunyikan wajahnya dengan helaian rambut ikal. Tak mempedulikan Guntur, Rangga berjalan dengan cepat dan berlari menuju kamarnya.

Tanpa repot-repot mengganti pakaian, Rangga langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur, menarik selimut, mematikan lampu, dan membenamkan wajahnya yang basah oleh air mata ke bantal, meredam isak tangis.

"... Rangga...?" Suara Guntur terdengar sayup-sayup membelah keheningan kamar, membuat si pemiliki nama mengangkat kepalanya sedikit. "Lo nggak apa-apa?"

"... Ya..." balas Rangga pelan dengan suara yang parau. Isak tangisnya semakin menjadi dan air mata turun semakin deras. "... aku nggak apa-apa, kok..."

Guntur menghela napas panjang dan segera berjalan ke samping Rangga. Dinyalakannya lampu meja di samping tempat tidur sebelum ia menarik kursi dan duduk di samping Rangga. "Menurut lo, gue mau percaya?" gumamnya. "Nggak mungkin lo nggak kenapa-napa kalo lo sampe nangis sesenggukan kayak gini. Cerita ke gue, Rang. Lo kenapa?"

Didesak seperti ini malah membuat perasaan Rangga semakin tak karuan. "... aku nggak tahu..." bisik Rangga dengan suara tipis yang membuat Guntur miris. "Aku sendiri nggak tahu... kenapa aku menangis seperti ini... tiba-tiba saja... air matanya..."

Sang pemuda bermata abu-abu kembali terdiam dan hanya isak tangis yang memenuhi kamar. Guntur juga terdiam, memutuskan untuk membiarkan Rangga menangis sepuas hatinya dan menawarkan sekotak tissue kepada Rangga.

"Rasa sakit ini—" desis Rangga pelan sambil meremat dadanya. "—rasa perih ini apa artinya, Guntur? Rasanya dada ini sakit setiap kali Joni dekat dengan orang lain..."

Bingung harus menjawab apa—karena dibilang terus terang pasti Rangga tak akan mengerti juga—Guntur hanya tersenyum kecil dan menepuk-nepuk lembut kepala Rangga, gestur yang biasanya dilakukan oleh Joni saat menenangkan si pemuda hilang ingatan.

"Nanti juga lo bakal tau, kok." Ibu jarinya bergerak mengusap bulir air mata dari pipi Rangga. "Sekarang, lo tidur aja, ya. Biar besok lo udah lebih tenang lagi. Udah, Rang, jangan nangis lagi. Besok kalo mata lo bengkak bakal ditanyain lagi sama Joni..."

"... Joni gak boleh tau..."

"Makanya, sekarang hapus air matanya. Tidur yang tenang, ya."

Butuh waktu cukup lama dan berlembar-lembar tissue sampai akhirnya Rangga benar-benar terlelap. Sedikit jejak air mata masih tampak di kedua pipinya yang merah dan basah, sementara tubuhnya sesekali masih bergetar dalam tangis bisu. Guntur pelan-pelan mengusap kering air mata di wajah Rangga dan mengumpulkan tissue bekas pakai tersebut dalam satu genggaman tangan, hendak ia buang di luar kamar.

.


.

Sementara itu, tanpa diketahui oleh rekan-rekan setimnya yang sedang sibuk dengan urusan dan kegalauan mereka masing-masing, Eka duduk bersandar ke sebuah dinding beton yang menghadap pekarangan rumah Joni. Jika dipandang sekilas oleh orang selain rekan-rekannya, android itu terlihat seperti seorang ABG normal yang sedang menunggu SMS dari sang pacar, meskipun raut wajahnya luar biasa datar alih-alih galau seperti pemuda-pemuda seusia(tampang)nya.

Selama lebih dari sepuluh menit, Eka hanya memandangi sebuah amplop berwarna putih yang tergeletak polos di atas telapak tangannya. Amplop yang berisi surat dari kakak Joni itu sudah tidak keruan lagi penampakannya, seperti baru saja diseret melewati badai topan Katrina dengan menggunakan odong-odong. Pada kenyataannya, yang dilewati amplop itu hanyalah 10.000 km lebih perjalanan udara Jerman-Indonesia ditambah satu adegan dramatis emosional a la sinetron yang terjadi pagi tadi dengan pemeran utama kapten mereka.

Di bawah cahaya lampu dinding LED yang menerangi tempatnya berdiri, Eka membuka amplop itu dan mengeluarkan isinya dengan hati-hati. Meskipun kondisi kertas surat itu sudah terdistorsi oleh perlakuan banyak orang, Eka dapat melihat bahwa surat itu ditulis dengan huruf tegak bersambung yang agak runcing-runcing namun memiliki kerapian dan keteraturan yang nyaris militeristik; kesan yang cukup bertolak belakang dengan gaya bahasa kasual dan kepribadian "semau gue" yang terpancar dari isi surat itu sendiri.

Mata mesin Eka bergerak pelan-pelan dari bagian pembuka sampai penutup berupa nama yang tertera di bagian paling bawah surat tersebut ("Razak Karna Setiabudi"). Ketika membaca teks dalam bentuk apapun, biasanya ia hanya memindai dan memproses teks yang dibacanya kemudian menyimpan kontennya dalam bentuk data digital, namun kali ini Eka memberikan perlakuan yang berbeda untuk surat yang berada di tangannya. Ia tidak hanya memindai isi dari surat itu, tetapi juga setiap gores tulisan tangannya, setiap rembesan tinta yang menandai bagian-bagian dimana sang penulis surat berhenti menulis sejenak tanpa mengangkat penanya, dan setiap bercak yang menodai kertas tempat surat itu ditulis.

Android itu berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin data dari selembar surat tersebut sebelum dengan hati-hati dikembalikannya surat dan amplopnya ke keadaan semula.

"Bakar surat ini. Sampai tak bersisa."

Dengan gerakan cepat melebihi apa yang bisa ditangkap oleh mata manusia biasa, Eka melontarkan surat itu satu meter ke udara dengan satu jentikan dan mengaktifkan flamethrower mini yang diciptakan menggantikan tulang dan daging jari tengah kirinya. Semburan api yang keluar dari sana mengubah surat penuh kontroversi tersebut menjadi tumpukan abu yang berterbangan di udara dalam hitungan detik.

Tanpa menunggu sampai semua abu bekas surat tersebut mendarat di tanah, Eka membalikkan tubuhnya dan berjalan kembali ke dalam rumah untuk mengerjakan tugasnya membantu Gar di dapur.

.


.

"…..berapa lama tadi dia bilang? Tiga hari? Cih, awas saja kalau mereka mengembalikannya dalam keadaan daunnya ada yang rontok. Satu saja rantingnya patah, tidak akan kumaafkan!"

"Tapi Fratello, mana mungkin tidak ada satupun daun pohon tomat yang rontok dalam tiga hari? Kurasa itu tidak mungkin…"

"Ah diamlah, Feliciano! Kau membuatku tambah panas! Berapa derajat sih suhu di tempat ini? Padahal ini kan tengah malam! Pinggir pantai pula! Mengingatkanku waktu kita malah terjebak badai Sirocco di tempat kakek dulu, membuat liburan kita habis hanya di dalam rumah saat seharusnya bisa berwisata bikini…"

"Ah, itu mereka! Ludwig~ Gilbert~"

Mengabaikan omelan tidak penting kakaknya, Feliciano mempercepat langkahnya, mengikuti arus manusia yang menuju pintu keluar terminal kedatangan bandara. Kedua pemuda dengan rupa sangat Mediteranian itu mendorong troli berisikan tumpukan koper masing-masing, menuju kerumunan penjemput yang terlihat harap-harap cemas.

Di antara kumpulan keluarga dengan anak-anak mereka dan pria-pria berkemeja resmi yang membawa kertas bertuliskan nama klien dengan gugup, kedua kepala berambut terang Beilschmidt bersaudara tampak menjulang di antaranya. Satu mengerenyit ke arah pintu, berusaha menemukan orang yang dicari. Yang satu lagi hanya menyengir lebar dengan cuek. Feliciano mempercepat langkahnya. Kakaknya mengikuti sambil menggerutu.

"Feliciano~ Akhirnya kau sampai juga! Bagaimana perjalananmu? Kau pasti lelah! Oh, hai, Lovino! Kenapa kau marah-marah?"

Si pemuda berambut putih, Gilbert, merentangkan tangannya lebar, berharap disambut dengan pelukan dari pemuda Italia manis itu. Sayangnya, tampaknya angin pantai menerbangkan harapannya jauh-jauh, karena Feli malah merengkuh erat-erat pemuda berambut pirang yang berdiri di sebelahnya.

"Uwah~ Ludwig, aku kangen~ Pohon tomat Fratello ditahan karantina bandara, ve!"

"Feli, kau kejam sekali padaku… Apa kau tidak kangen padaku yang awesome ini?" Gilbert membungkuk dengan dramatis, membuat Ludwig berhasrat untuk menendangnya.

"Menjauh dari Fratellino-ku, Kentang sialan!" Paspor tebal Lovino mendarat di kepala Ludwig.

"Bisa kita keluar dulu dari sini? Kumohon, orang-orang memperhatikan kita."

Ludwig mengambil alih pegangan troli dari Feliciano dan langsung mendorongnya ke pintu, menghindari tatapan geli dari para penumpang lain. Feliciano. Dan kakaknya. Dan kakak Feliciano. Baik, kapan mereka pernah tidak membuatnya malu? Kuatkan dirimu selama beberapa bulan ini, Ludwig Beilscmidt.

Setelah meletakkan koper dan melakukan kunjungan singkat ke rumah sakit, Ludwig mengendarai mobil rentalnya dengan kecepatan sedang. Berkonsentrasi pada jalan yang telah lengang, masih berusaha menyesuaikan diri dengan setir agar tidak melenceng ke jalur kanan dan membuat hidung mobilnya beradu dengan hidung mobil lain.

Ketiga rekan seperjalanannya masih mengoceh tidak jelas dan kelewat keras sepanjang jalan (tepatnya, Gilbert dan Feliciano berkicau tentang entah jalanan atau cuaca atau entah apa, yang diikuti umpatan Lovino atas apapun yang dikatakan Gilbert). Sekarang sudah lewat tengah malam, kota yang tadinya terang-benderang dengan lampu-lampu toko dan reklame sekarang mulai padam. Namun sisa-sisa kehidupan masih tampak di sepanjang distrik rekreasi kota, di mana beberapa turis dan warga lokal berjalan sepanjang trotoar untuk kembali ke hotel dan rumah masing-masing.

"Ve~ Ludwig!" Feliciano menciap tepat di telinga Ludwig. Si pemuda Jerman membalas hanya dengan gerutuan. "Hng?"

"Sekarang kita mau ke mana?"

"Penginapanmu, tentu saja. Kau masih ada keperluan lagi?"

Si pemuda Italia mengeluarkan desah kecewa. "Apa kita tidak mau jalan-jalan dulu? Aku belum mengantuk, ve~"

"Kau tidak lihat ini sudah sudah larut? Kita bukan sedang liburan, Feliciano."

"Kau tidak asik, Lud," rajuk Gilbert sambil dengan sengaja menyenggol tangan adiknya, membuat mobil oleng dan Ludwig mendesis. "Hei, bagaimana kalau kita ke pub? Siapa tahu kita bisa menggaet satu-dua gadis lokal yang cantik! Atau kita bisa mencoba apa namanya….tuak?"

"Vee~ Aku setuju, Gilbert!" sambar Feliciano, membungkam balasan Ludwig yang ragu apakah ada bar yang masih menjual tuak, bahkan di negara ini. Tentu saja, meskipun hubungan Feliciano dan Ludwig sudah berjalan hampir sepuluh tahun, Feliciano tidak akan melewatkan kesempatan untuk menggoda gadis cantik. Gerutuan tentang 'jetlag', 'gadis cantik', dan 'lapar pasta' dari kursi belakang cukup menandakan bahwa Lovino setuju.

"Ini sudah hampir pagi, dan kalian masih perlu bertemu dengan klien besok!"

"Hei siapa kau berani mengaturku, Kepala Kentang?! Tidak ada yang boleh mencegah orang Italia untuk makan pasta di tengah malam! Apalagi maniak kentang sepertimu!"

Sebelum Gilbert sempat mengeluarkan protes versinya, Ludwig melanjutkan, "Aku tidak bicara tentangmu, Bruder. Besok kau bisa pergi ke manapun kau mau untuk mencari orang-orang yang kau cari itu, asal kau tidak membuat masalah lagi dan membuatku malu di depan para polisi kota ini. Tapi Feliciano dan Lovino tidak bisa minum sampai pagi."

"Vee, kami kan bisa tidur dan siesta sepuasnya dengan—aw! Fratello, sakit!" Kalimat Feliciano terhenti di tengah. Perhatiannya beralih pada kakaknya, yang berlanjut ke pertengkaran tentang sarapan dan pasta. Ludwig menggerutu pelan yang terdengar seperti ,'Itu kan kalian, bagaimana denganku'.

"Lagipula, Bruder, bukankah kau tadi baru ke bar penginapan?"

"Hei, jangan salahkan aku! Aku sedang stres karena si wanita mengerikan dan si kacamata aristokrat itu!" tangkas Gilbert sengit. "Kalau begitu, kita ke bar yang ada jam malamnya, Lud! Dengan begitu kita bisa minum satu-dua gelas dan diusir sebelum sempat mabuk! Aha~ Bukankah ideku bagus?!"

Ludwig mendesah pasrah. "Baiklah, baiklah. Tapi bar mana-"

"Ah, aku tahu!" Feliciano berkata dengan riang lagi, kali ini sambil mencari sesuatu di sakunya. "Ini, aku mencatat alamat tempat-tempat yang bagus di ponselku, dari majalah di pesawat! Aku sempat bilang padamu lewat email kan? Di sana ada pasta juga-"

Sebentar, sejak kapan adiknya jadi maniak mencatat? Lovino makin berasap. Pasti kentang brengsek itu yang menularkan semua kebiasaan membosankannya pada adiknya ini. "Kau menyalakan ponselmu di dalam pesawat, Idiot?"

"Aku pakai WiFi internal pesawat, Fratello… "

Gilbert tertawa nista, membuat Lovino semakin memerah, kali ini karena malu. "Kau serius kau tidak tahu, Lovino? Sama sekali tidak awesome!"

"Sialan kau, albino brengsek! Aku cuma lupa! Kukira Feli yang tidak tahu!"

Ludwig memijat keningnya. Mengasuh ketiga orang ini selama mereka di sini, kesalahan apa yang ia perbuat di kehidupannya yang lalu? Ia menyalakan GPS di dashboard. "Baik, Feliciano. Di mana alamatnya?"

Feliciano menyebut sebuah alamat dengan gembira. GPS sudah terhubung, lokasinya tidak terlalu jauh.

"Tunggu," gumam Ludwig. Menatap arah yang ditunjukkan anak panah digital itu. "Alamat itu, sepertinya aku mengenalinya..."

.


.

Satu minggu telah berlalu semenjak Colonialists memutuskan untuk membuat seragam. Satu minggu pembuatan seragam itu terhitung cepat, mengingat Kiku Honda adalah orang yang sangat mendetail (baca: obsesif kompulsif) dalam pekerjaannya. Keberhasilannya dalam mendesain, mengukur, menjahit, membuat, dan menguji coba lima seragam dalam waktu satu minggu membuat Kiku puas dengan dirinya sendiri. Bagaimana tidak, rencana awalnya adalah untuk menyelesaikan kelima seragam ini dalam waktu dua minggu, dan dia bisa menyelesaikannya dalam waktu satu minggu.

"VAN DERPSEN-SAN, Antonio-san, dan Alfonso-san, saya rasa anda semua tahu mengapa kita berkumpul di sini kali ini. Saya dan Arthur-san telah menghabiskan seminggu penuh untuk membuat seragam ofisial dari Colonialists," Mata coklat monokrom Kiku Honda menyapu ketiga rekannya sebelum melirik Arthur yang berdiri di sebelahnya.

"Aku penasaran seperti apa. Bisa kami lihat sekarang?" sahut Antonio penuh semangat.

"Kalian lebih baik menghargai usaha kami untuk membuat seragam yang tidak tampak konyol. Seperti yang dimiliki The Undies itu," Arthur menggerutu kesal, menyindir Antonio yang pertama mengusulkan soal seragam.

"Aku pikir seragam mereka keren!" sergah Antonio.

"Tolong saja…" Arthur menggumam, menyilangkan kedua tangannya di dadanya.

"Saya dan Arthur-san telah menggantung seragam Anda di dalam lemari kamar masing-masing. Lima menit lagi kita berkumpul lagi di sini, mengenakan seragam baru Colonialists," ujar Kiku terburu-buru, menghindari keributan yang mungkin akan terjadi.

Kelima anggota Colonialists meninggalkan ruang kerja Kiku menuju kamarnya masing-masing. Anehnya, ketika tiga orang Colonialists bergerak ke kamarnya masing-masing, dua bersaudara Iberia memutuskan untuk berganti pakaian bersama-sama di kamar Alfonso. VAN DERPSEN yang kebetulan kamarnya bersebelahan dengan Alfonso hanya bisa mengerenyitkan alisnya. Semoga mereka berdua tidak melakukan hal yang aneh-aneh. Semoga.

Tak lama kemudian, kelima anggota Colonialists itu sudah berdiri di ruang tengah dengan seragam lengkap mereka. Pikiran mengerikan tentang wujud seragam usulan Antonio itu rupanya tidak seburuk yang mereka duga. Meski kelewat menarik perhatian dengan warna merah, biru, dan sedikit percik emas di kancing serta beberapa bagian, tapi secara keseluruhan, seragam mereka tidak senorak The Undies.

Membuat daleman sebagai seragam superhero, yang benar saja... sekalian saja mereka pakai kancut di kepala...

Menghiraukan tatap kagum dan gumam penasaran para rekannya, Kiku mulai menjelaskan detail seragam mereka. "Sebelumnya saya akan berkata bahwa jaket ini akan sedikit lebih tebal dari jaket-jaket biasa. Jaket ini berisi kevlar atau poly paraphenylene terephthalamide—"

"Whoa, Kiku," potong Antonio sambil menggelengkan kepala. "Bicaralah dengan bahasa manusia."

"—seperti yang biasa dipakai dalam rompi anti peluru." lanjut Kiku. Mata monokrom cokelatnya menatap lekat ke sosok Antonio—sedikit jengah. "Tentu Anda pasti cukup pintar untuk mengerti apa rompi anti peluru itu kan, Antonio-san?"

"Aku hanya bercanda, Kiku." kata Antonio sambil tertawa-tawa. Sang pemuda Spanyol itu kembali sibuk mengagumi seragam yang membungkus begitu apik di tubuhnya, meraba dan merasakan sensasi material asing yang baru ia pakai.

"Bahannya sudah saya buat agar masih bisa menahan peluru dan setipis mungkin, namun tetap termasuk tebal bila dibandingkam dengan jaket biasa. Jadi, maaf bila anda sekalian merasa kepanasan ketika mengenakan jaket setebal ini di negara tropis ini."

"Kiku, bukankah akan lebih kuat bila plate ini terbuat dari vibranium?" Lagi, Antonio memotong penjelasan Kiku. Dengan antusiasme yang tak berubah, sang pengendali tumbuhan itu melambaikan tangan ke udara, mencoba untuk menarik perhatian teman-temannya.

Mata monokrom cokelat Kiku tampak melirik satu demi satu rekan yang lain—yang tampak kelewat cuek dan tak peduli—dalam kebingungan. "Maaf, Antonio-san, tapi... saya belum pernah mendengar unsur apapun yang bernama vibranium."

"Itu lho, bahan utama pembuat perisai milik Captain Amer*ca. Masa' kau tidak tahu?"

"Vibranium itu fiksional, tolol." erang VAN DERPSEN geram dan menabok mukanya sendiri, tak percaya kalau rekannya ini kelewat bodoh sampai kesulitan membedakan mana yang fiksi dan nyata.

"Lalu bagaimana dengan—"

"Adamantium juga fiksional!"

Antonio menanggapi kalimat VAN DERPSEN dengan kerutan dan erang kecewa, merasakan sedikit harapan masa kecilnya untuk memiliki pelindung berbahan vibranium hancur. Kegilaan Antonio tentang karakter superhero Marvel—atau pada dasarnya kegilaan Antonio secara general—memang tidak mengheran. Yang membuat terperangah para anggota Colonialists yang lain adalah mengapa VAN DERPSEN mengetahui soal detail kecil di dalam universe komik Amerika?

"Sekalipun aku penasaran dengan kenapa kau bisa tahu banyak tentang karakter superhero Amerika dan persenjataan mereka," gumam Arthur sambil memijit keningnya. Omongan gila dan tak masuk akal Antonio mulai membuat kepalanya pusing. Mungkin dia akan perlu pil penghilang sakit kepala... "Banyak yang harus dibahas tentang seragam ini."

"Apa di seragam ini juga dilengkapi dengan persenjataan rahasia yang bisa keluar kalau aku tekan tombol ini?" tanya Antonio—lagi-lagi—dengan begitu antusias sambil memijit-mijit kancing seragamnya. Pemuda bermata hijau itu mengerang kecewa ketika tak terjadi apa-apa. "Atau mungkin terjadi sesuatu kalau aku mencoba menari—"

Omongan Antonio terputus di tengah jalan ketika perhatian kelima Colonialists teralihkan oleh bunyi sayup; sebuah peringatan dari alat besar yang mendominasi hampir setengah ruang tengah mereka dengan kelopak warna merah muda. Bunyi sayup yang kemudian diikuti oleh sepasang kelopak sakura yang gugur dari rantingnya.

Dua buah kelopak berwarna pink yang langsung membuat senyum para Colonialists merekah dan semangat mereka membuncah.

"Ah, tampaknya kita cukup beruntung hari ini," kata Kiku sambil berjalan dengan penuh semangat untuk memungut dua petal yang tergeletak di lantai itu. Semakin cepat ia memproses data dari kedua petal itu, semakin cepat pula mereka bisa mengejar target. "Nasib memberikan kesempatan kepada kita untuk segera mencoba keampuhan seragam baru ini. Dan, luar biasa, kali ini kita mendapat dua target sekaligus."

"Duuuuuuuuuuaaaaaaa~" nyanyi Antonio menirukan iklan salah satu produk mie instan di Indonesia, yang langsung disambut dengan pandangan bengis ganda oleh Arthur dan VAN DERPSEN sementara Alfonso terkikik dan Kiku lebih memilih untuk berkonsentrasi pada komputernya daripada memperhatikan obrolan mereka. "Berarti kita berangkat rame-rame lagi kali ini? Ngejar satu orang berempat kemarin aja nggak dapet."

"Tidak. Aku akan berangkat sendiri duluan kali ini." kata VAN DERPSEN dengan tegas. "Kalian standby di sini sebagai back-up dan tunggu perintah lebih lanjut dariku."

"Kau yakin?" tanya Alfonso sambil mengerenyitkan alis tanda skeptis. "Apa nggak lebih baik kita berangkat sama-sama, tapi kita ubah strategi lapangan kita saja?"

VAN DERPSEN menggeleng pelan. "Menurutku lebih baik kita melakukan asesmen awal terlebih dahulu terhadap target dan kemampuan mereka, baru setelah itu menyusun rencana sesuai dengan hasil pengamatan yang kita dapatkan. Sejauh ini kita belum mendapat hasil apa-apa dari proyek ini, mungkin karena selama ini kita terlalu gegabah melakukan penyerangan dan penangkapan."

"Sebaiknya anda membawa Arthur, VAN DERPSEN-SAN," sela Kiku dari arah komputer tanpa mengalihkan pandangan dari analisis data yang sedang dikerjakannya. "Untuk berjaga-jaga apabila target ternyata lebih berbahaya dari yang diperkirakan."

"Tolong jangan perlakukan aku seperti jimat penolak bala!" seru Arthur sengit.

"Setan pun bakal takut sama alis itu, apalagi pemilik Super Power," bisik Antonio pada kakaknya. "Mungkin memang bisa jadi jimat yang manjur."

"AKU DENGAR ITU, MANIAK TOMAT BRENGSEK!"

"Hasilnya sudah keluar!" seru Kiku memotong perdebatan tidak penting antara rekan-rekan setimnya. The Colonialists pun sontak mengalihkan perhatian mereka ke arah layar raksasa komputer Kiku, di mana dua foto berisi wajah dua orang pemuda berkebangsaan Eropa terpampang. "Tipe kekuatan mereka adalah time manipulation. Wah, ini menarik sekali... Um...detilnya..."

"Baiklah. Detilnya nanti saja, Kiku. Kirimkan lokasi mereka padaku. Aku akan segera berangkat..." kata VAN DERPSEN. "...dengan membawa Arthur."

"Sudah kubilang aku bukan barang!"

Sementara Kiku masih sibuk dengan komputernya dan VAN DERPSEN serta Arthur sedang bersiap-siap untuk menuju lokasi, tak seorang pun menyadari tatapan nanar yang dilayangkan Antonio ke arah layar dan wajah Alfonso yang seketika menegang.

"Tapi... Tapi ini tidak mungkin..."

.


.

Bar itu tidak terlalu jauh dari bandara mereka mendarat, letaknya di lantai dasar sebuah rumah –atau itu villa?—di pinggir pantai. Rumah yang bisa saja ditemukan di majalah-majalah arsitektur atau menjadi setting drama tentang keluarga sosialita kaya raya. Beberapa mobil mewah terlihat diparkir di sekitarnya. Masalahnya adalah, rumah ini berada di ujung terdalam pemukiman warga, terpencil lengkap dengan pepohonan lebat di sekitarnya yang dengan dahan bergoyang kuat dihembus angin pantai ganas. Plus deburan ombak sebagai backsound.

Tapi bukan lokasi bar itu yang yang membuat Beilscmidt bersaudara gentar. Vargas bersaudara sendiri tidak terlalu curiga, karena meskipun pemilihan lokasinya agak antagonistik, rumah itu sendiri terlihat cukup elegan dan mengundang. Gilbert turun dari mobil sambil mengerenyit keheranan.

"Bukannya ini…" Si albino berkata lambat-lambat. "Rumah adik si Setiabudi?"

"Tidak salah lagi, Bruder." Ludwig masih mengerenyit, matanya menatap papan nama bar yang ada di pagar. Ia tidak menyadarinya kemarin, tapi sekarang lampu sorot yang dipasang di bawahnya menerangi si papan nama dengan jumawanya.

"Jadi dia membuka bar? Kakak dokter bedah jantung handal, adik penguasa jaringan museum dan pemilik bar. Cukup awesome. Meskipun belum se-awesome diriku."

"Ini rumah si Setiabudi menyebalkan itu? Feli, apa maksud semua ini?" Lovino menggerutu. Setiabudi itu selalu membuatnya merinding dengan senyum sok jagonya, kata-katanya yang sok-awesome bahkan melebihi Gilbert, dan bagaimana dengan gampangnya ia menarik para gadis…

"Vee, aku tidak tahu, Fratello! Di artikel itu hanya tertulis 'Bar Spice Islands'! Lagipula sepertinya nama Setiabudi di sini cukup umum. Tadi kita melewati Laundry Setiabudi, Salon Kecantikan Setiabudi, Toko Beras Setiabudi…"

Ludwig masih ragu. Bar ini terlihat…mencurigakan. Bukannya ia mencurigai Setiabudi atau apa. Setiabudi orang yang cukup menyenangkan. Namun bar ramai di tempat antah-berantah seperti ini… Ia tidak akan heran jika tempat ini ternyata sarang mafia (meskipun ia juga selalu curiga kakak kekasihnya pun anggota mafia). Atau lebih parah lagi, bar plus-plus. "Benar ini tempatnya, Feliciano?"

"Alamatnya mengatakan begitu… Di majalah itu juga tertulis, bar ini bar paling gaul saat ini! Katanya bartender disitu tampan dan misterius, dengan waiter-waiter yang akan melayani kita sampai kita pulang dengan puas! Bahkan di judul artikelnya tertulis, 'Bar Ter-awesome di Indonesia Dibuka Kembali', pasti tidak salah lagi!"

"Kau yakin kau membaca iklan bar dan bukan host club, Feli?" desahnya. Yah, setidaknya host club lebih mendingan daripada bar plus-plus.

Feliciano menganggk mantap. "Aku yakin, Lud!"

"Awesome katanya?" Mata Gilbert bekilat. Ludwig mengutuk si pengiklan karena menggunakan kata keramat itu. "Oke, kita minum disini saja, Lud. Lagipula si Sanjoyo Setiabudi itu tampaknya tidak se-playboy dan se-sok kakaknya."

Ludwig mendengus, membatin bagaimana mungkin orang yang punya lusinan villa dan mengiklankan barnya dengan kata awesome tidak sok. Mereka menyusuri jalan setapak menuju pintu depan yang terbuat dari kayu jati, membuka pintu depan dan langsung disambut ingar-bingar pengunjung bar.

"Kukira ini bar yang seperti…itu." Ludwig mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan. Ke sebuah bar bundar impresif yang ada di tengah ruangan. Ke sofa dan meja-meja kecil yang disediakan untuk para pengunjung. Ke dekorasi dinding yang bergaya modern dengan sentuhan budaya lokal. "Agak berlebihan, tapi ternyata hanya bar normal."

Bar itu seperempat penuh, cukup lumayan melihat ini bukan akhir minggu dan jam tutup yang tinggal satu jam lagi. Seorang pemuda berambut rapi yang mengenakan pakaian waiter sedang membereskan gelas-gelas dari meja kosong di dekat mereka. Ludwig mengenali anak itu sebagai salah satu orang yang mereka temui di rumah Sanjoyo. Ketika si pemuda melihat mereka, ia langsung menghampiri mereka, lalu membungkuk hormat.

"Selamat datang di Spice Islands," ujarnya dengan nada datar. Mata hitam legamnya memindai mereka, membuat Lovino dan Feliciano bergidik tidak nyaman seperti sedang direkam dengan CCTV ketika buang air. "Gilbert Beilschimidt dan Ludwig Beilschimdt. Anda bisa memilih duduk di meja atau di bar. Namun berhubung yang datang ada empat orang, saya menyarankan bahwa meja adalah pilihan yang paling tepat. Kami mohon maaf sebelumnya, bahwa bar akan tutup dalam satu jam ke depan."

Gilbert melongo. "U-uh… Iya. Kami di bar saja. Terima kasih."

"Saya permisi." kata waiter tersebut sambil kembali membungkuk.

Ketika si waiter menghilang di pintu dapur, Gilbert berbisik, "Hanya dia saja, atau orang-orang di sini memang bicara seformal itu?"

"Dia agak seram, ve…"

"Seluruh tempat ini seram, damn it." Lovino beringsut gelisah, melirik jejeran keris di salah satu sisi tembok. "Orang macam apa yang memajang pisau bengkok-bengkok jelek begitu di tembok bar?"

Mereka menuju bar, di mana seorang bartender dengan lihainya menuang cocktail dari shaker ke gelas. Baru setelah mereka mendekat dan melihat dengan jelas wajah si bartender di bawah lampu temaram, mereka menyadari kalau bartender berambut kelimis itu si tuan rumah, Sanjoyo Setiabudi sendiri. Gilbert dan Ludwig melongo lagi.

Mata Joni menangkap sosok para tamu baru yang baru saja mendekati barnya. Sama terkejutnya, wajahnya sempat menunjukkan ekspresi 'sedang-apa-kalian-di-sini', namun langsung memutuskan untuk melempar senyum profesional pada para tamunya. Senyum yang agak kelewat membuat bulu kuduk merinding, tentu. Kedua pemuda Italia yang kebetulan berada dalam jarak senyum makin bergidik.

"Itu bartender yang kau bilang misterius, Feli? Jika yang kau maksud misterius berarti mengerikan, kau benar, Bodoh," desis Lovino pelan. Feliciano hanya ber-vee saja.

"Hey, Sanjoyo!" sapa Gilbert sok kenal sok dekat dalam bahasa Indonesia. "Aku tidak menyangka kau bartender yang lumayan awesome juga!"

Joni makin melebarkan senyumnya. "Terima kasih atas pujiannya, Tuan-tuan. Tentunya kalian sudah membaca papan last order-nya?"

"Kami hanya berencana minum sedikit. Tidak kusangka ini bar-mu, Sanjoyo Setiabudi," ujar Ludwig sambil menarik kursi.

Gilbert langsung saja memesan segelas besar bir. Setelah pertarungan batin antara minum atau tidak minum dengan alasan keselamatan lalu lintas, adiknya memutuskan menerima godaan segelas bir dari kakaknya ("Hanya segelas saja!"). Kedua bersaudara Italia memesan pasta di samping minuman karena mengeluh lapar ("Kapan kau tidak lapar pasta, Feli? Aku juga sekalian saja, kalau begitu." "Vee, bukannya Fratello yang duluan bilang lapar?").

"Kau adiknya Razak Setiabudi?" tanya Feliciano ringan saat Joni menuangkan wine-nya. "Aku Feliciano Vargas, dan ini kakakku Lovino! Kami perlu tinggal lama di sini, untuk mengembangkan bisnis perusahaan obat kami. Jadi dia sempat mengajari kami bahasamu, vee~"

Joni tidak membalas dan hanya tersenyum, kemudian beralih ke depan saudaranya yang memesan segelas Amaro. Lain dengan adiknya, tampaknya si kakak tidak terlalu tertarik untuk membuka obrolan dan hanya mendelik pada Joni sebelum menggerutukan 'terima kasih' dalam logat Italia. Tentu saja, Joni lebih memilih dipelototi pelanggan daripada mengobrol tentang kakaknya dengan pelanggan.

"Si Razak Setiabudi itu," Gilbert berkata sambil menyesap bir-nya. "Keterampilannya inhuman. Seolah dia dokter pemilik salah satu tangan dewa seperti yang ada di legenda…"

"Cerita game itu bukan legenda nyata, Bruder," tangkas Ludwig, juga sambil menyesap bir.

"Kau tidak asik, Lud." Gilbert mencibir. "Tapi aku serius! Kemampuannya itu tidak normal! Kecuali kalau dia, seperti di game itu, punya kekuatan menghentikan waktu atau apa…"

Untunglah Joni sudah beringsut menjauh dari keempat orang itu, karena kemeja bartendernya pasti akan ternoda oleh semburan Amaro dan wine dari mulut Vargas bersaudara yang entah karena apa, mendadak memutuskan tersedak berbarengan sampai terbatuk-batuk.

"F-feli, pelan-pelan minumnya, Bodoh!"

"Fratello juga, vee!"

Ludwig memilih mengabaikan tingkah kedua Vargas bersaudara. "Tapi Razak tidak pernah cerita kalau kau membuka bar, Sanjoyo."

Joni yang masih membantu Vargas bersaudara membersihkan diri menghentikan kegiatannya. "Banyak hal yang kakakku tidak ketahui tentangku, atau lebih tepatnya, keluarga kami, Mister," ujarnya, mengalihkan pandangan ke Ludwig sambil tersenyum pahit. "Saya akan sangat mengapresiasi jika nama Razak Setiabudi tidak disebut-sebut lagi di bawah atap ini, terima kasih. Ah, satu lagi, memanggil saya dengan sebutan Joni saja cukup."

Kalimat itu sukses membuat Beilscmidt dan Vargas bersaudara terdiam dan memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan ke hal lain ("Ah, Joni, darimana kau dapat pisau berlekuk-lekuk itu? Bagus sekali, kau tahu!" "Terima kasih, Lovino. Itu pusaka yang kudapat ketika mengekskavasi sendiri candi di pedalaman Kalimantan. Harga masing-masingnya sebanding dengan Ferrari."). Eka datang membawa appetizer ketika mereka ribut sendiri tentang blog Gilbert, anak ayamnya yang ia tinggal di petshop di Jerman sana, dan usaha mereka menggoda gadis-gadis di meja sebelah.

Gilbert masih mengerenyit memperhatikan Eka ketika ia menjauh. "Aku masih yakin pernah melihatnya di suatu tempat. Entah itu blue film atau iklan bir… Aku tidak yakin tentang dompet Setiabudi."

"Ah, ya, waiter itu." Ludwig ikut memperhatikan Eka yang sedang memroses pesanan ke komputer yang menempel di pilar dengan tampang datar. "Tidakkah dia agak terlalu muda untuk bekerja di tempat seperti ini?"

Joni tertawa kecil. "Terlihat seperti itu ya? Tapi aku menjamin, Bhinneka sudah cukup umur untuk bekerja di sebuah kelab malam."

"Bhinneka…. Nama itu sepertinya pernah kudengar juga… Joni, aku minta tambah!"

"Jangan minum terlalu banyak, Bruder. Bisa-bisa besok kau tidak bisa bangun."

"Bukannya kau lebih senang begitu, Lud? Lagipula, Irwin dan Nguyen tidak akan kemana-mana…"

"Apa maksudmu tidak akan kemana-mana? Kau bahkan tidak tahu ada di mana mereka sekarang."

Dua nama yang baru saja disebut oleh kedua bersaudara itu membuat Joni langsung waspada. Nguyen dan Irwin… Apa urusan Beilscmidt bersaudara dengan kedua orang itu? Joni benar-benar berharap itu hanya berhubungan dengan nama mereka yang tersohor sebagai pekerja seni (atau yang lainnya, contohnya mereka dan Beilscmidt kebetulan tetangga sebelah waktu kecil, hal-hal remeh macam itu). Yang pasti bukan sesuatu yang menyangkut Super Power.

Ia masih butuh informasi lebih mengenai ini.

Saat itulah Gar mendatangi bar sambil membawa nampan dengan dua piring spaghetti Bolognese di atasnya. Mungkin karena Eka sedang sibuk membereskan meja yang baru saja ditinggalkan serombongan tamu, ia berinisiatif untuk mengantarkan pesanan itu sendiri. Yang sama sekali tidak diduganya adalah, Beilschmidt bersaudara ada di antara para tamu itu, bersama dua orang berwajah mediteran yang sangat mirip. Mengobrol dengan Bang Joni. Sesuatu.

"Ah, Garuda. Sudah datang ya." Mata Joni menangkap sosok Guntur yang menyembul dari balik pintu dapur, mengintip penuh minat sambil memegang apron Gar (yang sepertinya dilempar begitu saja ke tangannya). 'Guntur bersamamu, Gar? Kalian sedang melakukan hal-hal yang menyenangkan di dapur?' Joni bertanya tanpa suara.

Gar mendengus pada Joni, memutar matanya. Piring pasta ia letakkan di meja bar, yang langsung saja dilahap dengan sangat antusias oleh kedua Vargas bersaudara sampai membuat Gar agak terkesima. 'Kami nggak ngapa-ngapain, kali. Cuma ngobrol,' jawabnya sekadarnya.

'Rangga di sana juga?'

'Rangga udah tidur gara-gara Abang.'

'Maksudmu?' Tapi Gar diam saja.

"Hei, kau yang memasak ini?" ujar Lovino di tengah kunyahan. "Lumayan juga. Tapi tomatnya kurang." 'Padahal pantatmu mirip dengan pantatnya.'

Masih agak terpana karena pria asing ini baru saja mengajaknya bicara dalam bahasa Indonesia, Gar menjawab belepotan. "E-eh, thank you. Gracias."

Tapi yang Gar membuat tegang bukan hanya bahasa Indonesia si pria Italia, namun nama yang orang Italia ini sebut di kepalanya.

Antonio.

Tentu saja, nama Antonio bukan nama yang tidak umum kan? Pasti ada jutaan orang bernama Antonio, pencinta tomat, dan berpantat mirip Gar di dunia ini. Bukan hanya Antonio si pencinta tomat berpantat mirip Gar yang punya kakak bernama Alfonso dan maniak Super Power. Kalau yang seperti itu, jelas hanya ada satu.

Tidak mungkin. Memangnya dunia sesempit itu?

"Vee, menurutku tomatnya pas kok!" ujar adiknya ramah sambil tersenyum lebar. "Namamu Garuda? Jangan-jangan kau pemilik airline yang kami naiki tadi siang? Pramugarinya ramah dan cantik-cantik loh!"

Tolong. Kalau dia pemilik airline, tentu dia tidak akan bercucuran keringat di dapur pengap, mencacah bawang sambil terisak-isak entah karena matanya pedih atau karena memikirkan isi dompetnya yang tinggal tiga lembar. Mungkin alih-alih di bar Bang Joni, mereka akan kebetulan bertemu di salah satu kafe di Roma, menyesap cappuccino masing-masing di bawah matahari Mediterania….oke, hentikan.

"Tentu bukan, Mister, eh, Don, maksudku, Senor." Feliciano tertawa sebelum menambahkan 'Feli saja, ve~'. "Dan saya lebih baik tidak dipanggil Garuda, Gar saja cukup."

"Va bene, Gar~ Aku melihat iklan tempat ini di majalahnya, kau tahu!" Gar tidak mengerti kenapa ia mengatakannya keras-keras sambil tersenyum secerah matahari. Atau dia memang selalu begitu.

Lagi-lagi Joni menangkap sosok Guntur yang menguping dari balik pintu dapur, ekspresinya jelas-jelas mencerminkan kalimat 'demi-apa-lo-Jon-lo-ngiklan-di-majalah-pesawat-pan tes-banyak-bule-yang-dateng-ke-sini'. Joni hanya menyengir padanya.

'Garuda, bilang ke Guntur bahwa iklan di majalah penerbangan adalah satu strategi dagang yang paling efektif.'

'Penting banget sumpah Bang.' Gar membalas tanpa suara sambil beranjak keluar dari bar.

'Hei, Garuda. Kalau kau dan Guntur mau kencan berdua, jangan di dapur ketika sedang jam kerja. Gar, aku butuh kau di sini.'

'Hah? Butuh ngapain? Bahasa Abang jangan dangdut nyeremin gitu juga kali…' sahutnya sambil mengambil lap di counter, berpura-pura membantu Joni membersihkan gelas-gelas. Mengelapnya betulan, tentu saja.

'Apa kau dengar pembicaraan kami sebelum kau datang?'

'Wah, enggak tuh. Aku sama Guntur lagi ngobrol… Lagian suara Abang kalah sama ibu-ibu yang tadi arisan di meja deket dapur sini. Arisan tengah malem, nggak ngerti juga. Oh iya, mereka ngelirik Abang tuh, katanya pas buat dijadiin menantu. Simpenan juga boleh.'

'Begitu ya? Terima kasih informasinya, Garuda. Nanti kuberi kau imbalan, hm?"

'…Nggak usah, makasih…' Ia memutar mata lagi. Matanya bertemu dengan Ludwig yang memperhatikan mimiknya dengan heran. Matanya langsung beralih ke gelas lagi.

'Beilschmidt bersaudara dan dua temannya itu. Obrolan mereka mencurigakan, Gar. Bisa kau membaca pikiran mereka? Untuk memastikan mereka tidak berbahaya.'

'Mencurigakan gimana? Aku ogah kalau harus ngorek-ngorek otak orang cuma buat drama Setiabudi bersaudara. Lagian aku nggak bisa bahasa Jerman dan Italia.'

'Sama sekali tidak ada hubungannya dengan itu. Kuharap. Mereka membicarakan tentang Irwin dan Diu. Gilbert mencari kedua orang itu. Kuharap itu tidak ada hubungannya dengan Super Power.'

Lap di tangan Gar terhenti sejenak. Irwin, Diu, dan Antonio?

"Kau kenapa, Gar?" tanya Feliciano ketika melihat wajahnya.

Joni melempar senyum ramah pada Feliciano. Pada Gar, ia melempar senyum jahil. "Tidak apa-apa, Garuda memang sedang sembelit sejak pagi." Gar memelototi Joni.

'Kenapa nggak abang aja yang salaman sama mereka, kan bisa langsung dapat info lengkap, tuh.'

'Terlambat, Gar. Tidak mungkin tiba-tiba aku mengajak mereka berjabat tangan sekarang. Aku bisa dianggap gay mesum mengerikan penggoda pria Eropa.' Gar mendengus lagi pada bagian gay mesum mengerikan.

'Ugh. Oke, oke. Um… Sependengeranku nih ya, mereka nggak nyebut-nyebut tentang Super Power tuh. Yang dua itu…orang Itali ya? Pikirannya beneran penuh pasta. Bolognese-nya delizioso, katanya. Kayaknya bahagia banget makan pasta doang… Yang kakaknya agak mabok tuh, mikirnya nggak jelas. Kayaknya sih lagi galau cinta, nyebut-nyebut nama 'Elizaveta' sama 'Roderich', nggak jelas patah hati ke yang mana. Yang adiknya mikirin sesuatu, istilah bahasa Inggris sih... bentar… dafuq.'

'Kenapa, Gar?'

'Jangan tanya! Merinding gue.' Tidak ia sangka, orang berpenampilan serius bak CEO perusahaan multinasional ini bisa lebih mengerikan Bang Joni ketika sudah memikirkan soal ranjang. Ternyata cerita salah satu novel best seller porno yang ia anggap absurd cukup ada benarnya juga.

'Baiklah. Selain itu tidak ada hal aneh lain?'

Ada jeda agak lama sebelum Gar menjawab, 'Nggak kok. Mereka nggak mikirin itu lagi, mungkin.' Orang mabuk, orang mesum, dan orang yang pikirannya terlalu terfokus pada pasta. Gar menyerah. Cukup Bang Joni saja yang membuatnya menimbun dosa dengan terpaksa mendengarkan cuplikan isi otak R-21-nya setiap hari.

'Eka?'

Jeda yang lama lagi. Joni tahu Gar sedang menjelaskan situasinya pada Eka. Si android memandangi mereka dari seberang ruangan. Para tamu tidak melihatnya dari balik punggung mereka.

'Dia bilang nggak ada informasi resmi apapun tentang kakak-beradik Beilschmidt dan Vargas di database SD92. Dari ID Card dan paspor mereka, Gilbert Beilschmidt, pewaris rumah sakit swasta. Adiknya dokter. Kakak beradik Vargas, pewaris salah satu perusahaan obat di Eropa. Lainnya biasa aja. Itu yang resmi loh ya.'

'Baiklah, nanti kucari cara untuk mengorek informasi dari mereka. Bisa masalah jika mereka ternyata teman Colonialist dan menjadi pelanggan tetap kita. Aku akan mencoba menahan mereka di sini, mengorek lebih banyak informasi. Usahakan kau bisa mendengar semua hal mencurigakan dari mereka saat itu, Gar.' Lalu Gar kembali ke balik tembok dapur bersama Guntur, kemungkinan besar langsung membahas situasi ini.

"Vee, Ludwig," Feliciano meletakkan garpunya. Piringnya sudah kosong. "Kau dan Gilbert di sini saja sampai puas. Aku dan Fratello akan pulang naik taksi, biar Gilbert tidak perlu berputar untuk mengantar kami. Fratello juga sudah janjian untuk video call pribadi dengan Bella!"

"Kau yakin? Sebaiknya kalian kuantar." Ludwig terdengar khawatir. Lagipula, mereka baru saja datang ke kota ini, belum tahu keadaan sekitar. Ia sempat mendengar kabar yang berhembus tentang perampok dengan kostum pakaian dalam yang pernah berkeliaran di kota ini, bagaimana jika Feli bertemu dengan mereka?

"Vee, tidak perlu~ Kau kan tahu kami bisa jaga diri!"

Ludwig masih agak ragu ketika Feliciano menelepon taksi untuk membawa mereka kembali ke penginapan. Usahanya untuk menyeret kakaknya pulang masih sia-sia. Bahkan sekarang Gilbert sudah mulai mabuk berat.

"Kenapa kau cerewet sekali, Lud? Kau sama saja seperti mereka. Cerewet. Kenapa hidupku selalu dikelilingi orang-orang cerewet? Satu gelas lagi!" Adiknya itu, kadang bisa lebih cerewet dari si wanita gahar berambut bergelombang indah bak kolam susu cokelat, yang jika marah bisa membuat cap merah instan di wajahnya dengan frying pan kesayangannya. Atau seperti si aristokrat berkacamata menyebalkan, ketika jari-jarinya tidak sedang menghasilkan musik indah favorit Gilbert di pianonya. Mereka, yang dengan semena-mena mengirimkan undangan pernikahan ke meja Gilbert, yang sukses membuatnya mabuk berat tiga hari tiga malam. "Satu-satunya yang mengerti aku hanya si Pancake…ah, aku lupa namanya. Tidak awesome… Senangnya kau, punya Feli yang akan menemanimu tidur. Tidak sepertiku…"

"ADIKKU TIDAK AKAN TIDUR DENGAN SIAPAPUN MALAM INI KECUALI AKU!"

Lovino menyalak tiba-tiba. Joni hampir menjatuhkan gelas yang dipegangnya. Untungnya ia bartender profesional yang bisa mempertahankan ekspresi tenteram sejahtera bahkan ketika sedang dimaki pelanggan. Kalau dia itu Gar, pasti dia sudah jantungan dengan tidak elit.

Gilbert terkikik, menatap Lovino tidak fokus. "Mereka sudah berkencan di belakangmu delapan tahun, Lovino. Sejak kau masih bersama Antonio. Kau ini tega sekali."

"Bruder, letakkan gelasmu, jangan minum lagi. Lovino, letakkan piring itu sebelum ada yang gegar otak." Sungguh, Ludwig sedikit tersentuh kakaknya peduli pada kehidupan cintanya. Tapi ia benar-benar berharap agar Gilbert berhenti mengoceh saja saat ini.

"Diam kau, Sosis Jelek! Hei kau, Maniak Ayam, tahu apa kau soal aku dan dia?!" Lovino menunjuk wajah Gilbert dengan piringnya. "Itu sudah lama berlalu, kenapa kau mengungkitnya?! Kau sengaja ingin membandingkan percintaan siapa yang lebih galau hah?!"

"Kau masih mengharapkannya kan? Buktinya kau langsung setuju pada proyek ini begitu mendengar Antonio sedang ada di Indonesia…"

"Fratello, Gilbert sedang mabuk, ve! Kau juga, sepertinya. Berhenti minum ya? Bisa-bisa kau buka celana lagi di depan laptopmu nanti…"

"AKU TIDAK MABUK, BODOH! AKU HANYA MENGANTUK! DAN ORANG INI MENENGGELAMKANKU LAGI KE LAUTAN LUKA DALAM!"

Joni melirik Guntur dan Gar yang mengintip berduaan dari balik daun pintu dapur. Jika Gar tidak punya telepati, pasti mereka sedang berbisik-bisik di balik telapak tangan ala tante-tante biang gosip. Eka masih memandangi mereka penuh antusias, seantusias yang bisa dilakukan otak dan wajah semi-androidnya. Beberapa tamu yang masih tersisa bergegas keluar sambil melirik iba pada Joni yang berada di jarak terkam dua bule mabuk yang –ajaibnya—saling adu mulut dan memaki dalam bahasa lokal. Baik, sekarang ia agak menyesali keputusannya memasang iklan di pesawat. Sial kau, Garuda.

'Bang, aku nggak tahu harus reaksi gimana, tapi apa bule bernama Antonio dan berpantat begitulah di Indonesia ini ada dua orang?'

'Kemungkinannya kecil, tapi buktinya masih belum valid. Apa ada informasi lain?'

'Nggak, ini murni perang mulut antara sohib lama scumbag yang mabok dan mantan bermulut preman pasar yang patah hati.'

Gilbert menenggak bir-nya lagi sebelum kembali mengoceh dengan nada menyebalkan, "Tentu saja aku ingat, Loviii. Ingatanku sangat awesome! Dia salah satu dari belasan pria yang kau tolak! Dia melamarmu di ladang tomatnya, kau menolaknya, kemudian dia patah hati lalu dia sekarang-"

"Itu salahnya sendiri! Kenapa ia tidak peka, menyebalkan, dan ketika aku bertanya 'Mana yang lebih kau cintai, aku atau ladang tomat ini?', tebak apa yang dia katakan?! JANGAN IKUT-IKUT MEMANGGILKU LOVI SEPERTI DIA, CHIGIII!"

Eka merekam dengan datarnya. Guntur menganga, Gar juga. Joni ingin menganga juga, tapi ia tetap mempertahankan ekspresi sok simpatiknya, tangannya terus mengelap gelas yang sudah kinclong sempurna.

'Bang, Ntur nanya. Chigi itu apa?'

'Mana aku tahu Gar…'

Gilbert sudah meracau tidak jelas lagi tentang anak ayamnya yang ia rindukan. Lovino membentak-bentak karena merasa tak diacuhkan. Ludwig memijat-mijat dahinya, migrainnya mulai menyerang.

"Sudah, sudah, Fratello. Kita pulang ya? Taksinya sudah datang…" Feliciano berusaha menenangkan –setengah menyeret—kakaknya, sebelum mereka dideportasi atas tuduhan perusakan properti orang lain.

"Cih! Menyebalkan!" Piring porselen dibanting ke meja bar. Untunglah tidak pecah.

"Hati-hati, Ja?"

"Si, tentu! Ah, Joni, maaf ya Fratello sudah membuat keributan!" ujarnya pada Joni dengan senyum menyesal. "Ayo, Fratello."

Lovino mendahului adiknya keluar tanpa berbalik sama sekali. Feliciano mengikuti. Setelah kedua bersaudara Italia itu menghilang di balik pintu depan, suara yang terdengar sekarang hanya musik klasik yang samar-samar terdengar dari speaker di langit-langit, dan cegukan Gilbert.

"Maaf atas semua keributan ini. Kakakku memang tidak terkendali ketika sedang mabuk." Ludwig berkata tenang, wajahnya bersemburat merah.

Joni melempar senyum simpatik ala bertendernya pada Ludwig. "Tidak apa. Hal seperti ini biasa di sebuah bar. Setidaknya kakakmu tidak sampai telanjang di beranda seperti seseorang." Untunglah Guntur dan Gar sudah menghilang di balik pintu dapur yang sekarang tertutup. Guntur bisa ikut mengamuk mendengar aibnya dibongkar Joni. Cukup sudah amukan untuk hari ini. "Aku juga tahu bagaimana rasanya punya kakak scumbag."

Ludwig tersenyum kecil. Joni memutuskan ini saat yang tepat untuk mengorek informasi tentang kemungkinan hubungan keempat orang ini dengan Super Power. Satu orang lebih aman dari empat. Lagipula menurut kata-kata Gar tadi, berkebalikan dengan penampakannya yang paling mengintimidasi, kemungkinan besar pria Jerman yang duduk di depannya saat ini adalah yang paling tidak terlibat dengan rencana apapun yang melibatkan perburuan Super Power. Biasanya orang yang serius permanen seperti ini selalu waspada dan menyimpan segala rencana di kepalanya, yang pasti akan langsung terbaca dengan mudah. Kecuali kalau mereka sudah tahu Super Power Gar dan sengaja mengelabui mereka? Tidak, tidak mungkin. Namun jika lawan mereka adalah sesama pemilik Super Power, apapun bisa terjadi.

Bartender, bukan hanya bertugas meracik minuman bagi para jiwa-jiwa gelisah yang datang ke bar mereka, tapi juga menjadi pendengar yang baik, teman mengobrol jika diminta.

Dan tentu saja, dengan topeng simpatiknya, mengumpulkan segala informasi berharga.

Joni masih meramu kata-kata pamungkas untuk memulai investigasi ini, tapi tampaknya, saat ini keberuntungan masih berpihak padanya.

"Hei, Joni." Ludwig-lah yang pertama memulai percakapan, dahinya mengerenyit pada gelas, tanda berpikir. "Apa kau tahu sutradara bernama Dave Irwin?

Masih agak terkejut dengan perkembangan ini, Joni berpura-pura berpikir, berakting bodoh. Siapa tahu Ludwig sengaja memancingnya? Ia sedikit lega ketika Gar mengonfirmasi bahwa Ludwig memang jujur bertanya, tanpa maksud terselubung apapun. "Dave Irwin… Ya, tentu aku tahu. Dia sutradara The Amazing Kangarooman, Planet of the Marsupials, dan How to Train Your Komodo, kan? Ada apa dengan dia?"

Ludwig mengerenyit mendengar judul absurd film-film Irwin. "Ya, sutradara itu. Sepertinya dia berencana untuk membuat film terbarunya di negara ini, tapi karena artisnya yang berkebangsaan Vietnam itu terkena masalah, syuting dalam waktu dekat ini dibatalkan. Kabarnya Irwin sendiri masih ada di kota ini. Apa kau pernah bertemu dengannya atau tahu di mana dia menginap?"

Joni memasang senyum menyesal. "Jika kalian mencari Dave Irwin, maaf sekali, sama seperti para peliput infotainment itu, sepertinya ia sudah check-out dari hotelnya. Kabar yang beredar mengatakan, setelah mengetahui bahwa syuting dibatalkan, ia langsung terbang ke Kalimantan untuk mencoba wisata berbaur dengan orangutan. Ia pernah bilang sudah lama ingin mencobanya di salah satu talkshow."

Tidak sepenuhnya bohong. Irwin memang check-out dari hotelnya yang dulu. Irwin memang berkata begitu di talkshow. Namun kenyataannya Irwin masih ada di kota ini, menikmati liburannya yang langka tanpa jadwal syuting dengan merayu gadis-gadis pantai. Eka mengonfirmasi.

Ludwig mengerang. Terlihat kecewa. Joni melanjutkan, "Kalau boleh kutanya, ada kepentingan apa kau dengannya? Kau kenal dia secara pribadi, mungkin?"

Ludwig melirik kakaknya yang mulai tenang dengan kepala tertempel ke meja. Agaknya ia lagi-lagi harus menggendongnya bridal-style lagi ke kamar. Sungguh, kadang ia merasa lebih seperti kakak Gilbert daripada adiknya. "Kami punya teman, orang Kanada. Siapa namanya…ah ya, Matthew. Dia fans berat Irwin –karena film tentang beruang kutub atau semacam itulah—dan menyepam blog Gilbert ketika tahu ia akan ke Indonesia. Titip tanda tangan, kau tahu."

"Sahabat kakakku yang satu lagi, Francis, pernah bercerita bahwa ia dan Matthew pernah bertemu Irwin di Amerika ketika mereka sedang ditugaskan ke lab sana. Matthew gagal mendapat tanda tangan Irwin, lalu ia menghilang dari asrama. Francis butuh mencarinya seharian hanya untuk menemukannya di kamarnya, dan ia bilang bahwa ia terus berada di sana, menggalau di bawah shower. Aku tidak menyalahkan Francis. Semua orang juga sering luput melihatnya."

"Intinya, kakakmu punya misi untuk mencari Irwin demi temannya," Joni mengkonklusi. Perburuan yang sangat awesome sekali. Jika kenyataannya memang hanya seperti itu.

"Ya. Awalnya Francis ingin ikut bersama kami. Ia ingin bertemu artisnya itu. Nguyen." Ludwig menyeruput gelasnya lagi untuk membasahi tenggorokannya. "Dia langsung membatalkan tiketnya ketika tahu Nguyen kembali ke Vietnam."

"Aku bahkan tidak tahu dia fans berat si Nguyen itu!" Mendadak Gilbert angkat bicara, cukup keras, sambil menggebrak meja dengan pantat gelasnya. "Lalu kemarin ia mendadak bilang padaku kalau dia fans beratnya, bahwa ia sudah lama mencintai wanita itu seperti ia mencintai Marilyn Monroe, dan meminta untuk ikut kita. Kalau dipikir lagi, wanita mana sih yang tidak dia cintai? Dia hanya mengerjaiku saja…" Gilbert merajuk, persis seperti gadis ABG yang dikhianati pacarnya. Ludwig dan Joni mengabaikannya.

"Kau tadi bilang lab. Temanmu itu, mereka dokter juga sepertimu?" Joni berharap pertanyaan-berkedok-obrolan-ringannya ini tidak terlalu mencurigakan. Matthew dengan Irwin, Francis dengan Nguyen. Benarkah hanya sebatas hubungan idola-fans?

Dahi Ludwig agak mengerenyit. "Ya. Tapi tidak sepertiku, mereka lebih ke arah…peneliti? Tidak bekerja di rumah sakit, tapi suatu divisi penelitian…aku tidak terlalu tahu. Divisi spesial internasional. Ah, ya, mereka juga kenal kakakmu."

Ludwig langsung menggumamkan maaf ketika menyadari bahwa ia telah menyebut Razak, tapi Joni tidak memperhatikan. Ia melirik Eka. Mata si android agak berkilat, jelas sedang menjelajah database tempat tinggalnya lamanya. Satu hal yang benar-benar merasuk ke kepala Joni saat ini…

Kakaknya kemungkinan besar punya hubungan dengan Special Division 92.

"Joni, segelas lagi untukku!"

"Bruder, cukup! Kita keluar dari sini. Salahmu jika besok kau tidak bisa bangun sampai malam!"

"Hei, kau yang menyetir, bukan aku!"

Ludwig mengerang frustasi. "Kalian ini seperti anak kecil saja, padahal kalian yang lebih tua. Seharusnya kau mencontoh Alfonso dan Antonio!"

Joni tidak yakin ekspresi seperti apa yang harus ia buat saat ini. Terlalu banyak informasi mengejutkan-slash-membingungkan terangkum dalam satu pembicaraan, ia masih berusaha memetakan posisi Beilschmidt dalam konflik tentang Super Power ini. Pertanyaan-pertanyaan Gar ikut menghilang, sepertinya dia dan Guntur juga terlalu tertegun untuk bereaksi.

Apa tindakan mereka sekarang? Meminumkan racun pada Beilschmidt bersaudara ini agar identitas mereka aman? Tapi sejauh ini Undies sama sekali belum memberi informasi apapun pada Beilschmidt yang bisa membuat musuh mereka curiga, kecuali bahwa ada lima pemuda jomblo dengan orientasi diragukan yang tinggal bersama dalam satu atap. Atau memperdaya Beilscmidt bersaudara ini untuk menjadi potensi sumber informasi mereka? Karena tampaknya, kedua orang ini bukan berada dalam anggota inti organisasi apapun yang haus memburu Super Power. Meski begitu, Undies belum tahu sejauh mana kedekatan Beilscmidt bersaudara dengan Colonialist atau SD92. Mencobanya, sama saja bermain api.

Pilihan ketiga, pindah selamanya dan membuka bar baru di pesisir Papua? Namun tak ada kata-kata yang lebih gamblang di kepala para superhero berkostum daleman itu selain…

DUNIA SEMPIT.

Untungnya Ludwig yang sedang sibuk menarik kakaknya untuk bangun dari tempat duduk tidak memperhatikan tampang Joni (atau Guntur dan Gar di balik kusen pintu dapur), bahkan hampir tidak mendengar dering ponselnya sendiri. Gagal menarik Gilbert bangun, ia berdecak sambil mengambil ponselnya.

"Ja, Feliciano?"

"Sebentar, sebentar. Tenangkan dirimu dulu! Bicara pelan-pelan!"

"A-aku tidak mengerti. Di mana kau sekarang?"

'Dia ngomong apa, Bang?' tanya Gar, sama sekali tidak mengenali bahasa yang digunakan Ludwig.

'Aku tidak terlalu fasih bahasa Jerman, tapi sepertinya Vargas bersaudara itu mendapat masalah.'

Ludwig menutup ponselnya. Mimik khawatir dan bingung terpancar jelas di wajahnya. "Kalian, maaf jika ini merepotkan. Bisakah aku titip kakakku dulu?"

"Tentu," Joni mengangguk, sama herannya."Sesuatu terjadi?"

"Feliciano," gumam Ludwig suram sambil berbalik. "Dia bilang, dia dan kakaknya dikejar dua orang asing berambut pirang. Ia mengatakan tentang tulip dan ulat bulu…aku tidak begitu paham."

Untunglah, Ludwig Beilschmidt sudah bergegas menuju pintu, melewati Eka yang tetap tanpa ekspresi, untuk menyadari ekspresi gue-nggak-ngerti-lagi di wajah para Undies yang masih bisa berekspresi. Meninggalkan mereka bersama Gilbert yang mulai mendengkur bak mesin parut.

Sepertinya situasi ini lebih ruwet dari yang mereka duga.

.

-tbc-


.

AN: Apakah bumi masih bulat? Apakah matahari masih terbit dari timur? Apakah masih ada yang sudi membaca fanfic ini? Sebelumnya kami (dengan tebal mukanya) memohon maaf yang sebesar-besarnya atas keterlambatan chapter ini. Kami tahu kami sudah bilang chapter ini bakal terlambat, tapi ternyata keterlambatannya molor jauuuh sekali dari rencana. Mungkin ini jeda chapter paling lama yang pernah kami alami? Entahlah... Masing-masing dari kami tentunya punya alasan atas keterlambatan ini. Tapi daripada kami beberkan alasan yang bertele-tele, mending kami langsung bales review-review cantik dari kalian yang cantik-cantik dan ganteng-ganteng ini aja, iya nggak? #kedipmata #authortepe2 #pedoalert

PS: Terima kasih yang sebesar-besarnya kami berikan kepada seluruh pihak yang telah memberikan suaranya kepada The Undies sehingga fanfic ini berhasil memenangkan Best Adventure Multichapter pada aja Indonesian Fanfiction Award 2012 kemarin. Kami nggak tahu kalian kerasukan apa sampai-sampai sudi memberikan vote kepada kisah yang amat sangat nista sekali ini. Pengennya sih kami kasih kalian ciuman satu-satu sebagai tanda terima kasih, tapi berhubung logistiknya nggak memungkinkan, biarkan Tuhan yang membalas jasa kalian :D We love you all!

PPS: Kami tetep sibuk. Mungkin malah lebih sibuk dari yang dulu. Tapi tenang, sebelum kalian melempari kami dengan bata, tomat, atau bahkan kancut (bekas), kami tegaskan bahwa kami TIDAK AKAN menerlantarkan The Undies. Semata-mata karena cerita ini adalah buah cinta kami berlima (okay, that's disturbing...) dan kami terlalu menyayangi anak-anak kami untuk mengabaikan plot bunnies yang mereka ciptakan di sana-sini.

PPPS: Satu lagi, dikarenakan review dari anda semua sangat epic-epic semua dan bakal bikin banjir wordcount kalau tetep dibales di bawah, jadi reviewer yang reviewnya login, mulai chapter ini dibalesnya langsung di account kalian ya QwQb. Makasih buat yang udah review, review masih tetap selalu ditunggu~

PPPPS: Kami tidak melayani pesanan OC, apalagi catering selametan.

.

Balesan reviews:

.

Kei: Terima kasih atas reviewnya~ Ini chapter selanjutnya. Semoga Anda suka ^3^

Rhiani: Ohohohoho, apakah Anda penasaran? Ini jawaban dari kami atas pertanyaan Anda, ditulis khusus dengan penuh cinta~

1. a. Bisa saja ;D

b. Bukan tidak mungkin XD

c. Maybe yes, maybe no :))

2. Kalau diibaratkan ke-fudanshi-an itu seperti sebuah tanaman, maka Kiku hanya pupuknya. Itu saja.

3. Kalo menurut pendapat Anda apa? :DDD #dibogem

Terima kasih banyak atas pertanyaan dan review-nya~ Semoga chapter ini bisa menjawab rasa penasaran Anda. Tapi kalo nggak bisa ya kami minta maaf, emang sengaja, wkoakakakakak!

Lady Raven: Nah, itu juga alesan utama Joni sebenernya OuOd Ternyata si abang satu ini agak sadistis... Antonio bukannya emang otaknya selalu begitu? #eh Nope, gak bisa request OC. Makasih reviewnya :)

rikucchi: ... dirimu ngapain juga googling tentang daleman? XDD Makasih review dan pujiannya~ Dapet kecup genit dari abang Gar OuOd

Aren-bukan gula: Semangat ujiannya! Eh, udah kelar, yak? QuQ Eka emangnya kenapa? Kalo mau GunGarJon, kirim aja pake paket kilat khusus OuOd #eh Gak bisa pake elang, nanti kena denda dari pak polisi karena parkir elang sembarangan... dan taun 2020 udah gak zaman nyuap... #eh Ngeliat di dunia nyata, ya... agak serem gak, sih ngeliat cowok-cowok kece (KECEE?) pake daleman berkibar di muka umum? Eh, tapi Superman aja berani pake kancut di luar, yak... Makasih reviewnya :D

Oricchi: Kenapa salut? XDD Rangga polosnya biasa aja, kok~ FB-nya Spice Islands, sama kayak nama akun ini. Makasih reviewnya :D

Aline .sejati: Kami juga sedih sama masa lalu Eka :') Tapi ini tuntutan peran. Kamu yang tabah, ya, Eka QuQ #pukpukEka Hmm... Entahlah OuO #plak Ditunggu aja kemunculan si 'kakaknya Joni' ini OuO Makasih reviewnya :D

Yaya Hoshii: Gambar apaan di twitter? O.o Masa lalu Rangga ditunggu, ya. Bakal diceritain, tapi gak sekarang OuO Makasih reviewnya~ Dapet salam balik dari Gar, Rangga, dan Eka :)

Shim jiseun: Bahkan fanfic ini juga menjadi misteri bagi kami authors-nya... #eh Nggak, kok. Tenang, tenang. Semua misteri bakal dijawab, tapi gak tau kapan~ #kabur ... Kami ragu bahkan Conan sekalipun bakal bisa memecahkan misteri yang ada... #ngek Makasih reviewnya :D

ThiefofStealth: Ini udah dilanjutin, kok QuQd Tenang~ 21 Desember gak ada apa-apa, kok QuQ Makasih reviewnya :D

AlpacaCokelat: gak usah punya OTP, entar sakit hati loh. Terima aja apa yang terjadi. -w-b #plak … Joninya jangan di-raep plis, entar anda dicolok keris sama orangnya... Nyari kerja bukan berarti waktu luang banyak, tjintah X'D kalo nyari kerja berarti waktu luang banyak, sekarang Undies udah bisa sampe chapter 50, mungkin. #gagitu Walah, tumblr? Fb sama dA aja jarang ditengok, masa mau nambah lagi... #AIBWOOOI

pelajaryeyeye: Awas, bacanya jangan di tengah pelajaran. Kalo hapenya disita, Spice Islands tidak bertanggung jawab atas kehilangan barang loh ya. ._.v GunGar-nya lagi main layangan noh di lapangan... #duar Ada author yang anak IPS, ada yang mantan anak IPS juga... Bisa tebak siapa aja? :D #gak

Himeka Kozuki: Si Guntur emang rada-rada tsundere~ Tapi tsunderenya tsundere macho~ #APAANTUH Rangga sikat gigi pake vodka terdengar kayak overly manly man gitu ya... #nggak Floral... Kebayang sih, Colon pake summer dresses bunga-bunga ihiy prikitiw... #HENTIKAAAAN

tenaga endogen: nama anda... #bakarbukugeografi #telen Gilbert jadi tukang sayur asem... omg mental image... Sexy caveman terdengar kayak apaaaaan gitu. Mungkin mereka pake kostum itu waktu Halloween? OwO #KAGAK rate M kurang kerasa...? Saya panggilin Joni deh biar... Biar apaan yak? #dor Makasih udah review, dan salam buat temenmu Guntur yak XD #no

Sayur: Update cepet... Udah cukup cepet kan? owo #MUKELOOOO Senyum yandere tidak akan mampu mempengaruhi authors dari melakukan apapun yang mereka inginkan, sayang cinta hohohoho. #dibakar Sering-sering bikin fanart ya, nanti barter sama sering update deh owo #HEI

Rhiani: Makasih udah review XDD Joni sebelum ketemu Rangga, mimpi atau enggak? Udah pasti lah~ #PASTIAPAAA

tahutempenasiuduk: Gak ada cliffhanger, gak greget. #DOR Kalo dampaknya ke Joni bisa kayak gitu, pasti Guntur deh yang paling hepi. XD #eh Ba-bagian hidup... Non, saya terharu... QuQ #lapingus Sarannya boleh nih, makasih banget ya~ XD

TheMasochistDevil: APAH! ADA ANAK SMP YG BACA FANFIC INI? MISSION ABORT! MISSION ABORT! ...maunya sih ngomong gitu, tapi kami udah pasrah(?) kalo anak dibawah umur baca fanfic rate M, toh kami dulu juga gitu (curcol?). Yang penting jangan bilang Mama, Papa, Pak Guru, sama Pak Polisi tentang fanfic ini ya. Kami nggak mau dilempari kancut sama FPI, thanks. Senyum Joni emang OK ya. Coba kalo Joni ditaruh di padang bunga terus disuruh senyum, pasti langsung layu semua. True Story. Hehehe, kami sangat tersanjung karena dirimu suka anak-anak kami dan pairing2nya. Mohon maaf juga karena Joni dan Razak belum showdown di chapter ini. Tunggulah dengan sabar XD Thanks atas reviewnya!

.