SELAMAT SORE, SEMUANYA~! XD

Maaf, maaf, maaf... QAQ

Kula nyuwun sakagengipun samudra pangaksami. Setengah tahun berlalu dan saya tidak kunjung update fict satu ini. Benar-benar rekor pribadi saya menelantarkan fict tanpa kepastian hiatus, nih. #dihajarmassa

Yaah, maklum saja. Kehidupan RL saya astajim-sibuknya, belum utang fict lain yang... haaaah, fict ini sudah sampai bagian di mana saya udah keteteran cari referensi—salah sendiri nulis fict keberatan referensi, terus modem saya rusak jadi babai-akses-internet, dan saya sempat kesengsem sama fandom baru #digorok Intinya, banyak hal yang terjadi. Saya minta maaf untuk semua orang yang sudah menanti. Terus masih bersambung pula ini cerita. =w= #emotnyaWOOOI

Dan, oh, ngomong-ngomong tentang "banyak hal yang terjadi", terima kasih banyak buat yang menominasikan fict kelewat galau ini di Indonesia Fanfiction Award 2012~! #peluksemuavoterssatusatu Saya terharu liat fict gaje ini masuk tiga nominasi kategori fanfiksi dan dapet penilaian yang gak mengecewakan dari para juri. Well, gak menang, sih. Ehehe, tapi itu kan perkara vote. Beneran, saya sangat senang melihat fict kelewat galau ini diapresiasi oleh para pembaca dan juri. Terima kasih banyak. #bungkukdalam-dalam

Tanpa perlu banyak basa-basi lagi, SELAMAT MEMBACA! Jangan lupa review, ya!

DISCLAIMER :

Hetalia Axis Powers lan sedaya karakter saklebetipun dipungadhahi kaliyan Gusti Sinuhun Hidekazu Himaruya—Hetalia Axis Powers dan seluruh karakter di dalamnya dimiliki oleh Yang Mulia Hidekazu Himaruya. #sungkem

[ Author : Betewe, Oom, itu ada gosip Filipina masuk official chara, kenapa Indonesia kagak, ya? #senyuuuuum #diinjekHide-sensei ]

WARNING :

OOC, err, ada beberapa-coret- banyak OC, pencomotan peristiwa bersejarah, menghadirkan beberapa tokoh nyata dalam sejarah, data terkait dunia tari dan sejarah Jawa yang kurang akurat, manipulasi data dan fakta sejarah, typo and many more. Nethxfem!Indo.

Berdasarkan fakta sejarah bahwa perang Diponegoro merupakan perang full-force terbesar di Indonesia selama pendudukan Belanda yang menerapkan segala macam strategi pertempuran modern (termasuk taktik perang terbuka/ open warfare dan perang gerilya/ guerilla warfare yang dilaksanakan melalui hit and run dan penghadangan juga berbagai taktik espionase dan manipulasi informasi). Perang yang disebut juga Perang Jawa ini berlangsung hampir di seluruh wilayah di Pulau Jawa dengan jumlah total pasukan terlibat lebih dari 150.000 orang dan total korban jiwa lebih dari 200.000 orang.

SUMMARY :

"Tansah eling ambeg parama arta, Ni—Selalu ingat ambeg parama arta, Ni."/ Laras mendesis di sela-sela giginya, "Aku reti, Ki—Aku mengerti, Ki."

BABAK SEBELUMNYA :

Laras menggigit bibirnya. Tak sadar dengan perih yang timbul kala setitik darah mulai muncul di bibirnya. Duh, Gusti Sang Hyang Widhi, kebetulan seperti ini—

.

"Kalau begitu, kau tentu bisa menyusup ke dalam markas mereka dengan alasan menemuinya bukan, Arumdalu?" Senyum di wajah sang Senopati sungguh tidak mengenakkan hati, "Memang berbahaya, tapi situasi yang kita hadapi sekarang ini tak bisa diatasi tanpa tindakan nekat dari salah satu pihak. Kuberi kau waktu sepekan untuk melakukannya. Menyusuplah ke dalam benteng mereka. Cari tahu daerah mana yang akan mereka serang berikutnya. Jika kau berhasil, Kanjeng bisa merencanakan serangan balik sebelum mereka sempat menyerang."

.

sungguhkah bisa terjadi?

.

.

Wong sarwa muni

ajining diri dumunung ana ing lathi.

Nanging apa salah olehku saiki

menawa aku cidra ing janji,

mung kanggo dheweke sing nggenggem ati?

.

Semua orang berkata

kehormatan orang dinilai dari ucapannya.

Namun, salahkah aku kini

jika kulanggar janji,

hanya demi dirinya yang menggenggam hati?

.

.

SINTA TANPA RAMA

Babak Kelima

.

Hari sudah tak terlampau pagi—sudah byar(1)—dan kehidupan kembali dimulai di desa kecil di sudut Keraton Ngayogyakarta itu. Warga-warganya sudah beranjak keluar dari gubuk mereka dan mulai bekerja. Ngluku—membajak—sawah, berdagang di pasar, menderes pohon kelapa dan membuat gula, menyiangi tanaman di kebun...

Di sana, di sebelah barat desa, di gubuk yang hanya dihuni seorang ledhek berjuluk Arumdalu dan 2 orang abdinya, kehidupan sudah dimulai sejak jago kluruk kaping pindho(2) tadi. Sang mbok memasak di dapur, mempersiapkan buah tangan yang malam sebelumnya ia siapkan bersama nonanya untuk dibawa pagi ini. Sementara sang pengawal mempersiapkan kuda dan andong yang akan mengantar sang nona ke tempat tujuan nantinya. Dan sang Arumdalu sendiri?

Gadis itu tengah mempersiapkan diri di biliknya.

Perlahan, ia menyisiri rambut ikal sepinggangnya dengan jungkat—sisirtembaganya, hadiah salah seorang sentono—keluarga keraton—yang menaruh hati padanya dan ia tak mau buang tenaga mengingat namanya. Rambut hitam legamnya jatuh lembut menuruni punggungnya dengan aroma melati samar menguar—tadi sebelum saput lemah(3) ia sudah mengeramasi rambutnya dengan air merang(4) dan membilasnya ulang dengan air melati sebelum memijat kulit kepalanya dengan minyak klenthik(5). Kulitnya tampak kuning bersih karena boreh(6) yang ia lulurkan di tubuhnya tadi malam.

Ah.

Ya, ia memang tidak mengenakan dodod(7) dan sampur—selendang. Ya, ia hanya memakai kain jarit sebagai kemben, lengkap dengan udet(8) hitamnya, dan kain jarit bercorak serupa sebagai penutup bahu. Ya, memang tak ada benges—gincu—atau pupur—bedak—terpulas di wajahnya. Ya, hanya ada cundhuk—tusuk sanggul—perak sederhana dengan untaian melati yang akan terpasang di sanggulnya nanti.

Meski demikian, tIdakkah persiapannya pagi ini terasa lebih istimewa dari biasanya? Terasa sama atau bahkan lebih daripada saat ia mempersiapkan diri untuk manggung.

Ya, tentu saja. Tentu saja persiapannya harus lebih. Walau dia memang tidak akan manggung mbeksan dan nembang, hari ini adalah hari yang istimewa. Hari ini untuk pertama kalinya ia akan berkunjung ke barak tentara Belanda di Ngayogyakarta dan itu bukan karena ia diundang untuk menghibur para tentara di sana.

Ia akan pergi ke sana untuk memenuhi undangan seorang Komandan—seperti yang tercantum dalam surat berbahasa Belanda yang diterimanya dua hari silam. Undangan yang bersifat pribadi. Undangan yang dibalasnya dengan rasa bersalah yang luar biasa karena ia memanfaatkannya untuk melaksanakan misi.

.

(Ja, Willem. Natuurlijk, ik wil bezoeken. Hoe als ik kom morgen? Ik hoop dat ik er vóór je lunchpauze. Misschien rond elf uur?)

.

(Ya, Willem. Tentu saja, saya bersedia berkunjung. Bagaimana jika saya berkunjung esok hari? Saya harap bisa sampai ke sana sebelum waktu istirahat makan siang Anda. Mungkin sekitar pukul sebelas?)

.

Gadis itu memejamkan matanya. Ia masih ingat betapa jemarinya bergetar saat membaca perkamen yang diantarkan oleh seorang prajurit Landa itu—dari seragamnya yang hitam-hitam, sepertinya dari pasukan artileri dan kemungkinan besar bawahan langsung sang pengirim surat.

Terlampau tepat. Sungguh surat itu datang padanya dalam waktu yang teramat tepat. Hanya berselang dua hari sejak senopati atasannya memerintahkannya untuk menyusup ke benteng musuh, ke barak tentara musuh. Dan sialnya, ia tak sempat menyembunyikan matanya yang melebar dan jemarinya yang gemetar ketika membaca isi surat itu dari mata awas pria paruh baya yang menjadi pengawal sekaligus pengawasnya itu.

.

"Layang saking kapiten kompeni punika, Ni?—Surat dari kapten kompeni itu, Ni?"

Ia tahu Ki Gatot hanya menanyakan pertanyaan retoris. Mereka sama-sama tahu jawabannya meski pria itu tak bisa membaca huruf alfabet. Namun sungguh, sungguh Laras ingin mengingkari logikanya dan menggelengkan kepala saja.

"Saka sapa meneh, Ki?—Dari siapa lagi, Ki?"

Tapi tidak. Sayangnya ia tidak bisa melakukannya.

"Menawi mekaten, sayogyinipun 'njenengan enggal-enggal nulis setunggal layang malih—Jika begitu, sebaiknya Anda segera menulis satu surat lagi..."

Laras tersenyum—menyembunyikan rahangnya yang mengeras. Dia tahu betul apa maksud pengawalnya itu—dia tak perlu diingatkan.

"Ben daktulis dhisik balesan layang iki, Ki. Sa'ake sing wis ngenteni—Biar kutulis dulu balasan surat ini, Ki. Kasihan yang sudah menunggu," ujarnya seraya mengedikkan kepala ke arah beranda, di mana kurir surat itu masih setia menanti surat balasan untuk dikirimkan kembali.

Ki Gatot mengangguk—sedikit melirik tajam ke arah jemari nonanya yang kini tak lagi gemetar—dan beranjak pergi. Laras sendiri segera beranjak ke biliknya, meraih secarik perkamen dan pena, lantas menulis setelah menenangkan diri—dia tak mau tulisannya terlihat berantakan seperti ditulis oleh orang yang baru saja disuruh membunuh kekasihnya sendiri.

Laras tersenyum miris. Heh, bukankah apa yang dilakukannya kini juga sama saja?

Bisa dibilang ia sedang membunuh orang yang dikasihinya—ia tak yakin mereka berdua adalah kekasih, tak pernah ada kata tertukar di antara mereka, ingat?—diam-diam...

... setelah jiwanya lebih dulu ia tumbalkan dan jantungnya sendiri lebih dulu ia tikam.

.

"Ni? Sampun siap?—Ni? Sudah siap?" Panggilan Mbok Minah dari luar biliknya membuat gerakan tangannya menggelung rambut terhenti sesaat.

Ia meraih cundhuk di atas meja dan berhati-hati menusukkan ujungnya ke sanggulnya. Bukannya ia tak ingin menggerai rambut di depan pria bermata pepucuk janur itu nanti—bila melihat raut wajahnya kala angin menerbangkan rambutnya, ia sangat berat hati menggelug rambutnya. Namun apa mau dikata bukan, bila cundhuk cantik bersisi tajam dan berbalur warangan—racun—itu adalah senjata rahasianya? Ya, sebagai Laras, ia memang akan menemui orang yang dikasihinya. Namun sebagai Arumdalu, ia akan berjalan ke sarang lawan. Ia harus bisa membela diri—terlebih karena nanti pengawalnya takkan menemani. Dan senjata manakah yang lebih baik bagi seorang wanita daripada sebuah penghias rambut?

"Ni? Kula mlebet, 'nggih—Ni? Saya masuk, ya."

Mbok Minah membuka kelambu yang menutupi ambang pintu bilik sang nona dan terkejut saat dilihatnya nonanya itu sudah tampak ayu dalam dandanannya yang sederhana.

Ia tersenyum, "Aku sudah siap, Mbok."

0—0—0—0—0—0—0—0—0—0

Lars cengar-cengir. Sepagian ini, komandannya itu tampak tak tenang. Oh, tentu saja di mata pasukannya ia tampak berwibawa seperti biasa. Tapi di mata Lars?

Perilaku sahabatnya yang melirik jam sakunya tiap 30 menit sekali, sebentar-sebentar bertanya pada opsir yang lewat adakah orang sipil yang datang berkunjung, dan, oh, sama sekali tak tercium aroma tembakau dari seragamnya itu sangat indikatif. Lars benar-benar buta kalau tak bisa melihat itu semua dan benar-benar idiot kalau dia tak bisa menyimpulkan bahwa sahabatnya itu sedang gelisah menunggu kedatangan sang tamu undangan.

"Sekarang baru pukul 10.00, Komandan. Waktu takkan bergulir lebih cepat sekalipun kau melirik jam tiap 5 menit sekali."

Celetukan usil itu membuat Willem melirik bengis ke arah wakil komandannya—yang kini sedang mengunyah sarapan kesiangannya—dan dibalas dengan senyuman polos yang konon katanya sudah membuat wanita se-Amsterdam terpesona. Untungnya dia sudah kelewat kebal dengan ekspresi macam itu.

"Tenang sedikitlah. Kau sudah kirimkan peta kan? Dan dia bisa bertanya sepanjang jalan. Mana mungkin dia tersesat!"

Mata zamrud itu terarah ke sang sniper...

"Lagipula, kalau reputasinya sebagai penari paling diidam-idamkan lelaki se-Kerajaan ini itu benar, pasti dia punya pengawal—dia pasti aman. Malah aneh kalau dia tak punya pengawal. Bisa-bisa dia diperkosa di tengah jalan."

... dan menyipit berbahaya. Sepertinya komentar Lars sudah terlalu berlebihan—Lars harus bersyukur Willem tidak melemparkan gelas kopinya yang isinya hanya tinggal ampas saja ke kepalanya.

"Yang benar itu Kesultanan, Wakil Komandan. Dan, ya, dia memang punya pengawal tapi dengan kondisi keamanan di antara barak ini dan Wirobrajan?"

Lars nyengir. Yang benar saja! Komandan yang selalu tenang di medan perang itu bisa terpancing oleh kata-katanya? Sampai menanggapi celetukan isengnya dengan dua kalimat dan bukan sekedar kata 'diam' atau 'tutup mulutmu' begitu? Oh, ini benar-benar rekor!

"... je echt graag deze meid, hè?—kau benar-benar menyukai gadis ini, eh?"

"Gewoon je mond—Tutup saja mulutmu."

Cengiran di bibir Lars melebar. Dia bisa melakukan ini seharian. Menggoda seorang Willem van Damme tentang kehidupan cintanya dan melihatnya bereaksi dengan sangat-tidak-Willem-sekali—dari sekedar membalas ucapannya dengan kalimat panjang sampai tak sadar pipinya merona, itu menyenangkan.

Sejujurnya, dia senang-senang saja jika Willem bisa bersama dengan wanita yang jelas-jelas dikasihinya itu. Tapi sayangnya, ia tak bisa mengingkari perasaan aneh yang muncul saat ia melihat gadis penari itu dulu. Cantik, gemulai, dan tampaknya sangat pandai membawa diri—tipikal wanita yang bisa menghancurkan seorang pria dengan sengaja: entah karena harta, kuasa, atau kemenangan bangsa dalam perang yang sedang berlangsung.

Bukannya Lars tidak percaya dengan penilaian Willem sang komandan—berkali-kali nyawanya diselamatkan olehnya dan Lars takkan pernah meragukan komando Willem di medan perang karenanya—tapi dia sudah mendengar banyak cerita dan bahkan beberapa kali melihat sendiri kehancuran banyak lelaki hebat hanya karena seorang wanita. Tak perlu diceritakan bahwa salah satu kisah itu adalah kisah pamannya sendiri, adik bungsu ayahnya, yang usahanya bangkrut dan keluarganya hancur, belum termasuk dihapuskan namanya dari silsilah keluarga karena seorang wanita asal Roodebrug—Jembatan Merah(9).

Lars tak ingin Willem mengalami hal yang sama. Lebih buruk lagi malah, bila firasat buruknya tepat. Lars yakin sanksinya takkan sekadar dicopot dari jabatan—dan, oh, Willem sudah dihapus dari silsilah keluarganya oleh sang van Damme senior ketika ia memutus pertunangannya secara sepihak dan memilih masuk militer.

Willem berdiri dari duduknya—masih tampak sangat gelisah di mata Lars—dan menyambar gelas kopinya yang sudah kosong, sebelum berbalik menawari Lars, "Kopi?"

"Kau mau mengambilkan untukku?"

"Ya atau tidak?"

Lars nyengir lagi, "Dua sendok gula, jangan lupa."

0—0—0—0—0—0—0—0—0—0

Matahari sudah mulai bergulir ke puncak langit—sudah jauh lewat wisan gawe(10)—saat andong yang membawa gadis ayu itu melewati perkampungan terakhir dan berakhir di jalan tanah rata dan lebar ke barak tentara. Dia bisa melihatnya: barisan gubuk-gubuk dan tenda-tenda dari kain tebal yang mereka bawa dari Belanda, pria dan wanita—para babu—yang membawa sayuran dan beras dalam karung goni dan gerobak-gerobak yang mungkin adalah ransum para tentara hari ini, dan yang pasti, barisan opsir yang berperan sebagai penjaga gerbang kamp hari ini.

"Ni..."

Sang pengawal menoleh saat andong mereka sudah tak lebih dari tiga ratus depa dari gerbang kamp. Sikap tubuhnya waspada dan nada suaranya mengeras.

"Ki bisa menanti di warung di desa tadi—aku yakin mereka menyediakan tuak yang enak atau kalau Ki tidak mau, sepertinya ada legen(11). Silakan pesan apapun. Aku yang bayar," sang nona tersenyum simpul, nada suaranya ringan—tampaknya ia tak peduli dengan ketegangan sang pengawal.

"Ni..."

Nada suaranya makin tegas, mengingatkan—akan bahaya dan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.

Sang Arumdalu tersenyum manis—senyum yang biasanya akan diartikan orang awam sebagai senyum yang mengingatkan pada para bathari yang muncul di wayang beber(12), "Aku kethok kurang lugu apa, Ki?—Aku terlihat kurang polos apa, Ki?"

Tentu Ki Gatot yang paling paham bagaimana nonanya ini bisa berubah dari gadis yang terlihat polos tak berdosa menjadi penggoda paling berbahaya dalam sekejap mata.

"Ati-ati, Ni..."

Laras mengangguk, tepat saat andong berhenti di depan gerbang kayu yang dijaga empat orang penjaga berseragam hitam dan bersenjata api laras panjang. Intimidatif untuk rakyat di sekitar kamp—tapi tidak untuk dua orang di andong berkuda hitam itu.

Ki Gatot bergegas turun dari andongnya, berputar dan menjulurkan tangan, membantu sang nona turun. Sementara di pos gerbang sana tampak mantan majikan Laras datang mendekati mereka bersama dengan seorang tentara lain berambut tembaga.

Ki Gatot berbisik, dengan punggung menghadap dua orang yang menghampiri mereka, suara tak lebih dari gemerisik daun tertiup angin, seraya menyerahkan bungkusan buah tangan yang mereka bawa ke jemari Laras, "Tansah eling ambeg parama arta, Ni—Selalu ingat ambeg parama arta(13), Ni."

Laras mendesis di sela-sela giginya, "Aku reti, Ki—Aku mengerti, Ki," kala ia mengembangkan senyum untuk sosok berambut pirang yang kini hanya berjarak sepuluh depa darinya.

"Laras..."

Ki Gatot bergegas menempatkan diri di belakang Laras, menunduk dalam-dalam, dan ngapurancang(14) tepat ketika dua tentara itu sudah datang dan nonanya mengembangkan senyum tanpa celanya. Terlihat polos sempurna, bahkan di mata pengawalnya.

"Willem, sugeng enjang," senyum cemerlang, sebelum merengut tak mengenali, "... punika..."

"Luitenant—Letnan Lars Anderson," pria bermata biru itu tersenyum hangat, menyambar jemari Laras yang bebas dari buntelan yang dibawanya, dan mengecup buku jarinya, "Het is een groot genoegen om een mooie dame als jij, Miss Laras—Sangat menyenangkan bisa bertemu wanita sejelita Anda, Nona Laras."

Mengejutkan. Sangat. Bukannya Laras tak pernah menerima perlakuan seperti itu tapi tetap saja... Willem mendelik, melirik ganas pada wakil kaptennya dan menginjak kakinya dengan tumit sepatu botnya kuat-kuat.

"Verd—" umpatan Lars tertahan di ujung lidahnya.

Laras tersenyum, setelah buru-buru menarik tangannya tentu saja, "Sugeng enjang, Luitenant."

"Ayo, Laras. Jangan hiraukan si bodoh itu."

Kesal, Willem menggamit lengan Laras, meninggalkan bawahannya yang masih mengaduh-ngaduh memegangi kaki dan kusir andong si gadis yang alih-alih bereaksi melihat adegan hampir komedi barusan malah naik ke andong setelah membungkuk sekilas pada mereka.

"Apa dia tidak apa-apa?" Laras mencoba bersimpati—meski, ya, kejengkelannya pada Lars karena main kecup punggung tangannya itu belum hilang.

Jawaban Willem kelewat tegas, "Tidak."

Laras tersenyum sementara Willem menggandengnya ke arah gerbang setelah tak lupa ia ganti membawakan buntelan yang dibawa gadis itu.

"Ik heb toestemming gevraagd te mogen naar het kamp meisje in te voeren. 4 uur. En de vergunning is goedgekeurd. Begrijp, agent?—Aku sudah meminta ijin agar gadis ini diperbolehkan masuk kamp. 4 jam. Dan ijin itu sudah disetujui. Paham, Opsir?"

Berkedip sesaat—takjub melihat Kapten Willem van Damme yang itu menggandeng seorang gadis, sang tentara menghormat, "Siap. Paham, Kapten."

Dan dengan itu, Willem menoleh pada Laras dan tersenyum sekilas, "Welkom in mijn kamp.—Selamat datang di kampku."

0—0—0—0—0—0—0—0—0—0

Lars tak putus memandangi gadis itu. Gadis yang kini tengah mengiris kue—atau sengkulun(15) dia bilang—dalam baki bambu. Ia mengirisnya dengan hati-hati dengan pisau pinjaman dari dapur umum—barang bawaannya sudah diperiksa dan dia tidak membawa apapun yang mencurigakan, lebih-lebih senjata tajam. Tadi kue bawaannya itu juga diperiksa—dengan cara dicuil dan diumpankan pada anjing. Dan sepanjang proses itu dilakukan, gadis itu mengepalkan tangannya erat-erat—geramkah?

"Maaf. Sebenarnya saya tadi berniat membawa makanan untuk makan siang. Tapi saya tak yakin mau memasak apa. Dan lagi, saya takut rasanya akan jauh berkurang karena panjangnya perjalanan ke sini. Pada akhirnya, semalam saya hanya membuat ini," ujar Laras, dalam bahasa Jawa tentu saja, setelah mereka: Laras sendiri, Willem dan Lars duduk di bangku dalam tenda.

Tempat di mana Willem dan Lars menyortir berkas-berkas espionase malam-malam sebelumnya. Tempat di mana data-data penyelidikan pihak Belanda atas Diponegoro menumpuk begitu saja. Tempat yang penuh rahasia berharga, dan menunjukkan betapa mereka mempercayai Laras dengan memperbolehkannya berada di sini. Meski sebenarnya, hanya Willem saja sebenarnya yang percaya sepenuhnya, karena Lars hanya mengambil kesempatan ini untuk membuktikan kecurigaannya. Dan gadis itu—luar biasanya, kata Lars jauh-jauh hari kemudian saat mengenang hari itu—sama sekali tak melakukan sesuatu yang menimbulkan kecurigaan berlebih.

Dia sempat bertanya tak mengapakah mereka di sini. Willem menjawab tak apa-apa, sementara Lars mengiyakan komandannya—Laras bertanya dalam bahasa Belanda yang agak terbata, membuat Lars menyimpulkan gadis itu mungkin hanya menguasai bahasa Belanda tertulis atau mungkin gadis itu adalah pembohong yang luar biasa hingga ia tak menyadari perbedaannya. Dia juga sempat menatap keseluruhan isi tenda sekilas dengan penuh rasa ingin tahu dan sedikit takut-takut—sekilas, tak cukup lama untuk sebuah pengamatan; penuh rasa ingin tahu, yang wajar saja untuk seorang sipil yang pertama datang ke barak tentara; dan sedikit takut-takut, ini markas tentara, tak mengherankan bukan?

"Kau tak harus membawa apa-apa, kau tahu,"

"Tapi saya ingin. Sejauh yang saya ingat, saya cuma pernah membuatkan Anda gethuk dan kelepon. Anda juga tak suka sembarang masakan. Saya ingin membuatkan sesuatu untuk Anda."

Lars, yang setengah mati mencoba mengabaikan fakta menyebalkan bahwa ia tak bisa memahami percakapan yang berlangsung di depannya, memicingkan mata saat mendadak gadis itu menoleh padanya. Gadis itu mengulum senyum, ia membalas dengan senyum yang sama.

"Monggo..." gadis itu mengangsurkan sepotong kue di atas daun pisang pada Lars.

Lars tahu arti perkataannya—silakan—dan ia menerimanya. Sudah dibuktikan tak beracun kan? Lagipula, securiga apapun ia pada gadis ini, tak baik jika ia menunjukkan hal itu di depan Willem. Tidak jika belum ada bukti memadai.

Lars menggigit kue itu. Manis, lucu, aneh, pikirnya.

"Kalau tak suka jangan dimakan," ujar Willem tiba-tiba.

Lars mendengus, dikiranya ia tak bisa mendeteksi aura cemburu di mata Willem apa? Gadis itu memang cantik, tapi jelas-jelas bukan tipe Lars.

"Kalau aku tak mau takkan kumakan, Will."

Willem menatap Lars skeptis. Lars nyengir dengan wajah polos. Laras terkikik dan dua pasang alis langsung terangkat heran.

"Wat?—Apa?"

"Niets—Tidak ada apa-apa," Laras melanjutkan—dalam bahasa Belanda yang berstruktur baik tapi terbata, setelah dua pasang mata itu menatapnya penuh tuntutan, "Willem, saya tidak pernah melihat Anda seperti itu."

"Werkelijk?—Sungguhkah?" Lars mencoba mengkonfirmasi, penasaran.

"Ja," Laras mengangguk dan terkikik, "Jika tidak melihat Willem yang baik, dulu saya lebih sering melihat Willem yang melotot pada para babu."

"Aku bisa membayangkan itu," Lars mengangguk-angguk, "Pasti mukanya datar, matanya melotot seram..."

"Jangankan para babu, saking seramnya sampai anak-anak kampung sekitar pasti kabur kalau melihat Willem," Laras menyambung—dalam bahasa Jawa.

"Aku juga masih ingat Luxie kecil takut dipelototi kakaknya sendiri!" timpal Lars, tertawa.

"Iya, iya. Saya juga ingat itu! Jika didekati Willem, beliau akan menangis keraaas sekali!" Laras menambahi, menepukkan tangannya mengingat—masih dalam bahasa Jawa.

"Lalu saat dia berusaha mendiamkan Luxie..." Lars melanjutkan lagi, otot-otot mulutnya serasa kejang menahan tawa yang sudah ada di ujung lidah.

"... beliau malah menangis makin nyaring!" kali ini Laras berseru dalam bahasa Belanda.

Sampai titik ini mata sewarna jati dan langit saling tatap, sebelum pemiliknya kompak tertawa—Lars terbahak-bahak sementara Laras susah payah menutup mulut dengan telapak tangannya, menekan gelak yang mengaliri tenggorokannya. Sungguh, momen seorang Luxie kecil menangis keras di depan Willem yang berwajah panik itu sangat... memicu tawa.

Willem melotot pada keduanya. Sudah cukup Lars saja yang mengolok-olok muka dingin dan mata seramnya—yang notabene memang turunan dari sang ayah, syukurlah adik-adiknya tak mewarisinya. Ini Laras malah ikut-ikutan.

"Laras..."

Laras berhasil menekan hasratnya untuk tertawa sebelum menjawab dengan nada menyesal—namun dengan senyum tersembul di ujung bibirnya, "Het spijt me—maaf, Willem. Tapi..."

"... tapi terkadang kenangan akan seseorang itu terlalu menyenangkan untuk tidak dibagi dengan orang lain," sang wakil komandan menyelesaikan kalimat gadis itu dengan cengiran yang membuat Willem mengerang dan bola mata sang gadis melebar—takjub karena kesamaan pola pikir mereka di satu poin?—sebelum senyum persetujuan melengkung di bibir merah itu.

"Dikatakan dengan sangat baik, Luitenant."

Lars tersenyum.

Sekarang dia tahu alasan Willem tertarik pada gadis ini—terlepas dari penampilannya yang memang membuat para pria harus menelan ludah jika dilihat dari dekat begini—gadis itu memiliki pembawaan yang menyenangkan. Pembawaan yang membuat orang-orang nyaman berada di dekatnya. Yang sungguh membuatnya heran tatkala mengingat kali pertama ia melihat gadis itu, yang dilihatnya adalah gadis bersenyum menggoda yang merayu pria dengan gerak tubuhnya. Dan jika mengingat itu, jangan salahkan Lars jika ia turut tak bisa menolak pesonanya dan balik tersenyum saat gadis itu melengkungkan senyum ramah padanya.

Oh, tapi jangan berpikir bahwa dia melepas kecurigaannya pada gadis itu. Karena, demi apapun, Lars Anderson tidak sampai pada posisinya sekarang hanya karena keahliannya menembakkan senapan.

0—0—0—0—0—0—0—0—0—0

Laras menikmati ini. Kebersamaan dengan Willem dan temannya—ia berani bertaruh, sahabatnya, meski Willem tak mengenalkannya demikian. Ya, ia begitu menikmatinya hingga ketika waktu makan siang tiba, ia hampir lupa apa tujuan utamanya datang ke sini.

"Apa tidak sebaiknya saya ikut ke sana?" tanya Laras saat Willem dan Lars memintanya untuk tetap berada di barak saja—sendirian, dengan semua data bertumpuk di sekelilingnya.

"Kau tidak tahu seberapa brutal pembagian makan siang berlangsung, Nona," ujar Lars seraya bergidik dan menambahkan dengan nada serius, "Jam makan adalah simulasi perang harian kami dan itu terjadi tiga kali sehari."

Willem hampir memutar mataya mendengar itu.

"Sebaiknya kau di sini saja. Terlalu... banyak pria di luar sana."

Lars nyengir lebar mendengarnya, "Ya. Terlalu banyak pria. Komandan tak mau memamerkanmu di luar sana, Nona. Terlalu berbahaya."

Willem melayangkan satu delikan tajam ke arah Lars—terlalu banyak informasi, Lars. Lars tersenyum (seolah-olah) tak berdosa.

"Kau di sini saja," ucap Willem dengan nada final, nada suara sang Komandan.

Laras mana bisa membantah kan? Lagi pula ini kesempatan dan sebaiknya ia tak menyia-nyiakannya.

Gadis itu tersenyum, "Baiklah... ah, tapi..."

Willem menaikkan satu alisnya, "Ja?"

"Saya rasa porsi makan saya takkan sebanyak Anda berdua. Jadi..."

"Setengah porsi?"

"Ja."

Willem tersenyum tipis sebelum menepuk pelan puncak kepala Laras—hampir mengenai cundhuk-nya, untungnya tidak, jadi Laras bisa menghela napas lega setelahnya, "Tunggu di sini."

Willem beranjak ke luar barak, Lars menyusul sembari mengedipkan mata dan berseru padanya, "Kami akan lama. Jadi santai saja, ya, Nona."

.

Begitu ia sendirian dalam barak, ia langsung beranjak.

Awas, sang Arumdalu segera memindai semua permukaan di barak itu. Tatap mata jatinya melompat-lompat di semua permukaan ruangan itu. Ia harus segera memutuskan mana yang akan ia lakukan. Pertama, ia membaca tumpukan perkamen di atas meja di pojok ruangan. Tempat itu sangat berantakan. Sedikit usikan darinya takkan kelihatan.

Jumlah amunisi di barak. Jenis senapan dan mesiu. Penting—tapi itu bukan yang ia cari.

Ia beralih ke meja di sebelahnya.

Ransum. Tanggal pengiriman persediaan ke barak sini. Bukan. Namun ia memutuskan untuk mengingatnya. Ia tidak mencatatnya—ia tak mau membawa-bawa bukti nyata yang akan menjebaknya. Lumayan. Jika ransum yang dikirim ke sini bisa dipotong dan dijarah di tengah jalan, pasukan gerilya akan mendapat ransum tambahan. Tapi masih bukan. Bukan itu yang ia cari.

Ia beralih. Di sana. Di balik tumpukan buku-buku. Ujung perkamen yang terkena tinta. Ini dia. Daftar pribumi yang tertangkap dua pekan terakhir. Matanya awas menelisik baris demi baris tulisan di atas kulit binatang itu. Di sana ada nama yang ia cari, Mayangsari. Kangmboknya. Dan dia dipenjara dalam kompleks barak ini. Dia ada di sini.

Mata Laras segera beralih lagi—setelah ia mengembalikan perkamen itu ke tempat asalnya dengan hati-hati tentu saja.

Ia perlu peta. Bukan. Bukan peta. Lebih tepatnya denah. Denah barak ini. Di mana? Ia tadi sempat melihatnya. Di mana?

Ah... ia ingat. Di sana. Di bawah tumpukan perkamen di meja pojok ruangan.

Ia bergegas menarik perkamen yang berisi gambaran lokasi di mana ia berdiri sekarang. Perkamen itu tak besar. Tapi denah yang tergambar cukup rumit.

Laras menarik napas. Perlahan, ia memindai garis demi garis, aksara demi aksara ke otaknya.

Sejak kecil, Laras pembelajar yang baik. Ia mengingat dengan jelas semua hal yang pernah diajarkan oleh Willem: aksara, kata demi kata, cara melafalnya, semuanya rata-rata dalam sekali atau dua kali dijelaskan. Ia mengingat dengan jelas semua yang diajarkan Ratri: lirikan mata, perputaran pergelangan tangan, gerak bahu, alunan jemari, pergeseran kaki, semua dalam sekali lihat. Bakatnya yang lain selain menembang dan menari: mengingat.

Sepuluh kali jantungnya berdetak, dan Laras memejamkan matanya perlahan. Ia mencoba menggambar ulang denah itu di otaknya. Dan, ya, persis seperti itu... Laras membuka matanya tak sampai tiga detak jantungnya kemudian. Ia mencocokkan gambaran di benaknya dengan denah di atas perkamen.

Persis sama. Ia tersenyum. Ia sudah mengingatnya.

.

"Kita perlu nampan. Jangan keras kepala, Willem. Kau tahu dua pasang tangan takkan bisa dipakai untuk membawa 3 piring nasi, 3 mangkuk kuah-aku-tak-tahu-apa-namanya-ini dan 3 gelas air."

Willem melotot ke arah Lars. Mengambil nampan? Sekali lagi masuk ke barisan yang panjang dan berdesak-desakan begitu rupa hanya untuk mengambil nampan? Dan kenapa pula Lars baru mengingatkannya sekarang?

"Dan aku tak mau mengambilkan. Kau suruh aku mengambilkan, besok pagi semua orang di barak akan tahu bahwa kau masih mengompol sampai umur—"

Willem memicingkan matanya. Lars bungkam, tersenyum lebar balik. Willem memang atasannya tapi bukan berarti dia tak bisa mengancamnya. Lars tahu terlalu banyak cerita memalukan seorang Willem dan dia tahu cara memanfaatkannya dengan baik.

"Hei! Kau!"

Dan seorang prajurit naas yang kebetulan lewat di depan sang Kapten jadi sasaran. Lars nyengir.

Sudah kuulurkan waktu untukmu, Nona, ujar Lars dalam hati—merujuk pada seorang gadis yang kini ada di barak mereka. Ah, ya. Tentu saja dia sengaja lupa mengambil nampan. Karena jika kecurigaannya benar, pasti akan ada yang berkurang saat mereka kembali ke barak nanti. Dan ia harus memastikan gadis itu punya waktu yang cukup untuk melakukan sesuatu. Apalagi dia sudah menyiapkan sesuatu. Dia tak mau apa yang sudah ia siapkan susah payah terbuang percuma begitu saja.

Bersambung...

Catatan :

(1) Sekitar pukul enam pagi

(2) Sekitar pukul empat pagi.

(3) Sekitar pukul setengah enam.

(4) Batang padi. (A/N : Rujukan ini didapat dari kisah pengantar tidur saya semasa kecil yang dituturkan oleh ibu. Konon katanya, ibu saya pernah mengalami masa-masa keramas dengan air merang yang dibuat dengan merendam batang padi semalaman dalam air bersih untuk digunakan keramas keesokan paginya—seringnya ibu alami di masa-masa panen padi. Kata ibu, efeknya menyegarkan kulit kepala. Karena saya belum pernah coba, silakan saja diandaikan efeknya seperti keramas dengan shampoo berkandungan mentholatum. #abaikansajakalimatterakhir)

(5) Minyak kelapa—dibuat dari santan kelapa yang dipanaskan selama berjam-jam. Konon katanya berfungsi layaknya tonik rambut di masa kini—membuat rambut lebih berkilau dan lebat. (A/N: Omong-omong, ampas hasil proses pembuatan minyak kelapa itu enak dimakan, lho. Saya pasti makan ini kalau mudik—nenek suka membuat minyak kelapa sendiri soalnya.)

(6) Lulur untuk menguningkan kulit. (A/N: Sempat muncul di Babak Pertama—masih ingat?)

(7) Kemben—yang signifikan digunakan untuk ritual acara istimewa atau menari.

(8) Korset tradisional yang berbentuk kain yang sangat panjang—cenderung berwarna gelap.

(9) Jika Jepang kuno terkenal dengan daerah lokalisasi geisha-nya di wilayah ber-lampu merah Edo no Yoshiwara, Belanda punya daerah lokalisasi pekerja seks komersial yang berada di kanan-kiri jalan setelah menyeberangi Roodebrug—Jembatan Merah, Utrecht.

(10)Sekitar pukul 10.00 pagi.

(11)Air sadapan dari pohon nira. Cikal bakal gula merah atau tuak.

(12) Wayang yang dilukis di kulit kayu. Satu babak satu lukisan. (A/N: Konon katanya ada, lho, di Museum Wayang di Kota Tua Jakarta. FYI, saya belum pernah ke museum ini, berminat melihat bareng saya? :D)

(13) Paribasan alias peribahasa Jawa, yang berarti mendahulukan kewajiban itu sangat diutamakan.

(14) Meletakkan tangan di depan pusar. Gestur yang diklaim sebagai tata krama di hadapan orang yang dianggap atasan dalam etiket Jawa.

(15) Kue dari tepung ketan, gula, dan parutan kelapa yang di bagian atasnya diberi sedikit pewarna makanan. Warnanya putih dengan permukaannya merah atau hijau. (A/N: Soal namanya, bisa jadi di Jogjanya sendiri namanya berbeda. Tapi di daerah saya, sih, namanya sengkulun. Baru dibikinkan nenek saya liburan Natal-Tahun Baru kemarin, baidewai. Rasanya... lucu kalau kata saya. =w=)

Fuuuh... masih bersambung. Ehehe... #digampar Tapi setidaknya tensinya sudah mulai menanjak sekarang. Dan, oh, ya. Untuk mengurangi catatan kaki di akhir, saya coba masukkan terjemahan obrolan ke cerita. Lebih nyaman begini (begini aja footnotesnya udah 15 biji =.=), atau mending saya kembali ke sebelumnya?

Lalu... saya tidak janji akan bisa segera menyelesaikan chapter lanjutan fict ini. Karena minggu depan saya UAS, dan selepas itu ada ini-itu urusan khas mahasiswa tingkat akhir kampus saya selama kurang lebih dua bulan, dan saya lagi-lagi diseret ikut event, jadi... yaah, maklum saja, ya~ ~(=w=)~ #salahemotWOIsalahemot

Akhir kata, review, ya, minna~ ^^

Luv,

sherry