Be My Sweet Darling

APH ©Hidekaz Himaruya

Sweden x fem!Finland

Warning: rape, age-bending, AU, maybe OOC, genderbent. Don't like don't read. Editan dari fic di akun lama (tebak saja sendiri siapa saya).

.

.

.


Berwald hanya menatap Tiina yang sudah tinggal bersamanya sejak lama dan berpikir betapa sialnya ia karena mencintai gadis itu. Belakangan pria Estonia yang bernama Eduard von Bock tersebut datang ke rumah yang mereka berdua tempati hanya untuk menemui Tiina seorang. Mulanya Berwald tidak merasakan tanda-tanda bahaya di antara mereka berdua, tetapi lama kelamaan ia merasakan bahwa Eduard berusaha melakukan pendekatan kepada Tiina dan berusaha menyingkirkannya demi mendapatkan Tiina. Hal itu membuat Berwald merasa tersaingi atau lebih tepatnya ia cemburu pada Eduard karena Tiina jauh merasa lebih bebas berbicara banyak hal pada Eduard dibandingkan dengan Berwald sendiri. Kecemburuan itulah yang menyebabkan Berwald tidak bisa menggunakan pikirannya dengan baik.

Sejak kedatangan Eduard, hubungan mereka semakin dekat terlepas fakta bahwa mereka adalah sahabat baik satu sama lainnya.

Ia cemburu, tetapi ia sama sekali tidak menyadarinya dan terus menyangkalinya.

"Ber! Tunggu dulu, Ber! Jangan kabur dulu, jawab pertanyaanku dulu. Jangan membuatku merasa bingung seperti ini!" Tiina berteriak dan mencengkeram tangan Berwald, matanya menatap mata Berwald dengan tatapan menyesal seolah-olah ialah yang bersalah dalam pertengkaran yang terjadi belakangan ini. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang telah dilakukannya selama ini sehingga Berwald marah padanya.

Terutama sejak Eduard sering datang kerumahnya untuk bermain dengan Tiina.

Berwald menepis tangan Tiina yang mengenggam tangannya dengan kasar sehingga gadis Finlandia tersebut bergidik ngeri.

Ia sendiri tahu bahwa perbuatannya kini menakuti Tiina tetapi ia sudah tidak mau tahu lagi mengenai Tiina.

Lebih tepatnya ia merasa takut.

Takut? Mungkin saja ia merasa takut. Ia sendiri sudah mencintai Tiina sejak Tiina berusia tiga belas tahun. Dan ada banyak peluang untuk memiliki Tiina sebagai istrinya, bukan sebagai anak. Tetapi mengapa pada akhirnya Tiina semakin dekat pada Eduard dibandingkan dengan dirinya? Apa yang kurang padanya sehingga Tiina tidak mencintainya?

"Be—ber? Kenapa berbuat seperti itu? Aku salah apa padamu?" tanya Tiina setengah ketakutan dan bersembunyi di sofa terdekat. Gadis berambut pirang sebahu ini memang polos dan terang-terangan. Oleh karena itulah, tanpa sadar ia mengucapkan kata-kata yang bisa membuat Berwald marah besar.

Seperti saat ini, tetapi Tiina sama sekali tidak menyadarinya.

"Apa yang kamu lakukan bersama Eduard?" tanya pria itu dengan nada tajam, setajam tatapannya dan menghampiri Tiina yang bersembunyi di sofa lalu mencengkram kedua bahu gadis itu dengan keras. Seumur-umur ia belum pernah semarah ini tetapi sikap polos Tiina memicu kemarahannya lebih dalam. "Jawab aku sekarang!"

Tiina bergidik ngeri, pria yang merupakan ayah angkatnya ini benar-benar menakutkan hingga rasanya bagaikan tertusuk-tusuk. Dalam keadaan biasa, Berwald memang menakutkan tetapi tidak pernah seperti sekarang ini. Ia memandang wajah Berwald seperti ingin menangis saja di tempat itu tetapi sama sekali tidak dilakukannya.

Baginya Berwald yang seperti ini bagaikan singa marah yang siap memangsa hasil buruannya. Pria itu marah karena hubungannya dengan Eduard.

"Ber bicara apa?" Tiina bertanya ulang untuk memastikan telinganya tidak salah dengar. "Aku dan Eduard hanya teman saja, Ber tidak usah kuatir akan hal itu."

"Teman? Kalian seperti sepasang kekasih saja," sindirnya tajam. "Apa yang dia lakukan kepadamu?"

Mata violet Tiina menatap Berwald dengan tatapan sendu, ia merasa terluka akan perlakuan Berwald yang belakangan kejam terhadapnya. Ia mencintai pria di depannya ini dan rasa sakitnya jauh lebih terasa dibandingkan ketika Eduard menjauhinya dulu karena takut dengan tatapan maut Berwald.

"Apa Ber tidak bisa mempercayaiku sedikitpun? Menurut Ber aku tidak bisa dipercaya, begitu? Apa karena aku adalah anak kecil bagimu, moi?" Sekali lagi Tiina bertanya untuk memastikan kebenaran yang ada. "Mengapa Ber seperti itu padaku?"

Sayang, bukan jawaban yang ada melainkan Berwald meninggalkannya. Meninggalkan Tiina dengan berbagai pertanyaan yang Tiina sama sekali tidak Tiina ketahui apapun jawabannya.

Shit! Sebaiknya ia pergi saja sebelum semuanya bertambah runyam. Anak angkatnya ini membuatnya seperti pria tidak waras dari hari ke hari. Dengan perasaan kesal ia akhirnya meninggalkan Tiina di tempat itu. Lebih baik seperti ini daripada akhirnya ia sendiri yang bermasalah.

Ia berjalan ke kamarnya sendiri dan melihat sebuah undangan dari rekan kerjanya yang berasal dari Rusia. Tertulis di undangannya bahwa nanti malam ada pesta di sebuah klub malam kenamaan di pusat kota Stockholm.

Ide yang sangat bagus, pikir Berwald demikian. Siapa tahu dengan begini ia bisa meredam kemarahannya terhadap Tiina.

Terutama pada pria Estonia kurang ajar tersebut. Lihat saja nanti apa yang akan diperbuatnya.


"Privjet, Mr. Oxenstierna. Aku senang akhirnya kau datang ke tempat ini, da," sapa Ivan Braginski dengan nada ramah. "Kukira kau tidak akan mau datang ke tempat ini lagi."

Berwald yang saat itu mengenakan kemeja putih hanya terbelalak melihat pemandangan di sekitarnya. Banyak gadis-gadis muda berpenampilan minim ditambah para pria yang berpakaian kumal yang hampir semuanya sudah terkontaminasi dengan alkohol. Mulanya ia mengira jika hanya bekas jajahan Ivan saja yang datang, tetapi rasanya tidak.

Sialnya, kini ia terjebak di sini.

"Tempat apa ini?" Berwald bertanya dengan nada penuh kecurigaan. "Ini—?"

Belum selesai Berwald menyelesaikan seluruh kata-katanya, ia sudah disambut dengan lemparan botol vodka.

"Hahahaha! Ayo tambah lagi!" Pemuda Latvia yang lebih muda sedikit dari Tiina berseru kencang. Pemuda itulah yang tadi melemparkan botol vodka ke arah Berwald. Berwald balas menatap mata pemuda itu dengan tatapan tajam tetapi justru Berwald sendiri yang dilempar botol vodka kosong untuk kedua kalinya. "Tatapanmu seperti setan, HAHAHAHA!"

"Kerja bagus, Raivis—adikku sayang," ujar seorang pemuda lainnya yang sama-sama mabuk sepertinya. "Siapa dia?"

"Biarkan saja, kesesese. Lebih baik teruskan minum-minum saja," lanjut pemuda albino yang duduk di sebelahnya. "Bukankah begitu, Ludwig?"

Damn! Tempat macam apa ini. Kumpulan orang liar semua. Pemabuk pula. Lebih baik ia pulang sekarang juga. Ya Tuhan, sebaiknya ia kabur dari tempat ini.

"Mana Miss Vainamoinen?" Ivan bertanya pelan. "Dia sedang tidurkah, da?"

Berwald menggeram, seketika ia langsung ingat lagi terhadap kemarahannya. "Tidak tahu," jawabnya ketus.

"Da? Aku menyinggungmu?" Pria Rusia itu balik bertanya. "Sebaiknya minum sedikit vodka, dijamin menyegarkan pikiranmu."

"Nej."

"Ayolah, da!" ujarnya setengah merajuk pada Berwald dan mengeluarkan aura mengintimidasinya seperti biasa.

Berwald diam sejenak mendengarnya. Seumur-umur ia tidak suka minum alkohol, mencium baunya saja ia sudah tidak suka seperti saat ini. Menyesal ia datang, lebih baik ia pulang saja dan menemani Tiina di rumah. Gadis itu pasti sedang sedih karena perlakuannya.

Tunggu, mengapa ia jadi memikirkan Tiina. Bukankah ia sedang marah padanya dan bersumpah untuk tidak berbicara padanya untuk sementara ini.

"Hahahahaha... Aku akan mendapatkan Tiina Vainamoinen untuk diriku sendiri dan menyingkirkan pemuda seram itu dari kehidupannya. Pria itu membuatku ingin muntah setengah mati!" seru Eduard dengan lantangnya. "Setelah aku mendapatkan Tiina, aku bisa membalas dendamku yang kumiliki padanya!"

Berwald terbelalak, suara itu seperti pernah di kenalnya. Dan suara itulah yang kembali memicu kemarahannya tadi siang. Darahnya serasa mendidih mendengar suara Eduard. Ingin rasanya Berwald membunuh orang itu diam-diam tanpa diketahui orang lain. Marah melihatnya, tanpa menunggu perintah Ivan, Berwald langsung memesan satu botol vodka. Eduard di depannya ini sungguh-sungguh berbeda dari apa yang dikenal olehnya—terutama jika berhadapan dengan Tiina.

"Akhirnya kau memesannya juga, da?."

Peduli setan, siapa yang peduli kalau ia mabuk. Muak akan semuanya dan juga seluruhnya. Benar-benar menjijikan. Otaknya sudah kehilangan akal sehatnya. Kehilangan fungsinya akibat kekecewaan yang mendalam.

Satu botol kecil di tiga puluh menit pertama. Satu botol ukuran sedang di satu jam setelahnya.

Lama kelamaan, berubah menjadi beberapa botol ukuran besar.

"Kau terlihat mabuk, da?"

Berwald tidak mendengar perkataan Ivan sedikitpun dan terus minum padahal wajahnya sudah terlihat merah padam karena mabuk berat. Mabuk yang disebabkan karena ulah orang yang dibencinya dan juga karena terlalu mencintai seseorang hingga ia merasa berhak atas dirinya. Seandainya gadis itu tahu apa yang sedang ia lakukan di sini?

Terpikir olehnya untuk mendapatkan Tiina dengan cara yang tidak akan dilupakannya, terutama oleh gadis itu untuk selamanya.


"Moi, mengapa Ber sekarang berubah?" Tiina bertanya pada dirinya sendiri sambil berbaring di tempat tidurnya. "Apa Ber sudah tidak menyukaiku lagi?"

Kukkanuma, sang anjing putih peliharaan Tiina membalas pertanyaan Tiina dengan wajah sedih. "Woof.. Woof!"

Tiina tersenyum sedih dan memeluk Kukkanuma dengan erat, air mata menetes di wajahnya. Teringat dimana ketika ia masih kanak-kanak dan polos dan Berwald yang protektif terhadap dirinya. Kenangan itulah yang membuat Tiina meneteskan air mata karena kini orang yang dicintainya sudah berubah jauh dari apa yang bisa ia bayangkan selama ini.

.

.

.

Berwald pulang dalam keadaan mabuk yang amat sangat. Kepalanya seperti ditimpa oleh balok seberat satu ton. Beruntung ia bisa pulang ke rumah dengan keadaan selamat tanpa menabrak benda-benda di sekitarnya. Pelan ia membuka pintu kamarnya dan mendapati Tiina tertidur di ranjangnya.

Begitu manis dan polos, pikirnya. Ia ingin memiliki gadis itu untuk semalam. Mencicipinya sedikit demi sedikit tanpa ada yang terlewat.

Perlahan ia mendekat ke arah Tiina dan membelai rambutnya lembut. Tubuhnya mulai menyusup ke dalam selimut bersama-sama dengan Tiina, melepaskan lingerie yang dikenakan Tiina perlahan-lahan hingga ke bawah lalu melemparkan benda pengganggu itu ke sembarang tempat. Berwald melihat ke bagian intim Tiina dan mendapati bahwa gadis itu tidak mengenakan celana dalam yang memperlihatkan kepolosan Tiina yang masih belum tersentuh orang lain. Pemandangan yang indah bagi Berwald karena dalam keadaan seperti ini ia bisa mengambil keuntungan darinya.

"Tiina—kau cantik," racaunya pelan dan menyentuh bagian tersebut. "Dalam keadaan seperti ini. Menggairahkan."

Tiina menggeliat pelan ketika Berwald menyentuhnya. Ia merasakan ada sesuatu yang asing di daerahnya sendiri. Ada tangan yang menyentuhnya dan rasanya teramat sangat dingin.

Perlahan ia membuka matanya dan mendapati Berwald ada di sebelah tempat tidurnya dengan keadaan telanjang dada.

"Be—Ber!" seru Tiina dengan nada terkejut. "Apa yang Ber lakukan di sini?"

Berwald mendekatkan tubuhnya sejajar dengan tubuh Tiina dan menatap gadis itu dalam-dalam, dorongan nafsu yang menghentak-hentak di dalam dirinya membuat ia mencium gadis itu tepat di bibirnya.

"A—apa yang Ber lakukan terhadapku?" Tiina terkejut akan ciuman Berwald secara tiba-tiba, mengingat ini adalah ciuman pertamanya. "Ber mabuk?"

Pria itu bergeming dan tidak mendengarkan Tiina sedikitpun sementara Tiina memekik karena dirinya telanjang bulat tanpa mengenakan apa-apa. Ia tidak peduli apa akibatnya yang Tiina rasakan, jika ia tidak bisa mendapatkan Tiina secara baik-baik maka ia akan bertindak sendiri. Setelah itu, Berwald menjatuhkan Tiina ke tempat tidur dan mencengkeram tangannya keras-keras tanpa ampun.

"Apa maumu, Ber! Kumohon hentikan itu!" Tiina memekik tertahan. "Hentikan! Jangan perkosa aku!"

"Kau kira gara-gara siapa aku menjadi seperti ini!" bentaknya tajam sambil melepaskan seluruh celananya hingga mereka berdua telanjang. "Jawab aku sekarang!"

Tiina menangis, ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pria yang dicintainya tega berbuat seperti ini terhadapnya. "Sa—sakit, Ber—hentikan, kumohon. Jika ada yang mengganjal di hati, ku—kumohon katakanlah padaku. Aku akan memahami."

Alih-alih menjawab pertanyaan Tiina, Berwald menekan tangan Tiina di atas kepala dan menciumi leher Tiina sedikit demi sedikit hingga mengeluarkan darah segar serta bekas gigitan di beberapa area di sekitar lehernya. Tidak puas dengan bagian itu, akhirnya Berwald merambah ke bagian payudaranya dan menghisapnya seperti lolipop juga memainkannya seolah-olah dada Tiina adalah mainan semata.

Ia merasa dilecehkan—merasa ternodai dan tidak dihargai bagaimana yang seharusnya.

Bagi hati Berwald itu sama sekali tidak berlaku. Ia harus melakukannya atau ia kehilangan Tiina untuk selamanya. Selama ini, ia sudah menahan rasa sakitnya akibat harus menahan kecemburuannya dan inilah saat untuk melepasakan semua kemarahan terpendamnya yang ia alami. Tak peduli apakah dirinya dalam keadaan sadar maupun mabuk. Walaupun itu akan melukai hati Tiina, ia sama sekali tidak peduli.

"Kau mau tahu, mengapa aku melakukan ini," bisik Berwald di telinga Tiina dengan sedikit desahan,"—aku mencintaimu, amat sangat. Tapi kau sama sekali tidak mencintaiku sedikitpun. Kau—"

Pengakuan Berwald membuat jantung Tiina berdebar-debar. Berwald mencintainya dan ini bukan mimpi semata—Ya Tuhan, inikah mimpi?

Tunggu—ia tidak bisa seperti ini. Berwald mabuk dan tentu saja apapun yang dikatakannya setelah sadar nanti tidak akan ingat. Ia tidak boleh berdiam diri dan harus segera kabur dari sini—sebelum Berwald merampas miliknya yang berharga. Apapun yang dikatakan Berwald tidak akan mengurangi rasa takut yang dirasakannya.

"Tidak! Jangan mencintaiku!" Tiina memekik. "Kumohon!"

Kata-kata Tiina menyakiti hati Berwald yang paling dalam. Rasa amarahnya kembali memuncak dan upaya terakhir ia menghunjamkan miliknya ke dalam milik Tiina dengan paksa. Gadis Finlandia mendesah kencang—membuat Berwald semakin tertantang untuk memasuki milik Tiina yang masih sempit tersebut.

Mata Tiina nanar, Berwald merenggutnya secara paksa. Ia kesakitan dan terkoyak-koyak, merasa malu dan kotor tetapi juga sensasi yang menyenangkan dan obat candu yang sangat kuat yang pada akhirnya Tiina menyerah di hadapan Berwald.

Sama sekali menyerah terhadapnya.

"Jangan lepaskan—aku mohon," Berwald mendesah keras dan memeluk Tiina erat. "Tahan sedikit lagi—belum selesai sama sekali!"

Tiina sudah tidak bisa mendengarkan apapun lagi dan pada akhirnya ia jatuh pingsan di tempat tidur dengan keadaan terluka baik secara fisik maupun batin.

Begitu juga dengan Berwald yang pada akhirnya terjatuh di tempat tidurnya sendiri bersamaan dengan klimaksnya serta pengaruh alkohol yang mulai berkurang sedikit demi sedikit.

Ia tidak akan tahu apa yang akan terjadi keesokan harinya.

—00—

Berwald terbangun dari tempat tidurnya dengan kepala yang amat berat. Ia melihat ke sekelilingnya dan kini ia sudah berada di kamarnya. Semalaman ia mabuk berat di sebuah klub malam tetapi bagaimana mungkin ia sekarang sudah sampai di rumahnya dengan selamat bahkan dalam keadaan tertidur. Pengaruh alkohol yang berada di kepalanya sudah hilang begitu saja dan yang tersisa hanyalah rasa sakit di tubuhnya.

Terasa aneh karena tubuhnya berkeringat serta merasakan ada sesuatu yang basah dari dalam miliknya sendiri.

Aku berada di mana? Semalam aku masih di tempat Ivan dan sempat minum-minum di rumahnya, gara-gara pria Estonia sialan itu. Tapi mengapa aku sudah sampai di rumah dan dalam keadaan telanjang seperti ini. Pasti ada sesuatu yang telah kulakukan. Semoga saja aku tidak melakukan hal yang aneh-aneh.

Pemikiran Berwald ada benarnya juga karena sekejap ia melihat Tiina terbaring di sebelah tempat tidurnya dalam keadaan telanjang dan beberapa bercak darah di bagian tubuh Tiina dan juga di bagian kewanitaannya. Pelan Berwald memeriksa keadaan Tiina sedikit demi sedikit untuk memastikan Tiina tidak apa-apa.

Ya Tuhan, apa yang telah ia lakukan pada Tiina-nya?

Hatinya terluka melihat Tiina dalam keadaan seperti ini. Berwald merasa yakin jika ini semua akibat dari perbuatannya yang tidak terkontrol. Samar-samar ia merasakan tubuh Tiina walau dipengaruhi oleh alkohol yang menguasainya. Seandainya ia tidak cemburu seperti ini, semuanya tidak akan menjadi begini.

Dasar bodoh, ini hasil perbuatanmu semalam.

Bagaimana ia harus menebusnya? Apa yang harus ia katakan kepada Tiina mengenai hal ini? Kabur—itu jelas tidak mungkin. Jika terjadi apa-apa pada Tiina, maka ia harus bertanggung jawab apapun yang terjadi. Apalagi tindakannya sudah termasuk ke dalam perkosaan terhadap gadis di bawah umur.

Tiina menangis seharian penuh begitu terbangun dari tempat tidurnya. Merasa terluka dengan perlakuan Berwald yang seperti itu. Sakit, terluka, hancur dan ternoda—itulah yang dirasakan Tiina saat ini. Merenung mengapa ia harus mengalami hal semacam ini. Perbuatan Berwald yang kejam terhadap dirinya sama sekali sudah tidak termaafkan untuk kedua kalinya.

"Tiina."

Tiina menoleh dan menutup seluruh tubuhnya dengan selimut dan menatap Berwald dengan tatapan penuh ketakutan. Berwald berada di depannya dan membenamkan kepalanya sendiri dengan penuh beban pikiran mendalam.

"Be—Berwald," ucapnya lirih, menguatkan diri agar ia jangan sampai menangis di hadapan Berwald. Mencoba mengeluarkan kata-katanya dengan nada tertahan agar tangisannya tidak pecah sama sekali. Ia masih trauma akan perbuatan Berwald semalam.

Berwald mendongakkan kepalanya dan menatap Tiina tajam. "Jangan salahkan aku atas kejadian tadi malam, Tiina."

Tiina terhenyak dan terkejut dengan apa yang dikatakan ada rasa penyesalan yang dirasakan Berwald terhadapnya. Dengan penuh emosi, Tiina keluar kamar dan membanting pintunya.

Meninggalkan Berwald sendirian tanpa Tiina tahu betapa pria itu menyesalinya teramat dalam.

.

.

.

Beberapa lama kemudian, Berwald keluar dari kamarnya dan mencari dimanakah gerangan Tiina sekarang. Ia berniat untuk menengok keadaan Tiina dan berharap agar Tiina tidak trauma karena perbuatannya. Nada bicaranya tadi saja sudah cukup membuatnya trauma, ditambah perbuatannya semalam.

Semoga saja, dia benar-benar tidak marah akan perbuatanku semalam.

Berwald membuka pintu kamar Tiina dan mendapati ruangan itu sudah kosong dan tidak ada siapapun di sana. Hanya secarik surat di tempat tidur Tiina.

Ber, aku tidak tahu harus darimana.

Perasaan Berwald benar-benar tidak enak melihat awalan dari surat tersebut tetapi Berwald tetap mengenyahkan hal tersebut dan membaca surat tersebut perlahan-lahan. Ada firasat buruk yang menghinggapi hatinya. Siapa tahu saja Tiina tidak—

Sebelumnya aku akan minta maaf padamu karena aku sering menyusahkanmu dengan ketololanmu. Aku mengerti kau sebenarnya membenciku karena aku selalu ketakutan bila berhadapan denganmu. Aku memang anak yang tidak berguna dan menyedihkan—sekaligus tidak tahu diri.

Berwald membaca surat itu dengan seksama—kata demi kata dan dalam hati ia marah kepada dirinya sendiri. Ia sudah merusak kebahagiannya, gagal sebagai ayah dan gagal juga memiliki gadis itu. Tiina tidak pernah menyusahkannya sedikitpun dan mengapa Tiina harus berpikiran seperti itu?

Ia melanjutkan membaca surat itu dan hati Berwald seperti dihantam batu godam ketika membaca bagian terakhir dari surat itu.

Barangkali kau lebih senang bila aku tidak pernah berada di sisimu. Lebih baik aku meninggalkan rumahmu dan aku akan menjalani kehidupan yang baru tanpamu. Untuk yang terakhir kalinya, aku akan mengatakan sesuatu padamu.

Aku mencintaimu, Berwald pappa. Lebih dari siapapun juga.

PS: Eduard itu hanya temanku dan aku tidak pernah berpacaran dengan Eduard.

Tiina

Berwald membaca surat itu berkali-kali, berharap itu hanyalah keisengan dari Matthias semata. Mengecek tulisannya apakah benar tulisan Tiina atau bukan. Berapa kalipun Berwald membacanya—tetap saja itu benar-benar tulisan Tiina karena Berwald tahu betul Tiina seperti apa, makanan kesukaannya dan sebagainya. Bahkan ia tahu betul ukuran pakaiannya.

"Dasar bodoh, ini semua salahku!" raungnya dan meremas-remas surat itu hingga berantakan lalu melemparnya ke luar rumah. Peduli setan jika kertas itu mengenai kepala tetangganya. Yang pria itu inginkan adalah pengakuan cinta Tiina terhadapnya, Tiina yang seperti biasanya dan senyuman gadis itu yang meneduhkan. Kepolosan Tiina membuat Berwald mencintainya dari hari ke hari.

Hari itu Berwald merutuki kebodohannya sendiri.

TBC


A/N Ini editan fic dari akun lama saya. Fic yang udah jadul banget dan logikanya rada-rada gaje –w— oleh karena itulah saya buat ulang fic ini. Tebak saja akun lama saya apaan. Pasti kalau ngikutin semua fic saya yang ini tahu kok siapa aku?

Entah kenapa berasa nggak sreg aja jadi pengen editin semuanya.

Need concrit no flames. Thanks for reading.