7 DAYS
Disclaimer :Masashi Kishimoto
Pair : Gaara x Hinata
Maafkan ayaa! ada ujian, dan ada study tour jadi tidak bsa melanjutkan maaf #sujud
Dan terimakasih atas review kalian semuaaa! /v/
lagi, Aya minta bantuan para readers tentang bayi XD terimakasih atas semua masukkan tentang bayi ya semua! sangat membantu
Akan kubalas Review para readers yg baik hati #cium
Kuroophanthomhive : Terimakasih banyak atas reviewnya! ah, iya kuceritakan ttg Hinata disini!
SuHi-18 :Iya! Ya, itu adalah harapan terbesar Gaara lolol
Sasuhina caem: Wahaha akan kucoba di chapter selanjutnya!
Chibi beary: Sepertinya Gaara akan menyerahkannya pada Shikamaru kalau anaknya kembar lol
suka snsd: Wah terimakasih atas berbagi pengalamannya, bisa kujadikan refrensi! terimakasih sudah baca dan berbagi refrensi!
Kazehaya Tsuki: Yep! Ah mungkin karena 1 hari satu chapter jadi terlalu pendek. yes! terimakasih atas masukannya. Sepertinya Gaara nggak tega kalau nyuekin Jun. lol
Seiran : Iya, bayi yang umur segitu emang lucu2nya yaa XD Gaara dari dulu emang serem =_= thanks for read Seiran!
Yamanaka emo: Terimakasih atas informasinyaaa. sangat membantu! Thanks for read emo!
Reverie Metherlence: Iya, maafkan atas kelamaan apdetnya! salam kenal!
Knight of clow: Thx for read! iya, silahkan request :D
Kirazu: Gomeen! kamu suka aku, aku cinta kamuu! thanks for read!
Terimakasih atas review juga semua yang mengirim ke inbox-ku #nangis kejer# saya cinta kalian semua review kalian sangat berhargaaa #peluksatusatu#
Oke, sebelum saya di lempar para reader, silahkan membaca!
Ganbatte Gaara-kun!
DAY 3
Sunagakure
Tidak seperti sebelumnya, aku tidak terbangun karena Jun. Aneh, ini tidak seperti biasanya. Saat membuka seluruh mataku, segera ku tapakkan kakiku ke arah ranjang Jun. Dia masih tertidur. Aku menghela nafas lega. Kupandangi wajah Jun yang masih tertidur pulas.
"Gaara, sudah bangun?"
Bukan main aku kaget setengah mati saat melihat sosok Kankurou yang tiba-tiba membuka pintu kamarku. Pakaiannya lusuh seperti baru bangun tidur. Rambutnya berantakan. Kaos putih yang ia gunakkan terlihat kusam.
"Sedang apa kau dirumahku?" Tanyaku dingin.
Kankurou memandangku sinis. "Apa salahnya seorang kakak ingin menjenguk adik laki-laki satu-satunya, hah? Lagian kau yang bilang pada Matsuri kalau kau yang mulai bekerja hari ini, kan?" Dia mendengus kesal. Aku memaklumi alasan itu dan langsung segera menggunakan sebuah kaos hitam yang kulemparkan begitu saja semalam sebelum tidur.
"Halo, Jun!" Kulihat Kankurou menuju ranjang bayi Jun dan memasang wajah konyolnya. Menggelikan.
"Jangan dibangunkan, Kankurou. Setengah mati aku menidurkannya semalam."
Kankurou menyeringai dan tertawa kecil. "Tidak ada Hinata, ya? Bagaimana?" Tanya Kankurou dengan nada seakan mengejekku. Aku hanya membuang mukaku untuk tidak menatap wajah Kankurou. Jujur, aku benar-benar tidak bisa membalasnya dengan mengatakan 'Aku bisa melakukan semua ini tanpa Hinata.' Setidaknya, tidak untuk saat ini.
Setelah mengenakan baju, aku langsung segera menuju ke arah ruang tamu. Kulihat Kankurou tidak mengikutiku dan masih asik memandangi Jun.
"Gaara? Kau baru bangun?"
Lagi-lagi aku dikejutkan oleh seorang laki-laki bertubuh tinggi untuk kedua kalinya pagi ini. Aku memandangnya penuh tanya.
"Shikamaru, sedang apa kau di rumahku?" Ucapku untuk kedua kalinya dengan orang yang berbeda.
"Yah, aku diajak oleh Kankurou tadi. Selain itu, anakku juga ingin melihat Jun." Shikamaru menjelaskannya pelan. Tampak di belakang tubuh Shikamaru ada anak lelaki-nya yang berdiri dengan menarik celana Shikamaru sebagai pegangannya.
"Ayo, beri salam pada pamanmu." Shikamaru menarik lengan anaknya yang masih perlu bantuan untuk berdiri itu. Umurnya lebih tua 7 bulan dari Jun, sekitar 1 tahun 3 bulan. Aku tersenyum tipis membayangkan bagaimana Jun kedepannya.
"Ngomong-ngomong, mana Jun?" Shikamaru menatapku lagi setelah mengangkat anaknya untuk berada di pelukan lengannya.
"Seperti biasa." Jawabku. Shikamaru tampak mengerti dan menggeleng-geleng.
"Dia memang paman yang terlalu berlebihan. Andai saja ada Temari, Kankurou tidak akan berani untuk menyentuh anakku ini tadi."
Setelah berbicara sebentar aku segera menuju dapur. Sepertinya membuat makanan Jun sudah menjadi hal rutin dan wajib bagiku saat ini.
"Hoi, Gaara! Tunggu, tunggu. Kau memberikan Jun tiap hari makanan itu selama Hinata tidak ada?" Tanya Shikamaru yang memasuki dapurku. Aku memandangnya bingung sambil tetap mengaduk-aduk makanan Jun.
"Iya, apalagi?"
Shikamaru segera berjalan menuju ke arahku dan mengambil mangkuk makanan yang sedang kuaduk tadi. "Gaara! Kau ini benar-benar tidak tahu cara mengurus anak ya?"
"Apa maksudmu?"
Shikamaru lalu mengambil botol susu di sudut lemari dan melemparkannya padaku.
"Buatlah susu untuk Jun. Seumurnya itu masih butuh seluruh asupan dari susu yang baru, bukan dihangatkan dan bukan hanya makanan penyapih. Apa Hinata dari dulu selalu memberi Jun susu kalengan yang tinggal dihangatkan begini?" Shikamaru mengambil sebuah kaleng berisi bubuk susu untuk bayi yang berada di lemari.
"Tidak, Hinata langsung memberi susu pada Jun. Dia hanya menyimpan kalengan itu jika keadaan tak memungkinkan. Makanya aku memberi Jun susu kalengan yang telah Hinata siapkan ini setiap pagi, aku tidak bisa membuatnya." Ingatku selama Jun mulai lahir hingga sekarang. Ya, Hinata pernah mengatakan bahwa nutrisi yang terbaik bukanlah dari susu kalengan itu.
"Oh, Hinata memang Ibu yang baik." Shikamaru kembali menuruh susu kaleng itu. "Bukan hanya setiap pagi. Kapanpun dia lapar kau harus memberi Jun, Gaara."
"Ah, aku mengerti."
"Lalu, jangan selalu beri dia makanan kemasan. Tidak baik. Buat sendiri lebih sehat dan terjamin. Aku akan membantumu." Shikamaru membuka lemari dapurku dan dengan cekatan membuat makanan untuk Jun.
Sepertinya, aku jadi terfikir bahwa bukan Temari yang mengajarkan Shikamaru, tetapi malah sebaliknya. Aku tersenyum tipis memikirkan bagaimana sikap Temari saat Shikamaru menceramahinya panjang lebar tentang mengasuh anak.
"Kau pasti ingin Hinata cepat kembali, kan?" Shikamaru memandangiku sambil tersenyum.
Aku langsung menggeleng pelan. "Tidak. Terserah dia mau kembali kapan, asalkan Hinata sampai dan kembali dengan selamat serta baik-baik saja, itu lebih dari cukup bagiku."
Hinata POV
Konohagakure.
"Hinata-neechan!" Hanabi meloncat ke arahku dan memelukku erat.
"Ayolah, Hanabi. Aku ingin segera bertemu Ayah." Aku tersenyum dan menatap Hanabi yang terlihat senang.
"Tenang saja, Ayah sudah membaik."
"Eh! Benarkah? Syukurlah." Aku tersenyum lebar mendengarnya.
Jujur sampai saat ini aku masih khawatir. Saat di perjalanan ada 3 hal yang aku khawatirkan. Pertama, keadaan Ayah, kedua Jun-kun, dan tentu saja laki-laki yang selalu kupikirkan tiap harinya, Gaara.
"Dimana Jun dan Gaara? Mereka tidak kelihatan." Hanabi mengedarkan pandangannya.
"Hanya aku dan Temari beserta Shinobi Suna yang menemani kemari. Gaara sibuk dengan urusannya serta merawat Jun." Aku tertawa kecil.
"Eeeh? Nee-chan, tidak khawatir? Jun 'kan masih kecil sekali! Apa Gaara bisa?" Hanabi memandangku bingung. Aku tersenyum tipis.
"Khawatir pasti. Tapi, aku selalu percaya pada Gaara, Hanabi."
Aku lalu berjalan menuju kediaman induk Hyuuga dan memasuki ruang dimana Ayah dirawat. Ia terlihat baik-baik saja. Ia mengenakan yukata hitam panjang dan duduk di pinggir jendela yang terbuka lebar.
"Ayah, apa tidak apa-apa duduk di luar seperti itu?" Aku tersenyum saat melihat raut wajahnya yang terlihat senang dengan kedatanganku meski sedikit.
"Mana Jun?" Tanya Ayah.
Aku tertawa kecil nyaris tak terdengar. Langsung berfikir, bukannya aku yang berada di hadapannya ditanya, malah Jun duluan yang menjadi ucapan pertamanya. Ya, sejak Jun lahir, sepertinya Ayah menjadi seorang yang protektif dengan Jun. Dari lahir, Jun sudah diberkahi kasih sayang dari banyak orang. Apalagi, Jun adalah cucu pertama bagi Ayah. Jadi ingat bagaimana raut wajah Gaara saat Ayah menceramahinya habis-habisan tentang merawat dan menjaga Jun saat lahir. Saat itu, aku dan Gaara yang berada di Rumah Sakit, nyaris diam selama 3 jam atas semua ceramah dari Ayah. Benar-benar tidak dapat dilupakan.
"Jun di Suna. Aku tidak bisa membawanya karena dia masih terlalu kecil." Jelasku. Dari raut wajah Ayah, kulihat Ia tampak kecewa. "La-lain kali, aku akan membawanya saat Gaara juga bisa." Ucapku menenangkan hatinya.
"Hm? Jadi, kau sendiri kemari?"
"Bersama Temari dan beberapa Jounin dari Suna. Mereka sedang keliling desa sekarang." Ucapku memperjelas.
Ayah tampak tenang kembali mendengar jawabanku. Oh, ini menyeramkan. Biasanya, Gaara yang selalu angkat bicara setelah menikah. Mungkin karena itu, mentalku sedikit menurun saat melihat tampang Ayah yang mulai seram. Ini tidak baik untukku. Aku harus bisa menaikkan mentalku pada Ayah mulai sekarang. Aku tertawa kecil dalam hati.
"Hinata, kau baru datang?" Kudengar suara Neji dibelakangku. Segera ku tengok ke belakang dan tepat, Neji sedang berdiri di belakang tubuhku.
"Neji-niisan, apa kabar?" Aku menatapnya sambil tersenyum. Neji membalas senyumku tipis.
"Bukankah aku yang harusnya bertanya bagaimana kabarmu?" Neji mengetuk keningku dengan jari telunjuknya. "Yang kulihat, kau baik-baik saja."
"Hng, begitulah."
"Ah benar juga. Aku hampir lupa. Jun baik-baik saja?" Neji mengajakku ke luar rumah dan menuju taman.
"Begitulah. Kuharap Gaara bisa menjaganya dengan baik." Aku tertawa kecil.
"Kurasa aku meragukan hal itu." Neji menatap jauh. Aku tertawa lagi melihatnya.
Kira-kira, sekarang Gaara dan Jun sedang apa, ya?
Gaara POV
Sunagakure
"Ga-Gaara! Demi tuhan, aku tidak melakukan apa-apa, tapi Jun terbangun!" Kudengar seruan Kankurou dari lantai atas.
"Tidak mungkin dia terbangun jika kau tidak mengganggunya!" Balasku kencang dari arah dapur.
"Sudahlah, bawa Jun. Biar aku yang membereskan dapurmu." Shikamaru dengan telaten membersihkan dapur yang berada di lantai bawah dengan tenang sambil tetap menggendong anaknya.
"Aku minta bantuanmu."
Dengan cepat aku menaiki anak tangga menuju lantai 2 dan menemukan Kankurou sedang memasang wajah konyolnya, berusaha mendiamkan Jun yang sedang menangis. Benar-benar bodoh.
"Menjauhlah. Jika kau berbuat seperti itu, dia malah menangis lebih kencang." Aku berjalan menuju ranjang Jun dan segera mengangkat tubuhnya.
"Diamlah, Jun. Biarkan badut itu beratraksi didepanmu." Ucapku pelan sambil menepuk-nepuk pundak Jun pelan.
"Enak saja, kau Gaara! Aku ini bukan badut tahu!" Kankurou berseru pelan.
Aku menghiraukan tindakan Kankurou dan segera menuju lantai bawah sambil tetap menepuk pundaknya. Ada yang aneh. Suhu tubuh Jun tampak tinggi. Badannya tidak pernah sehangat ini.
"Ada apa, Gaara?" Shikamaru menatapku dari lantai bawah yang masih tetap terdiam di tangga.
"Sepertinya dia demam." Aku buru-buru turun dan segera menidurkan Jun di atas sofa. Kubuka bajunya dan kulentangkan Jun.
"Demam? Kompreslah, Gaara." Saran Shikamaru tampak khawatir.
Sementara aku mengambil air, Jun terus menangis tidak karuan. Ah, lagi-lagi perasaan ini. Perasaan lelah saat mendengar tangisannya. Aku segera menuju Jun dan mengeringkan tubuhnya yang basah oleh keringat dinginnya.
"Sepertinya dia tertular olehku. Kemarin aku demam ringan, dan malah mendekatinya." Ucapku mengingat kejadian semalam.
"Tak apalah, bayi itu akan lebih kuat nantinya jika diserang sakit,"
"Kazekage-sama!" Seorang Shinobi berlari ke arahku dan memberikan secarik surat.
"Hm? Ada apa?" Aku mengambil surat itu dan segera membacanya. Isinya adalah surat dari Anbu Sunagakure yang telah terbunuh. Ada pasukan dari Missing-Nin yang memasuki desa. Kenapa harus sekarang.
"Shikamaru, aku serahkan padamu mengenai Jun."
"Hoi, tunggu dulu! Dia sedang sakit." Shikamaru menatapku sinis.
"Aku Kazekage, bagaimanapun pentingnya anakku, para warga di desa ini juga penting. Jika aku terus diam disini dan membiarkan Shinobi itu memasuki desa, sama saja aku mengorbankan Jun. Tenang saja, aku mengemban nama 'Kazekage' dan sudah siap dengan segala konsekuensinya. Tolong, ya Shikamaru!" Aku mengenakkan jubah Kage-ku dan segera berlari ke arah luar rumah diikuti beberapa Shinobi lainnya.
"Gaara, Gaara.. Kalau Hinata tahu kau meninggalkan anaknya, satu pukulan untukmu rasanya belum cukup, ya?"
"Kazekage-sama! Terimakasih sudah datang." Kulihat kumpulan Jounin dan Chunnin yang sudah berdiri di depan gerbang Suna.
"Missing-Nin, lagi?" Tanyaku memastikan lebih akurat.
"Ya, begitulah. Tapi, sepertinya musuh kali ini bergerak dalam jumlah sedikit."
Aku mengedarkan pandanganku. Dengan cepat aku langsung membungkuk dan meletakkan ujung jariku ke arah pasir. Merasakan getaran-getaran yang dihasilkan oleh tapakan para Shinobi yang mencoba memasuki Desa ini.
"Mereka bergerak secara terpisah. Berpencar! Matsuri, kau tetap disini." Seruku yang langsung di laksanakan oleh seluruh Shinobi di situ. Tinggal Matsuri, seorang kunoichi, muridku dulu yang sekarang sedang berdiri di sebelahku.
"Ada apa, Kazekage-sama?"
"Seingatku, kau mendapatkan misi hari ini, apa aku salah?" Ucapku seraya menyeringai di hadapan Matsuri.
"Kukira karena menjadi wanita, tidak akan ketahuan. Padahal hanya dia satu-satunnya kunoichi disini yang kuingat, selain Temari." Orang di hadapanku ini menarik wajahnya dan terpampanglah wajah seorang lelaki.
"Lama tak jumpa, Neji. Sejak kapan kau jadi pintar menyamar?"
Konohagakure
"Nah, Neji-niisan. Kau mau kemana sekarang?" Aku menatap wajah Neji senang.
"Aku... mau makan udon." Balas Neji senang.
"Eh? U-Udon?" Tanyaku tampak tak percaya. Seingatku, Neji kurang menyukai udon. Aku memandang Neji bingung.
"Ya, sepertinya terlihat enak. Lalu, ya... " Belum sempat ia selesai bicara, tiba-tiba Neji bersin dan keluar asap putih disekitarnya.
"L-loh? Neji-niisan? Kau baik-ba..."
Aku kaget setengah mati, yang berada didepanku bukanlah Neji. Melainkan laki-laki berambut hitam bob dengan alisnya yang tebal.
"Le-Lee?" Aku menatapnya kaget.
"Waduh, ketahuan, ya?" Lee menempelkan tangannya ke keningnya seraya menjulurkan lidahnya. Membuatku terdiam untuk beberapa saat.
Sunagakure
"Jadi, kau meminta Lee untuk menyamar jadi dirimu?" Tanyaku seraya berjalan menuju arah barat.
"Ya, begitulah. Meskipun aku yakin tidak akan berjalan lancar."
"Hmm.. tapi sayang sekali Neji. Hinata sendiri sedang ke Konoha." Ucapku tenang.
"Ya, aku tahu. Aku yakin Hinata pasti akan ke Konoha saat kukirimi surat mengenai Hiashi."
"Lalu? Kenapa kau malah kemari?" Tanyaku bingung.
Neji lalu menghentikan langkahnya dan memasang kuda-kudanya. "Tentu saja untuk membantumu mengalahkan Missing-Nin ini atas perintah Hokage."
"Hm, Naruto, ya?"
Aku lalu ikut menghentikan langkahku. "Keluarlah, kami tahu kau mengikutiku dari tadi."
Aku lalu menggerakan pasirku dan menarik orang yang dibelakangku sedari tadi.
"Mereka ninja pelarian yang sedikit terkenal karena sudah membunuh banyak buronan. Mereka ninja bayaran, Kazekage-sama." Neji menatapku sambil menerangkan tentang beberapa Shinobi asal Iwagakure didepanku ini.
"Yah, aku sedikit memahami kenapa Shinobi di hadapanku ini menjadi buronan. Tsuchikage itu terlalu kolot. Bagaimana Shinobi mereka tidak seperti ini jika Kage-nya saja begitu." Ucapku mengingat saat rapat lima Kage berlangsung. Neji hanya tertawa kecil mendengar pendapatku.
"Kazekage. Jangan anggap enteng kami." Salah satu dari kedua Shinobi itu maju mendekatiku hingga dia berada sejengkal dari tubuhku. Aku dan Neji tetap diam. Kalau saja yang di sampingku orang lain selain Neji atau orang yang lebih tenang seperti Shikamaru, mungkin dia akan langsung menghajar Shinobi di depanku ini dan akan merugikan keadaan ini. Aku berutung Naruto mengirimkan Neji untuk membantu disini.
Kuputar bola mataku kesudut kananku. Neji terlihat telah mengaktifkan Byakugan miliknya. Mata yang sama dengan milik Hinata.
"Hati-hati belakangmu." Neji bergumam pelan. Shinobi tadi hanya menatap Neji geram. Tidak lama setelah itu, aku langsung menggerakan tanganku untuk membungkam tubuh Shinobi itu dari belakang dengan pasir disekitarnya.
"Sialan." Shinobi tadi buru-buru berdiri di bantu oleh temannya.
"Gaara, biar aku." Neji lalu berdiri di depanku. Tidak diragukan lagi jika Neji telah menjadi Jounin yang hebat di Konoha. Dari dulu aku sudah menyadari itu. Saat melihatnya bertarung dengan Hinata.
"Heh, Shinobi berdarah Hyuuga, ya?" Ujar Shinobi yang sudah kembali bersiap menyerang lagi.
Neji lalu dengan cepat menyerang para Shinobi itu dengan Juuken-nya. Aku melihatnya dengan seksama. Gerakan Neji jauh berubah lebih hebat. Mungkin saja Hinata tidak bisa menandingi-nya. Aku terkesan dengan Neji di hadapanku ini. Konoha memiliki banyak Shinobi hebat.
Hanya dalam beberapa menit, Shinobi-shinobi tadi sudah rubuh.
"Apanya yang ninja bayaran." Keluh Neji yang tidak terlilhat lelah itu sama sekali. Chakra keluarga Hyuuga memang tidak perlu diragukan.
"Hoi, Gaara." Neji berbalik menatapku. "Setelah ini semua selesai, aku boleh melihat Jun sebelum kembali ke Konoha, kan?"
"Shikamaru," Aku menggoyangkan pundak Shikamaru yang sudah tertidur lelap di bangku.
"Ng? Gaara? Neji!" Shikamaru membuka matanya dan langsung bangun dari tidurnya. "Lama sekali, Gaara."
"Humph, kau seperti Istrinya saja, Shikamaru." Neji tertawa kecil.
"Misi, ya? O,ya Gaara, Jun sudah tidur lagi di atas. Dia masih demam, jadi lebih baik kau segera membawanya ke tim medis besok." Ucap Shikamaru.
Aku lalu langsung menuju kamar dan segera melihat Jun yang tertidur pulas.
"Sakit, ya?" Neji yang beridiri di belakangku lalu menjejerkan langkahnya disampingku.
"Ya, ini kelalaianku."
"Ini obat yang dibuat Hinata, dia menyimpannya di rumah. Aku selalu membawanya untuk jaga-jaga. Asal kau tahu, meskipun Hinata tidak sepintar Sakura dalam hal medis, tapi obat yang dia buat selalu manjur." Neji lalu merogoh kantung celananya dan memberikanku sebuah botol.
"Hinata, yang membuatnya?"
"Ya, percayalah. Hinata tidak akan mungkin mencelakakan keluarganya, kan?"
Aku lalu tersenyum tipis dan langsung memberikan jun obat itu setelah membangunkannya. Jun tampak menderita saat sakit, dan aku ikut menderita melihatnya. Setelah meminum obat itu, Jun kembali tertidur.
"Hinata pernah bilang padaku saat Jun lahir," Neji membuka suaranya saat aku masih sibuk menatap Jun. "Setelah melahirkan Jun, aku bertanya apakah Hinata sanggup menjalani hidupnya dengan anak, sedangkan Hinata sendiri masih memiliki status sebagai Shinobi yang siap mati dengan kondisi apapun. Tapi, kau mau tahu dia bilang apa?" Neji menatapku sambil tersenyum tipis.
"Hinata bilang sambil tersenyum, 'Aku tidak pernah merasa terbebani dengan lahirnya Jun, jika aku harus mati, aku siap melakukannya. Karena aku akan sangat bangga bisa mati sebagai Shinobi dan mati sebagai Istri Kazekage. Lagipula, Gaara pasti akan berusaha melakukan apapun demi Jun. Karena dia seorang Ayah sekarang.' Begitu."
Aku terdiam mendengarnya. Aku tidak tahu Hinata mengatakan itu pada Neji. Entah mengapa aku dapat membayangkan bagaimana wajah Hinata saat itu. Aku tidak pernah memalingkan wajahku pada Hinata. Aku tahu dia. Seorang Kunoichi yang terhebat di mataku.
"Kenapa?" Neji lalu menengokkan wajahnya untuk menatap wajahku. "Kau terharu, Gaara?"
Aku tetap diam. Terharu? Setiap harinya aku terharu melihat ketegaran Hinata. Aku hanya berfikir ucapan Hinata 'Karena dia seorang Ayah' itu, membuatku makin menyadari betapa hebatnya kalimat itu.
"Neji, sepertinya aku ingin mengkoreksi ucapanku pada Shikamaru tadi." Ucapku pelan.
"Hm? Mengenai apa?" Neji memandangku bingung sambil tetap melipat kedua tangannya didepan dadanya.
"Perkataanku yang mengatakan 'Terserah dia mau kembali kapan, asalkan Hinata sampai dan kembali dengan selamat serta baik-baik saja, itu lebih dari cukup bagiku' itu memang benar." Aku tersenyum tipis. "Tapi... rasanya mendengar ceritamu tadi membuatku ingin cepat-cepat bertemu dengannya." Aku segera mentupi wajahku dengan punggung tangan kananku. Akan memalukan sekali memikirkan Neji melihatku bersemu merah begini.
TBC
Oh sudah hari 3, tidak kusangka XD
Bagaimana? Aya sangat butuh review selanjutnya, beri masukan ya untuk kedepannya! #cium
Ditunggu reviewmu ufufuf #malu#