Disclaimer: Masashi Kishimoto.
Warning:
AU, OOC, Typo, Gaje.


Chapter 1: Pukulan Sayang?


Bandara JFK di sore hari.

Tidak biasanya bandara ini kelihatan lengang.

Suara pesawat landing, menghempaskan kesunyian bandara ini. Pesawat bernama Asian Air berwarna putih merah itu, membawa ratusan penumpang dari Tokyo. Perlahan-lahan tangga pesawat mulai diturunkan, dan orang didalamnya pun sudah mulai keluar.

Sore itu, salah satu pemuda berambut kuning jabrik dengan jaket coklat kotak-kotak, celana dan syal hitam.
Ikut dalam pergumulan orang yang mengarah ke pintu bandara.

Pemuda itu menengok kanan kiri, mengamati sekelilingnya. Karena memang baru pertama kali pemuda itu ke negeri paman sam. Dia membawa sebuah tas ransel dan dan dua koper yang baru diambilnya.

Sampai di depan tempat kedatangan, tempat tersebut itu tidak terlalu ramai. Dia bersyukur masih bisa melihat jelas teman yang menunggunya.

"Minato, oi sini!" teriak orang itu, yang sudah menyadari kehadirannya.

Temannya itu berambut panjang dan berwarna putih. dia melambai-lambaikan tangan, raut wajahnya terlihat senang, dia juga membawa papan nama bertuliskan nama protagonis kita di cerita ini.

Yap, pemuda yang baru turun pesawat itu, bernama Minato Namikaze.

Pemuda itu bertubuh tinggi tegap, rambutnya pirang jabrik acak-acakkan, dengan cambang sebahu berwarna kuning.
Badannya tinggi tegap, matanya berwarna biru langit, atau lebih mirip sebuah shappire.
wajahnya terlihat dewasa, dengan tatapan kalem tapi serius.

Mereka berdua adalah teman senegara, alias seperantauan yang sama-sama menuntut ilmu ke negeri patung liberty tersebut.

Minato baru berumur 20 tahun, sedangkan jiraiya lebih tua lima tahun, dan sudah lima tahun juga dia di negeri itu. Sekarang dia sedang mengikuti S2, sedang minato masih semester pertama S1.

"Akhirnya sampai juga kau di negeri modern ini" mereka berdua berpelukkan.

"Nah, Minato kita kemana dulu neh? Mau kuajak keliling kota dulu enggak?"

"Langsung saja ke apartemen, aku dah capek" Minato memang disuruh seapartemen dengan jiraiya, karena mereka sendiri satu universitas, dan juga satu fakultas tapi jiraiya lebih duluan. Minato sendiri, dijanjikan tempat tinggal yang bagus di New york. walaupun Minato sendiri sedikit ragu dengan temannya itu. Tak banyak bicara, mereka pun naik mobil camry hitam milik Jiraiya.

Minato lebih sering diam di mobil, dengan tangan di dagu. Pandangannya tidak bisa dilepaskan dari kaca mobil.
Menatap setiap tempat yang belum pernah ia lihat.

Bermaksud untuk mencari posisi kaki yang enak, kakinya menyentuh sebuah benda. Dia melirik ke bawah, ada sebuah majalah di bawah kursi mobil itu. dia mengambilnya. Minato melihat ke Jiraiya, temannya itu menyanyi dengan lagu-lagu tak jelas yang disetelnya.

Dia melihat majalah itu, ternyata itu adalah majalah musik. Sepertinya masih baru. Sebuah tulisan besar berada di sampul depannya, Spesial edisi kasih sayang. Kumpulan lagu-lagu hits untuk orang yang kau sayangi!

Dia membuka majalah itu, sebuah kalimat mutiara memenuhi halaman pertama. Minato membacanya dengan khidmat.

"Pasangan hidup itu sudah pasti harus dicari, karena kita sadar.
tidak akan pernah mampu untuk berjalan sendiri.
dalam mengharungi ombak, badai kehidupan ini.

Kita membutuhkan seseorang untuk selalu setia.
dlm mengarungi hari, dengan cuaca yang tak selalu pasti.

Setia dalam suka maupun duka, dalam tangis ataupun tawa.
dalam mewujudkan mimpi & harapan bersama.
untuk menggapai ridho tuhan.
untuk menggapai apa yang namanya kebahagiaan.

Dari pria, Tuhan membentuk wanita.

Bukan dari tulang kaki untuk diinjak-injak.
Bukan pula dari tulang kepala, untuk memimpin.

Tetapi dari tulang rusuk..
Karena dekat dengan hati, untuk dikasihi..
dan dekat dalam rengkuhan tangan, untuk di peluk..."


One Day


Suasana sudah kelihatan malam hari, sudah sekitar sejam. Minato yang nyaris tertidur, kaget dengan suara keras jiraiya. Tangannya masih menggenggam majalah itu dengan erat.

"Nah Minato, itu dia tempatnya!" ujar Jiraiya, yang menunjuk sebuah gedung kembar dari kejauhan. mobil itu memasuki sebuah komplek. Tempat tersebut terlihat mewah.

Di kaca moblnya, menghampar pohon-pohon dan lapangan hijau yang diterangi lampu besar, dengan beberapa orang main disana. Gedung kembar itu memang banyak dikelilingi taman besar dan hijau. Selain itu, ada pula tempat pusat perbelanjaan alias MAL, tempat hiburan, kolam renang, GOR dan juga lapangan Golf. Di belakang gedung itu, sebuah sungai besar, berwarna biru jernih yang digunakan sebagai tempat memancing dan berski-air. Stasiun monorel dan subway, makin memudahkan akses tempat tersebut.

Minato sedikit menganga.

"Gimana bagus kan?"

"Eh... Iya, bagus" sepertinya Minato bakal nyaman tinggal disini.

Minato sendiri termasuk anak keluarga menengah ke atas. sebetulnya, dia sendiri sudah banyak melihat hal-hal modern. Tapi yang namanya New York, tetap saja membuat dia kagum.

"Soal peralatan dan kebutuhan ditempatmu, kemarin ibumu sudah menyiapkan semuanya. Bahkan sekarang sudah tersusun rapi dikamarmu" Jiraiya ucap kembali. Selang beberapa saat, mereka sudah di pintu lobby apartemen dan turun dari mobil. Beberapa pelayan, membantu menurunkan barang-barang mereka.

"Eh, kau bisa ke kamar mu sendiri kan, kamarmu lantai lima nomor 206, kamarku ada di lantai empar nomor 182.
Aku masih ada urusan, kalau ada apa-apa telpon aku saja oke" sambil menyerahkan kunci kamar ke Minato, Jiraiya kembali ke dalam mobilnya dan pergi.

Minato melihat sekelilingnya dan berjalan ke arah lobby. Dia melirik ke arah majalah musik yang daritadi dia genggam terus. Tak banyak pikir, dia langsung menuju ke atas dimana kasur yang empuk sudah menunggunya disana.

.

.


ROOM 206

Sebuah pintu berwarna coklat krem, berada di hadapannya. Disampingnya, ada tanda pengenal bertuliskan Minato Namikaze dan sedikit identitas dirinya. Dia memegang gagang pintu itu. melihat kanan-kiri seperti merasa diawasi. Apakah tip untuk pelayannya belum cukup?

Pintu itu dibuka, sebuah ruangan cukup besar ada di hadapannya. Dia menatap lekat ruangan tersebut.

Dindingnya berwarna putih, sebuah lampu terang berwarna kuning menghiasi atasnya. Perabotan disana sudah tersusun rapi dan lengkap, perlengkapannya persis apa yang diinginkannya.

Dia tersenyum, menutup pintu, meletakkan koper, melepaskan jaket dan langsung membaringkan dirinya ke kasur. Perjalanan ke sini membutuhkan waktu kurang lebih 6 jam, dia sudah terlalu lelah. Matanya pun sayup-sayup meninggalkan alam nyata ini, dan besok pagi dia harus bangun lagi untuk mengurus kegiatannya.

...

...

...

06.15 AM.

Pagi harinya, pemuda rambut kuning jabrik, dengan cambang sebahu yang masih kelihatan agak basah itu, keluar dari kamarnya. dia memakai jaket putih, celana jeans dan tas selempang hitam. Tatapan biru safirnya mantap.
dia bergegas menuju ke kamar 182, dimana Jiraiya tinggal disana.

Tak butuh waktu lama dia sudah ada di depan pintu tsb, terlihat masih terkunci. Dia mengetuk pintu itu, tapi tak mendapat respon. dia mengeluarkan hpnya, dan menelpon orang didalamnya. Tapi tetap juga tak ada jawaban.

Sebetulnya mereka berdua akan pergi ke FISIP ICN, tapi ia mengambil jurusan program studi ilmu komunikasinya. Dia mengeluarkan secarik kertas didalam tasnya, membacanya, masih didepan pintu itu, terdiam. Akhirnya dia memutuskan untuk berangkat sendiri ke fakultasnya. kertas itu, adalah petunjuk alamat ke arah fakultasnya.

Tempat tersebut juga tak terlalu jauh dari apartemennya hanya sekitar 1 setengah mil, dan keinginan menjelajahi kota NY di pagi hari dengan berjalan kaki, makin meningkatkan motivasinya. Dan tak perlu waktu lama juga, dia sudah keluar dari komplek apartemen megah itu. Minato berjalan diantara kerumunan orang yang lalu lalang di sekitarnya, dilatari dengan gedung-gedung besar pencakar langit, tetap memegang kertas tsb, terus membaca dan melihat sekitarnya.

Minato sebetulnya tak terlalu mengerti dengan isi kertas tersebut, selain karna baru pertama kali kesini, petunjuk tersebut ditulis dengan tangan. Mungkin seharusnya dia sudah melakukan persiapan non teknis dahulu. seperti browsing mengenai alamat fakultasnya. tetapi apartemennya, saja saat pertama kali datang pun, dia tidak tahu dimana letak persisnya.

Universitas ICN itu sebetulnya terkenal, entah kenapa dia merasa kesulitas sendiri. Bertanya pada orang sekitarnya pun sedikit minder, walaupun dia fasih berbahasa inggris.
yang dia tahu anak ICN memakai blazer berwarna coklat kotak-kotak.

Dia mulai memasuki kawasan khusus pejalan kaki, sambil terus melanjakkan kakinya, ditengah suasana dingin pagi hari. Tiba-tiba ia berhenti, ketika tatapannya tertuju melihat salah seorang gadis berambut merah panjang di kejauhan. dan persis memakai blazer ICN.

"Ah, dia memakai seragam yang sama dengan ICN, bisa tanya dimana tempat FISIPnya" akhirnya dia memutuskan untuk bertanya pada gadis itu.

Dihampiri gadis tersebut, tetapi sulit untuk bersuara. Gadis itu berjalan terburu-buru dan di tengah padatnya manusia berjalan disekitarnya, membuat pemuda itu sepertinya harus menimpukkan sesuatu, agar dia berhenti.

Entah otak minato korslet atau apa, dia melempari gadis itu dengan kaleng minuman sisa dia yang sudah digenggam daritadi.

dan...

"Auch!"

Tepat sasaran.

Gadis itu langsung berhenti dan sedikit kesakitan, pandangannya tetap terbelakang.
Pemuda itu dengan senang langsung mendekatinya dan menyentuh pundak cewek itu dari belakang. serta berbicara

"M-Maafkan aku nona. Aku sudah melemparimu tadi, habis kau berjalan terlalu cepat. Kamu anak ICN kan? Aku mau nanya, apa kau ta..." belum selesai bicara, cewek itu berteriak..

"Kauuu...! TIDAK SOPAN!"

Tanpa melihat wajah pemuda tersebut, langsung saja dia melepaskan tendangan gunting kearah cowok tsb.

"Ah!"

Tetapi Minato dengan reflectnya berhasil berkelit. Namun mendadak bayangan hitam memenuhi dirinya, gadis itu sama sekali tidak menyangka tubuhnya juga akan terdorong ke depan.

BRAKK! Akhirnya, pemuda itu terdorong jatuh ke bawah, tertimpa badan gadis tersebut.

"Aduh-uh."

"Sial, dasar kau... eh," Mereka terhenti beberapa saat, setelah melihat wajah lawannya masing-masing.

Minato terperangah, matanya membulat melihat wajah gadis kampus itu. Jarak antar wajah mereka hanya beberapa centi. Gadis itu mempunyai rambut panjang merah marun. Matanya ungu seperti bunga violet. Wajahnya yang berparas manis membuat cowok itu makin menganga.

"Sepertinya aku mengenalimu"

"Eh?" cewek itu ikut bersuara.

Satu detik.

Dua Detik.

Tiga Detik.

Gadis itu kaget dan baru sadar dia menimpa cowok tersebut dengan dadanya

langsung saja ia menjeritt.. "HIII...!"

Cowok itu ikut panik, mereka berdua segera beranjak berdiri.

"Maaf, sumpah, tadi aku maksudnya mau na.." belum selesai juga ia bicara, gadis itu sudah menampar wajahnya. Belum cukup, ia menambahkan satu pukulan lagi, ke arah perut pemuda itu dan sukses membuat pemuda kuning itu, langsung terbaring tak berdaya.

"Dasar mesum!" Gadis itu kemudian pergi dan lari, meninggalkannya terkapar begitu saja..

"Ugh..." cowok itu mengeluh kesakitan.

Orang sekitarnya yang daritadi memperhatikan terlihat heran, baru saja mereka melihat adegan romantis yang biasanya ada di sinetron. Tiba-tiba selanjutnya, malah disusupi adegan silat. Beberapa ibu-ibu mencoba membantunya berdiri.

"Aku baik-baik saja terimakasih."

Akhirnya Minato berdiri sendiri, membenarkan pakaian dan rambutnya. Mulai melangkahkan kaki, dan pergi dari tempat itu. Beberapa orang masih tersenyum melihat pemuda itu yang masih memegang perutnya yang kesakitan.
Minato benar-benar dibuat malu akan kejadian tersebut.

Tapi apa hasil entah kenapa, wajah gadis itu membuatnya terlena. Dia merasa seperti dejavu.

Bertemu dengan gadis, yang mirip seseorang yang ia kenal. Seorang, yang benar-benar sangat ia kenal.

"Apakah aku mengenalnya?"


"Buahaha... Minato-Minato, aku baru pertama kali mendengarmu, ditampar gadis."

"Bukan cuma itu, dia juga memukul perutku seperti adonan kue saja."

"Lagian kau itu maunya jalan sendirian saja seh."

"Aku sudah mengetuk kamarmu pagi tadi, tapi kenapa kau tak keluar-keluar?"

"I-Itu aku ketiduran... Kemarin habis lembur di kantor."

Minato berbicara dengan Jiraiya melalui telpon. jiraiya sendiri yang menelponnya, karna 'merasa' ditinggalkan.

"Lembur?" Minato bicara curiga

"Beneran lembur kok, tadi kan abis ngobrol lama sama pimpinan. dia tuh ngajak aku, bla bla..." Jiraiya langsung nyerocos dengan segala hal yang dialaminya kemarin. Minato akhirnya malah melamun, ntah kenapa dibayangannya malah muncul gadis itu lagi.

"Oi, Minato.. dengar tidak, kau ada dimana seh?" ujar jiraiya, merasa diacuhkan

"Aku ada di..." Minato melihat sekelilingnya dan menatap sebuah papan jalan kecil berwarna hijau "43rd street,"

"Nah, itu tinggal dua belokan lagi dari sana. cuma belok kanan lalu belok kiri pasti langsung kelihatan gedungnya, besar banget kok"

"Sebetulnya, dari arah sini juga sudah kelihatan kok"

"Minato, kau masuk duluan saja, bawa kartu pengenal kan...?

"Ya"

"Disana kau tinggal ikuti petunjuk jalan pasti juga sampai. Bisa 'kan Minato? Bisalah, udah gede ini kok masa' masih harus ditemanin haha."

Minato mengernyit jengkel. "Iya aku bisa sendiri."

"Ya sudah, baik-baik Minato. Jangan timpuk cewek lagi di dalam sana kalau nyasar ya. Bye."

Minato mematikan telponnya. Dia menggarut kepalanya yang tak gatal, sedikit malu teringat kejadian barusan.

"Apa-apaan, lagipula kenapa harus juga aku menimpuk cewek tak berdosa tersebut. Huh."

Minato menghirup nafas dalam-dalam. Mata safirnya menatap tajam, dan mulai melangkahkan kaki dan memulai kehidupan baru yang dijalaninya.


TBC