Rating: M. MMM. Okey, enggak se-M itu juga. Antara T/M.

Genre: Bisa dibilang parody. Tapi benda ini merupakan GENRE-BUSTING up to eleven. Percayalah.

Warning: OC!male!Indonesia...5 of them #jger plus OC!Male!Portugal. AU. Multichapter. Penistaan sejarah dan antropologi secara gila-gilaan. Gaje, nista, sinting seperti para authornya. Style menulis yang bercampur-baur dan tidak konstan. Humor gagal. Kemungkinan shounen-ai/yaoi/slash implisit, untuk saat ini (catat kata UNTUK SAAT INI). Cinta buta nan nista. Hints-dodecahedron (maksudnya cinta segi banyak tapi hints2 aja #plak). Pop-culture references. Zoo language. Daleman berkibaran. OOC yang mungkin masih lolos dari radar. Tapi tenang, fic ini dibangun dengan sedemikian hati-hati supaya terlihat rapi dan manis, demi menutupi kesesatan di dalamnya.

Sejarah singkat lahirnya fic ini: Dimulai dari impian seorang Jowo . Londo untuk membentuk sebuah tim superhero dengan codename berupa daleman. Impian ini diungkapkan kepada vreemdleven dan ditimbrungi oleh ry0kiku, are . key . take . tour, dan skadihelias yang entah bagaimana caranya berkembang menjadi pembicaraan tentang tim superhero yang dibentuk dari 5 OC!male!Indonesia yang kami miliki masing-masing. Lalu kami semua sepakat menyatukan ide, pikiran, dan kenistaan kami bersama sampai akhirnya terwujudlah kisah gaje nan nista ini. Dipersembahkan kepada FHI tercinta dengan harapan terdalam dari kami semua bahwa cerita tidak akan membuat Anda sekalian beramai-ramai lari ke toilet untuk muntah karena kenistaannya yang berlevel ASIAN.

Bila terdengar lebay, dipersilakan untuk baca profile account ini. Terima kasih. *dikeroyok*

.


Agustus, 2020.

Alis lapis delapan itu berkedut melihat pemandangan di hadapannya. Sesuatu yang sungguh kontras bila disandingkan dengan ruangan bernuansa high-tech dengan layar berbagai ukuran yang tertanam di dinding metal. Di dekat benda itu, sesosok pemuda berambut hitam berpotongan simpel berdiri tenang, jemarinya bergerak lincah di dua panel keyboard transparan.

Arthur Kirkland berdeham, membuat si rambut hitam mengalihkan pandangan dari layar, mata di balik kacamata khusus berlensa ungu bertemu hijau terang.

"Ah. Anda datang lebih cepat dari dugaan saya. Bukankah ini waktu anda minum teh biasanya, British Empire?" Pemuda bertubuh kecil itu bertanya sopan, melepaskan kacamata khusus yang membantunya menganalisa isi tiga layar sekaligus. Mengerjapkan mata monokromnya, dia menatap lurus ke pemuda pirang yang mulai berjalan memasuki ruangan kerjanya. Ruangan yang agak lebih mirip laboratorium sebetulnya.

"Tidak usah memakai codename seperti itu, Kiku. Membuatku merasa seperti orang asing saja. Kita ini 'kan, satu tim. Panggil aku Arthur saja, seperti yang lainnya."

"Baiklah, Arthur-san."

Arthur menghela napas. Memang sukar sekali untuk membuat rekannya yang begitu bangga akan budaya asalnya ini untuk meninggalkan norma kesopanan yang begitu ia junjung tinggi. Daripada membuat percakapan ini menjadi diskusi kultural tanpa ujung pangkal, dia memutuskan untuk menuju ke poin pembicaraan.

"Oke. Jadi, untuk apa kau memanggilku ke sini? Refresh my memory."

"Ah ya, tentu saja. Saya berjanji hendak menunjukkan pada anda hasil nyata dari apa yang saya kerjakan selama ini."

Mata monokrom itu mengalihkan pandangannya ke benda di tengah ruangan, benda yang tadi mencuri perhatian Arthur Kirkland di awal-awal. Sebuah pohon tinggi dengan banyak cabang, dipenuhi bunga berwarna merah muda, begitu banyak sampai menutupi warna hijau daunnya.

"Ini...?" Arthur berbisik, menempelkan tangannya di batang besar. Walaupun sintetis, namun terasa seperti menyentuh batang pohon betulan. Kiku Honda memang terkadang terlalu terfokus pada detail-detail kecil yang tidak begitu dibutuhkan. Dia juga memutuskan untuk tidak memboroskan sel otaknya memikirkan bagaimana pohon itu bisa berakar di lantai metal laboratorium Kiku Honda.

Kiku mengangguk, menatap produk yang akhirnya diselesaikannya setelah kerja keras dua bulan penuh dengan kebanggaan. "Ya. Sakura Scanner bisa melacak potensi Super Power yang dimiliki manusia. Semua bunga yang tumbuh di sini menunjukkan manusia-manusia di area ini yang memiliki potensi Super Power yang dorman dan belum berkembang. Sungguh sebuah ladang yang subur, terlalu subur untuk orang-orang senaif mereka. Mereka terlalu diberkati, orang-orang naif ini."

Jarang sekali seseorang bisa melihat mata Kiku Honda berkilat-kilat seperti sekarang.

"Yang pantas mendapatkan dan mengendalikan Super Power hanyalah kita, yang walaupun terlahir di lingkungan yang tidak beruntung dan minim sumber daya, namun bisa bertahan dengan cara kita sendiri hingga sekarang. Anda setuju, Arthur Kirkland?"

"Tentu saja," Arthur bergumam, mata hijaunya masih terpancang pada pohon berdaun merah muda, alis bertemu seolah-olah hendak menghitung jumlah bunganya. "Tadi kau bilang, bunga-bunga ini merepresentasikan manusia pemilik Super Power? Kalau begitu... di area ini berarti ada ratusan... tidak, ribuan..."

Kiku menggeleng, senyum mulai merambati wajahnya. "Tidak, anda salah mengerti, Arthur-san. Bunga-bunga di Sakura Scanner dalam bentuk ini hanya merepresentasikan potensi, dan tidak lebih. Bila sang empunya potensi sudah menemukan kemampuan Super Power-nya, Sakura Scanner akan menggugurkan bunga berisi statistik dan informasi. Kita bisa melacaknya dengan cara ini, lalu merebut Super Power-nya."

Arthur hanya bisa menatap takjub koleganya yang biasanya hanya diam dan menyetujui semua keputusan namun diam-diam berpikir panjang ini.

"Lalu... apakah sudah ada bunga yang gugur sejauh ini?"

Alih-alih menjawab, Kiku merogoh ke dalam lengan panjang pakaiannya yang ia sebut yukata-yang sampai sekarang masih menjadi misteri bagaimana dia bisa menyimpan sesuatu di lengan bajunya-dan mengeluarkan sebuah kotak bertekstur bambu sederhana. Dibukanya kotak itu di depan Arthur, memperlihatkan tiga bunga berwarna merah muda tergolek di sana.

"Tiga ini langsung gugur di detik saya menyelesaikan Sakura Scanner. Sudah ada tiga manusia ber-Super Power di luar sana, menunggu kita memanennya."

Arthur mengulurkan tangannya, mengambil salah satu kuntum dan menatapnya lekat. Akhirnya, dua bulan setelah kedatangan mereka di tanah asing ini, mereka bisa bergerak juga. Satu langkah lebih dekat menuju ambisi mereka untuk menguasai dunia.

Sungguh keputusan yang tepat untuk memilih memulai dari Indonesia.

.

.

"Hermano! Awas!"

Terlambat.

Pemuda berambut panjang yang dibuntut kuda itu mengerang begitu tubuhnya terbanting di dinding metal, terbatuk-batuk setelah tadi dihajar bola air berdiameter semeter telak di muka.

Sang pengendali air masih berdiri tenang dengan tangan terulur di tengah ruangan, syal biru-putih panjang yang dikenakannya berkibar ketika ia mengerahkan kekuatannya, mengumpulkan lagi titik-titik air yang buyar ketika dipakai menghajar si kuncir barusan. Mata hijaunya menatap angkuh sang adik yang tengah membantu kakaknya berdiri, dengan raut khawatir jelas terpatri di wajah.

Dia memutar bola matanya, memutar-mutar bola air yang baru dibentuknya di udara. "Tch. Bertarunglah dengan serius. Tunjukkan 'Tordesillas Combo' yang kalian bangga-banggakan itu."

Ya, karena kalau tidak begitu, tidak seru. Selama Kiku belum menyelesaikan mesin pendeteksi keparat itu, tidak ada yang bisa mereka, The Colonialist, lakukan selain menunggu. Dan tentu saja, tidak disetujui oleh egonya yang menjerit bahwa waktu setara dengan uang. Daripada menunggu sampai busuk, lebih baik dia berlatih, mempersiapkan diri sebelum rencana mereka betul-betul dijalankan. Dan sudah bosan berlatih seorang diri, dia sekalian menyeret duo kakak beradik ini untuk latihan bersamanya. Lebih produktif daripada tidur siang berjam-jam atau ngobrol dengan tanaman hidroponik.

"...kau ingin aku serius? Baiklah."

Hoo. Dia tahu salah satu cara membuat Antonio Fernandez Carriedo yang biasanya santai dan penuh senyum itu untuk menjadi serius adalah dengan mengincar 'Hermano'-nya. Ini baru seru namanya. Menyeringai, dia mulai memasang kuda-kuda, memanipulasi bentuk air jadi mengelilinginya, buat berjaga-jaga. Dia bisa melihat Antonio mengangkat tangannya, merasakan getaran di bawah kakinya...

"Cukup, kalian semua. Jangan terlalu berlebihan memakai kekuatan. Kalian tidak mau benteng ini bocor dan kita hancur oleh tekanan air laut, bukan? Aku datang membawa berita baik."

Ketiga pasang mata berbeda warna itu menoleh seketika ke arah Arthur Kirkland yang berdiri santai di ambang pintu, dengan Kiku Honda di sampingnya.

"Berita seperti apa, Art? Kamu berhasil memasak sesuatu yang bukan batu bara goreng mentega?" Menurunkan kuda-kudanya, Antonio bertanya kasual, penuh senyum seperti biasa.

Wajah Arthur memerah seketika mendengar komentar asal lewat Antonio. "Bukan begitu, Git! Dan itu namanya 'scone', bukan batu bara goreng mentega!"

"Nggak usah bertengkar dan cepetan ngomong apa beritanya. Nggak lihat, ya, kami lagi sibuk latihan?" Pengendali air itu berkata dingin, sebal latihannya terusik oleh pembicaraan yang menurutnya tidak penting. Betapa salahnya.

Arthur melempar pandangan sebal ke arah pemuda berbalut syal itu sebelum berdeham dan berkata dengan nada resmi. "Kiku sudah berhasil menyelesaikan alat pelacaknya. Target sudah dipastikan ada tiga orang. Tinggal di tempat yang berdekatan. Colonialists..."

Mata hijau itu beredar, merekam ekspresi kaget dan antusias yang terpatri di wajah kolega-koleganya, tak ketinggalan ekspresi lapar dari sang pemuda bersyal.

"...akhirnya bisa benar-benar bergerak. Ikut aku ke laboratorium Kiku, kita akan melihat statistik target dan mendiskusikan strategi."

Tanpa menunggu jawaban, Arthur dan Kiku bergegas menuju pintu keluar. Antonio membantu kakaknya berdiri sebelum mengulurkan tangannya, tersenyum lebar.

Kiku berhenti sebentar. "Anda ikut, Nederlands-koloniale Rijk?"

Yang ditanya hanya mendengus sebal, mengeluarkan botol kaca kecil lalu memasukkan air yang sedari tadi mengelilinginya ke dalamnya.

"...Jangan memanggilku itu. Sudah kubilang, panggil aku VAN DERPSEN."


Hetalia Axis Powers © Hidekaz Himaruya

.

Sanjoyo L. Setiabudi © ry0kiku

Rangga Wicaksono © are . key . take . tour

Guntur Mahendrata © Jowo . Londo

G. Eka Prakoso © vreemdleven

Bhinneka Adhi Jayawardhana © skadihelias

.

THE UNDIES © Spice Islands


Demi daleman yang berkibar

Demi cinta buta nan nista

Demi air yang kami kutuk sampai neraka

Demi hati suci sang perawan muda

Atas nama kebenaran, cinta, dan pakaian dalam,

Kami, THE UNDIES, siap melawan anda!


Alfonso Fernando Carriedo, codename Imperio Portugues, adalah pria tenang yang teramat sabar. Cocok bila disandingkan dengan sang adik yang seringkali super antusias dan cerewetnya bukan kepalang.

/Uwaaa! Hermano, lni luar biasa! Serangan Badak Jawa-ku baru saja dihentikan dengan tangan kosong, coba!/

/Uooooooohhh! Truknya benar-benar dibikin melayang! Hebaaaat!/

/Waaah! Banyak peluru yang menyasarku entah darimana! Mereka punya machine gun yang sangat canggih sepertinya!/

...walaupun jangan berani-berani mengangkat topik itu padanya sekarang, yang stres berat sampai tidak ada yang lebih diinginkannya selain melepaskan headphone yang menjadi penghubung komunikasi dirinya, adiknya, dan Kiku Honda-codename Dai Nippon Teikoku-di markas.

"Imperio Espanol, status anda," bisiknya kaku. Sekaku tangannya yang tengah menahan tubuh pemuda tak sadarkan diri itu di dekat dadanya, sementara tangan satunya memegang pistol yang ditempelkan ke kening si pemuda. Pose klasik penyanderaan.

/Hemm. Sepertinya aku dapat 'physical-power' dan 'mind-trick'. Dan kurasa mereka punya senjata canggih yang pelurunya tidak habis-habis dan menembakiku entah dari mana…/

"...Aku mengerti. Terima kasih." Beralih lagi ke dunia nyata, mata biru yang salah satunya dihiasi bekas luka itu menatap sosok yang berdiri tegang beberapa meter darinya. Seulas seringai mulai merambati wajahnya.

"Jadi. Siapa di antara kalian berdua sang 'time-manipulator'? Kamu," matanya menatap intens pemuda tinggi berkacamata dengan pakaian kelewat rapi yang berdiri di depannya, "...atau bocah ini?" Dia mengeratkan headlock-nya pada pemuda berambut hitam ikal yang tergolek lemas. Pingsan. "Jawab. Sebelum tubuh bocah ini penuh lubang oleh pistolnya sendiri."

Alih-alih sebuah jawaban, si kacamata merespon dengan sebuah senyum lebar. Tubuhnya merileks dan ia kini berdiri tenang. Bibirnya perlahan terbuka dalam sebuah bisikan, yang hanya samar-samar bisa ia dengar.

"Lima... empat..."

Mata cokelat di balik kacamata itu balik menatapnya, terasa menusuknya. Seolah-olah bisa melihat apa yang seharusnya tidak bisa dilihat manusia biasa.

"Tiga... dua..."

Jangan-jangan...

"...satu."

Alfonso berteriak ketika sebuah dart tertancap di tangannya, hasil lemparan cepat sang pemuda berkacamata. Pistol yang dipegangnya terjatuh, langsung ke tangan sanderanya. Yang tepat baru saja sadar dari pingsannya. Timing yang terlalu tepat, seolah-olah sang pelempar dart sudah tahu persis kapan...

BANG!

Alfonso jatuh terduduk, mencengkeram kakinya yang baru saja ditembus tembakan laser. Tak bisa bergerak, dia hanya bisa mengertakkan gigi melihat sanderanya berlari menuju si pemuda berkacamata, yang langsung mengacak-acak rambutnya.

"Kau tidak apa-apa?"

"Baik, kok. Prediksimu meleset setengah detik, ngomong-ngomong. Aku sudah sadar sewaktu kamu bilang 'satu'."

"Aww. Jangan bilang begitu. Aku 'kan, dalam keadaan mengkhawatirkan kondisimu. Meleset sedikit itu wajar..."

"Jadi. Orang ini sebaiknya kita apakan?" Si pemuda berambut ikal dengan mata bak kelereng abu-abu itu menatap dingin ke sosok Alfonso. Pistol laser mengarah tepat ke kepalanya, membidik di antara kedua mata calon korbannya. "Langsung dibunuh saja? Mau dengan cara kotor atau sehalus mungkin?"

Si pemuda berkacamata hanya bisa menghela napas panjang sebelum bergumam pelan, "Sudah kuduga kau akan lepas kendali tiap kali memegang pistol itu..."

"Hah? Kamu ngomong apa?"

"Bukan. Bukan apa-apa, kok." sahut si pemuda berkacamata buru-buru, diiringi tawa garing. "Um... Coba untuk tidak meninggalkan jejak kelewat banyak. Kita tidak mau dijebloskan ke penjara dengan mudahnya hanya karena metode membunuhmu yang... uh... kelewat barbar..."

"Oh, okay. Satu tembakan kecil di kepala tidak akan—HEI!"

Tepat sebelum pelatuk pistol ditekan, Alfonso—dengan menggunakan kemampuan teleportasinya—menghilang entah ke mana, membuat kedua pemuda itu kebingungan. Keduanya mencari-cari ke sekeliling mereka, tapi sosok yang mereka cari tetap tak tampak.

Dan tiba-tiba...

"RANG, DI BELAKANGMU!"

Semuanya terlambat. Sebilah belati dengan mata pisau yang begitu tajam mengarah lurus ke pangkal leher sang pemuda bermata abu-abu. Belati lainnya terarah ke betis musuhnya, tak terlihat. Dalam hitungan sepersekian detik, pemuda berambut hitam ikal itu akan punya lubang pernapasan baru dan sebelah kaki lumpuh dengan luka menganga berdarah-darah.

Beruntung pemuda ini mempunyai gerak refleks yang luar biasa cepat.

Sebelum belati yang mengarah ke lehernya menancap, ia menangkap pergelangan tangan yang memegang belati dan memuntirnya sampai terdengar suara berderak yang mengerikan. Tangan kanannya mengarahkan pistol aneh tersebut ke sisi kiri perut lawannya dan menembaknya, membuat Alfonso menjerit kesakitan.

Sayangnya, si pemuda berambut hitam ini terlambat menghindari belati ke kaki kirinya. Belati itu menghujam dalam ke betis sang pemuda, membuatnya pincang dan nyaris terjatuh ke lantai berdebu di bawahnya. Beruntung rekannya segera menahan tubuhnya dan membawanya ke tempat yang lebih aman, sementara musuhnya tak jelas menghilang ke mana. Mudah-mudahan dia benar-benar menyerah dan mundur.

"Kau tidak apa-apa?" tanya si pemuda berkacamata, khawatir dengan kondisi rekannya. Baru beberapa menit yang lalu kepalanya dipukul dengan begitu keras sampai pingsan dan sekarang ada sebuah belati menancap di kakinya. "Lebih baik kita istirahat saja di sini. Aku yakin dia tidak akan datang lagi."

Pemuda bermata abu-abu itu mendesis kesakitan ketika kakinya yang cedera mendapat beban berlebih ketika dipakai berjalan. Tak suka dengan ganjalan di kakinya, ia mengambil pisau itu, bersiap untuk mencabutnya...

"Jangan, Rangga!" tangan si pemuda berkacamata meraih tangan si rambut ikal, mengentikan geraknya. "Kalau kamu cabut pisaunya, pendarahannya akan lebih hebat! Bagaimana kalau kamu kehabisan darah?" ekspresi pemuda itu khawatir luar biasa.

"Aku tak apa-apa..." bisik Rangga lemah. "Sungguh, aku tak apa-apa, kok, Joni..."

Pemuda yang dipanggil Joni hanya bisa memutar bola mata dan mendesah. Bocah ini kelewat keras kepala, membuat segala argumentasi percuma. "Ya sudah. Kita berlindung di gedung ini dulu. Toh, kakimu cedera dan kita tak mungkin bisa lari jauh. Oke, Rangga?"

"...terserah kau saja, Joni."

.

.

Sementara itu, tak jauh dari gedung dimana Joni dan Rangga berlindung, dua orang pemuda mengalami nasib yang sama dengan mereka. Sama-sama dikejar oleh orang aneh dan –kemungkinan besar—terancam untuk mati.

"Anjing! Itu kok bisa pohon mangga gerak-gerak seenak jidatnya kayak gitu sih?"

Antonio Fernandez Carriedo, codename Imperio Espanol, masih tertawa-tawa riang dari atas pohon mangga yang dikendalikannya. Di bawah pohon tersebut, kedua pemuda sasarannya terbelalak menatapnya dan si pohon mangga yang menari-nari di hadapan mereka. Antonio tertawa lagi sambil menggerakkan salah satu dahan, mencoba menangkap pemuda yang paling dekat darinya, yang berambut hitam cepak.

"Mana gue tau, Nyet! Pokoknya jangan sampai ketangkep tu pohon nggak jelas. Elo fokus nyerang si bule itu aja!"

"Jangan gue dong, suruh si android aja yang ngabisin tu orang. Tadi sempet-sempetnya dia grepe-grepe gue. Najis!"

Nah, sekarang mereka protes karena tindakannya tadi? Bukan salahnya kedua pemuda tersebut berwajah menggemaskan menurutnya kan? Dia, sang Imperio Espanol, bukanlah tipe orang yang akan menyia-nyiakan kesempatan untuk...ehem, mengapresiasi segala sesuatu yang menurutnya imut atau menggemaskan.

"Sudahlah, kalian menyerah saja dan ikut denganku~" kata Antonio dalam bahasa lokal (sesuatu yang mati-matian diperintahkan Kiku pada mereka untuk dipelajari, demi mempermudah misi, katanya) sambil tersenyum lebar. Sekarang mencoba menangkap pemuda kedua, pemuda kurus dengan pantat yang menurutnya cukup mengundang itu. Begitu bulat dan tampak kenyal, mengingatkannya dengan seorang sosialita di Amerika sana. Hanya saja, ini versi lebih kecilnya.

"NGIMPI KALI LO!" kedua pemuda tadi berteriak bersamaan sambil terus berlari menghindar darinya. Si rambut cepak melemparkan semua benda yang dilewatinya ke arah Antonio untuk menahan lajunya. Tempat sampah, motor yang sedang parkir, gerobak nasi goreng yang ditinggal penjualnya, dan...truk?

"Ekstrim..." desis Antonio dengan nada penuh kekaguman. "Kami benar-benar harus mendapatkan kalian. Kalian ini keren sekali..."

"Sebenernya kamu ini siapa sih? Apa maumu?" teriak si pantat seksi sambil melotot.

"Ra-ha-si-a dong~ Kalian harus ikut denganku dulu." Kembali dahan-dahan pohon mangga itu menggeliat menggapai-gapai mangsanya bak monster bertentakel di komik-komik hentai. Dua orang pemuda yang dikejar-kejar ini hanya bisa berdoa semoga pengejaran ini tidak akan berakhir seperti hentai yang biasa mereka baca...

/Imperio Espanol./ Suara Alfonso berbisik dari alat komunikasi di telinganya, membuat kendali Antonio terpecah dan pohon mangga yang ditumpanginya berhenti bergerak.

"Eh? Hermano? Ada apa? Kau sudah selesai?"

/Tidak. Aku terpaksa harus mundur kali ini. Perutku tertembak dan sepertinya pergelangan tanganku terkilir atau patah./

"Mereka sekuat itukah? Kau tidak apa-apa, kan?"

/Lukaku cukup sakit, sih. Tapi, tak terlalu parah Toh, tembakannya hanya menyerempet perutku saja. Rupanya persiapanku belum cukup untuk menghadapi mereka. Kau sendiri bagaimana? Butuh bantuanku?/

"Sebentar. Mungkin aku harus mengendalikan lebih banyak pohon lagi untuk menangkap mereka berdua. Eh, tunggu, aku harus mengejar kemana?" Ia melihat si rambut cepak dan si pantat seksi menghilang di balik pintu sebuah bangunan. "Ah... Keduanya masuk ke gedung tua, Hermano. Aku jadi tak bisa mengejar mereka dengan pohon manggaku ini, deh."

/Lebih baik aku ke sana sekarang. Biar kucari dulu lokasimu, sepuluh detik lagi aku sampai sana./

"Dua orang yang punya Super Power masuk ke sebuah bangunan. Aku terpaksa mengejar mereka dengan berla—Oof!"

Sebuah bom—entah granat atau rudal, Antonio tidak terlalu memperhatikan—jatuh nyaris mengenai tubuhnya. Beruntung dahan-dahan pohon mangga yang ia kendalikan bisa menepis peledak tersebut. Sialnya, pohon mangganya sekarang melemah dengan dahan-dahannya tumbang akibat ledakan tersebut.

/Kenapa aku bisa mendengar suara ledakan? Kau ditembaki?/

"Iya, nih. Entah dari mana, selalu ada peluru yang nyaris mengenaiku." gumam Antonio. Ia sekarang sibuk membuat atap dari dahan dan ranting pepohonan di sekitarnya guna menghindari serangan bertubi-tubi yang diarahkan kepadanya. "Aku jadi sedikit terhambat gara-gara tembakan ini, nih... Apa mereka punya rudal pengendali jarak jauh, ya? Semacam alat pertahanan diri untuk saat-saat seperti ini?"

/Entahlah. Kenapa tidak kau kejar saja yang dua orang itu? Aku akan segera ke sana./

.

.

Dua pemuda yang terengah-engah hebat berlari memasuki gedung tua ber-plang 'AKAN DILEDAKKAN' dengan ragu-ragu. Keduanya khawatir kalau ada pekerja di dalam gedung yang sedang mempersiapkan penghancuran dan malah menyuruh mereka keluar. Sampai kapan pun, mereka tidak akan mau kembali ke luar sana dan berhadapan dengan orang sinting dengan kemampuan mengendalikan tanaman dan binatang yang mengerikan. Barusan mereka nyaris mati diseruduk banteng, diterkam harimau, dan gepeng ditindih gajah saat di kebun binatang gara-gara bule aneh itu. Semuanya belum selesai. Setelah mereka lari dari kebun binatang—sebelumnya, mereka sudah mengembalikan binatang-binatang malang itu ke kandangnya—mereka masih harus dikejar-kejar oleh pohon mangga dengan ranting yang kemana-mana.

"Itu orang ngapain pengen nangkep kita sih?" tanya pemuda yang lebih kurus dan berambut berantakan dengan suara melengking. "Demi... Terus gimana dia bisa bikin binatang sama taneman nurut kayak gitu?"

"Ya mana gue tau, Gar! Lo kira gue bapaknya apa, harus tau semuanya!" bentak pemuda yang berambut cepak dan bertubuh lebih besar. Kesal. "Aduhduhduh... Ini kayaknya gue ada salah urat gara-gara ngelempar truk barusan..."

"Lagian elo sok jago sih, Ntur. Ngelemparnya truk. Lempar yang entengan dikit kenapa?"

"Apaan emangnya? Nenek-nenek lagi joget dub step sambil kayang keliling bunderan HI?" Ntur —Guntur, nama aslinya— merebahkan tubuhnya ke lantai berdebu sambil mendesis kesakitan. "Duh... beneran gue salah urat ini... Eh, itu si Eka ke mana?"

"Kan tadi dia bantuin kita dari... gak tau dari mana. Pokoknya dia bantuin kita nembak-nembakkin itu orang, kok." Gar yang masih terengah-engah ikut duduk di samping Guntur yang masih memijit-mijit pundak kanannya dan tampak sangat kesakitan. Melirik rekannya, ia bergumam, "...mau gue pijitin?"

"Hm? Boleh, deh. Lo bisa mijit yang bener, gak?"

"Enggak." celetuk Gar cuek. "Tapi ya kalo sakit lo ngomong aja, gitu. Sini. Balik badan." katanya kemudian sambil mendengus.

Guntur tersenyum kecil ketika merasakan jemari Gar mulai merambat, menelusuri pundak kanannya, memijit pelan. Otot-otot yang semula terasa sangat kaku mulai lebih tenang dan rileks setelah dipijat beberapa saat oleh Gar. Sayangnya, pijatan yang menenangkan itu tidak berlangsung lama, karena Gar mendadak berhenti. Guntur hampir protes kalau ia tidak melihat Gar sedang berdiri menghadap seorang pria berkacamata dan mengenakan jas berantakan yang tiba-tiba sudah ada disampingnya (Siapa orang ini? Mafia? FBI? Paspampres? Kenapa di kampung macam ini dia pakai jas?). Seorang pemuda lain berwajah manis dan kaki berdarah-darah dengan pisau masih tertancap tampak mengarahkan pistol ke kepala Gar, membuat Guntur lekas berdiri dan nyaris menyerang pemuda itu, namun kata-kata yang keluar dari mulut Gar berikutnya menghentikannya.

"Mereka sama kayak kita, Ntur. Sama-sama dikejar karena kemampuan mereka, sama kayak kita." Gar lalu terdiam sejenak, dahinya berkerenyit. Ia lalu melirik ke arah Rangga yang masih menempelkan pistol ke pelipisnya, "Kecuali...dia. Yang ini kayaknya cuma ikut keseret masalah, ya?"

Dengan gerakan yang begitu cepat, Joni menghantam perut Gar, membuat pemuda itu kaget dan membungkuk menahan sakit. Guntur yang melihat temannya dipukul menarik Rangga dan membanting pemuda itu ke lantai—membuat Rangga menjerit kesakitan saat kakinya yang cedera menghantam lantai berdebu yang keras dan melepas genggamannya pada pistol—lalu berlari ke arah Joni dengan kepalan tangan terangkat tinggi. Beruntung bentakan keras yang menggema di kepalanya berhasil menghentikan pukulan Guntur. Si pemuda berkacamata dan temannya terlihat kaget dan bingung.

"Yang tadi itu… Kau... Apa…"

Gar memandang mereka semua dengan ekspresi agak kesal, kemudian melanjutkan berkata, "Gue gak apa-apa, kok. Lagian, kita semua kan sama-sama lagi dikejar, jadi percuma juga kalo saling hajar. Siapa tau kita bisa saling tolong, kan?" gerutunya.

Si pemuda berkacamata—Joni—hanya bisa berdiri mematung di depan Gar dengan ekspresi yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Sebuah percampuran antara bingung, kagum, sekaligus ragu dan hati-hati. "...Kau bisa... membaca pikiran? Telepati?"

"Ya. Dan kamu bisa meramalkan masa depan, kan?" Gar lalu melirik ke arah Rangga yang masih terkapar di atas lantai, kesulitan berdiri. "Aku gak tau dia itu ap—"

Ucapan Gar terhenti di tengah jalan ketika Joni meraih kerah bajunya, dan mendadak pemuda belasan tahun itu sudah berhadapan dengan wajah penuh senyuman. Senyuman mengancam. Diikuti bisikan cepat, nyaris tak terdengar "Kalau tidak mau tenggorokanmu berlubang, kusarankan kau diam saja tentang dia. Dan..." Ia melonggarkan cengkeramannya dan melanjutkan dengan suara lebih kasual, "Tadi kau bilang dikejar-kejar? Apa si bekas luka itu juga mengejar—"

"Eh... bukan, bukan. Yang ngejar kami itu adiknya, Imperio Espanol atau semacam itulah." kata Gar sambil tertawa kecil, bercampur panik juga. Sekilas, ia sempat membaca pikiran Joni dan melihat kalau dia sudah bersiap untuk melakukan hal-hal tak terbayangkan kepadanya kalau dia masih ngotot bicara tentang Rangga. "Dan... aku janji nggak akan ngomong macam-macam tentang... eh... 'temanmu'."

"Setuju." Joni lalu melepaskan Gar, masih tersenyum lebar, dan berjalan menjauh. Ia berlutut di samping Rangga dan membantu pemuda itu berdiri sementara Guntur berlari ke arah Gar, khawatir dengan kondisi temannya. "Hei, kalian berdua." panggil Joni. Dia sudah berdiri sambil menggendong Rangga—bridal style. "Kalian bilang kalau kalian juga dikejar-kejar. Apa ini berarti kalian berdua juga punya...?"

"Yep." sahut Gar. "Kamu udah tahu kan kalau aku bisa baca pikiran? Dan Guntur ini bisa terbang. Ngomong-ngomong, kita belum kenalan ya. Aku Ek—ah, panggil aja Gar. Dan dia ini Guntur."

"Gar!" desis Guntur. "Apa-apaan lo ini? Seenaknya kenalan sama orang asing? Dia hampir bikin elo babak belur! Lagian mana ada orang jaman sekarang ngomong pake 'kau'? Aneh banget, gue nggak yakin sama mereka!"

Gar mengerang kesal dan menyahut, "Yakin, deh, Ntur. Mereka juga nasibnya sama kayak kita. Kita aman kalo sama mereka. Lagian yang tadi itu salah paham doang, kok. Sekarang, lo harus percaya sama gue, oke?"

Guntur mau tak mau mengangguk mengiyakan omongan Gar, meskipun matanya masih menatap tak yakin ke sosok pemuda berkacamata itu. Yang balas menatapnya sambil tersenyum lebar seolah adegan adu tonjok dan banting dan bertukar ancaman itu tak pernah terjadi sebelumnya.

"Perkenalkan, namaku Sanjoyo Setiabudi. Kalian bisa panggil aku Joni." Si kacamata memperkenalkan diri dengan resmi, seresmi caranya berpakaian. "Lalu, pemuda manis belahan jiwaku ini namanya Rangga Wicaksono."

"Kalian pacaran?" tanya Guntur tak percaya dengan raut muka jijik. Bagaimana pun juga, dia masih belum bisa mengerti bagaimana sesama jenis saling jatuh cinta. Gendongan ala pengantin dua orang di depannya yang semula tampak normal—dua orang sahabat dalam masalah dan terdesak, satu terluka, membuat yang satunya harus membawanya ke mana-mana—sekarang tampak mengerikan...

"Kata Joni, aku dan dia tidak pacaran, cuma hubungan kami 'seperti' orang pacaran. Eh, Joni, sebetulnya pacaran itu apa?" kata si pemuda berambut ikal yang namanya Rangga itu cuek, mengalihkan pandangannya pada Joni. Anehnya, nada suara pemuda itu terdengar sangat berbeda dari yang sebelumnya. Dan dia santai saja digendong bak wanita seperti sekarang...

"Keliatan seperti pacaran, ya? Ahahaha! Apa menurutmu kami akan menjadi pasangan yang serasi dan awet?" Sebuah komentar santai diikuti sebuah kedipan ganjen seorang Joni semakin membuat bulu roma Guntur bergidik ngeri.

Fix, Guntur akan mencoba menjauh sejauh mungkin dari pria ini. Menurut pengalamannya, gay itu menular.

Sementara itu, Gar diam saja dan tidak terlalu mempermasalahkan status dua orang yang baru ia kenal ini. Kemudian pikirannya melayang ke Imperio Espanol yang sedang mengejar mereka. Dari keterangan Joni, sepertinya ada satu orang lagi—tebakan Gar setelah membaca singkat pikiran si Spanyol—bernama Imperio Portugues. Melihat dari apa yang sudah dialami Joni, Imperio Portugues ini sepertinya lebih berbahaya ketimbang Imperio Espanol...

"Kita harus cepet pergi dari sini." kata Gar khawatir. "Eka gak mungkin bisa nahan si Spanyol itu lebih lama lagi. Cepat atau lambat, dia sama kakaknya pasti bakal sampe ke sini dan kita bakal tamat. Kita harus kerja sama kabur."

"Kalau kau menyarankan untuk lari, aku terpaksa menolak." kata Joni. "Rangga kakinya luka gara-gara Imperio Portugues dan aku tak yakin bisa menggendongnya sambil berlari. Begini-begini dia berat juga, lho. Babe, habis ini diet, ya? Jangan ngemil terus..."

Rangga menatapnya bingung. "Diet itu apa ya?"

"Nggak, kok. Aku gak nyaranin lari. Eh, Ntur, Eka masih diluar, kan?" tanya Gar.

"Gue liat dulu, ya."

Dengan sekali hentakan kaki, Guntur langsung melesat ke udara. Ia melayang menelusuri kaca-kaca tinggi lobi gedung tua tempat mereka berada. Sambil menyipitkan mata, Guntur mencoba untuk melihat jauh dan menangkap sosok temannya—Eka—masih sibuk menghujani peluru ke arah si pohon mangga. Dia merutuk kesal ketika melihat sosok berambut coklat itu ditambah satu sosok lainnya bergerak semakin dekat ke gedung tua tempat mereka berada. Guntur lalu kembali ke tempat Gar dan yang lainnya berada untuk memberitahu apa yang barusan ia lihat. "Masih, kok. Tapi, si kakak-adek beranak itu makin deket ke tempat kita. Ada rencana apa? Mau serang langsung?"

"Aku sarankan kalian jangan sok berani melawan si Codet itu." kata Joni hati-hati sembari menurunkan Rangga dan pelan-pelan membantunya duduk bersandar di dinding. "Gara-gara dia, Rangga jadi luka begini."

"Iya, iya. Aku juga tahu kalo itu. Dia punya kemampuan teleportasi, sih..." gumam Gar. "Yang lain punya ide, gak?"

"Kalau pura-pura mati?"

Ketiga pasang mata menoleh ke arah Rangga yang duduk bersandar di dinding dengan wallpaper yang sudah mengelupas. Ekspresi wajahnya tampak begitu santai, meski ia sempat mengerenyit kesakitan ketika menggerakkan kakinya yang terluka.

"Pura-pura mati?" ulang Guntur. "Pura-pura mati gimana maksud lo?"

"Mereka mengejar kalian karena mau mengambil tenaga—Super Power—yang ada di dalam diri kalian, kan? Nah, rasanya masuk akal kalau kita pura-pura mati supaya mereka berhenti mengejar kita." kata Rangga.

"Oke, pura-pura mati bisa juga. Tapi, emang mereka mau kemakan akting kita? Dan gue ini paling gak bisa nahan napas lama, man! Gue gak kuat kalo berenang lama-lama!" kata Guntur, panik ketika membayangkan dirinya harus menahan napas lama, belagak mati.

"Mending. Aku malah nggak bisa berenang..." desis Joni kelewat pelan.

"Eh, gue ada ide. Gimana kalo kita...um...ngancurin gedung ini? Toh, di depan tadi ada plang yang nyebutin kalau gedung ini emang mau diancurin," kata Guntur sambil menjentikkan jarinya, jiwa penghancurnya muncul mendadak memberikan jalan keluar.

"Bener juga, sih..." gumam Gar. "Kalo kita kabur terus, mereka pasti bakal ngejar kita. Kalo kita pura-pura mati gitu aja, susah nahan napasnya."

Guntur melanjutkan dengan bersemangat, "Itu dia! Mending kita pura-pura mati ketiban puing aja, jauh lebih meyakinkan tuh. Kita ancurin gedung ini dari core-nya sampai luluh lantak dan gak perlu nimpa gedung lainnya. Nah, berarti sekarang masalahnya berapa lama kita harus pura-pura mati di bawah reruntuhan..."

Gar lalu melirik kaki Rangga yang terluka. Darah masih menetes dari luka dengan pisau tertancap mengerikan yang tampaknya begitu sakit, membuat pemuda belasan tahun ini berjengit ngeri. Tapi, beruntung berkat luka dan darah segar yang masih mengalir dari luka, ia mendapat pencerahan.

"Kita gak perlu tahan napas lama-lama. Kita pake aja darahnya Rangga."

Mendengar kata 'darah Rangga', raut wajah Joni langsung berubah. Pemuda berkacamata itu menggeser posisinya sedemikian sehingga ia berada di depan Rangga, efektif melindunginya dari pandangan dua orang lainnya. Senyum lebar itu masih terpampang di wajahnya, tapi justru itu yang membuat seram. "Ahaha. Tadi rasanya, aku mendengar sesuatu tentang darah Rangga..."

"Eh, ja-jangan keburu emosi dulu, Joni," kata Gar buru-buru. "Maksudku, dia kan udah luka. Noda darahnya udah menetes ke mana-mana. Bisa jadi, musuh-musuh kita itu ngira itu darah kita, kan? Lagian kalo menurut yang kuliat tadi, si Imperio Espanol itu gak terlalu teliti masalah beginian. Kakaknya juga. Paling biar mereka ngeliat darah setetes aja udah bakal ngira kita semua mati. Beres perkara."

"Mana yang Imperio Espanol itu keliatannya agak dogol pula..." tambah Guntur.

"Nah! Itu maksud gue!" seru Gar bersemangat. "Sebenernya gue yakin mereka bakal percaya aja kita mati biar cuma ngeliat gedung ini runtuh!"

"Gue setuju kalo gitu. Asal gak pake acara tahan napas, gue ikut!" ujar Guntur bersemangat.

"Tapi, kita mau berlindung di mana setelah gedung ini dihancurkan?" tanya Joni. Ia kini berada di samping Rangga, memeluk pemuda berambut ikal itu dengan begitu protektif dan mengelus-elus kepalanya, entah atas dasar apa. "Lalu siapa yang mau meledakkan gedungnya? Apa si Eka yang kalian bilang itu?"

"Kalau masalah itu, kita bisa kabur lewat belakang. Kebetulan kontrakanku persis di belakang gedung ini —tadi kita mau kesana. Kita bisa berlindung sementara di sana, sekalian ngerawat luka Rangga." usul Gar sambil tersenyum. "Nah, kalo Eka... Bentar. Mesti dihubungin lewat telepati, nih," kemudian ia memejamkan mata, terlihat berkonsentrasi penuh.

'Eka. Eh, Eka. Kamu denger aku, nggak?'

'Saya bisa mendengar Anda. Sampai kapan saya harus melawan dua orang ini? Yang baru saja melawan Anda tadi masih mudah dibidik, sedangkan yang baru datang ini agak susah. Dia menghilang terus dan menurut perhitungan saya ada kemungkinan dia akan muncul sewaktu-waktu di belakang punggung saya.'

'Ah, ya... Yang itu emang punya kemampuan teleportasi. Gini, aku punya rencana. Kamu liat gedung tua tempat aku sama Guntur berlindung, kan?'

'Ya. Apa Anda mau saya menghancurkannya?'

'Iya! Tolong kamu ancurinnya sampe tinggal puing! Mungkin lebih bagus kalo kamu dateng ke gedung ini dan pasang bom di... um... core? Core-nya gedung, mungkin.'

'Tapi, musuhnya...'

'Biarin aja. Cepetan ke sini, ya, Ka. Ini perintah!'

'Baik. Saya akan sampai ke sana dalam waktu lima detik.'

Gar menghembuskan napas panjang dan berbalik ke arah teman-temannya. "Sip. Katanya dia mau sampe sini sekitar lima—"

Belum sempat Gar menyelesaikan kalimatnya, sesosok pemuda berwajah datar sudah berada di dalam gedung. Langkahnya terdengar sangat berat sementara matanya menatap kosong ke arah Joni dan juga Rangga.

"Siapa orang-orang ini, Gar? Apa mereka musuh?" tanya Eka dengan suara sedatar ekspresinya sambil mengeluarkan senapan mesin dari punggungnya, siap untuk menembak jika dua sosok yang berdiri tak jauh dari rekan-rekannya itu memang musuh.

"Bukan, Ka. Ini temen baru kita. Yang ini namanya Joni dan yang luka itu namanya Rangga. Mereka bakal ikut kita kabur dari tempat ini. Mereka juga sama kayak aku dan Guntur, punya Super Power. Makanya mereka juga lagi lari dari orang-orang itu." kata Gar, memberikan pengenalan buru-buru mengenai dua orang baru itu kepada Eka.

Mendengar penjelasan Gar, senapan mesin yang berada di punggungnya langsung terlipat rapi dan masuk ke tubuhnya. Ia bahkan mengangguk penuh hormat kepada dua orang tersebut. "Salam kenal. Nama saya Bhinneka Adhi Jayawardhana. Anda bisa memanggil saya dengan sebutan Eka."

"Kenalannya nanti aja, deh, Ka! Ini masalah hidup-mati!" desak Gar yang semakin panik. Dia mulai bisa mendengar suara derak pepohonan semakin mendekat, pertanda bahwa Imperio Espanol sebentar lagi akan menapaki gedung tempat mereka berada. Guntur kemudian berkata pada Eka, "Tuh, core-nya di sebelah situ. Beruntung elevator-nya udah dilepas semua. Lo pasang di titik-titik tertentu aja, ya. Kerjain sekarang. Ini perintah Gar!"

"Baik."

Setelah mendapat perintah itu, Eka langsung berlari ke arah core bangunan sambil mengeluarkan bom-bom kecil dan menempelkannya ke kolom inti penyangga gedung. Dengan gerakan yang cepat, pemuda sekaligus mesin ini memanjat ke atas, menyusuri core sambil memasang bom tiap lantai dengan begitu hati-hati.

Joni dan Rangga yang baru pertama kali bertemu dengan Eka hanya bisa menatap kagum sekaligus heran melihat manusia yang tampaknya normal bisa mengeluarkan senjata dan bom seperti itu dari dalam tubuhnya. Belum lagi ada suara berdentang—seperti suara metal mengenai benda padat—bergema setiap kali Eka melompat ke lantai berikutnya.

"...sebenarnya dia itu apa, sih?" tanya Joni sambil melirik Gar.

Tepat sebelum Gar menjawab pertanyaan Joni, Eka sudah kembali ke lantai dasar dan berjalan menghampiri mereka. "Saya sudah memasang bom di tiap lantai, sekaligus di beberapa kolom lain di lantai-lantai atas untuk mengatur runtuhnya bangunan."

"Bagus!" kata Gar bersemangat. "Sekarang, kita harus keluar gedung sebelum—"

"Bentar, deh..." gumam Guntur, menghentikan Gar yang sudah siap lari keluar gedung. "Kok, gue denger bunyi 'pip pip pip' samar, ya? Pada denger, gak?"

"Aku dengar." timpal Rangga.

"Aku juga dengar." Giliran Joni buka suara.

Gar mengerenyitkan keningnya dan berusaha mendengarkan lebih jelas dengan telinganya. Memang ada suara samar dan itu berasal dari core bangunan. Guntur bertanya hati-hati, "Um... Ka, tadi lo masang bomnya tipe apa? Yang pake kontrol jarak jauh apa pake timer?"

"Timer. Sudah saya set untuk meledak dalam waktu satu menit."

"SATU MENIT?" jerit empat orang lainnya.

"LO GILA APA, MASANG SATU MENIT? GUE AJA GAK BISA TERBANG SECEPET ITU, MONYET!"

"EKAAAAAAA, KAMU YANG BENER DONG? DEMI GARTER SAKTI GUE DI RUMAH, KALO KITA IKUT KEKUBUR BENERAN DISINI GIMANAAA?"

"Ya, ampun... Satu menit, ya? Rangga, kalau aku tak kuat menggendongmu sampai garis akhir, aku minta maaf. Tapi, yang penting kita bisa mati bersama dan kisah cinta kita akan abadi selamanya seperti Romeo dan Juliet."

"...Romeo dan Juliet itu siapa?"

Gar memijit kepalanya yang pening seketika mendengar seruan dan kegalauan teman-temannya. Dia sendiri juga payah, lupa bilang ke Eka untuk pakai bom kendali jarak jauh. Perintahnya memang kurang detil, wajar kalau android ini salah kaprah.

Rangga berteriak sekeras mungkin, "Heeei! Daripada kalian berteriak-teriak begini, kenapa nggak lari sekarang?"

"Ide bagus!"

"Ntur! Lo bawa Eka ya! Dia gak bisa lari cepet!"

Joni—entah dapat kekuatan darimana—berlari secepat kilat ke pintu belakang sambil menggendong Rangga dan langsung menghilang. Gar mengikuti dibelakangnya. Tiba-tiba saja Gar merasakan sepasang tangan melingkar di pinggangnya dan detik berikutnya, ia sudah melayang di udara, dibawa terbang oleh Guntur yang juga membawa Eka di punggungnya.

"Ntur, lain kali kalo mau ngangkat gue buat terbang bilang-bilang kenapa? Jangan dadakan!" protes Gar, sebal dengan spontanitas Guntur.

"Lah? Kan elo bisa baca pikiran! Kirain lo udah bisa nebak."

"Udah, sih. Cuma tetep aja gue kaget! Lo mau umur gue makin pendek gara-gara jantungan?"

"Iya, iya... Lain kali gue ngomong, deh. Sekarang lo diem, biar gue terbangnya tenang."

Gar hanya bisa mendesah panjang dan pasrah diseret terbang seperti ini oleh Guntur. Sebenarnya ia bersyukur Guntur mau membawanya terbang seperti ini karena dia sudah terlalu capek untuk lari terus-terusan. Meskipun dia pelari yang cepat, ada kalanya kedua kakinya menuntut untuk diistirahatkan.

.

.

Waktu satu menit akhirnya berlalu sudah. Berurutan, bom-bom kecil itu meledak satu demi satu, meruntuhkan gedung itu dengan begitu rapi, tanpa mengenai bangunan lain. Bangunan setinggi dua puluh lantai itu dalam hitungan detik sudah berubah menjadi puing-puing.

Antonio dan Alfonso berdiri di depan puing, tempat dimana target mereka semua berlindung. Bersama dengan penduduk sekitar yang terbangun penasaran, mereka melihat dari dekat kondisi gedung yang hancur tak bersisa.

"Kita bisa simpulkan kalau mereka semua mati." kata Antonio. "Toh, siapa yang bisa selamat setelah tertimpa runtuhan gedung seperti itu."

"Mungkinkah ini rudal dan bom mereka sendiri yang nyasar? Atau mereka hanya sedang sial dengan masuk ke gedung yang mau dihancurkan?" gumam Alfonso, masih tak yakin kalau tiga orang target mereka tewas tertimpa runtuhan gedung.

"Rasanya tadi memang ada ledakan, tapi suaranya dari dalam gedung, kok." kata Antonio sambil mengangkat kedua pundaknya.

"Apa perlu kucari mereka dengan clairvoyance-ku dulu?" tanya Alfonso.

"Sudahlah. Mereka tidak mungkin selamat setelah ditiban gedung dua puluh lantai. Lebih baik kita kembali ke markas dan mencari pemilik Super Power lainnya." Antonio berkata santai sambil tersenyum ceria.

Alfonso mengangguk pelan, menyetujui perkataan adiknya. Keduanya perlahan berjalan menjauh, berusaha sebisa mungkin untuk tidak menarik perhatian orang lain di sekitar. Alfonso lalu meraih tangan Antonio, menggandeng tangan sang adik sebelum menghilang di tengah udara kosong.

.

.

Sementara itu di kontrakan Gar, nasib berkata lain.

Entah salah hitung sebelah mana, sebagian puing bangunan yang diledakan Eka mengenai kontrakan Gar. Bukan sekedar mengenai, tapi menimpa dan menghancurkan lebih dari setengah bagian dari kontrakannya, membuatnya tak bisa ditempati sama sekali.

Makanya, ketiga orang lainnya sekarang berdiri bengong memandangi reruntuhan kontrakan, sementara seorang ibu-ibu gemuk dengan rol rambut di seluruh kepala marah-marah di depan muka Gar, yang menunduk dalam sambil menggumamkan frasa-frasa yang terdiri dari kata 'maaf', 'Bu', dan 'iya', hanya dibolak-balik susunannya saja. Eka hanya berdiri dengan tampang datar seperti biasa. Sedangkan pandangan Rangga –yang kakinya sudah dibebat— hanya berpindah-pindah penasaran antara si ibu kontrakan yang berteriak-teriak, dan kontrakan Gar yang sudah bolong setengah.

"Emang kamu pikir Ibu gampang beli rumahnya, hah? Ibu itu belinya pake uang, Ekaaaa!"

"Ibu makan apa kalo kayak begini? Kamu pokoknya harus ganti rugi!"

"Rumah ini buat masa depan anak Ibu! Sekarang kalo rumah ini gak ada, anak Ibu mau tinggal di mana, Garuda Eka Prakoso?"

Gar hanya bisa memijit-mijit keningnya yang akhir-akhir ini mudah sekali sakit. Demi daleman... kurang sial apa sih dia sejak pindah ke tempat ini? Ibu pemilik rumah kontrakannya masih sibuk marah-marah tepat di depan mukanya sambil terkadang menangis tersedu-sedu sambil meratapi nasib rumah dan keluarganya sebelum kembali menyemprot Gar dengan berbagai kata makian. Belum lagi isi kepala ibu pemilik kontrakan yang juga ikut mencerca Gar. Sungguh, bisa mendengar pikiran orang itu berguna, tapi melelahkan sekali. Belum lagi ribut suara batin Guntur dan Joni yang mengasihaninya, Rangga yang bertanya-tanya, dan Eka yang mengumpulkan data. Bicara tentang Eka, mau marah padanya juga percuma...

Tepukan ringan di pundak Gar membuat rentetan keluhan dan kemarahan si ibu kontrakan terhenti sejenak. Detik itu, Gar tak tahu apakah si ibu berhenti marah-marah karena mau ganti menyemprot Joni atau terpesona dengan senyum karismatik si pemuda berkacamata berpenampilan bak eksekutif muda ini (Atau Joni memang seorang eksekutif muda? Gar tidak tahu).

"Sepertinya Ibu ada masalah dengan rumah yang rusak parah ini, ya?" kata Joni. "Sebenarnya ini bukan salah Garuda, kok, Bu. Tapi, kalau Ibu masih mau meminta ganti rugi kepada Garuda di sini, mungkin aku bisa bantu."

Gar langsung merinding.

"Bantu apa—"

"Daripada Garuda yang tak jelas punya uang atau tidak, bagaimana kalau aku saja yang membayar ganti ruginya, hm?"

"Aduh, Nak. Tante jadi gak enak kalau begini—"

"Ah, tak perlu sungkan, Bu. Sebut saja harganya."

"Beneran, lho, Nak. Gak usah repot-repot. Yang harusnya ganti itu si Eka—Garuda Eka Prakoso ini!" jari si ibu kontrakan tidak sampai sesenti didepan hidung Gar.

Joni mengambil buku cek bersampul kulit dan pena mahal, siap menulis angka yang diinginkan ibu ini. Senyum cerah Joni membuat lawan bicaranya terpesona sebelum ia berkata, "Berapa biaya ganti ruginya? Sebut saja angkanya, itu bukan masalah untukku."

Detik berikutnya, si ibu yang mengontrakkan rumah Gar pergi dengan senyum cerah sambil memeluk selembar cek dari Joni. Entah berapa angka pasti yang ditulis Joni pada cek tersebut, tapi yang jelas digitnya melebihi delapan.

Gar masih terbengong-bengong, bingung dengan apa yang barusan ia lihat. Ia masih tak percaya kontrakannya hancur tertimpa puing bangunan, tak percaya ibu pengontraknya minta ganti rugi kepadanya yang kere ini, dan yang lebih tak bisa dipercaya lagi adalah Joni—orang yang baru dia kenal—bisa dengan mudah memberikan cek bernominal luar biasa besar untuk membantunya.

"Umm... makasih udah mau bantuin..." gumam Gar pelan, malu karena harus dibantu orang asing yang bahkan belum ia kenal sampai sehari.

"Ah, sama-sama, Garuda sayang~" kata Joni sambil tersenyum. Ia kembali memasukkan buku cek dan penanya ke saku jas sebelum mengedip genit ke arah Gar.

Gar mengerang kesal dan mendelik tajam ke arah Joni sebelum berdesis, "Jangan panggil aku itu! Dan lebih lagi, jangan panggil aku 'sayang'. Panggil aku Gar aja, ah! Dan aku beneran gak enak, nih. Ada sesuatu yang bisa aku kerjain buat bales budinya?"

"Lho? Kenapa? Menurutku nama Garuda ini manis, lho. Seperti lambang negara kita tercinta." Kembali Joni memberikan kedipan ganjen ke arah Gar yang semakin merinding disko dan menatap Joni seolah dia memakai longdress alih-alih jas. "Dan untuk balas budi, bagaimana kalau kau bayar dengan tubuhmu saja?"

Serius, kalau Joni bukan penyelamatnya di kala kepepet uang seperti tadi, Gar sudah akan menyuruh Guntur untuk menghajarnya habis-habisan sampai mati. Guntur pun sudah siap langsung maju ke sisi Gar dengan tangan terkepal mendengar tawaran Joni tersebut.

"Lo—!"

"Bercanda, bercanda. Ngomong-ngomong," Joni mengedikkan kepala ke arah puing kontrakan Gar. "Kau mau tinggal di mana? Kontrakanmu sudah tinggal puing begini. Apa Guntur punya tempat tinggal?"

"Sementara ini gak ada tempat lain. Gue tinggalnya ya ama Gar."

"Si Ntur udah diusir dari kos-kosannya gara-gara gak bayar tunggakannya selama setaunan kalo gak salah. Eka juga… gak punya rumah. Mereka berdua tadi, sih, tinggal bareng aku. Sekarang gak tau, deh..."

Joni hanya mengangguk-angguk mendengar ucapan Gar sebelum akhirnya sebuah ide sinting terucap dari mulutnya.

"Bagaimana kalau kalian bertiga tinggal bersama denganku dan Rangga?" katanya, tersenyum lebar. "Aku punya rumah cukup besar untuk kita tinggal berlima, meski kita sepertinya sudah tidak bisa tinggal lagi di penthouse-ku di tengah kota. Kita mungkin harus pindah ke tempat yang agak terpencil dan agak sepi. Mungkin rumah tepi pantaiku sesuai."

"Sebentar, sebentar!" potong Gar. Ia agak panik mendengar pikiran-pikiran dari kepala Joni. Si pemuda berkacamata ini sepertinya sudah mulai membayangkan hal-hal yang agak mengerikan tentang tinggal satu atap dengan empat orang lainnya. "Kalau aku nolak, gimana?"

Joni tertawa renyah dan berkata, "Begini saja. Kau harus tinggal bersamaku selama sepuluh tahun untuk melunasi uang yang tadi kuberikan kepada ibu itu. Kau harus bekerja membersihkan rumahku, mencuci bajuku, membuatkan masakan, dan segala pekerjaan rumah lainnya sebagai balas budi. Kurasa Guntur dan Eka akan mengikutimu. Rangga... dia bahkan sudah seminggu ini tinggal bersamaku. Dia juga tak punya tempat tinggal."

Gar hanya bisa menatap orang di depannya ini dengan mulut menganga lebar, tak tahu harus berkata apa. Dia sudah didesak sampai sejauh ini sampai ia tak punya pendapat lain. Diliriknya Guntur yang berdiri di sebelahnya. Pemuda berambut cepak itu menatap balik Gar dengan ekspresi yang sama bingungnya. Ekspresi yang sangat memperjelas batin Guntur yang berkata, 'Gue gak ngerti. Elo yang harus bikin keputusan'. Eka... tetaplah Eka.

Diiringi hembusan nafas panjang penuh kepasrahan, Gar memantapkan hati dan terpaksa menjawab: "Oke. Aku, Guntur, dan Eka setuju... um... tinggal denganmu."

Dalam hati, Gar hanya bisa berdoa semoga Joni tidak seaneh isi kepalanya. Semoga.

-tbc-


AN: Terima kasih sudah membaca, kami harap anda belum kehabisan stok obat tetes mata. Sampai jumpa di chapter berikutnya! kalau ada komen, kritik, saran, atau bahkan flame baik pada kami semua atau salah satunya, jangan sungkan2 menyampaikan~ :D