Ohayou! Konichiwa! Konbawa!

.

Hai, NHLs. Lama tak jumpa—atau untuk semua kawan baru saya ucapkan salam kenal~ :D

Meskipun saya sering memberikan feedback pada authors lain, bahwa di warning jangan menambahkan "peringatan aneh-aneh yang tidak diperlukan", saya tetap merasa perlu menuliskannya. Dan saya pilih opsi alternatif di A/N: Emo, galau, suram, lebay, plot yang beralur superlambat. Untuk yang tidak suka angst, silakan tekan tombol "Back". (Suara dari pojokan, "Dasar nggak konsisten, Light!" #deep bows)

I will survive~

.

Dozo, Minna Sama!

.

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Setting: AR

Warning: OOC, OOT, typos, cliffie, etc.

.

Special backsound: "That Woman" by Baek Ji Young. Original soundtrack Secret Garden (Lagu ini keren banget. Silakan putar lagu ini jika Anda berkenan. Ok?)

.

Have a nice read! ^_~

.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

.

Hanya aku yang bisa melakukannya

Menanggung semua kebencian yang bersemayam di muka bumi

Karena aku adalah sang pahlawan

Lantas, jika aku yang memiliki kebencian…

siapa yang akan menyelamatkanku?

.

#~**~#

A "NaruHina" Naruto fanfiction,

.

Eksistensi Sempurna

.

Chapter 1

"Puncak Musim Gugur"

.

By: Light of Leviathan

#~**~#

.

Seorang pemuda duduk membisu di bangku taman. Taman yang semarak akan warna kuning kecoklatan, tak menghiraukan hawa dingin musim gugur yang amat menusuk. Mata biru cemerlangnya memandang hampa pada daun-daun menguning yang meranggas, tiap helainya dihembuskan angin, meninggalkan ranting kering dan pohon yang tampak rapuh.

Jubah merah sewarna api beraksen hitamnya melambai ditiupkan angin, membuatnya sedikit terbuka dan menampilkan jumpsuit oranye-hitam yang sudah menjadi ciri khasnya. Menikamkan suhu dingin musim gugur padanya yang tak mengenakan mantel.

Suasana begitu sepi, terlebih karena ia hanya sendiri. Ia sedang menyepi, bukannya tanpa arti. Si maniak ramen yang satu ini tenggelam dalam renungan. Meniti setiap keping kenangan yang dimilikinya. Mengkaji semua pengalaman yang telah didapatkannya.

Tiga tahun setelah peristiwa bersejarah itu. Sebuah cerita yang meriwayatkannya sebagai tokoh utama; menjadi seorang penyelamat; mencetak legenda tentangnya dengan titel pahlawan.

Seorang pahlawan identik dengan kekuatan. Ia memang kuat, tapi bukan berarti tidak rapuh. Jika ada seseorang yang melewati taman ini dan melihatnya duduk terpekur di taman dengan ekspresi sesuram ini, pasti orang itu akan menertawakannya. Sejak kapan jinchuuriki Kyuubi ini pandai bermuram durja tanpa dipinta?

Hah, mereka saja yang tidak tahu bahwa ia sering sekali menggalau. Kalau dihitung tahun, mungkin sudah sekitar tiga tahun, sejak kepergian seorang temannya dari Konoha serta kehilangan orang yang disayanginya.

Dia yang terlalu lihai menutupi perasaannya, atau orang-orang yang terlalu bodoh untuk menyadarinya?

Tak ada orang yang lebih bodoh daripada dibodohi orang bodoh—karena ia tak pernah mengemis untuk dimengerti.

Senyum miring terbit di wajahnya. Apa Kyuubi kembali merasukinya? Atau dirinya versi kegelapan telah menguasainya? Mengapa ia menjadi seseorang seperti ini? Bukankah waktu kecil ia begitu periang dan konyol? Ataukah sebenarnya ia benar-benar telah kehilangan sosok aslinya?

Oh, mungkinkah karena dia terlalu banyak berpikir dan merenung—tindakan yang sama sekali jarang dilakukannya—maka ia menjadi seperti ini?

Ah, itu hanya sekumpulan prasangka. Nyatanya ia tetap tak mampu menarik satu simpulan sebagai jawaban atas sosoknya yang menjadi seperti ini.

"Naruto kun."

Ditolehkannya kepala pada sumber suara yang memanggilnya di mana nada ragu terselip. Sejenak mata birunya melebar dalam keterkejutan. Seorang gadis yang sudah tiga tahun lamanya tidak berjumpa. Gadis itu benar-benar telah berubah.

Sedikit binar mengusir kilau sendu yang sempat mewarnai iris biru langitnya. Gadis yang berdiri tak jauh darinya tersenyum ragu.

"A-aku me-menemukanmu, Naruto kun."

Naruto Uzumaki mendengus geli. "Dan apakah aku kelihatan seperti sedang bersembunyi?"

Masih tersenyum ragu, dia menjawab—dengan suara yang lebih mantap, "Me-menurut yang lain be-begitu. Teman-teman mengkhawatirkanmu karena kau menghilang sejak pagi tadi."

Naruto hanya mengangguk-angguk. Tatapannya menerawang pada daun-daun yang menggelinding terhempas hembusan angin. "Aku hanya bosan berada di ruang Hokage terus-menerus, ditambah dengan segunung dokumen. Aish, lebih baik aku jalan-jalan daripada mati tertimbun kertas. Sekarang aku mengerti kenapa Tsunade Baachan kerapkali kabur dari tugasnya."

Denting tawa menyapa gendang telinganya, tak disuarakan keras, namun begitu lembut terdengar. Mengundang senyum terkembang di wajah tampan yang nyata kedewasaannya.

"A-aku pulang," katanya setelah tawa mereda.

"Selamat datang kembali, Hinata." Sebelah tangannya terangkat, melambai pada gadis itu. "Duduklah!"

Hinata Hyuuga mendudukkan diri di bangku yang juga sedang ditempati Naruto. Ada serentang jarak. Sudah cukup untuk membuatnya bernapas lega. Jika berada lebih dekat, bukannya tak mungkin ia bisa pingsan seketika.

"Apa kabar, Hinata?" tanyanya, pertanyaan yang lazimnya berbasa-basi untuk memulai konversasi.

"Baik—karena aku bisa kembali lagi ke Konoha."

"Memangnya pelatihan Pewaris klan Hyuuga di Sunagakure tak menyenangkan? Bukankah tiga tahun yang lalu, aku sudah bilang padamu, untuk protes saja pada Gaara kalau ada yang tidak beres?"

"Err, eh… bu-bukan begitu ma-maksudku, Naruto kun." Sepasang mata lavender mengerling padanya. "A-aku senang selama tiga tahun berada di sana—menjalani pelatihan intensif, wa-walaupun aku harus ti-tidak mengontak siapa pun dari Konoha selama itu. Tapi, tak ada tempat yang le-lebih baik daripada rumah sendiri, bukan?"

Naruto memasang mimik wajah ketakutan. "Kau sudah berubah banyak, ya. Sungguh mengerikan."

"E-eh?" Kini gadis itu mengalihkan pandangan padanya. Meraba sendiri permukaan wajahnya yang mulus tanpa cela. "Me-mengerikan?"

Pemuda dengan tiga garis di masing-masing pipi itu terkekeh-kekeh mendapati gadis di sebelahnya panik. "Bukan maksudku kau jadi jelek. Tenang saja, kau semakin cantik. Tapi… sikapmu itu. Ouh… aku jadi takut."

Tak tahu harus bagaimana berekspresi—antara senang dipuji dengan kebimbangan mengenai "mengerikan" yang disebut Naruto, dimiringkan kepalanya, tak mengerti. Sukses membuat Naruto terkekeh lagi.

"Kukira seharusnya wajahmu memerah, lalu… pingsan. Kau masih melakukannya saat aku memberikanmu pelukan perpisahan, dua tahun yang lalu."

Secepat kilat ditangkupkannya kedua tangannya untuk menutupi wajahnya yang merona. "A-ada ma-masanya seseorang untuk be-berubah, Naruto kun."

Kali ini ia benar-benar tertawa. Tawa tulus yang sudah lama tak terdengar. Tawa yang menjurus pada rasa lega. Terlebih ketika ia melihat sepasang mata lavender mengintip dari celah jari-jari lentik itu.

"Tak usah malu-malu begitu, Hinata. Kalau kau pingsan, bisa-bisa aku dituduh menjadi tersangkanya. Hehehe."

Dan bukankah selama ini hanya dirinya seorang yang selalu menjadi pelaku penyebab pingsannya Hinata?

Hinata menurunkan kedua telapak tangannya. Menghela napas lega melihat pemuda di sampingnya tampak lebih rileks.

Tawa si pahlawan dunia itu surut. Tergantikan seutas senyum. Ah, sejak kapan ia melupakan bagaimana caranya tertawa secara normal? Tertawa yang terasa menyenangkan.

"Ba-bagaimana denganmu, Naruto kun?"

Mengalihkan perhatian, eh? Usaha yang bagus, Hinata—batinnya.

"Yah… seperti yang kau lihat."

Sunyi.

Tak ada tanggapan, Naruto menoleh. Hanya untuk menemukan sepasang mata lavender menyorot sendu memandangnya. Mata birunya mengerjap-ngerjap.

"Apa aku terlalu tampan dan keren sampai kau menatapku semesra itu?"

Blush.

"E-eh, aku tak punya maksud bersikap tak so-sopan—"

Naruto nyengir lebar. "Sejujurnya, aku memang sering ditatap seperti itu oleh para gadis—akhir-akhir ini. Kadang-kadang bosan juga—akhirnya aku mengerti perasaan Sasuke Teme ketika ada gerombolan gadis yang histeris melihatnya."

Hinata diam. Menanti penuturan Naruto berikutnya. Naruto meliriknya, cengirannya semakin lebar mendapati Hinata salah tingkah tatkala mereka bertemu pandang.

Naruto ikut membisu. Tak tahu harus berkata apa lagi. Mereka sama-sama menunggu. Walaupun waktu harus diulur, tetapi waktu tak menunggu. Karena mereka sama-sama mengerti, ada urusan yang harus diselesaikan, cepat atau lambat.

"Kau juga sudah banyak berubah, Naruto kun…" ujar Hinata.

"Ada masanya seseorang untuk berubah, Hinata," ucap Naruto ringan, menirukan perkataan Hinata barusan.

"Kau tidak seperti yang dulu kukenal, Naruto kun."

Kini Naruto memfokuskan tatapannya pada Hinata, yang alih-alih balas menatap Naruto, sibuk memandang daun-daun yang mereras diterbangkan angin.

"Memang aku yang dulu itu seperti apa?" pancing Naruto dengan nada menantang, sedikit banyak ia merasa tersinggung. Seolah Hinata adalah bagian lain dirinya, dan jauh lebih tahu seluk-beluk mengenai seorang Naruto Uzumaki ketimbang dirinya sendiri.

Hinata menyandarkan punggungnya pada sandaran bangku taman. Membenamkan tangannya ke dalam saku jaket ungu yang dikenakannya.

"Kau yang dulu begitu hangat dan ceria. Tidak pernah takut, sangat pemberani, dan sangat kuat. Maksudku, definisi kuat yang berarti ketika jatuh mampu bangkit kembali dan tidak mudah menyerah. Terkadang kau begitu konyol, namun sangat lucu di saat yang bersamaan…"

Ketika Hinata terlihat begitu bahagia menceritakan tentang dirinya yang dulu, entah mengapa secuil rasa cemburu dan marah yang tak dapat dideskripsikan muncul ke permukaan. Yang diceritakan itu dirinya, kan? Mengapa sekarang berbeda? Apa yang salah?

Mata birunya terpaku pada sosok Hinata yang sekarang. Mata lavendernya berbinar, begitu ekspresif. Dengan rambut indigo panjang yang digerai. Pakaian serba ungu yang biasa dikenakan gadis itu. Semakin cantik, karena garis kedewasaan kian terpeta pada sosok jelitanya.

Tidak ada yang salah dari Hinata. Dan itulah alasan kenapa Naruto merasa bermasalah.

"…dulu kau begitu polos dan naïf, Naruto kun," tutur Hinata, mantap penuh keyakinan. "Eh, ma-maaf. Bu-bukan berarti kau yang se-sekarang—"

"Tak apa. Aku mengerti," potong Naruto. Ia berdeham sekilas, kemudian membuang pandang dari Hinata. Lama-lama, ia bisa merasa mata birunya akan permanen untuk menatap gadis di sebelahnya terus-menerus. Tidak akan diterpa kebosanan.

Oke, Naruto menarik kesimpulan ada kesalahan pada indera penglihatannya. Atau setidaknya, itu hanya pelampiasannya untuk mencari alasan mengapa ia betah berlama-lama memandangi Hinata. Dan entah kenapa, perasaan bersalah mencuat ke permukaan—seakan mencubit hatinya.

"Berapa banyak waktu yang kauhabiskan untuk mengamatiku, Hinata?"

"E-eh?"

"Haha. Sampai kau begitu detil menceritakan tentang aku waktu kecil… jadi cemburu." Naruto mencoba bergurau.

Hinata menghembuskan napas panjang dan perlahan. Matanya nyalang menatap terutama seseorang di sebelahnya. Tangannya meremas-remas jahitan bagian dalam jaket. "Aku tahu setiap orang lambat laun akan berubah… tapi, kau agak drastis."

"Bukankah bagus?" Naruto tertawa garing, "Setidaknya aku tidak seidiot diriku waktu kecil. Tidak sebodoh, selemah, dan secengeng yang dulu. Ah, dan aku juga tidak berisik. Sungguh melegakan untuk kebanyakkan orang."

"Aku sudah mendengarnya dari teman-teman setibanya aku di Konoha. Dan, ehm… mereka justru semakin khawatir karena hal tersebut."

Naruto menampilkan ekspresi pura-pura terkejut. "Benarkah? Aneh, ya… padahal dulu mereka paling kesal kalau aku seperti itu. Tapi sekarang? Tsk." Ia berdecak.

Mendapat respon agak sinis dari Naruto, Hinata menelan kekecewaan. Memang bukan Naruto yang ia kenal lagi… benar-benar sudah berubah.

Hadapi kenyataan, Hinata. Tak selamanya Naruto menjadi bocah idiot. Padahal ia sudah terus berpikir berulang-ulang sebelum memberanikan diri berhadapan dengan Naruto.

Tapi… tapi, bukan perubahan sesignifikan ini yang diharapkannya. Hinata mengagumi Naruto, menyayangi apa adanya. Namun, bukan Naruto seperti yang sekarang tengah dihadapinya.

"Oi, Hinata. Aku mau kau jawab yang jujur. Menurutmu… bagaimana dengan aku yang sekarang?"

Dilemparkan pertanyaan seperti itu, Hinata berpikir sejenak. Menimbang-nimbang apa yang harus diungkapkannya.

Naruto menanti dengan setia jawabannya. Mengetahui dengan pasti bahwa seseorang yang ada di sebelahnya, kendati bukanlah seseorang yang paling dekat dengannya, namun tak dapat dipungkiri paling mengenalnya.

"A-aku tidak tahu," jawab Hinata pelan.

Dahi berkulit tannya berkerut samar. "Maksudmu?"

"Aku tidak tahu," ulang Hinata, "kau te-terasa asing…"

"Jadi… kau juga tidak tahu aku yang sekarang?" tanya Naruto, tak dapat menyembunyikan nada kekecewaan yang tersisip.

Hinata menggeleng kecil. "Ma-maaf, Naruto kun."

Naruto tersenyum, senyum yang tak mencapai matanya. "Tidak apa-apa, Hinata."

Hening menyelinap di antara mereka. Cukup aneh rasanya jika tak satu pun dari mereka merasa canggung saat berdekatan satu sama lain.

"Hinata… kau tahu taman ini ada di bagian mana Konoha?"

"Tepat di ba-bagian te-tengah? Pusat sentral desa Konoha?"

"Ya. Dan kalau aku tidak salah memperkirakan, tempat yang sama saat kau menolongku ketika invasi Pain." Mata biru itu terkatup, seolah memutar kilas balik sepenggal memori yang tak juga lapuk termakan usia. "Ah, aku juga masih ingat ketika kau menolongku atau pun sebaliknya—aku yang menyelamatkanmu."

Mendengar perkataan Naruto barusan, Hinata lekas menyusun rencana untuk menggali lubang terdekat, kemudian menguburkan diri sedalam mungkin. Atau, yang lebih gila, membenturkan kepala ke pohon terdekat sampai semua daun rontok dari habitat asalnya.

Ah, abaikan semua rencana di atas. Sekali lagi, manusia hanya bisa berencana, tetap Tuhan yang berkehendak.

Hinata menggigir bibir bawahnya kuat-kuat. Tubuhnya menggigil. Bukan karena angin dingin musim gugur yang tak bersahabat. Melainkan dilanda gugup luar biasa.

Padahal ia sempat mengira Naruto telah melupakannya.

"Apa yang kaukatakan waktu itu benar?"

Mengerti apa yang dimaksudkan Naruto—walau samar-samar menerka, Hinata mengangguk pelan tak kentara. "Be-benar."

"Kau yakin? Kau tak menyesal… menyayangi seseorang sepertiku?"

Hinata menggeleng. Ternyata asumsinya benar—Naruto hendak memastikan hal tersebut. Matanya kini mengerling Naruto—yang terlihat salah tingkah, disinyalir dari gerakan menggaruk belakang kepalanya yang pasti tak terasa gatal.

"Ahmm… yah, err…" Naruto mencoba menenangkan dirinya sendiri, "Terima kasih. Jujur saja, aku benar-benar terkejut. Tidak menyangka, ternyata ada juga seseorang—terlebih gadis—menyayangiku sampai berlaku senekat itu."

Sapuan merah muda meronakan pipinya. Tersenyum kecil mendengar perkataan Naruto.

"Eh, bukan berarti aku mengizinkanmu buang-buang nyawa untukku, Hinata. Catat! Aku tidak suka dan tidak mau kau seperti itu lagi. Mengerti?"

Gadis itu mengangguk kaku. Ia memainkan jari-jemari dalam pangkuan. Tak tahu harus merespon bagaimana. Yang jelas hatinya begitu berbunga-bunga. Musim gugur, oh, indahnya…

"Ini pertama kalinya. Astaga… aku jadi tidak tahu harus melakukan apa. Aargh!" Naruto mengacak-acak rambut pirangnya sendiri, tak sengaja tangannya membentur dahan pohon yang dekat dengan kepalanya. Menyebabkan daun-daun berguguran menjatuhi rambut pirangnya. Tapi ia tak acuh.

Mengumpulkan keberaniannya, Naruto berkata lirih, "A-aku tidak pasti dengan perasaanku sendiri… Tapi, kita tetap berteman, kan?"

Tetap berteman…

Mencelos. Kata-kata Naruto bergaung panjang di ruang pendengarannya.

Tetap berteman…

Hinata menarik napas berat. Dunia berputar dalam pandangannya. Remuk redam hingga luruh kesedihan meski tak menjelma jadi airmata—gugur sudah bunga-bunga yang sempat bersemi tadi.

Tetap berteman…

…seharusnya ia menerima saja rasa letih karena telah menunggu untuk cinta yang tidak pasti.

"Maaf baru bisa mengatakannya sekarang. Aku takut—"

menyakitimu—

"—karena ternyata sekarang aku menjadi seperti ini. Kurasa aku tidak pantas untukmu. Ehm… kuharap, kau tidak membenciku karena keputusanku. Maaf kalau kau terluka… tapi aku sungguh bahagia mengetahui ada yang menyayangiku begitu tulus, Hinata."

Mungkinkah ia memeluk ekspetasi terhadap hal ini terlalu banyak? Harapan yang bahkan tak pantas dipendamnya dalam jangka waktu yang terlewat lama—karena di ujung penantian yang telah terjawab asa ini patah teramat mudah.

Entah kekuatan darimana tiba-tiba ia dapatkan, bahkan kini bibir merah mudanya menyunggingkan senyum. "Tidak apa-apa. Aku mengerti, Naruto kun."

Menguatkan hatinya, Hinata berdiri tegak. Lalu mengalihkan pandangan pada Naruto. Pada awalnya ia berasumsi akan menemukan Naruto yang penuh keyakinan seperti biasanya.

Ternyata tak terealisasikan. Naruto terlihat ingin mengatakan sesuatu, namun enggan menyampaikannya. Mungkin pemuda itu berpikir ia memang serapuh yang terjangkau indera penglihatannya. Ah, namun Naruto tampak lebih tertekan.

Hinata menghampiri Naruto. Kedua tangannya terangkat, membersihkan rambut pirang kusam Naruto dari serpihan dedaunan kering. Sentuhannya teramat lembut—menyebabkan desir tak nyaman menjalar dalam diri pemuda dengan tiga garis di masing-masing pipi itu.

Mereka saling berpandangan. Menyelami benak satu sama lain lewat tatapan.

"Tak usah menyesal, Naruto kun. Lihatlah! Aku baik-baik saja."

Mata lavender yang berkaca-kaca itu terlihat begitu dekat. Walaupun mata lavender khas klan Hyuuga, tapi ketika mata birunya hanya menemukan refleksi dirinya dari bola mata itu… terasa berbeda.

Ya, Hinata baik-baik saja. Bahkan ia sanggup tersenyum kendati matanya membinarkan kekecewaan.

"Tersenyumlah, Naruto kun…" Kini jari-jemari lentiknya merambat turun menyentuh wajah yang digurati garis kedewasaan. Menaikkan sudut-sudut bibir berkulit tan dengan tepi ibu jarinya. "…dan kembalilah menjadi kau yang apa adanya. Tidak usah merasa terbebani dengan titel perlu khawatir mengenai kau harus menjadi seseorang yang sempurna karena kau adalah figur panutan publik."

Naruto terkesima. Bagaimana Hinata tahu—?

"Karena yang sempurna adalah kau memiliki segala keseimbangan antara kebaikan dan keburukan, Naruto kun."

Sepasang bola mata biru terpancang kaku pada eksistensi Hinata Hyuuga. Tak berdaya manakala mata beriris lavender itu menyelaminya hanya lewat pandangan mata.

"Aku pulang duluan, Naruto kun."

Kemudian, Hinata mundur. Senyum itu terpatri di wajahnya bersamaan dengan mata yang berkaca-kaca—kian terpeta dalam setapak memori Naruto. Langkah demi langkah, hingga akhirnya dua pasang mata berhenti bertautan tatkala gadis itu berbalik diiringi lambaian halus rambut indigo panjangnya. Melangkah pergi meninggalkannya sendiri.

Naruto membisu. Dilanda kebimbangan. Sampaikan sekarang, atau tidak selamanya! Ayolah, Naruto, kau bukan pengecut! Batinnya bergemuruh.

Naruto akhirnya berhasil mengutarakan—hal yang kerapkali bercokol di benaknya, meskipun Naruto tidak bermaksud menolak kasih sayang tulus dari Hinata. Sebut saja secara implisit ia menyatakannya—menutup dan menjauhkan diri dari apa yang selama ini ia inginkan. Ini bukan karena Hinata tak pantas bersanding dengannya—atau sebaliknya ia yang dapat berkata bahwa yang tak layak dengan Hinata, dari sisi melankolis mana pun, ini memang salah dirinya yang terombang-ambing dalam arus kebimbangan.

Usai sudah. Hinata lenyap dari pandangan. Mungkin sekarang gadis itu sedang berlari, mencari tempat untuk menangis ditemani sepi.

Biasanya gadis-gadis yang ditolak cintanya seperti itu, kan?

Sudahlah! Tak perlu bermain dengan asumsi sendiri—semua itu merepotkan dan lagi sudah tak berguna. Karena gadis tersebut adalah Hinata, maka Naruto yakin gadis itu justru akan semakin kuat dan menunjukkan ketegarannya.

Masih segar dalam ingatan, tatkala Hinata tadi begitu berani terus menautkan pandangan dengannya. Gadis yang sangat menyayanginya itu tersenyum, namun matanya berkaca-kaca.

Hinata memang tersenyum, meski tidak setitik airmata pun terjatuh dari bola mata lavendernya, gadis itu menangis dalam hati.

Pemuda itu mengacak-acak rambutnya seraya mengerang kesal, menyebabkan tampangnya bertambah kacau. Selaras dengan suasana hatinya sekarang. Tak pernah Naruto merasa sebersalah ini karena menyakiti—kendati secara tidak langsung—seseorang.

Sekali lagi seorang pemuda bermata sebiru safir memejamkan mata. Tangan kanannya merambat lalu meremas baju tepat di bagian dada. Bergumam pada kesunyian, "Eksistensi, sempurna… ya?"

Hari ini, musim gugur yang meraja tengah berada pada puncak kekuasaannya.

.

Tsuzuku

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

.

#nyengir salting

Saya harap, kalau ada yang bersedia feedback/review (pasang tampang penuh harap), tidak ada yang bertanya, "Light, kenapa ficmu segalau dan tee-(segudang protes karena NaruHina yang emo kebangetan)-eet begini?" Swear, ini beneran Unleash Your Imagination. Sesuka hati saya menulis—walaupun didominasi oleh mood yang nge-swiiing. Ha-hasilnya mu-mudahan tidak te-terlalu mengecewakan. Mengingat kemampuan menulis saya agak menumpul. Saya butuh concrit! :') #kelamaan hiatus#dikemplang

We are NHL! We are FAMILY! Keep stay cool, Friends! ;D

.

Terima kasih sudah menyempatkan membaca. Kritik dan saran yang membangun sangat dinanti kehadirannya. ^_^

.

Sweet smile,

Light of Leviathan (LoL)