~Be A Good Princess~

~Genre: Romance, Drama~

~Pair: Kurosaki Ichigo and Kuchiki Rukia~

~Disclaimer: Tite Kubo~


9 months later...

Setelah menutup lemari bajunya, Ichigo melihat ke jam dinding di kamarnya. Ya, kamar barunya yang amat besar untuk satu orang. Pukul 8 pagi. Sambil membetulkan kerah kemejanya, dia keluar dan mendapati para pelayan sedang berlalu lalang di depan pintunya. Mereka menyunggingkan senyum simpul saat berpapasan dengan Ichigo, dan pemuda itu membalas dengan mengangkat kedua alisnya.

Ichigo selalu merasa tersesat jika berkeliling di lorong yang dipenuhi sepuluh kamar ini. Tetapi dia ingat jelas di mana kamar Rukia. Dan pagi ini, dia sedang dalam perjalanannya ke kamar gadis itu.

Ichigo tahu betul, di hari libur Rukia tidak mungkin bangun begitu pagi seperti orang-orang lainnya. Walaupun begitu, bangun pagi pun adalah musuh terbesar Ichigo saat dia masih berusia 12 tahun. Namun, di usianya yang ke-16 ini, dia selalu membuka matanya tepat di jam tujuh pagi. Dia tidak bisa berbaring santai terus di ranjangnya—Ichigo bukan tipe pengulur waktu seperti itu. Jadi, dia akan langsung keluar untuk menghirup udara segar, atau berkunjung ke kamar Rukia untuk membangunkannya dari alam mimpi.

Dan, sesuai dugaan, saat Ichigo masuk ke kamar sang gadis, dia masih tertidur dengan pulas. Dengkuran halus terdengar memenuhi kamar itu, dan membuat hati Ichigo menjadi hangat. Dia menghampiri sisi ranjang dengan renda manis berwarna violet pucat—warna kesukaan Rukia yang sampai saat ini selalu membuatnya jatuh hati. Selimut putihnya yang tebal sudah tersibak di sisi yang lain, sehingga memberi gambaran pada Ichigo bagaimana gadis itu bergelut dengan selimutnya di tengah malam. Wajahnya tertutup oleh lengannya yang melingkar di wajah bulat itu, dan lengannya yang satu lagi dibiarkan menggantung di sisi ranjang.

Cara tidurnya memang unik. Dan itu membuat Ichigo ingin tertawa geli. Atau menyusuri satu jarinya di tulang pipi gadis itu.

"Rukia, bangun." Ichigo mengguncang bahu Rukia dengan pelan. Tetapi hanya erangan lemah yang digumamkannya. Pemuda itu menghela napas. Membangunkan Rukia itu merupakan suatu tugas yang cukup berat. "Baiklah, jika kau memintanya."

Ichigo berjalan ke samping ranjang, dan dengan cepat menyibakkan gorden hijau sutranya. Melihat kesempatan itu, cahaya sang mentari langsung menerobos masuk, dan menyengat kelopak mata Rukia. Gadis itu mengerang sekali lagi, lalu dengan nalurinya, dia membungkam wajahnya ke dalam bantal.

"Sepuluh menit lagi," gumam Rukia dengan suara serak sambil mengibaskan tangannya kepada Ichigo.

"Aku akan memberikan sepuluh menitmu jika kau mau bangun dari ranjang."

Tetapi Rukia tidak menggubrisnya, melainkan membenamkan wajahnya lebih dalam ke bantal.

Ichigo melipat kedua tangannya, dan menaikkan satu alis menantang yang paling sering dilakukannya itu. "Satu," katanya sambil mengacungkan jari telunjuknya. Rukia sama sekali tidak bergeming. "Dua." Matanya melirik gadis itu keseluruhan, dan melihat tubuhnya mulai bergetar. Entahlah, mungkin sedang mencoba menahan tawanya, atau tidak kuat lagi menahan napasnya. "Tiga."

"Baiklah, baik. Aku bangun." Rukia mengangkat tangan kanannya sebagai bukti mengalah. Dia duduk di tepi ranjang, dan sedikit menggosok matanya yang masih setengah tertutup. Setelah mendapatkan seluruh kesadarannya, dia menatap Ichigo yang masih berdiri menjulang di depannya. "Lagi-lagi kau masuk tanpa mengetuk pintu," tuduhnya.

"Nah, sayang sekali untuk mengecewakanmu, Rukia. Tapi, kita 'kan sudah bertunangan." Ichigo menyeringai saat mengucapkan kata terakhir itu, seolah-olah itu adalah pertahanan terbaik jika Rukia mengamuk. Gadis itu tidak sanggup menahan senyumnya, lalu sejurus kemudian bangkit dari ranjangnya.

"Jadi, apa yang akan kita lakukan hari ini?" tanyanya saat sudah berdiri di tengah-tengah ruangan, berkacak pinggang, yang mungkin akan terlihat mengesankan kalau saja dia tidak pendek. Rukia selalu berharap akan punya waktu banyak yang bisa dia habiskan bersama Ichigo setiap harinya.

"Kau semangat sekali, Rukia. Kita tidak akan melakukan apa-apa hari ini," jawab Ichigo sambil berjalan menuju meja rias Rukia, di mana dia bisa melihat pantulannya sendiri di cermin berbentuk oval itu. Di dalam cermin, Ichigo bisa melihat alis Rukia yang mengernyit padanya. "Hanya melakukan aktivitas seperti biasa setiap waktunya."

"Benarkah?" Suara Rukia seperti merengek. "Kurasa kita akan memandangi langit lagi, dan..."

Ichigo nyengir kepada cermin itu. Dia memutar tubuh dan menghampiri gadis itu yang sedang memutar bola matanya dengan anggun, dan tiba-tiba Ichigo meraih dagu Rukia dengan kedua jarinya. Ini kebiasaan Ichigo jika ingin mendapatkan perhatiannya.

"Sebenarnya, Ichigo, aku rasa ini terlalu pagi untuk sebuah ciuman." Rukia menyelipkan rambut hitamnya ke belakang telinga saat merasa mereka menghalangi wajahnya. "Dan, aku harus mandiii," lanjutnya, seolah-olah sedang kedinginan.

Ichigo tertawa saat gerakannya sudah diketahui Rukia terlebih dahulu. Dia kemudian menjauhkan wajahnya, dan baik Rukia maupun Ichigo segera meraup oksigen. "Baiklah, sampai bertemu di ruang makan, Sayang. Aku harap kau tidak membuat orang-orang rumah menunggu."

Ichigo menyelesaikan pembicaraan mereka, dan keluar dari kamarnya—jika tidak seperti itu, Rukia akan terus mengoceh selama Ichigo berada satu ruang dengannya. Sembilan bulan setelah Ichigo dan keluarganya resmi tinggal di sini, Rukia lebih sering menghabiskan waktunya di luar daripada di dalam kamarnya. Dan lebih banyak bicara, tentu saja. Ginrei tidak lagi kesulitan jika ingin menghibur Rukia jika dia sedang dalam suasana hati yang tidak bagus, Ichigo akan selalu ada di sampingnya tanpa perlu diminta. Dan itu saja sudah membuat Rukia lebih tenang.

"Selamat pagi, Mom, Dad." Ichigo berpapasan dengan kedua orangtuanya saat dia berjalan menuju ruang makan. "Uh, baru saja dari kamar Rukia," katanya setengah kikuk, terlebih dahulu mengetahui pertanyaan yang akan dilontarkan ibu dan ayahnya. Dengan cepat dia menambahkan, "Ke mana Kakek?"

Isshin dan Masaki saling berpandangan. "Baru saja sarapan pagi ini. Kelihatannya dia sedikit sibuk akhir-akhir ini, sehingga tidak bisa makan bersama. Well, itu wajar." Isshin terdiam sejenak, memerhatikan dengan jeli saat putranya duduk di seberangnya. "Apa yang kaulakukan di kamar Rukia, hmm? Membangunkan tidurnya dengan cara yang mesra?"

Tiba-tiba saja wajah Ichigo merah padam. "Dad, bisa kita tidak berbicara soal bermesraan? Astaga, ini masih pagi."

Walaupun berbicara seperti itu, Ichigo tidak bisa menyangkal fakta kalau mereka pernah bermesraan. Berdua di kamar saja sudah membuat Ichigo berpikir apakah dia yang harus mencium Rukia terlebih dahulu, atau menunggu gadis itu yang melakukannya. Tetapi, sejauh yang Ichigo hitung—ditambah kegugupan Rukia—dia yang lebih sering melakukannya terlebih dulu. Sebenarnya itu hal remeh, tapi Ichigo ingin sekali menunjukkan kalau dia lebih mencintai Rukia daripada yang gadis itu berikan.

"Itu karena kau cowok." Rukia pernah membantah spekulasinya. "Apalagi aku tidak pernah berpengalaman dalam berciuman sebelumnya. Jadi, aku masih canggung."

Ichigo mengingat bagaimana gadis itu berdiri dengan posisi kedua tangan terlipat, matanya yang dipejamkan, tampak seperti seorang profesor yang sedang memberi hipotesa terbaiknya. Tapi, dengan cepat dia hapus ingatan itu jauh-jauh. Bukan waktunya untuk memikirkan itu. Tidak untuk sekarang.

"Mungkin kau harus memilih warna," usul Masaki dan dia mendapatkan kerutan alis dari putranya. Isshin menatapnya dengan serius.

"Warna apa?" Ichigo menarik cangkir teh lebih dekat kepadanya. Sambil menunggu jawaban sang ibu, dia menyesapnya dengan pelan.

"Warna untuk baju pernikahan kalian."

Ichigo terbatuk saat teh yang dia seruput nyaris menyembur dari lubang hidungnya. Mulutnya terbuka lebar-lebar dan matanya membelalak. "Serius," katanya sambil menarik tisu yang berada di dalam kotak. "Baiklah, well, katakan saja apa rencana yang sedang kalian berdua buat ini. Karena aku tidak mau kalian melontarkannya saat aku tengah makan." Ichigo membuat sapuan lebar dengan tisunya. "Dan, aku masih enam belas."

Seolah-olah Ichigo baru saja mengatakan sesuatu yang lucu, Isshin tertawa. "Komentar-komentar sinis kadang diperlukan untuk menghadapi kedua orangtuamu, rupanya."

"Begitulah." Ichigo mengedikkan bahu, lalu dengan tenang mengambil piringnya. Tepat saat itu, Rukia datang dengan mata violetnya yang cerah. Berbinar-binar saat melihat keluarganya. Dia juga melemparkan senyum lebar saat matanya bertemu dengan Ichigo.

"Maaf, apakah aku membuat kalian menunggu?" Rukia menepuk bahu Ichigo saat berjalan di belakang kursi cokelatnya yang penuh ukiran, lalu duduk di sampingnya. Ichigo melirik kedua orangtuanya, yang mungkin akan tersenyum penuh arti, tetapi tidak. Mereka tersenyum dengan resminya, dan tidak membuat gerakan-gerakan aneh yang biasanya dilakukan oleh Isshin.

Tampaknya hari ini akan menyenangkan.

(*)(*)(*)

Yoruichi, wanita bertubuh langsing itu menghampiri Rukia yang sedang duduk santai di bangku tamannya. Hari ini tidak banyak pekerjaan yang harus dilakukannya, Jadi, saat menyusuri koridor, kebetulan wanita itu menemukan Rukia di padang seribu bunganya. Dia pun berjalan menghampiri.

"Hari yang cerah untuk menyegarkan mata, bukan?"

Rukia tersenyum saat melihat pelayan yang anggun itu mengambil tempat duduk di sampingnya. Dia menghirup oksigen dalam-dalam sebelum menjawab, "Ya. Aku senang kau datang, Yoruichi."

Keduanya terdiam setelah itu. Sebenarnya Rukia sering mencurahkan isi hatinya kepada wanita yang satu ini, dia lebih menganggapnya sebagai kakak daripada pelayan pribadinya. Dan, Yoruichi pun tidak pernah keberatan untuk menjadi pendengar yang baik bagi Rukia. "Kudengar Yang Mulia sedikit sibuk akhir-akhir ini."

Rukia mendongakkan kepalanya dan memejamkan mata. "Ya, mungkin aku juga akan seperti kakek suatu hari nanti. Maksudku, tidak berkumis dan berambut putih."

Yoruichi tertawa renyah, dan suaranya sangat merdu seperti karamel. "Apa yang ingin Anda lakukan setelah ini? Melihat matahari terbenam dari arah pantai akan terlihat romantis."

"Oh, tidak, tidak. Kurasa melihat matahari terbenam itu sesuatu yang... antiklimaks. Aku kurang menyukai suasana pantai." Rukia mengedikkan bahunya. "Kau tahu apa? Ichigo pernah memintaku untuk melakukan hal itu, dan aku menolaknya keras-keras. Kemudian wajahnya tertekuk seperti bayi yang marah karena permennya diambil, bukankah itu lucu?"

"Pria yang marah pasti terlihat imut."

"Ya, aku tahu!" Rukia tertawa, mengiyakan pernyataan Yoruichi tentang laki-laki imut yang sebenarnya bukan tipe Rukia. Tetapi laki-laki imut yang satu ini berhasil menarik hatinya. Rukia tidak pernah berbicara selega ini kepada orang lain selain Orihime, sahabat satu-satunya di sekolah. Karena kelihatannya Yoruichi lebih sering mengurus Rukia saat dia ditemukan kakeknya, tidak heran kalau mereka tidak merasa enggan untuk membuka diri masing-masing. "Apakah kita akan selalu seperti ini?"

Yoruichi melihat Rukia yang menerawang ke langit, seolah-olah sedang mencari jawabannya di sana. "Jika kakek meninggal, aku pasti akan merasa kesepian. Dan, jika kau berhenti bekerja, dengan siapa aku bisa tertawa seperti ini lagi?"

"Anda memiliki Tuan Ichigo." Yoruichi mencoba untuk tersenyum, walaupun rasanya pahit untuk mengetahui hidup tidak akan berjalan datar selalu seperti yang dikatakan Rukia.

"Well." Rukia mengedikkan bahunya, "Tanpa kalian berdua, aku pasti tidak akan berakhir seperti ini. Aku tahu, Ichigo juga menyayangiku, dan mungkin lebih dari yang kalian berikan. Tetapi, hubungan kekeluargaan tidak bisa kudapatkan darinya. Yang memberikan adalah kalian—kau, dan kakek." Rukia berhenti sejenak, dan melanjutkan, "Aku pasti akan sangat merindukanmu, Yoruichi."

"Putri," ucap Yoruichi dengan lembut. "Kita tidak harus memikirkan itu untuk saat ini. Masa depan bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan."

Rukia merasa bingung, banyak pertanyaan di kepalanya tentang masa depan itu. Namun, kata-kata Yoruichi diserapnya baik-baik. Benar, di saat seperti ini bukan waktunya untuk meramal masa depan, atau khawatir soal itu. Akan banyak jalan lagi bahkan jika mereka harus mengambil jalan yang berbeda-beda. Lagi pula, masa depan bisa berubah kapan saja. "Kau benar. Aku mungkin agak... bingung akhir-akhir ini."

Yoruichi lagi-lagi tersenyum. "Nah, yah, masa remaja memang yang paling merepotkan."

Tepat setelah itu, Ichigo datang memanggil Rukia. Mereka berdua menoleh dari tempat duduknya. "Hei, kau tahu dari mana kucing ini datang? Aku menemukannya saat sedang berjalan di bordes." Ichigo mengangkat tinggi-tinggi kucing berbulu putih dan cokelat muda seperti biskuit. Matanya bulat dan berwarna hijau.

"Mungkin dia lapar," usul Rukia, bibirnya membuat senyuman saat melihat kucing yang mungil itu. Dia mengeong, dan memperlihatkan giginya yang tajam namun kecil. "Kita harus memeliharanya. Dia lucu sekali!"

Yoruichi berjalan ke dalam rumah, mengambil susu untuk kucing ini. Rukia dan Ichigo berjongkok saat meletakkan kucing itu di rumputnya. Dia mengeong lagi dan melengkungkan tubuhnya di telapak tangan Rukia. Gadis itu terkekeh geli.

"Wow, dia benar-benar kelaparan," kata Ichigo dengan nada takjub saat melihat kucing itu menjilat susu di mangkuk dengan cepat. Rukia hanya mengangguk seperti anak kecil yang sangat bersemangat untuk memelihara peliharaan baru. Selain kelinci, dia juga menyukai kucing.

"Dan, mungkin Tuan Ichigo dengan berat hati harus membagi Putri Rukia dengan kucing ini," goda Yoruichi dengan tatapan matanya yang ganjil.

Rukia tertawa terbahak-bahak. Sementara Ichigo mendengus. "Yeah, peliharaan baru," sambil memutar bola matanya.

Wanita berkulit cokelat itu berdiri dan memutar tubuhnya untuk kembali ke dalam rumah, mengurusi segala hal-hal kecil yang dibuat sulit, dan meninggalkan kedua pasangan itu di taman. Karena lelah berjongkok, Rukia duduk di rumput tamannya sambil tetap melihat kucing itu, seolah-olah dia akan kabur jika tidak diperhatikan.

"Apakah dia, semacam, tersesat? Atau kehilangan?"

"Aku tidak tahu." Ichigo menggeleng, dengan intens memerhatikan kucing itu. Dia mendongak dan mata hijaunya berserobok dengan Ichigo. "Kurasa Yoruichi benar. Aku punya saingan di sini," ujarnya sambil menyentuh hidung pink kucing itu. Dia mengerjap sekali lalu mengeong kebingungan. Bahkan ekornya membuat lengkungan tanda tanya yang besar.

Rukia menarik kucing itu ke dalam gendongannya. "Selain kita menghabiskan waktu di luar, untuk kali ini, aku senang bisa menghabiskan waktuku di rumah."

Ichigo ikut berdiri setelah Rukia. "Bukankah memang rumahku adalah istanaku?"

"Pada awalnya tidak seperti itu, tapi untuk kali ini aku sungguh-sungguh." Rukia mengedikkan bahunya, lalu berjalan untuk masuk kembali. "Kau ikut?"

"Oh, ya, tentu saja," jawab Ichigo sambil mengetukkan ujung sepatunya ke tanah, lalu mengikuti di sisinya. Dia dengan santai merangkulkan lengannya di bahu Rukia dan merapatkan tubuhnya. Saat itu juga, kucing di gendongan Rukia langsung meronta, tampaknya merasa tidak nyaman karena ruangannya terlalu sempit. "Whoa, kucing ini benar-benar agresif!" seru Ichigo sambil tertawa renyah.

"Mungkin dia alergi dengan lantai keramik," ujar Rukia, membiarkan kucing itu lepas dari lengannya, dan mendarat di tanah. Dengan cepat dia langsung berlari ke arah yang berlawanan, dan menghilang di antara semak-semak yang berbentuk lonceng. "Nah, kupikir itu cukup untuk membuatnya tenang." Rukia lalu melingkarkan tangannya di lengan Ichigo, seperti yang suka dia lakukan.

Ichigo tersenyum hangat, lalu mengecup kening Rukia dengan lembut. "Itu baru gadisku."

"Apa, memangnya kenapa dengan itu?" Rukia tertawa dengan kaget, karena pikirnya itu adalah hal yang wajar.

Ichigo menggeleng sambil mencoba menahan senyumnya. "Tidak ada." Lalu mereka meninggalkan kebun itu.

(*)(*)(*)

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam saat Rukia menutup bukunya. Dia baru saja menyelesaikan aktivitas membaca di ruang perpustakaannya yang besar. Bulan sabit terlihat dari jendela yang berbentuk persegi panjang, dan warnanya pucat. Baru saja Rukia keluar, dia berpapasan dengan kakeknya di depan pintu.

"Oh!" serunya, "Apa Kakek ingin masuk? Aku baru selesai membaca sebenarnya."

Ginrei tersenyum tipis sambil mengangguk. "Kapan terakhir kali aku melihatmu menggunakan perpustakaan untuk membaca buku?"

"Um, cukup lama kurasa." Rukia memutar bola matanya. Dia menambahkan dengan senyum, "Hari ini kau sangat sibuk, aku baru bertemu dengan Kakek sekarang."

"Ya, maafkan aku, Rukia. Tapi, kuharap kau tidak terlalu merasa kesepian."

Rukia menggeleng cepat. "Jika Kakek ada waktu, kita bisa menggunakannya besok hari. Memancing, atau hanya berbicara seperti ini saja akan sangat menyenangkan. Aku sudah harus pergi tidur."

"Ya, kalau begitu selamat malam, Rukia."

"Selamat malam." Gadis mungil itu lalu mencium kedua pipi kakeknya yang penuh dengan keriput, lalu melenggang pergi dari sana. Ginrei tidak menyangka kalau cucunya sudah tumbuh menjadi seorang wanita yang mandiri.

Saat tiba di kamarnya, Rukia menutup semua jendela beserta gordennya. Setelah mengganti bajunya dengan piyama, Rukia mematikan lampunya lalu mulai memejamkan mata.

Hidupnya sekarang sudah lengkap dan bahagia selamanya.

The End


Review Reply:

Naruzhea AiChi, Huehehe, nah kalo di chap ini gak terlalu banyak menurut saya. Makasih Reviewnya! :D

Rizuki Aquafanz, Gak apa2 kok XD, santai aja kalo nge-Review fic saya, huehehe. Wah, masa sih? Perasaan gaya menulis saya gini terus sampe sekarang, gak pernah berubah (apalagi berkembang) *plak*. Makasih Reviewnya! :D

Prabz SukebeTechnika, Nah, yah, setuju banget sama kamu. Alur fic ini terlalu cepat dan terburu-buru *woi, kenapa lo jadi ikut2an?* Huahaha, saya sendiri gak tau kenapa begitu XDD. Wah jangan gitu dong, ntar gak ada yg Review lagi XD. Makasih banyak! :D

gece, Huehehe, gak apa2. Yg penting udah baca dan tau alurnya yaa XDD. Makasih Reviewnya! :D

Ray Kousen7, Ya, di sini udah tunangan kok, hihihi. Yah, saya kepikiran aja ada acara nembak di panggung *dor*. Sip, ini udah di-update. Makasih Reviewnya! :D

Guest, Saya kira romance-nya maksa banget, huehehe XD. Makasih Reviewnya! :D

Nizayuki, Hehehe, sip ini udah dilanjut. Makasih Reviewnya! :D

Owwie Owl, Iyoo, ini juga karena udah kehabisan ide XD. Makasih Reviewnya! :D

Akhirnya! Tadi rencananya saya pengen buat epilog ini jadi full IchiRuki, tapi kalo nyeritain bagian mereka doang gak ada suasana kekeluargaannya. Jadi seolah-olah Rukia lebih milih sama Ichigo daripada keluarganya sendiri *plak* Makanya saya selipin di awal dan di tengah-tengah aja supaya seimbang, tapi menurut saya kesannya jadi maksa (apalagi yg udah bagian bawahnya) =.=a. Bagaimana menurut kalian sendiri?

Lalu, terima kasih banyak untuk Readers yang sudah membaca dari awal sampai epilog ini, nge-Review dari awal sampai sini juga, tanpa kalian fic ini gak bakal lanjut :D

Akhir kata, Review please! Dan kita bertemu lagi kapan-kapan! (?)