Chapter 3
Saat itu awal musim semi. Ketika kuncup daun mulai kembali muncul selepas musim dingin yang membeku. Aku, ditengah pasang mata yang menatap kagum, melangkahkan kaki menyusuri deretan pertokoan fashion yang berjejer menantang. Tak ada lagi rasa ragu dan takut. Aku, melangkah angkuh, mendongkakkan dagu sambil memandang kecil penjaga toko yang pernah menampakkan senyum menghina itu. Sekarang dunia berbalik. Alunan music tak henti mengalun ditelinga ini. Sejenak kulihat pantulan diriku di depan cermin. Sekian lama tak berani melihat cermin. Sekarang ini lah aku, gadis cantik dengan tubuh indah dan wajah cantik bak putri raja.
Ah, bukan, akulah...
Ratunya.
...
Bunyi nyaring jam weker meraung memanggil. Bersamaan dengan itu, Hinata tersentak bangun dari mimpi buruk. Sudah sekian hari, ia terus memimpikannya.
Selesai mengatur nafas, gadis berambut hitam itu bangun dari tempat tidur. Melangkahkan kaki pada ubin dimana pecahan keramik juga barang-barang yang hancur menutupi hampir semua permukaannya. Tanpa mematikan weker, ia berjalan menuju kamar mandi. Tak peduli, piamanya basah ia membiarkan jutaan butir air shower menghantam tubuhnya.
"Kenapa kau diam saja!"
Suara itu terus terngiang ditelinganya bersamaan dengan rentetan kejadian subuh tadi.
"Lalu aku harus apa? Memohon ampun padanya, begitu? Lupakan!" ujarnya saat itu dengan mata melotot.
Adiknya, Hanabi tak terima. "Yah! Mohon ampun padanya! Kalau perlu bersujud padanya!" balas Hanabi dengan membentak.
Saat itu Hinata tak terima, tanpa sadar tangannya melayangkan tamparan kewajah Hanabi.
"Ma-maaf." Ujar Hinata lirih dengan penuh penyesalan, menyadari perbuatannya itu salah. Ia menggenggam pergelangan tangannya erat.
Hanabi melotot, tak percaya. Ia menyentuh pipinya kanannya yang membengkak. Sesaat kemudian matanya memerah dan mulai menangis.
"Kau tahu, hanya itu yang kumiliki…" Hanabi terisak sebelum kembali berbicara. "…hanya perusahaan ayah yang kumiliki. Kau beruntung, ayah, ibu, semua mencintaimu. Kau yang baik, kau yang pintar, kau yang… Kau hanya perlu minta maaf, semua akan kembali normal. Sedangkan aku, apa yang bisa kuharapkan, heh. Memiliki anak diusia 17, dikeluarkan dari sekolah. Hanya itu yang kumiliki, kumohon, jangan menghancurkan Hyuuga." Ujar Hanabi pilu. Ia menghapus air matanya dan kemudian pergi keluar meninggalkan Hinata. Selanjutnya, semua terasa memuakkan baginya. Gadis itu mengamuk dan menghancurkan semuanya.
Sebulan kemudian, kondisi perusahaan kontraktor Hyuuga semakin memburuk. Walaupun hanya bank nasional saja yang tidak memberikan pinjaman, bunga pinjaman yang ditawarkan bank asing 10 kali lipat lebih tinggi, membuat Neji harus menggadaikan aset perusahaan yang dimiliki untuk menalangi pembangunan proyek kompleks wisata dari tender yang dimenangkan sampai 5 bulan kedepan sesuai kontrak.
Ini memang salah Hinata, dengan angkuh mendepak Uchiha terakhir itu dari genggamannya terlalu cepat. Bagai kacang lupa kulit, ia mengumumkan perang pada orang nomer satu didunia perbankkan itu seakan lupa siapa yang menolong perusahaan keluarganya dari kolaps dan mengangkatnya secara nepotisme. Sial, sekarang mau tak mau Hinata harus menggenggam Uchiha itu kuat-kuat kembali tetapi apa Hinata sanggup.
Harga diri atau keluarga, yang mana yang ia pilih?
"Maaf Nona, aku sudah menunggu berjam-jam seperti orang bodoh dibangku itu. Aku hanya ingin tahu apa aku bisa menemuinya?!" Tegas Hinata pada seorang resepsionis perusahaan Uchiha sambil menunjuk sofa yang ia duduki.
Si resepsionis hanya memandang datar, mungkin malas menghadapinya. "Silakan anda menunggu, sesaat lagi." ujarnya sambil menunjuk sofa yang Hinata tunjuk tadi.
Hinata menggeram.
Beberapa saat kemudian, telfon resepsionis itu berbunyi. Sang resepsionis hanya menjawab ia, dan baik Sir setelah itu, ia menutup telfonnya. "Nona, Tuan Uchiha tidak bisa ditemui, sedang ada meeting penting dan ia tidak bisa diganggu untuk hari ini."
Hinata tertawa miris. 'Sialan!' Batinnya memaki.
Beberapa saat setelah menyuruh sekertarisnya mengusir Hinata, ia tersenyum puas sambil melihat keluar jendela dari lantai teratas gedung.
Muak dengan sikap Sasuke yang tidak ingin ditemui baik-baik, Hinata menunggu di depan gedung Uchiha sampai tengah malam. Usahanya tidak sia-sia. Ia mendapati Sasuke keluar dari gedung dengan dipayungi oleh seorang pria yang juga membawakan tasnya sampai memasuki mobil mewah hitam itu.
Ia langsung melajukan mobilnya membuntuti Sasuke sampai di kawasan apartemen mewah ditengah kota.
"Sasuke!" panggil Hinata.
Sasuke mengok, melihat Hinata dengan tampang kusut memanggilnya. Sesaat ia tersenyum puas.
"Kau rupanya, nona Hyuuga." Ujar Sasuke sinis.
"Bisa kita bicara sebentar?" Tanya Hinata sambil menutup pintu mobilnya dan kemudian berjalan mendekati Sasuke yang tersenyum meremehkan.
"Heh, well, ada apa? Kau ingin minta maaf? Terlambat!" Ujar Sasuke penuh penekanan.
Hinata langsung menghentikan langkahnya.
"Aku mengaku kalah." Ujar Hinata menyerah. Tidak berniat memperburuk keadaan. Lebih cepat semua kembali normal, itu yang terbaik.
"Bagus." Ujar Sasuke puas. "Berlututlah. Katakan kau menyesal dan mintalah ampun." Congkak Sasuke. Matanya menyipit dan sudut bibirnya tertarik keatas. Dengan seksama ia melihat bagaimana Hinata berlutut padanya dan meminta ampun seakan itulah dooping baginya.
"Heh, memuakkan." Ujar Sasuke sinis lalu kembali berjalan memasuki gedung apartemen. Menghiraukan Hinata yang terlihat mengenaskan.
"Apa ini berarti kau akan melepaskan Hyuuga?" Tanya Hinata setengah berteriak.
Sasuke berbalik, melihat Hinata yang masih berlutut ditumpukkan salju. "Kau pikir?" senyum memuakkan itu kembali terlihat, sama seperti 17 tahun lalu. Tanpa menghiraukan Hinata ia kembali berjalan.
"Brengsek! Kau brengsek Uchiha!" Maki Hinata menggema.
…
Telinga Hinata mendengar bunyi gemericik air. Perlahan ia membuka mata, warna soft krem plafon yang pertama ia lihat, bukan sinar menyilaukan dari lampu neon rumah sakit yang ia harapkan. Sesaat pikirannya meloncat tak terkendali, mengumpulkan semua informasi berupa gambaran-gambaran singkat yang terjadi sebelum ia disini.
"Ku sudah siuman?" tanya seorang wanita berkemeja biru yang baru saja muncul dari depan pintu sambil membawa segelas susu.
Hianta mendudukkan diri, sedikit membungkukkan badan menyapa wanita itu.
"Kau pingsan sudah dua jam. Lain kali, perhatikan tubuhmu. Tubuhmu bukan lagi milikmu sendirikan." Ujar wanita itu.
Hinata membelalakkan matanya, menatap tak percaya pada wanita yang sekarang ada disampinya.
"Aku dokter." Ungkap wanita itu tersenyum.
Perlahan Hinata menurunkan pandanganya. Sesaat berfikir, sampai tersadar kalau ia tidak lagi memakai jeansnya.
"Dimana jeansku?" Tanya Hinata cepat.
"Aku menggantikannya. Jeansmu basah, dan lagi ibu hamil tak baik untuk memakai jeans, bukan?" Jelas wanita itu. Yah, Hinata sadar perutnya sudah semakin membesar, bahkan sesunggunhnya jeans yang ia pakai sudah tidak muat. Hinata membiarkannya tidak terkancing, hanya disanggah oleh ikat pinggang saja.
"Sakura, bisa kau kemari sebentar!" Panggil suara pria dari luar kamar.
Sakura, nama wanita itu, meminta izin keluar. Beberapa saat kemudian, Sasuke datang. Hinata hanya tertegun. Mungkin tidak mengira ia ada di rumah Sasuke.
"Kau sudah sadar, heh?"
Hinata acuh ketika Sasuke masuk kedalam kamar.
"Heh, so, pria itukah yang menghamilimu? Pria yang serupa dengan anjingnya itu." Olok Sasuke.
"Apa mengolok orang lain menjadi keahlianmu!" Ujar Hinata geram.
Sasuke mengendus. Ia memasukan kedua telapak tangannya ke saku kemudian bersender di dinding.
"Apa dia lebih kaya dariku? Pengusaha minyak atau batu bara? Ch, sampai kau berani mencampakkanku." Ujar Sasuke menyindir.
Hinata masa bodo. Ia memilih mengambil jeansnya –yang ternyata ada di atas sofa- kemudian memakainya walau terasa dingin menusuk kulit. Meninggalkan tempat ini secepatnya akan lebih baik.
"Terserah." Ujar Hinata datar sambil berjalan menuju ambang pintu sebelum Sasuke menarik lengannya.
"Murahan. Wanita murahan. Apa yang dia berikan padamu, heh!" Ujar Sasuke penuh penekanan tepat di depan wajah Hinata.
Hinata tak sedikitpun gentar. Sorot matanya seakan menantang.
"Lepaskan tanganku!" Hinata menggeram.
Cengkraman di lengan Hinata semakin mengerat.
"Kau ingin apa, heh? Uang?! Apartemen?! Mobil?! Atau perhiasan?! Katakan!" Suara Sasuke mengeras.
Kedua pasangan suami istri Uzumaki yang ada diluar semakin waswas mendengar pertengkaran yang ada di dalam kamar tamu tetapi tidak berani mengintrupsi kehidupan pribadi mereka. Sejak Sasuke masuk tahanan karena insiden pemukulan itu, ia tinggal bersama Naruto, pengacara, sekaligus saudara tirinya.
"Lepaskan, brengsek!"
"Siapa ayahnya, heh?"
"Lepas!"
Kedua orang itu saling melayangkan tatapan tajam, ingin membunuh.
"Heh…" Hinata mendecak. "…kenapa kau tidak ingin melepaskanku, Uchiha? Apa kau masih mencintai wanita murahan ini, heh?" Tantang Hinata.
Sasuke tak bergeming.
"Apa yang kau suka? Apa tubuhku yang indah atau wajahku yang cantik?" Tanya Hinata sambil tertawa, terkesan ia main-main.
"Aku tidak main-main, Hyuuga."
"Tapi aku ingin bermain!" Bentak Hinata. "Kau masih tidak ingat siapa aku Sasuke, heh? Aku gadis itu, gadis 17 tahun yang menggilai pangeran Uchiha. Gadis tolol yang bagai babu, mengerjakan tuga-tugasmu, menyalin catatanmu, memberimu contekan. Kau memberiku harapan tetapi kau juga yang mengolokku dibelakang. Gadis jelek dan gedut, itu katamu saat menjatuhkan tar diatas kepalaku di depan semua orang! Kau brengsek, kau katakan kau mencintaiku tetapi kau tidak mengenal namaku. Apa itu yang kau sebut cinta? Sekarang, siapa yang kau cintai, heh, bajingan?!" ujar Hinata dengan intonasi yang meledak-ledak.
Hening sesaat. Sasuke masih menampakkan raut wajah berfikir.
"Lepaskan!" Perintah Hinata memohon.
"Tidak. Tidak akan…" Sasuke kempali mengeratkan cengkramannya yang sebelumnya melonggar. "Aku tidak tahu siapa yang kau maksud, walaupun itu terjadi semua sudah berlalu." Ujarnnya tak mau kalah.
"Heh, sudah kuduga. Apa sulit untukmu meminta maaf,heh." Ujar Hinata bosan. Ia sudah muak. Bagaimanapun yang dilakukkannya seakan percuma. Ia akan semakin membencinya, sangat. "Lepaskan!"
"Katakan siapa ayahnya!"
"Kau benar-benar ingin tahu! Yah, dia anak pria itu yang kau sebut anjing itu! Aku senang karena aku menghianatimu!"
Plak!
Sebuah tamparan mendarat dipipi Hinata. Hinata hanya mengusap pipinya dan berlari keluar, meninggalkan sepasang suami istri yang kaget melihatnya keluar tergesah-gesah sambil menangis. Sesaat kemudian, teriakan dan bunyi benda pecah terdengar dari dalam kamar setelah kepergihan Hinata. Pasangan suami istri itu hanya bisa melihat dengan pilu, dimana Sasuke sedang melempar lampu meja ke TV LCD yang menempel di dinding dan menghancurkan semua barang.
...
Flashback
Seorang gadis berambut hitam, sedang ditarik oleh empat orang siswi menuju gudang belakang sekolah. Tubuhnya yang penuh luka sehabis dihujani puluhan bola basket beberapa saat lalu. Ia tak melawan, tubuhnya sudah lelah memberontak. Setiap hari seperti ini, terseret bagai mainan yang hampir rusak mengalami penindasan yang tak kunjung selesai.
Clek…
Pintu gudang dikunci.
"Rasakan, dasar jelek!" Maki salah satu dari mereka.
Gelap. Gadis itu hanya menangis dalam keheningan. Sudah seminggu lamanya, setiap hari dikunci di gudang olahraga dan selalu keluar di pagi buta, saat penjaga sekolah membuka kunci gudang. Disaat itu berdoa, jika suatu saat ia akan membalasnya. Membalas semua kebenciannya.
…
Lima tahun kemudian.
Cling…
Bunyi gelas beradu. Serentak semua mengucapkan 'ceerse' merayakan hari ulang tahun Uchiha Corp yang ke-28 sekaligus perayaan pembukaan cabang baru di Prancis. Kumpulan orang berpengaruh dan para artis yang berkumpul di pesta mewah ini. Menyambut seseorang yang menjadi tuan rumah sekaligus pemilik Uchiha Corp. Dengan angkuh pria itu, Sasuke, berjalan menuju podium memberi sambutan. Ia tersenyum bangga, inilah sepak terjangnya menjadi pengusaha termuda paling berpengaruh diseluruh dunia. Semua orang memandang kagum juga iri.
Sejak kejadian lima tahun lalu, Sasuke kembali menjalani rutinitasnya. Berusaha melupakan, itu yang ia lakukan. Ia sudah muak, muak mengemis pada wanita jalang itu. Semua sudah ia lakukan, nyatanya wanita itu lebih memilih pria lain bahkan mengandung anak dari pria anjing itu. Persetan dengan semuanya. Wanita itu tidak lebih dari pelacur baginya. Kembali menjalani hidup adalah pilihannya saat ini untuk membuktikan pada wanita itu nanti. Melihat wanita itu menyesali perbuatannya jika mereka bertemu kembali.
Sasuke menerima banyak ucapan selamat. Seorang pria berketurunan Cina, memberinya selamat. Orang itu adalah pengusaha fashion di Prancis.
"Terima kasih. Bahasa Jepang Anda sangat baik." Ujar Sasuke.
Pria itu hanya tersenyum tipis. "Aku menikahi adalah orang Jepang." Ungkapnya.
"Dia pasti orang yang sangat mengagumkan." Ujar Sasuke berusaha terlihat ramah.
Seorang pria muncul tanpa disadari Sasuke yang saat iru sedang sibuk berbicara kepada tamu lainnya yang kebetulan adalah seorang artis yang ia kenal.
"Sorry, I am late, honey." Bisik pria yang baru datang itu, pada pria berkebangsaan cina itu.
Sasuke tertawa, ketika artis tersebut menanyakannya kenapa ia yang tampan itu masih single. Sasuke memijat keningnya, ketika sang artis membuka rahasianya saat ia membuat lawakan yang garing. Saat itu, tanpa sadar Sasuke melihat seseorang yang ia kenal. Pria yang sedang berbisik dengan pengusaha fashion itu. Bagaimana mungkin ia bisa melupakannya, orang yang pastinya sedang berbahagia bersama Hianta dan anak haramnya.
"Sudah lama tidak bertemu, Tuan." Ujar Sasuke kepada pria itu dengan tanpa sadar rahangnya saling beradu menahan amarah.
Pria itu, melihat pada Sasuke. Diam sejenak.
"Apa kabar, Uchiha." Ujar pria itu santai.
Darah Sasuke seakan-akan mendidih. Ingin sekali ia memukul wajah pria itu tetapi ia tahan karena sekarang bukanlah saat yang tepat.
"Kalian saling kenal?" Tanya pria kebangsaan cina itu.
"Yes. He's my old friend. Dia pria yang kuceritakan, orang yang tidak bertanggung jawab yang meninggalkan pacarnya yang sedang hamil." Ujar pria sambil menatap Sasuke sinis.
Sengaja, ia berbicara dalam bahasa Jepang yang hanya mereka bertiga yang mengerti.
"Heh," Sasuke balas tersenyum sinis. "Tak bertanggung jawab? Menggelikan. Dia anakmu, kenapa aku yang bertanggung jawab?"
"Apa?" Tanya pria itu tak percaya.
"Sorry, sepertinya ada yang salah paham disini. Dia orang yang kunikahi dan tidak mungkin ia menghamili seorang wanita." Ujar pria kebangsaan cina itu.
Sasuke terkejut. Tidak mungkin orang yang selama ini ia benci ternyata seorang Gay. Lalu siapa ayah bayi itu. Sasuke memaksa otaknya berfikir. Mengeluarkan semua memorynya. Sial. Satu kata yang ada diotaknya. Kalau bukan pria itu, lalu siapa?
Sasuke tersentak, sebuah ingatan kembali muncul. Saat itu, awal semua perubahan sikap Hinata. Hinata berubah menjadi dingin dan sedikit temperamen. Kembali ingatannya bekerja. Saat itu, sehabis tahun baru. Ia dan Hinata pergi ke Onsen murahan bersama teman-teman kerjanya saat bekerja di bar. Tahun baru mereka minum sampai tak sadarkan diri. Entahlah, menurut Hinata tidak terjadi apapun malam itu.
'Tak terjadi apapun.'
Sasuke memaki dalam hati. Ia langsung meninggalkan pestanya dan langsung ke bandara. Sial, Hinata menipunya. Sasuke mengambil penerbangan tengah malam. Ia ingin segera ke Jepang, menemukan kebenaranya.
Enam jam ia duduk di pesawat dengan rasa was-was. Kalau benar, kalau benar itu anakknya. Mungkin, ia sudah berumur empat atau lima tahun. Sasuke memperhatikan kedua tangannya yang bergetar.
'Sial!' Maki Sasuke.
Setibanya di Jepang, Sasuke segera pergi ketoko Bakery Hinata. Matanya membulat, melihat toko sudah tertutup tirai stailis dan ada papan yang bertuliskan 'Close'. Ia memaki di depan toko. Menendang tirai stainlis sampai merasa puas seperti orang gila.
"Brengsek!" Teriaknya.
Ia sudah lelah. Sasuke sadar, ia orang ternaif yang pernah ada. Mengharapkan cinta sejati yang menerimanya apa adanya. Nyatanya dialah yang tidak apa adanya. Hinata benar, siapa yang ia cintai?
Ia pun sampai sekarang tak bisa menjawabnya.
Sasuke pergi kerumah Hyuuga, di sana hanya ada Neji yang langsung mengusirnya keluar. Hanabi yang mungkin melihatnya dengan rasa kasihan hanya mengatakan kalau mereka pun tidak tahu dimana Hinata.
Yang hanya bisa Sasuke lakukan hanya menunggu.
Dilihatnya foto pertama mereka. Foto yang ia ambil saat mereka tinggal bersama. Hanya itu yang ada di buku albumnya. Seukir senyum haru tergambar. Kembali tangannya meletakkan buku album itu, bersama jejeran buku album lainnya sampai…
Pergerakan tangannya terhenti. Matanya memandang buku album foto yang sudah agak usang. 'Album Tahunan High School' itu yang tertera disampul kulitnya. Perlahan ia buka beberapa lembar foto-foto sekolah dan langsung melewatkannya menuju bagian foto-foto siswa kelasnya. Berjejeran foto setengah badan siswa-siswa dikelasnya dahulu dengan warna yang sudah menguning.
'Sasuke Uchiha,' Tulisan yang tertulis dibawah fotonya yang diambil saat High School. Tak banyak berubah. Kembali ia meneliti satu persatu fofo-foto itu.
'Hyuuga Hinata.'
Sasuke tercekat. Jantungnya serasa teremas.
'Apa kau mengenalku, Sasuke?'
Kembali suara itu terngiang di kepalanya bersama kilasan seorang wanita cantik, berambut indigo.
Tanpa sadar air mata mengalir.
Difoto itu, tergambar seorang gadis gemuk dengan poni tebal. Gadis dengan eksistensi nol. Gadis korban penindasan satu sekolah yang selalu ia nikmati. Gadis itu, yang sekarang lenyap tak tersisa.
Sekarang tinggallah ia sendiri di rumah besarnya menikmati semua kerja kerasnya sendiri. Yah, seorang diri.
"Aku mengenalmu, Hinata." Ujar Sasuke Lirih.
…
The End
Akhirnya tamat juga. Terima kasih yang udah mereviuw chapter-chapter sebelumnya. Saya sangat menghargainya walaupun tidak menyebutkan namanya satu-satu.
Saya tahu fic ini, sangat kurang pendeksripsiannya. Feelnya kurang kerasa. Maklum masih amatir.
Saya sangat menantikan review dari kawan-kawan semua, untuk memberikan ide-idenya. Karena saya berencana untuk merombak part terakhir. Terima kasih.