SEBUAH FIKSI UNTUK SASUSAKU FANDAY PADA 20 FEBRUARI
Naruto and all of its characters are belong to Masashi Kishimoto. I don't take any material profit from it. SasuSaku, AU, Two Shots.
.
.
Gadis itu selalu di sana, mengawasi gerak-gerikku seraya tertawa bersama teman-temannya. Walau tak terdengar karena terpisah jarak beberapa meja, yang aku tahu, tawanya pasti terdengar renyah di telinga.
Unheard
Oleh LuthRhythm
Sore yang melelahkan bagi seorang Uchiha Sasuke. Harus menghabiskan 23 SKS dalam semester genapnya kali ini membuatnya lelah bukan main. Terutama pada hari ini, Senin, di mana jadwal kuliahnya begitu padat dari pagi hingga sore menjelang malam.
"Pertemuan berikutnya kita kuis, pelajari materi yang saya berikan sejak awal semester. Selamat sore," ujar dosen menutup kelas di sore itu. Semua mahasiswa sontak tercekat kala mendengar kata 'kuis' dan frase 'awal semester' berada di satu kalimat yang sama. Pertemuan berikutnya kelas ini adalah dua hari lagi, yang berarti mereka sudah harus melahap habis semua materi mulai malam nanti.
"Ugh... aku muak dengan semua ini!" keluh Uzumaki Naruto, sahabatnya yang selalu duduk di sebelahnya.
"Hn," gumam Sasuke tidak mengetahui harus merespon apa.
Apakah Sasuke juga muak? Tentu saja. Namun, dibandingkan untuk mengeluh seperti Naruto, ia lebih memilih untuk diam, seperti apa yang selalu diajarkan oleh ibu dan ayahnya.
Sasuke mematikan netbook miliknya, menutupnya, lalu memasukannya dalam tas ransel hitam yang ia bawa.
"Eh?" Kegiatan Sasuke terhenti sejenak kala melihat sepucuk surat merah jambu berada dalam tasnya. Beberapa detik kemudian, raut wajah Sasuke berubah menjadi raut wajah bosan.
"Kenapa? Surat dari penggemarmu lagi?" tanya Naruto basa-basi. Naruto lalu mengambil sepucuk surat merah jambu tersebut dan membaca inisial yang tertulis di pojok kanan bawah. "T.Y, eh? Inisial baru, Sasuke! Kemarin kan inisialnya G.T, kemarin lusa H.J!" sindir Naruto dengan kekehan geli.
"Buatmu saja." Sasuke berucap seraya berlalu.
"Eh-eh, tunggu!" Naruto mengikuti Sasuke dengan berlari kecil di belakangnya. Tangannya sibuk membuka surat cinta sembari sesekali membetulkan posisi tas selempangnya yang belum tersampir sempurna. "Gerakmu yang cepat serta cekatan selalu membuatku bertanya-tanya secepat apa kau di ranjang—"
—Sasuke menghentikan langkahnya seketika dan langsung menatap Naruto dengan tajam.
Naruto sibuk menutup mulutnya demi menahan tawa. "He-hey! Aku hanya membaca isi surat ini!" ujarnya dengan susah payah menahan tawa. "Pfft—bahkan gadis T.Y ini sudah membayangkan kemampuanmu di ranjang, Sasuke!" Tawa Naruto pun meledak, menggema di sepanjang koridor gedung G Fakultas Ekonomi yang tengah mereka telusuri.
Dengan cepat Sasuke merebut surat yang ada di tangan Naruto. Sasuke lalu membaca singkat, mencari kalimat yang baru saja Naruto ucapkan, apakah benar-benar ada di sana ataukah hanya kejailan Naruto saja.
"Aku selalu memikirkanmu, Sasuke-kun.
Gerakmu yang cepat serta cekatan selalu membuatku bertanya-tanya secepat apa kau di ranjang—"
"Cih!" Sasuke menahan amarah dengan menggenggam surat berisi hal tidak masuk akal tersebut dalam kepalan tangannya erat.
"Hey, hey. Sudah, sudah. Sini biar aku yang simpan seperti biasa." Susah payah Naruto menenangkan Sasuke. Perlahan-lahan ia coba ambil kertas merah jambu malang yang kini telah lusuh karena Sasuke genggam. Dengan bersenandung riang Naruto melipat rapih kertas yang sebelumnya berada di kepalan Sasuke, lalu memasukannya dalam saku.
"Nah, biar kau tidak emosi lagi, kita makan dulu di kantin baru kau antar aku pulang ke asrama, oke?" Naruto menepuk-nepuk punggung Sasuke seraya mendorongnya untuk berjalan. Memiliki teman yang pemarah memang cukup merepotkan. Namun, kebahagiaan meledeknya saat marah selalu membuatnya berhasil melupakan kerepotannya dalam menenangkan.
"Paman Teuchi sudah tutup belum, ya?" tanya Naruto basa-basi walau tahu pertanyaannya tidak akan dijawab seraya berlalu.
.
"PAMAAN! AKU BAHAGIA SEKALI KAU MASIH BUKAA!" teriak Naruto di kantin sore itu. Kedua tangannya terangkat dengan kepalan berlebihan, bermaksud mengekspresikan kebahagiaannya dalam setiap gerakan.
"Paket B-nya, satu," pesan Sasuke dengan tenang seraya menyerahkan uang secukupnya. Sasuke lalu duduk di kursi terdekat, menunggu pesanannya datang seraya menunggu Naruto yang tengah memesan ramen.
Sasuke mengamati kanan dan kiri. Kantin kini cukup lenggang, tidak seperti siang tadi saat jam makan siang. Sasuke menyadari meja yang terletak di samping jendela kini kosong, sebuah meja favorit teman-temannya yang akan selalu penuh kala jam makan siang. Penasaran bagaimana rasanya duduk di meja yang selalu menjadi rebutan, Sasuke pun memutuskan untuk pindah meja.
"Hahaha!"
Terdengar sebuah tawa dari sisi lain kantin. Sasuke menatap kerumunan gadis yang sedang duduk di sana.
Lagi-lagi dia.
"Gadis itu lagi, eh?" ujar Naruto melirik kerumunan gadis tersebut seraya memindahkan mangkok ramen miliknya dan bento Paket B yang Sasuke pesan, beserta dua botol air mineral.
"Begitulah," jawab Sasuke sebelum memanjatkan doa sebelum makan. "Selamat makan," ucapnya datar.
"Hehehee, selamat makan!" kekeh Naruto sedikit menahan malu karena ia sudah melahap makanannya tanpa mengucapkan 'selamat makan' karena sudah terlalu lapar.
Slurp!
Naruto makan dengan semangat, kontras dengan Sasuke yang makan dengan tenang. Cih, sok keren—rutuk Naruto dalam hati walau ia tahu, Sasuke memang terlahir begitu.
Dalam sela kesibukannya mengunyah, Naruto melirik kerumunan gadis yang sebelumnya sempat menyita perhatian mereka. Ah, gadis itu—
"Psst, Sasuke! Gadis itu memperhatikanmu lagi!" bisik Naruto setelah setengah mati menelan lahapan besarnya.
Sasuke melirik ke arah kerumunan gadis—BRAVO!—sang gadis yang dimaksud sedang menatapnya sontak langsung membuang muka dan berpura-pura mengikuti obrolan temannya. Sasuke masih mengikat pandangannya pada sang gadis, belum melepaskan barang sedetik pun.
Sang gadis yang ditatap kini kembali mengarahkan bola matanya pada Sasuke dengan ragu. Melihat Sasuke masih menatapnya, sang gadis sontak merona malu karena tertangkap basah dan kembali menghadap ke teman-temannya, bermaksud mengikuti obrolan, kali ini tidak berpura-pura. Karena itu, Sasuke memutuskan untuk kembali melanjutkan makannya karena menurutnya hal tadi sudah membuat sang gadis kapok untuk mengamatinya, yahh... setidaknya untuk sore ini.
"Dia dari fakultas mana, sih, Sasuke?" tanya Naruto yang masih menyempatkan diri untuk melirik sang gadis dari sudut matanya. "Aku sudah tanya anak manajemen, mereka bilang, jurusan mereka tidak ada yang rambutnya merah jambu. Aku berikan ciri-ciri teman-teman gadis itu juga mereka bilang tidak ada. Mereka juga bukan dari jurusan kita, kan?" Naruto mengelus-elus dagunya, mengisyaratkan ia sedang berpikir dalam-dalam.
"Entahlah, mungkin dari fakultas lain."
"Hmm... kemungkinan besar begitu. Tapi kalau begitu, berarti dia niat sekali mengawasimu! Setiap hari ke fakultas orang hanya demi mengawasimu, eh? Dia pasti sangat menyukaimu, Sasuke!" kekeh Naruto. Naruto lalu menyisir rambutnya dengan jemari singkat. "Dia manis pula. Kalau aku jadi kau, Sasuke, pasti sudah aku ajak kenalan," candanya seraya mengangkat sebelah alisnya berkali-kali.
"Bagaimana kalau dia T.Y?" seringai Sasuke sebelum meneguk air mineralnya.
"Euh, kalau dia T.Y, bisa-bisa aku dibawa ke ranjang setiap hari. Kau tahu, aku kan lincah," kekeh Naruto yang kemudian berubah menjadi suara mengaduh karena kesakitan kepalanya telah dijitak Sasuke dengan keras.
"Menjijikan," gumamnya.
Sasuke melirik kerumunan gadis yang diduga berasal dari luar Fakultas Ekonomi tersebut. Ia mengamati sang gadis yang selalu ada di fakultasnya setiap ia datang ke kampus. Walaupun hanya datang saat sore (karena mungkin kelasnya baru selesai pada jam-jam tersebut), Sasuke menyadari gadis itu selalu berada di kantin, mengamatinya yang tengah makan di sela-sela canda dengan teman-temannya sejak awal semester ganjil lalu. Gadis berambut merah jambu, membuatnya terlihat mencolok walau ia tidak mengenakan dempulan (istilah Naruto dan Sasuke untuk make-up) seperti teman-teman lainnya.
Ah, lagi.
Lagi-lagi gadis berambut merah jambu itu tertawa, tawanya tidak dapat terdengar karena mungkin terlalu kecil atau tenggelam bersama tawa teman-temannya yang lain. Yang jelas, yang Sasuke tahu, jika tawa sang gadis terdengar, pastilah tawanya terdengar renyah dan manis secara bersamaan. Bukan. Bukan berarti Sasuke merasa ia menyukai sang gadis—Hell, ia tidak akan menyukai seorang penggemar dirinya, ia telah bersumpah sejak bertahun-tahun lalu—hanya saja Sasuke merasa mungkin (hanya mungkin) ia akan menyukai tawa sang gadis jika ia dapat mendengarnya.
Menyukai tawanya, bukan orangnya. Itu dua hal yang berbeda.
Sasuke kembali melirik sang gadis merah jambu dari sudut matanya yang tengah tertawa.
Masih tidak dapat terdengar—batinnya berkata.
.
.
.
"Cukup dengan pertemuan kali ini. Pertemuan selanjutnya kalian presentasi. Nanti malam asdos akan mengirim e-mail ke pengurus kelas terkait tugas," ujar sang dosen seraya berdiri dengan menenteng tas hitamnya di tangan kanannya. "Ini hasil kuis tadi, nilai sudah dimasukan, ini kalian bawa pulang saja. Sampai ketemu di kelas selanjutnya." Dengan itu, sang dosen beserta dua asdosnya pun berlalu.
BRAK!
Sasuke mengamati Naruto yang menjatuhkan kotak pensilnya karena terburu-buru lari ke depan kelas untuk berebut mengambil hasil kuis terlebih dahulu.
Sasuke menghela napas panjang, ia tetap duduk di bangkunya tanpa beranjak. Kemungkinan Naruto akan mengambilkan kertasnya atau ia harus menunggu hingga semua temannya selesai mengambil kertas milik mereka, lalu baru ia akan beranjak untuk mengambil kertas hasil kuisnya tanpa perlu desak-desakkan. Atau mungkin, kemungkinan terburuk, kertasnya akan hilang karena dibawa pulang oleh salah satu penggemarnya. Tapi itu pun tidak masalah, ia dapat mengirim e-mail pada asdos untuk menanyakan hasil nilai kuisnya tanpa perlu tahu kertasnya hilang ke mana.
Lagi-lagi, Sasuke menghela napas panjang.
Dua hari telah berlalu begitu saja. Tidak ada banyak perubahan. Sama seperti dua hari yang lalu, kemarin dan hari ini ia pulang sore (walau kemarin kelas dimulai agak siang tidak seperti hari ini dan lusa yang sejak pagi), dan mungkin nanti akan kembali terulang rutinitas selanjutnya, yaitu kembali diawasi oleh dua bola mata sang gadis berambut merah jambu.
"Kau terlihat kusut, Uchiha." Terdengar suatu suara dari sebelah kanan yang memecah lamunannya.
Sasuke menoleh. "Ah, Hyuuga. Tidak juga, hanya saja melihat mereka membuatku lelah."
"Sama."
Uchiha Sasuke dan Hyuuga Neji mengamati kerumunan di depan kelas dengan mata bosan. Mereka mahasiswa, kenapa masih bertingkah seperti bocah?—keduanya menanyakan hal yang sama dalam hati tanpa mereka sadari.
"Oh iya." Neji kemudian memangku tasnya dan merogoh sang tas untuk mengambil sesuatu dari dalamnya. "Ini," ujarnya seraya menyerahkan sepucuk surat berwarna merah pekat. "Sepertinya surat dari penggemarmu lagi."
"Hn." Sasuke menerima dengan sikap malas. Ia buka surat tersebut, melihat ada gambar hati besar-besar dengan krayon warna merah pekat, Sasuke kembali menutup surat, memasukkannya dalam amplop, lalu menaruh surat tersebut di atas meja.
"Tidak bertanya dari siapa?" kekeh Neji meledek. "Ah, untuk apa aku bertanya begitu, tentu saja kau tidak peduli, eh, Uchiha?"
Sasuke menyeringai, "Akan melelahkan untuk mempedulikan semua surat yang berisi sama tersebut, Hyuuga."
Neji menganggukan kepalanya. "Kenapa tidak kau buang?"
"Itu terlalu jahat," jawab Sasuke. Bisa-bisa aku dibunuh ibuku jika membuang surat cinta—batin Sasuke dalam hati.
"Lalu, akan kau kemanakan surat itu?"
"Sasuke! Aku sudah dapat kertasmu, ayo makan!" teriak Naruto dari depan kelas.
Sasuke lalu berdiri, mengamit surat yang baru saja ia terima, mengambil tempat pensil Naruto yang terjatuh sebelumnya, mengenakan tas ranselnya, lalu berkata, "biar Naruto yang menyimpan surat-surat ini. Sampai ketemu, Hyuuga," seraya berlalu dengan mengangkat tangannya tanpa menatap lawan bicara.
Neji menyeringai, lalu berdiri untuk menemui Kiba yang sepertinya sudah berhasil mendapatkan kertas mereka.
Apa bedanya menitipkan tanpa peduli dengan membuang, eh, Uchiha?—kekehnya dalam hati.
.
"Pamaan! Ramennya satu, ya! Aku duduk di sebelah sana!" ujar Naruto seraya menunjuk meja yang telah ditempati Sasuke. Setelah memesan ramen, Naruto kemudian memesan makanan yang dititipkan Sasuke, lalu membeli dua botol air mineral.
Sasuke menatap kertas kuisnya yang telah berisikan nilai.
"Beruntung kau, Sasuke! Sedangkan aku? Lagi-lagi kena sial!" rutuk Naruto yang langsung merebut kertas kuis Sasuke dari tangannya. "Delapan puluh enam, setidaknya kau dapat A! Lah aku? Tujuh puluh lima! Kepala B!" Naruto mengacak-ngacak rambutnya saking kesal.
Ia pelototi angka 75 di atas kertasnya, berharap karena dipelototi, nilainya akan berubah menjadi 85, atau setidaknya 80 agar dia masih dapat menikmati nilai A, walau itu pun A minus. "Ugh... aku benci dosen itu!" keluh Naruto, lagi.
"Kau harus belajar untuk tidak mengeluh, bodoh." Sasuke memutar bola matanya bosan. "Ini," ujarnya seraya menyerahkan surat yang baru saja ia terima dari Neji pada Naruto.
"Astaga, surat cinta lagi? Lama-lama laci mejaku akan penuh karena surat cinta semacam ini," keluhnya. Tangannya dengan cekatan membuka surat cinta tersebut, melihat isinya sepintas, Naruto pun membaca apa yang tertulis.
"Saat aku menatap wajah dosen, yang terbayang adalah wajahmu—hmpff—Sasuke-kun," ucap Naruto sebelum tertawa terbahak-bahak membaca surat cinta yang tertulis di dalamnya. "HAHAHA!" Naruto tertawa keras seraya memukul-mukul meja. "Kenapa dia tidak pacari dosen saja? Anggap saja dosen itu kau, Sasuke, kan dia bilang dia melihat wajahmu di wajah dosennya," gurau Naruto yang tidak membuat Sasuke tergelitik barang sedikit. "Jangan bilang dosen yang dimaksud di sini itu Guy," gumamnya menahan tawa.
Tanpa memikirkan Sasuke, Naruto kembali asyik sendiri membaca surat cinta yang kini ada di tangannya.
Sasuke mengamati sekeliling kantin, ia menyadari kini tak ada kerumunan gadis yang biasanya ada di meja yang terletak di pojok kantin. Sasuke menyapu pandang bagian lain kantin, tidak ada. Kerumunan gadis—ralat—gadis yang biasa mengamatinya, untuk pertama kali semenjak awal semester ganjil lalu, tidak ada sang gadis yang biasa datang untuk mengamatinya. Sudah menyerah, eh?
Sasuke mengetuk-ngetukkan kunci motornya pada meja kayu kantin seraya melihat jam. Ia tidak keluar kelas lebih awal, bahkan cenderung terlambat lima menit karena menunggu Naruto mengambil kertas kuis tadi. Seharusnya, sang gadis berambut merah jambu itu ada di kantin ini beserta teman-temannya.
Aneh.
Memutuskan untuk tidak memikirkan hal yang menurutnya tidak terlalu penting, Sasuke pun melahap makanannya yang baru saja sampai.
"Hmpff!"
Naruto masih sibuk menahan tawa seraya membaca surat cinta di tangannya, sedangkan Sasuke berusaha mengabaikan fakta bahwa sang gadis yang biasa mengusiknya dengan tatapan, kini tidak ada di mejanya.
Lagi-lagi, Sasuke tersadar bahwa pandangannya tengah menyapu kantin untuk mencari keberadaan sang gadis berambut merah muda.
.
Apakah karena kau belum sempat mendengar tawa yang selama ini membuatmu penasaran, hey, Uchiha?
.
.
.
Bersambung.
Next/last chapter:
Gadis itu berdiri di sana, di luar jendela, tetapi kini, ia tidak tengah tertawa.
"Sasuke! Kau sedang melihat apa, sih? Presentasi kita belum siap, nih!" ujar Naruto seraya melambaikan tangannya tepat di depan wajah Sasuke.
.
"Yamanaka, bisa aku pinjam video tentang dia?"
"Eh?"
"Video apa pun yang ada dirinya, aku ingin mendengar suara tawanya."
"Sakura maksudnya? Kau aneh."
.
.
Fict ini akan saya tamatkan (publish chapter 2 nya) pada tanggal 20 februari, saat hari SasuSaku FanDay :D
Hayok! Penggemar SasuSaku yang pengen ikutan SasuSaku fanday, feel free untuk nanya mengenai SSFD. Abis itu, kasih tau deh temen2 kalian, biar semuanya ikutan SasuSaku FanDay :3
Review?
[story only: 2145 words]
SasuSaku FANDAY – 20 Februari