Summary : Satu buket bunga. Dua leluhur. Tiga hari. Dan empat kata./Entah itu sihir atau hanya ilusi, tapi yang jelas itu semua membawa Shikamaru pada suatu awal—pada satu gadis/ "Kapan kau akan melamarnya, Shikamaru?"/Mind to RnR?

.

.

.


One, Two, Three, Four!

Disclaimer: Masashi Kishimoto

Warning: Modified Canon, Twoshot, OOC, alur kecepetan, sudut pandang berubah-ubah.

.

.

Dedicated to O! Gosiph!

link Purple Haze fansite: www. phaze-ina. co. nr (hilangkan spasi)

.

.


.

.

.

Happy Reading

.

.

.


.

.

.

"Wah, Shikamaru yang mendapatkannya!" teriak Kiba sambil menunjuk Shikamaru yang tengah memegang buket bunga itu—buket bunga pernikahan yang telah dilemparkan Sakura sesaat lalu. Agak aneh juga, mengingat yang mendapatkannya malah seorang pria alih-alih wanita, Shikamaru lagi orangnya.

"Nah, Shika, kira-kira siapa wanita yang beruntung itu, hem?" Chouji menyikut pelan pinggang Shikamaru—yang nyatanya masih mengalami trans akibat penangkapan sebuket bunga mawar berwarna merah muda itu (dipilih dan dirangkai sendiri oleh sang suami—entah bagaimana bisa Naruto mempunyai pemikiran seromantis itu).

Mengerjapkan mata sejenak, lalu pria yang mempunyai gaya rambut seperti nanas itu menghela nafas lalu pergi—keluar dari kerumunan yang menyesakkan dengan pertanyaan 'kapan nikahnya?'.

"Hah, merepotkan…" gumamnya pelan, menggaruk kepala—buket bunga berada di genggaman tangan kiri dan tak sengaja matanya bertatapan dengan teman sejak kecilnya, Yamanaka Ino.

Entah bagaimana, waktu terasa berhenti berjalan, tatapan matanya tertuju hanya pada gadis itu, keadaan di sekitarnya terasa memudar—yang ada hanya dia dan gadis itu. Mereka berpandangan dalam diam, tanpa kata, hanya mencari sesuatu yang entah apa itu dalam manik mata masing-masing.

Dan yang lebih dulu mengalihkan pandangan adalah Ino. Ada sebersit rasa kecewa kala itu—genggaman pada buket itu mengeras, dan Shikamaru tak menyadari hal itu. Genggaman itu semakin keras kala pemuda itu melihat siapa orang yang berada di sisi Ino.


.

mmmoooonnn

.


Sai.

Satu kata namun cukup membuat Shikamaru merasa gelisah. Kata itu sudah lebih dari cukup menambah pemikiran di hari-harinya. Dia tahu gosip yang beredar, dia bahkan melihat sendiri bagaimana dua orang itu terlihat begitu dekat, begitu serasi.

Shikamaru bahkan tidak bisa memercayai diri sendiri kala menyadari bagaimana amarah bisa begitu menguasainya saat melihat Sai menggenggam tangan Ino—tangan yang dulu sering digenggamnya saat masih kecil.

Shikamaru tahu bahwa sudah waktunya dia melangkah ke depan. Nyatanya, kesehariannya yang berlangsung wajar, monoton, seketika membuatnya terbuai. Gadis itu, Yamanaka Ino adalah anak dari sahabat ayahnya, temannya sejak kecil, dan mereka berada dalam satu kelompok. Heh, jadi tanpa berusaha pun, mereka pasti bersama.

Tapi kini kata pasti itu mulai gamang terdengar—sejak Shikamaru lebih dulu menjadi chunnin, sejak mereka mulai tumbuh dewasa, sejak Ino semakin cantik dan cantik, dan terutama sejak kedatangan Sai ke Konoha. Rasanya kian hari ada jarak yang tercipta antara dirinya dan juga Ino.

Hubungan mereka tak seperti dulu lagi—mereka jarang bertemu, kesulitan untuk saling berkomunikasi, entah karena tak ada hal yang harus dibicarakan ataukah karena Shikamaru yang terlalu susah untuk berbicara?

Mungkin yang kedua, karena Shikamaru bukanlah orang yang pandai bertutur kata.

"Haaaah… benar-benar merepotkan…" ujar Shikamaru pelan seraya membalik badannya, merasa bosan sedari tadi berbaring memandangi awan. Bahkan kegiatan yang acapkali dilakukannya mulai terasa membosankan karena beban di hatinya.

Mungkin memang benar.

Benar jika Shikamaru mulai merasa gelisah karena kehadiran pria itu. Benar karena tanpa diduganya, Ino menjelma menjadi wanita cantik yang benar-benar sanggup membuat adrenalinnya meningkat cepat setiap Shikamaru menatapnya. Benar karena mereka yang selalu bersama, membuat Shikamaru terlambat menyadari, jika gadis itu telah menempati posisi istimewa di hatinya. Ah, kenapa untuk yang satu ini, Shikamaru bisa begitu bodoh untuk menyadarinya?

Tapi… akankah Ino juga memiliki perasaan yang sama jika ada Sai yang selalu berada di sampingnya? Apa yang dia harapkan dari Shikamaru—pria malas yang tidak mengerti hati perempuan?

Wanita adalah makhluk yang paling merepotkan, mungkin itu benar. Tapi perasaan yang kini dirasakannya jauh lebih dari kata merepotkan itu sendiri.


.

mmmoooonnn

.


"Apa yang sedang kau pikirkan Ino?"

Ino seketika tersentak, wajahnya yang sedari tadi menunduk lantas terangkat, menatap lawan bicaranya, "Bukan hal yang penting Sai, hanya… memikirkan tentang Sakura dan Naruto."

"Begitu," ujar Sai pelan dengan senyuman yang selalu menempel di wajahnya. "Ngomong-ngomong, kau sudah memutuskan apa yang akan kau pesan?"

Saat ini mereka berada di sebuah restoran kecil di tengah desa. Restoran bergaya China dengan lampion merah seakan melayang di atas kepala mereka. Ino dan Sai duduk di meja dekat jendela, menyudutkan diri dari keramaian.

"Oh, iya, sudah…" jawab Ino kaku, otaknya masih belum bekerja sepenuhnya, sementara Sai hanya tersenyum simpul, seolah tahu apa yang sedang diresahkan gadis itu.

Kemudian Sai memanggil pelayan dan mengatakan pesanannya. Si pelayan—yang hampir mirip dengan Tenten—tersenyum ramah lalu berbalik meninggalkan mereka berdua.

Sesaat setelah makanan datang, mereka pun makan dengan tenang—hal yang sangat jarang terjadi di antara mereka berdua.


.

mmmoooonnn

.


Rasa canggung menghampiri Ino lebih cepat daripada yang dapat dia duga. Dia benar-benar gelisah, alih-alih merasa ikut bahagia dengan pernikahan Sakura dan Naruto yang baru saja mereka hadiri. Hanya saja, ada sesuatu hal menyadarkannya saat pernikahan itu berlangsung.

Ino menatap Sai yang kini sedang sibuk melukis sesuatu, dia menghela nafas pelan seraya berpikir mengapa bisa sesusah ini untuk memutuskan sesuatu. Kemudian dia menunduk, memandangi air teh yang bergolak pelan di dalam cangkirnya.

"Ino…"

Ino menengadah, ludah tanpa sadar tertelan begitu saja, "Ya, Sai?"

"Kau sudah memutuskannya?"

Alis mengerut dan mata terpejam, penat dan gelisah membayang seketika, "Maaf, Sai… tapi tolong beri aku waktu sedikit lagi."

"Begitu…" Jeda sejenak, "baiklah..." Ada nada getir yang tercipta kala itu, dan hal itu mampu menambah beban di hati Ino.


.

mmmoooonnn

.


Shikamaru memandangi langit malam di mana bulan terukir indah serta titik-titik bintang yang gemerlap membentuk suatu pola. Seperti sebuah kanvas yang berisi warna hitam dan perak yang bercampur jadi satu.

Bayang memanjang yang tercipta di jalanan berbatu, menegaskan akan kesendirian yang dirasakan Shikamaru. Aih, siapapun pasti pernah merasakan gejolak seperti ini, bahkan Shikamaru sekalipun.

Menghela nafas gusar, Shikamaru akhirnya memilih duduk di bangku tepi jalan. Sejak melihat Ino dan Sai masuk ke sebuah restoran, pikirannya yang sudah tak menentu lantas menjadi berantakan—tercerai berai, membuatnya semakin susah berpikir tatkala egonya menguasai.

Dan di sinilah dia berakhir. Sendirian, di tengah malam yang dingin, walaupun tengah musim semi, walaupun bunga Sakura menari-nari pelan di tiup angin, bersanding dengan jalanan yang sepi, tapi Shikamaru tetap merasa asing. Ada yang kurang, dan dia tahu apa itu.

Tiba-tiba langkah kaki terdengar pelan, Shikamaru pun lantas menoleh, dan mendapati gadis yang akhir-akhir ini mendiami pikirannya berada di depannya. Mata saling memandang, keterkejutan jelas tercipta di wajah mereka, tapi seperti biasa, Shikamaru lebih ahli dalam menguasai dirinya.

Namun Ino-lah yang lebih dulu berbicara, "Shikamaru…"

Shikamaru terdiam—bingung harus berkata apa, lantas dia menepuk bangku di sampingnya, tanda bahwa dia meminta Ino untuk duduk di sana.

Ino pun berjalan pelan dan duduk di samping Shikamaru. Gelagatnya yang jelas terlihat gelisah bisa dibaca Shikamaru. Tapi akankah gadis itu tahu jika Shikamaru pun merasakan resah yang sama? Apa gadis itu juga tahu, jika kini, debar jantungnya kian mengencang dan mengencang? Atau, apakah gadis itu tahu bagaimana pikirannya berlomba-lomba menciptakan kata-kata, apa saja, untuk diutarakan kepada gadis itu saat ini juga—agar Ino tahu perasaan yang kini membelit hatinya, namun lidahnya kaku, otaknya terasa mencair kala mata biru itu menatap lekat ke wajahnya, dan sentuhan itu—apakah benar tangan yang sedang menggenggam tangan Shikamaru adalah milik Ino?

"Kau kenapa?"

Shikamaru diam, memandangi tangannya dan Ino yang saling bertautan. Ino ikut menoleh, lantas menarik tangannya dan seketika salah tingkah—mukanya memerah dan kata-katanya terdengar terputus-putus.

"Ma-maaf… itu… aku… maksudku… bukan…ya.. aku…"

"Aku mengerti," sela Shikamaru, walau sebenarnya dia tak mengerti apa pun. "Ngomong-ngomong, di mana Sai?"

Detik itu juga, Shikamaru langsung menggigit lidahnya, keras-keras—mengutuk dirinya sendiri mengapa malah memilih nama saingannya sebagai topik obrolan dengan gadis yang dicintainya. Dan demi Tuhan, Shikamaru telah berteman dengan Ino sejak kecil. Sejak kecil! Tapi kenapa dia bisa secanggung ini hanya untuk mengobrol dengannya?

"Oh, dia…" Ino mengalihkan pandangannya, ke manapun, asalkan tidak memandang Shikamaru. "Aku… ingin menjernihkan pikiranku, jadi aku menolak ajakannya untuk pulang bersama."

"Begitu…" kata Shikamaru datar, padahal hatinya membuncah oleh kesenangan. "Kenapa kau perlu menjernihkan pikiranmu? Apa kau… yah, ada masalah?"

Ino tertawa pelan, yang terdengar ganjil di telinga Shikamaru, "Tenang saja, bukan masalah yang akan merepotkanmu, kok. Hanya saja…"

Shikamaru menunggu Ino menyelesaikan kata-katanya. Jantungnya tiba-tiba bertalu-talu keras, firasat buruk datang dengan cepat ke dalam pikirannya.

"Sai melamarku… jadi kupikir—"

"Apa kau menerimanya?" sela Shikamaru, cepat—memburu. "Maksudku, kau—yah, kau akan menikah dengannya?"

"Entahlah…" Vakum beberapa detik yang terasa lama. "Sai memberiku waktu tiga hari untuk berpikir. Lagipula, aku tidak punya alasan untuk menolaknya, kan?" tanya Ino balik. Matanya yang bagi Shikamaru terlihat begitu indah, kini menatapnya—menusuknya, membuat titik nyeri di dalam dadanya.

Kehilangan kata-kata, otak tak bisa berpikir lagi. Shikamaru bahkan lupa bagaimana cara bernafas, dan saat mulutnya bisa mengeluarkan kata-kata, dia memilih kata yang salah untuk mengungkapkannya.

"Ya, kau benar. Sai… pria yang baik, dan kau pasti bahagia dengannya."

Hebat.

Kau benar-benar hebat, Shikamaru.


.

mmmoooonnn

.


Shikamaru berbaring di atas rumput sebagai sandarannya, dan langit gelap sebagai naungannya. Oke, dia benar-benar lelaki yang amat payah. Bagaimana bisa dia memuji pria lain yang ingin menikah dengan gadis yang dicintainya begitu saja?

Hebat, kenapa dia tidak menjadi konsultan pernikahan saja, heh?

"Ck! Benar-benar menyebalkan!" gumam Shikamaru lirih sembari menutup matanya. Herannya, setelah mengantar Ino pulang, Shikamaru malah memilih hutan sebagai tempatnya pulang. Taruhan, besok pagi Ibunya pasti marah-marah padanya.

Tapi dia tak peduli. Yang dia perlukan saat ini hanya kesendirian dan sesuatu yang bisa dia digunakan untuk menghilangkan rasa amarah juga rasa sesalnya.

Shikamaru menyesal karena menyerah begitu saja, heh, bahkan dia belum sempat menggapai tangan gadis itu.

Singkatnya, dia kalah sebelum berperang.

Benar-benar pria yang menyedihkan…

Pemikiran itu lantas membuainya ke alam mimpi, tapi waktu yang bergulir dalam mimpi terasa abstrak, dan tiba-tiba saja pagi telah menjelang. Shikamaru tidak ingat sama sekali tentang apa isi mimpinya, yang jelas, badannya tetap terasa lelah, dan pikirannya terasa penat. Sepertinya dia benar-benar kurang tidur.

Shikamaru beranjak dari posisi berbaring, lantas duduk dan menguap—memandang sekeliling dan mendapati dua ekor rusa tengah memandanginya dari balik pohon. Entah hanya perasaan Shikamaru atau apa, tapi dia benar-benar merasa rusa jantan itu tengah memandanginya dengan tajam.

Benar-benar memandanginya, seolah-olah sedang menilai penampilannya. Dan itu membuat Shikamaru berjengit heran, tapi dia tak memedulikannya. Itu hanya rusa, oke? Bukan hal penting.

Namun saat kedua rusa itu—jantan dan betina—mendekatinya, benar-benar mendekatinya—moncong atau hidung keduanya tepat berada sepuluh senti dari wajahnya dan peristiwa itu pun terjadi. Peristiwa paling aneh dan tak masuk akal—

"Akhirnya kau bangun juga, Bocah Pemalas," kata Si rusa jantan.

"Kami sampai bosan menunggumu, kau tahu?" ujar Si rusa betina.

—di dalam hidupnya. Rusa-rusa itu berbicara. Kepada Shikamaru. Dan tentu saja, dalam bahasa manusia.

Mengerjapkan mata dalam keterkejutan.

Oke, ini pasti mimpi. Pasti. Karena hanya itu alasan yang paling masuk akal untuk hal ini.

Baiklah Shikamaru, saatnya bangun dan buka matamu!


.

mmmoooonnn

.


Ino terbangun karena suara burung di luar sana, tapi dia tetap memilih bergelung di tempat tidur, sekedar mencari kehangatan. Namun sinar matahari menusuk matanya, memaksanya untuk menyudahi tidurnya.

Ino menghela nafas seraya mengusap matanya yang terasa susah terbuka, lantaran menangis sepanjang malam. Kemudian ia mendekat ke arah cermin, memandangi pantulan dirinya yang kusut masai—mata sembab dengan lingkaran hitam, rambut acak-acakan, dan raut muka yang kuyu.

Ah, jangan salahkan raut wajah itu. Ino sedang patah hati, jadi itu sangat wajar terjadi. Air mata kembali mengalir saat rasa sesak itu datang. Ino menyentuh cermin yang berisi pantulan dirinya, sedangkan otaknya mengulang kejadian tadi malam, tentang Shikamaru dan perkataannya.

Ino sudah ditolak sebelum menyatakan perasaannya. Shikamaru tak menganggapnya istimewa, karena itulah dia tak merasa terganggu akan pernyataan Ino tentang lamaran Sai.

"Menyedihkan… aku benar-benar menyedihkan…"

Ino menangis. Lagi dan lagi, namun sesaknya tak kunjung hilang dan cintanya pada Shikamaru tak memudar sedikit pun. Gadis itu mencintai pemuda pemalas itu, entah karena apa, tahu-tahu dia sudah mencintainya, begitu dalam, begitu tulus, tanpa diketahui oleh siapapun, kecuali dirinya dan mungkin Sakura—sahabatnya yang kini sudah menikah.

Dulu, Ino menyukai Sasuke. Dia selalu bersaing dengan perempuan lain, terutama dengan Sakura untuk menarik perhatian Sasuke. Dan Shikamaru berada di sampingnya kala itu, sebagai teman sejak kecilnya sekaligus teman setimnya.

Kapan kira-kira dia menyadari hal ini? Entahlah, apa saat kedekatan antasa Shikamaru dan Temari mulai menjadi bisik-bisik hangat di desanya? Ataukah saat tangannya tak sengaja tergenggam oleh Shikamaru saat mereka berjalan bersama di sore hari yang indah? Ataukah kala rasa sesak itu hinggap saat Shikamaru mengucapkan kata merepotkan yang tertuju padanya?

Entahlah. Ino tidak tahu, dan dia tidak mau tahu.

Yang jelas, seketika semuanya berubah. Tiba-tiba dia menyadari bagaimana menariknya Shikamaru. Tiba-tiba dia mulai salah tingkah jika di dekatnya. Tiba-tiba dia mulai sering memerhatikan tingkah laku pria itu dibandingkan jauh sebelumnya. Tiba-tiba dia mulai merasa cemburu akan kedekatan Shikamaru dengan wanita mana pun. Tiba-tiba dia mulai suka mendekati Sai hanya untuk menarik atensi satu orang, yaitu Shikamaru.

Tiba-tiba seluruh dunianya terpusat pada satu orang—pada Shikamaru.

Dan kini dia benar-benar jatuh cinta pada teman sejak kecilnya, dan dia tersakiti karenanya.

Karena Ino menyadari bahwa mereka berdua hanya teman. Bahwa di mata Shikamaru dirinya tak lebih dari teman sejak kecil dan hubungan ini tidak akan pernah berubah.

Menyedihkan, benar-benar menyedihkan. Memikirkan bahwa Ino bukanlah siapa-siapa bagi Shikamaru membuat denyut menyakitkan itu kembali hinggap, hinggap, dan hinggap, lalu menelannya bulat-bulat.

Seberapapun banyaknya air matanya yang mengalir, seberapapun kerasnya isak tangis yang keluar dari mulutnya, semua itu tidak membawa perubahan. Ino masih dan akan selalu mencintai Shikamaru—bersama rasa sesaknya, rindunya, serta sakitnya, semuanya.

Menyedihkan.

Menyedihkan.

Dia benar-benar menyedihkan.

Ino lantas terduduk lemas dengan air mata yang mengalir deras. Emosinya membuncah dan mengendalikannya sedemikian rupa, sehingga logika melayang entah ke mana. Tiba-tiba saja dia merasa iri pada Sakura, pada sahabatnya.

Sakura bisa saja melupakan Sasuke—pria yang dulu dicintainya—dan berbalik menikah dengan Naruto, mengapa Ino tidak bisa seperti itu?

Seharusnya Ino bisa melupakan Shikamaru dan menikah dengan Sai.

Seharusnya dia bisa.

Lantas, mengapa kini dia tidak bisa?

Mengapa?

.


.

mmmoooonnn

.


Gadis itu membuka toko bunganya lebih lambat dari biasanya. Setelah bisa menata perasaannya, dia berjalan pelan dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

Dia kuat, karena itu dia pasti bisa mengatasinya.

Itulah rapalan yang selalu diucapkan Ino, berkali-kali, agar dia semakin kuat dan tegar, agar tangisan itu tak kembali tercipta. Karena sejujurnya, dia sudah lelah menangis karena cinta. Ah, apakah ini yang dulu dirasakan Sakura saat Sasuke pergi meninggalkannya?

Tapi nyatanya Sakura bisa bertahan, dan kini dia bahagia bersama Naruto. Amat bahagia.

Ino tersenyum saat memikirkan sahabatnya itu, seraya berdoa dalam hati agar mereka berdua selalu bahagia. Ino menarik nafas dan menghelanya kuat-kuat agar perasaannya menjadi lapang.

Benar, gadis itu harus bisa melupakannya. Dia pasti bisa. Yang dia perlukan hanya waktu dan juga ketegaran untuk menerima kenyataan, dan mungkin beberapa air mata.

Tapi semuanya pasti berlalu. Pasti.

Ia pasti bisa melupakan Shikamaru.

Ia pasti bisa melupakan Shikamaru.

Lupa, lupa, lupa…

Dan kalimat itu Ino ucapkan dengan lantang dalam hatinya, berulang-ulang hingga terasa menjemukan, hingga kalimat itu meresap ke dalam setiap sendi tulangnya—hingga hatinya yang keras kepala melunak dan mengikuti perintahnya.

Perintah untuk melupakan Nara Shikamaru dan menerima cinta Sai.


.

mmmoooonnn

.


"Kami adalah leluhurmu, Shikamaru…" kata Si rusa jantan sambil berdiri dengan keempat kakinya.

Shikamaru lantas mengerjapkan matanya. Sekali. Dua kali. Berkali-kali. Tapi pemandangan di depan matanya tak berubah sama sekali—heh, jadi ini bukan mimpi?

Sepasang rusa (jantan dan betina) sedang bicara padanya, dan itu bukan mimpi. Sepasang rusa (jantan dan betina) mengaku sebagai leluhurnya, yang anehnya, malah memilih rusa sebagai wadahnya, dan yang jelas ini sama sekali bukan mimpi.

Bukan mimpi, tapi kenyataan.

Shikamaru menghela nafas, lalu berbaring di padang rumput, mencoba tidur lagi.

"Hei! Jangan melarikan diri dari kenyataan secepat itu!" seru rusa betina, nenek leluhur keluarga Shikamaru—sebenarnya, sebutan apa yang tepat untuk hal itu? Entah kenapa jadi terlihat bahwa Shikamaru adalah keturunan dari rusa yang berevolusi menjadi manusia. Mungkin karena itulah gaya rambut keluarganya cenderung sama—bukan menjurus ke nanas, tapi tanduk.

Lucu juga jika dipikir-pikir, heh, mereka memelihara rusa yang notabene masih satu keturunan dengannya—hahahaha

Che, lebih baik dia tidur lagi saja.

"Kau benar-benar suka tidur ya, Shikamaru?" ujar rusa jantan.

Si rusa betina mendengus keras, yang benar-benar amat keras, melebihi dengusan normal manusia—di sini dia menjadi seekor rusa, ingat? "Kalau kau seperti itu, pantas saja Gadis Yamanaka itu berpaling darimu. Kau kurang agresif, Shikamaru."

Shikamaru mengerang kesal, lalu membuka mata, dan duduk di hadapan mereka, "Bisakah kalian pergi saja?"

"Dan membiarkan kau menjadi bujangan lapuk? Terima kasih, tapi kami tidak ingin garis keturunan keluarga Nara berakhir di masamu, kau tahu? Karena itulah kami datang ke sini," terang Si Rusa Jantan—sebut saja Kakek Leluhur.

"Dengan menjadi rusa?" kata Shikamaru, sinis, yang entah kenapa jarang terdengar.

Sang Nenek Leluhur mendelik kesal—coba bayangkan rusa betina yang mendelik di sini—kemudian menyemprotnya, "Mau bagaimana lagi? Tubuh manusia jaman sekarang susah dirasuki dan kami juga kerepotan di sini, karena harus mengurus bocah malas sepertimu!" dan rasanya aneh berdiri dengan empat kaki, seperti merangkak saja. Oh iya, kenapa rumput ini tiba-tiba jadi terlihat lezat ya?

"Jadi, apa mau kalian?" tanya Shikamaru melunak—semprotan dari rusa betina, eh, Nenek Leluhurnya ini benar-benar mirip dengan milik Ibunya, benar-benar membuat sakit telinga.

"Tentu saja membantumu mendapatkan gadis itu, Shikamaru. Untuk itulah kami ada di sini. Jadi, kapan kau akan melamarnya, Shikamaru?" tanya Kakek Leluhur dengan senyum lebar khas rusa.

Ingat kata melamar, Shikamaru teringat kembali dengan kejadian tadi malam. Dan hal itu sukses membuat perasaan menjadi kesal lagi. "Che, merepotkan. Aku sudah tak peduli hal itu lagi."

"Mana bisa kau tidak peduli lagi!" amarah Si Nenek Leluhur, membuat Shikamaru duduk tegak seketika. "Dan kau masih berani bilang merepotkan? Kami datang ke sini, jauh-jauh, untuk membantumu, dan kau masih berani-beraninya berkata merepotkan? Kau pikir kau siapa, HAH?"

"Sayang, tenanglah…" bujuk Sang Kakek.

Nenek Leluhur itu menoleh dengan garang, "Diam!" lalu menoleh kembali ke arah Shikamaru. "Dan kau! Cepat angkat bokongmu itu dan pergi ke toko bunga keluarga Yamanaka, SEKARANG!"

Tidak ada yang harus Shikamaru lakukan kecuali mengiyakan perintah itu, bukan?


.

mmmoooonnn

.


Semalas-malasnya Shikamaru, saat ini dia benar-benar malas, amat sangat malas (berapa kali dia harus mengulangi kata ini?), untuk pergi ke tempat Ino berada.

Bagaimana jika saat ini Ino sedang bersama dengan Sai? Bagaimana jika Ino tidak membutuhkan waktu tiga hari untuk menjawab lamaran Sai? Dan semua pertanyaan yang berawal bagaimana terasa tak berujung dilontarkan Shikamaru dalam hatinya.

Dan tahu-tahu saja, toko bunga itu terlihat semakin dekat, kemudian langkah-langkah pelan tertapak di jalanan, membuatnya semakin dekat dan dekat.

Terlalu dekat—hingga pintu kaca menampilkan sosok gadis pirang yang tengah memunggungi dirinya. Kakinya mulai terasa susah untuk digerakkan, dan Shikamaru berpikir, mungkin saja dia bisa bertahan dalam posisi ini seharian—hanya untuk memandangi gadis itu yang terhalang pintu kaca, seolah-olah menuangkan kenyataan di otaknya bahwa gadis itu tidak akan pernah menjadi miliknya.

Sial. Kenapa perasaan ingin memiliki ini begitu susah untuk dikendalikan?

Lalu gadis itu berbalik, pandangan mata mereka bertemu. Shikamaru bisa melihat keterkejutan jelas tercipta di sana—dan apakah matanya yang sembab itu dikarenakan ia habis menangis?

"Err… hai, Ino," sapa Shikamaru, bergeming di tempatnya semula—di depan pintu kaca, tak berniat masuk selangkah pun, atau mungkin ia lupa untuk masuk?

"Shikamaru?"

Kemudian dua ekor rusa yang tadinya hampir terlupakan itu mendorong punggung Shikamaru agar masuk ke dalam toko.

"Hei, hei, apa yang kalian lakukan?" tanya Shikamaru sembari menoleh ke belakang.

"Tentu saja mendorongmu masuk ke dalam kan?" ujar Sang Kakek.

"Iya, dari tadi kerjaanmu hanya diaaaam saja. Bosan aku melihatnya. Kau benar-berar pria yang payah seperti kakekmu," kata Sang Nenek.

"Sayang… aku tidak—" protes Sang Kakek tak terima. Bagaimana pun juga, dia tak separah cucu, eh, cicit, eh, apalah itu—nya sewaktu muda dulu.

"Ck… merepotkan. Hentikan semua itu, aku bisa jalan sendiri."

"Terserahlah," tandas Sang Nenek. "Yang lebih penting, cepat ajak gadis itu keluar—mungkin kencan. Setidaknya kau harus berusaha membuatnya menyukaimu."

"Nenekmu benar, Shikamaru," setuju Sang Kakek. "Bagaimana kalau piknik romantis di tepi danau dekat hutan?"

"Jangan mengada-ngada." Rona merah yang samar muncul di pipinya kala mendengar usul dari kakek leluhurnya. "Mana mungkin aku mengajak—"

"Shikamaru?"

Shikamaru menoleh seketika—bersama dengan dua ekor rusa—lalu menatap Ino. "Ya?"

"Dari tadi kau bicara dengan siapa sih?"

Shikamaru jadi serba salah. Mana mungkin dia berkata berbicara dengan rusa-rusa ini? Eh, tapi tunggu dulu, ada yang aneh di sini.

"Apakah Ino tidak bisa mendengar suara kalian?" tanya Shikamaru pada kedua leluhurnya.

"Tentu saja tidak bisa. Hanya orang yang memiliki darah keluarga Nara yang bisa mendengar kami berbicara," jawab Sang Kakek.

"Jadi itu sebabnya sedari tadi banyak yang melihatku dengan tatapan aneh, bukan karena kalian yang bisa bicara, tapi karena aku yang seperti orang gila, berbicara dengan rusa," desah Shikamaru, frustasi. Ini benar-benar semakin merepotkan. "Lalu kenapa kalian tidak memberitahuku soal itu?"

Jawaban epic, "Kau tidak tanya."

Jangan salahkan Shikamaru kalau dia kehabisan kesabaran dan menjadikan kedua leluhurnya ini sebagai obat awet muda.

"Kau sudah selesai bicara, Shikamaru?" tanya Ino mengalihkan perhatian pemuda itu. Entah kenapa lebih terdengar seperti kau sudah selesai menjadi orang gila, Shikamaru?

Shikamaru menggaruk kepala, salah tingkah akan kelakuan bodohnya. "Ya sudah…"

"Kau mau beli bunga?" tanya Ino lagi.

"Err…" Gelagapan, bingung harus berkata apa. Nyatanya, dia tidak mempunyai persiapan apa-apa untuk menemui Ino. "Tidak."

Alis terangkat sebelah, "Tidak?"

Gelengan kepala sekali. "Tidak."

"Lalu untuk apa kau ke sini?"

"Itu aku…. Yah… aku ke sini untuk…" jawab Shikamaru terbata-bata seraya mengusap bagian tengkuk lehernya. Lalu dia menoleh ke samping—ke arah kedua leluhurnya—mencoba meminta bantuan.

"Katakan kau ingin menemuinya dan—" jawab Sang Nenek.

"Katakan kau mencintainya sekarang juga!" sela Sang Kakek cepat.

"Itu… aku mau menemui cintai sekarang juga?" kata Shikamaru dengan nada bertanya, sedetik kemudian, dia baru menyadari perkataannya yang bodoh itu.

"Menemui cinta?" ulang Ino, bingung.

"Itu… itu…" ujar Shikamaru lebih bingung, "Bunga! Aku ingin membeli bunga yang mempunyai arti menemui cinta," kata Shikamaru yang entah mengapa terdengar lebih bodoh dibandingkan sebelumnya. Terkutuklah kedua leluhurnya yang sedang tertawa kecil melihatnya kesusahan itu.

"Tapi tadi kau bilang kau tidak ingin membeli bunga. Kau ini bagaimana sih?"

"Bukan, maksudku—"

"Ajak dia kencan, Shikamaru!" sela Sang Nenek lagi.

"Piknik berdua di tepi danau. Ayo, ajak dia Shikamaru!" tambah Sang Kakek.

"Shikamaru, kau dengar aku tidak sih?" Ino pun ikut-ikutan memanggilnya.

"Tunggu, diam dulu—"

"Shikamaru!"

"Shikamaru!"

"Shikamaru!"

Urat kesabaran pun putus.

"Diaaamm!" teriak Shikamaru keras. "Kau!" tunjuknya ke rusa jantan, "kau!" tunjuknya ke rusa betina, "dan kau!" tunjuknya ke arah Ino. "Diam, dan dengarkan aku bicara!"

Ketiga orang yang ditunjuk pun mengangguk pelan—acuhkan dua rusa yang mulai terlihat aneh itu di mata Ino.

"Ino," Shikamaru menatapnya tajam, "besok pagi, di tepi Danau Konoha dekat hutan. Kita piknik."

"Eh?" Mengerjap bingung. "Piknik? Tapi aku—"

"Besok aku tunggu di sana," potong Shikamaru, lantas berbalik pergi sebelum—

"Shikamaru," panggil Ino.

Shikamaru berbalik, "Besok, aku—"

"Rusa-rusamu memakan bungaku," kata Ino sambil menunjuk ke arah rusa yang katanya leluhur Shikamaru, sedangkan yang ditunjuk hanya nyengir rusa.

Tidak ada yang lebih memalukan daripada ini.


.

.

To Be Continued…

.

.


A/N

hancur bangett...

Maunya bikin oneshot, tapi kepanjangan. Ini kayaknya sih bakalan two shot deh. Chap ke dua udah lese setengahnya sih…

Btw, maaf kalau ceritanya gajegajegaje dan chara-nya super OOC.

Sebenarnya mau bikin full fantasy, tapi nanti aku malah lupa lagi ama romance-nya. Yah, terpaksa deh Cuma nyempil dikit—romance-nya gagal lagi. Haduuuh... Tapi ini fantasy bukan sih?#guling2#ditabok#baliknabok#ditabok massal

.

.

Review please….