Halo semua~ *lambailambai tangan*. Maaf akan keterlambatan apdet, karena saya masih baru masuk skolah, jadi sementara ini perhatian masi fokus ke sekolah dulu :) Saya udah bilang kan, kalo di hari biasa, apdetannya nggak bisa seminggu sekali. Lagipula, saya juga abis dapet masalah, makanya jadi nggak mood nulis. Tapi...here it is! Saya udah membawa Amethyst chapter 5 ke kalian semua. Hope you like it! XD

.

.

.

Amethyst

A Naruto Fanfict

Disclaimer: all characters belongs to Masashi Kishimoto-sensei

Warning: OOC, rated T, AU, romance/suspense/friendship , gaje, alay, typo, abal, dan keanehan-keanehan lainnya. Segala sesuatu yang terjadi setelah membaca fic ini merupakan tanggung jawab pembaca, bukan author. Takut? Silahkan tutup browser Anda atau klik 'Back' =)

.

.

.

Mission #5

Jealousy

Seorang anak kecil berusia sekitar sembilan tahun sedang menyusuri gang kecil menuju rumahnya. Rambut jabriknya yang berwarna coklat itu melambai-lambai diterpa udara senja. Ransel kecil yang menggantung di punggungnya bergoyang-goyang, seiring dengan langkah kaki kecil itu. Bocah yang dikenal peka terhadap sesuatu yang menarik itu baru-baru ini dipanggil ke kantor polisi. Bukan, bukan sebagai tersangka, lagipula kejahatan seperti apa sih yang membuat anak selucu itu ditahan di kantor polisi? Konohamaru hanya menjadi saksi atas kematian Shimura Sai malam itu. Dengan gaya bahasanya yang masih cadel, ia bercerita kalau ada seorang gadis yang memakai cocktail mask kupu-kupu berwarna hitam sedang meloncati gedung seperti ninja. Konohamaru yang saat itu masih setengah sadar –karena ia pengidap sleepwalking –mengira kalau gadis itu adalah salah satu karakter ninja wanita favoritnya. Awalnya polisi hanya tertawa setelah mendengar pengakuan bocah itu, namun setelah diselidiki, ternyata ucapan Konohamaru memang benar. Mereka mulai merangkai kepingan bukti yang berserakan saat Sai telah ditemukan menjadi mayat di dekat mobilnya sendiri dini hari, dan menyimpulkan bahwa: mereka mendapatkan ciri-ciri fisik Amethyst. Seorang gadis dengan tinggi dan berat badan proporsional, memiliki surai indigo, dan kulit yang tidak tertutup pakaian berwarna susu.

Sebuah informasi yang sangat penting, kan?


Bocah berambut jabrik itu baru pulang dari sekolah yang tak jauh dari rumahnya. Ia hanya harus berjalan sejauh kira-kira satu kilometer dan menyeberangi sungai. Begitu terus selama lima hari dalam seminggu, berjalan dengan rutinitas yang membosankan. Setelah dipanggil polisi waktu itu, kehidupannya nyaris tak ada masalah. Semua berlangsung seperti biasa. Konohamaru masih bisa sekolah, bermain sepak bola bersama teman-teman, dan masih bisa mencicipi kasih sayang yang tulus dari kakeknya, salah satu tetua desa.

Angin senja semakin deras meniup tubuh kecil bocah itu, membuatnya sedikit terhuyung saat Konohamaru hendak menyeberangi sungai. Dengan sedikit susah payah, langkah-langkah kecilnya menapaki jembatan yang sering dilaluinya. Konohamaru selalu mengagumi pemandangan senja di jembatan kecil ini, karena matahari yang terbenam di samping kiri itu direfleksikan oleh genangan air jernih yang berkilauan. Terkadang, kalau ia sedang capek berjalan, ia akan berdiri di jembatan itu, memandangi saat-saat dimana kekuasaan sang mentari tergantikan oleh bulan. Suasana yang sunyi dan tenang membuat Konohamaru betah berada di jembatan itu. Namun bocah itu melihat sesuatu yang janggal. Jembatan ini terlalu sepi, tidak seperti biasanya. Tidak ada suara hewan-hewan nocturnal yang keluar dari tempat persembunyiannya. Tidak ada satupun manusia yang lewat.

Hantu-kah?

Konohamaru jadi merinding sendiri. Ia jadi ingat dengan cerita teman sekelasnya, kalau suasana terlalu sunyi berarti hantu akan datang. Tentu saja, anak sekecil Konohamaru percaya akan hal itu. Meskipun ia dikenal cukup pemberani di kalangan teman-temannya, tapi ia tak berkutik jika menyangkut tentang hal-hal supernatural itu. Instingnya mengatakan, sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Buru-buru Konohamaru mempercepat langkahnya, mencapai ujung jembatan yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Tiba-tiba, tanpa disadari, seorang gadis yang memakai baju hitam itu sudah berada di belakang bocah itu. Konohamaru menoleh, dan napasnya mendadak macet.

"Ka-kakak..."

Gadis itu diam saja, namun bibir merah jambunya itu membentuk lengkungan. Konohamaru mengenalinya sebagai senyum. Orang dewasa yang berjumpa padanya selalu tersenyum ramah dan menyapanya, seperti biasa. Namun senyum gadis itu lain. Bocah itu bisa melihat kesinisan dan kebencian tersirat di baliknya.

"Halo, Konohamaru...senang berjumpa lagi denganmu," kata Amethyst ramah. Wajah Konohamaru yang masih diliputi ketakutan itu mendongak ke arahnya. "Masih ingat dengan Kakak?"

"Ka-kakak yang membunuh Tuan Sai, kan?"

Amethyst tersenyum makin lebar. "Jangan menuduh yang tidak-tidak, Nak. Meskipun aku meloncati gedung setelah Sai terbunuh seperti yang kau bilang dulu dengan polisi-polisi sialan itu, bukan berarti aku pelakunya, kan?"

"Ka-kakak bohong!"

Telunjuk Konohamaru menujuk-nunjuk wajah Amethyst dengan canggung, lalu berlari lagi. Ia tidak mau bertemu dengan gadis yang dianggapnya pembunuh itu. Namun terlambat, Amethyst telah mendahuluinya dan mencegat bocah itu sebelum ia mencapai ujung jembatan.

"Maaf, Nak. Aku memang pembohong dan pembunuh, sama seperti yang kau katakan di kantor polisi. Tapi kujamin, kau tidak bisa berkata apa-apa lagi di kantor polisi jika kau bertemu denganku sekarang..."

Tangan gadis itu terulur dan mencekik leher bocah itu, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi dengan satu tangan. Anak sekecil itu tentu tidak bisa melawan kekuatan mesin penjagal nomor satu seperti Amethyst. Setelah yakin kalau tubuh Konoamaru telah lemas, ia segera melemparkan bocah malang itu ke sungai. Dengan cepat, Konohamaru telah terseret arus sungai, terombang-ambing seperti kayu lapuk. Amethyst tak peduli jika ia sudah mati, atau masih hidup tapi tak sadarkan diri, yang penting sekarang ia bisa bekerja dengan tenang.

"...Karena kau sudah mati."

Kedua bola mata amethyst itu menangkap sinar kemerahan di sisi baratnya. Sinar kemerahan itu memantul ke aliran sungai yang berkilauan, menciptakan sebuah bayangan bulat berwarna merah jingga. Benar kata Konohamaru, pemandangan matahari terbenam disini sangat indah. Tanpa sadar, bibir mungil itu membentuk sebuah senyuman.

Ah, iya...sayang sekali aku tidak memperindah warna merah di sungai itu dengan darah...


"Hinata~"

Ugh. Suara berisik dan menyebalkan itu datang lagi, batin Hinata kesal. Mood-nya hancur berantakan setelah melihat si jabrik kuning itu datang dengan gaya penentang-petenteng. Memang, Naruto dari dulu sudah keren, namun Hinata tidak terlalu suka dengan definisi 'keren' ala Naruto.

"Baru datang?"

"Ti-tidak juga, Na-Naruto," jawab Hinata manis. Untuk mengurangi kebohongannya, cepat-cepat ia mengambil gelas kertas berisi susu vanilla hangat yang berdiri di atas meja.

"Hmm? Susu?" tanya Naruto keheranan saat melihat gadis berambut indigo itu meneguk cairan putih yang dimaksud dengan nikmat. Hinata tidak menjawab. Setelah selesai minum susu, dengan refleks tangannya terangkat, untuk membersihkan noda putih itu di sekeliling bibirnya. Tiba-tiba sebuah tangan berwarna tan mencegahnya.

"Jangan. Itu bukan sikap table manner yang bagus," Cepat-cepat Naruto mengambil selembar tisu dari sakunya, lalu menutulkannya di sekitar bibir mungil Hinata. "Naah~ begini baru cantik."

Blush. Pipi gadis berambut indigo yang terkenal pemalu itu tentu saja bersemu merah. Meskipun barusan tadi ia sedikit kesal dengan kelakuannya, namun pemuda blonde ini bisa romantis juga. Hinata menunduk dalam-dalam, mengenggam gelas kertasnya yang telah kosong di pangkuannya.

Hush! Kamu ini mikir apa sih, Hinata? Ingat Sasuke, Hinata! Fokus hanya dengan Sasuke!

Hinata memandang sekeliling. Kantin yang biasanya penuh disaat-saat istirahat itu kini sdikit lengang, mungkin karena masih pagi. Hanya ada beberapa murid yang melihatnya sedang bermesraan (?) dengan salah satu pemuda paling terkenal di sekolah, lalu mendengus tak suka. Tentu saja, berdekatan dengan orang sepopuler Naruto dan Sasuke memang harus siap menerima segala resikonya, salah satunya dibenci oleh gadis-gadis fans mereka.

"Oh iya, tadi pertanyaanku belum dijawab. Kenapa tadi kau minum susu?" Pertanyaan Naruto dengan cepat mengembalikan gadis berambut indigo itu ke alam sadar.

"Eh, i-iya...tadi aku belum sempat sarapan. Neji-nii ada rapat pagi, jadi aku yang biasanya berangkat bersama-sama jadi harus berangkat lebih pagi."

"Oh...apa sudah cukup hanya dengan minum susu? Tidak makan nasi?" tanya Naruto, sepasang sapphire-nya melirik ke daftar menu yang disediakan oleh kantin, tak jauh dari tempat duduk mereka berdua.

"Ku-kurasa sudah."

"Ah~ terserahlah kalau begitu. Oh iya, apa nanti kau bisa menemaniku untuk ke perpustakaan? Ada beberapa buku yang ingin kupinjam. Kau juga belum pernah ke sana, kan?" ajak Naruto ceria. Hinata yang tidak memiliki pilihan lain, hanya mengangguk pelan.

Yaah...seandainya saja Sasuke yang mengajakku seperti ini...


Semua murid yang berada di sekitar lorong sekolah itu memandang Naruto dan Hinata dengan tatapan menyelidik. Ada yang kagum, tapi tak jarang juga ada yang iri dengan kedekatan mereka. Memang, dari kejauhan mereka berdua melihat sangat kontradiktif, tapi serasi. Naruto yang aktif dan Hinata yang pasif. Naruto yang ceria dan Hinata yang pendiam. Saling melengkapi satu sama lain, seperti yin dan yang. Apalagi ditambah dengan tangan Naruto yang terus menggenggam tangan Hinata erat. Gadis berambut indigo itupun juga tidak berniat untuk melepaskannya. They almost like...the most sweetheart couple.

Hinata mendesah pelan. Dari tadi gadis itu hanya menatap lurus-lurus ke depan, tak berani membalas tatapan teman-teman yang mencurigainya. Berkebalikan sekali dengan pemuda yang ada di sampingnya itu, ia masih sibuk tersenyum lebar kesana-kemari. Seolah-olah memperkenalkan kalau gadis yang ada di genggamannya adalah gadisnya.

Hinata tidak bodoh, ia bisa tahu kalau pemuda jabrik itu akhir-akhir ini memberi perhatian penuh padanya. Meluangkan waktunya yang supersibuk agar bisa mengunjungi Hinata lebih sering. Atau istilah kerennya, pendekatan. Banyak kontak fisik yang terjadi saat gadis itu sedang bersama Naruto, seperti berpegangan tangan, berjalan bersama, bahkan melap noda susu seperti tadi pagi. Hinata pun tidak kuasa menolak, karena pada dasarnya ia tidak bisa melawan kehendak orang lain atas dirinya. Ia biarkan Naruto berbuat sesuka hatinya, selama perbuatan itu tidak berdosa dan tidak melanggar hukum. Itu saja. Karena itulah, meskipun sedikit risih dengan sikap Naruto yang berkebalikan dengan dirinya, ia diam saja. Bukan karena mencintai pemuda tan itu, namun karena ia tak bisa melawan.


Mereka berdua akhirnya memasuki perpustakaan yang tergolong sepi. Ya, memang hanya segelintir siswa di Konoha High School yang mau meluangkan waktu istirahatnya yang berharga demi membaca. Mungkin bukan hanya di sekolah ini saja, namun hampir di seluruh sekolah di seluruh dunia. Para murid yang umumnya berada di sini adalah tipe murid yang rajin, atau setidaknya menginginkan ketenangan. Entah untuk belajar, atau untuk tidur, bahkan bisa untuk berpacaran di sudut-sudut rak buku. Hinata hanya geleng-geleng kepala saat melihat satu-dua pasangan yang asyik berpelukan –atau bahkan berciuman –saat menemani Naruto mencari buku-buku yang dimaksud.

"Na-Naruto...bu-buku apa ya-yang kau cari? Mu-mungkin aku bi-bisa membantu," tawar Hinata dengan suara lirih. Sesuai dengan peraturan perpustakaan agar menjaga ruangan tetap tenang, maka Hinata mematuhi hal itu. Sayangnya, suara gadis berambut indigo itu sudah lirih dari sananya. Jika dipelankan lagi, maka yang keluar adalah sebuah bisikan, yang nyaris tidak terdengar di telinga orang seramai Naruto.

"Kau bilang apa, Hinata?"

"Bu-buku apa yang k-kau cari?"

"Apa?" Naruto semakin meninggikan suaranya.

"Buku apa yang kau cari?"

"APA?"

Tanpa dikomando, dengan serentak suara bisikan, lengkap dengan telunjuk yang ditekankan di bibir langsung memenuhi perpustakaan. Naruto yang menyadari bahwa desibel suaranya terlalu tinggi untuk berada di ruangan ini, mendadak diam. Wajahnya yang gelap dipenuhi oleh rona merah. Dalam hati, gadis itu tertawa melihat kelakuan Naruto yang jarang sekali dilihatnya.

"Sebenarnya, aku mau mencari buku Icha-Icha Paradise milik Kakashi-sensei. Saat itu aku melihatnya sedang menyembunyikan buku itu di rak sekitar sini..." bisik Naruto. Iris sapphire-nya melirik ke kanan dan kiri, berharap tidak ada yang tahu soal ini. Sejurus kemudian, ia kembali ke kesibukannya semula, yaitu mencari buku yang dimaksud.

Icha-Icha Paradise? Buku apa itu? gumam Hinata bingung. Namun tak lama kemudian, sebuah buku kecil seukuran novel berwarna oranye itu telah berada di tangan Naruto. Sepintas buku itu terlihat seperti novel biasa, namun isinya penuh dengan hal-hal yang khusus ditujukan untuk dewasa.

"Nah~ akhirnya aku menemukannya! Fuh, untung saja aku bisa membaca buku ini. Kau tahu, Hinata, aku sampai rela tidak ikut futsal dengan teman-temanku hanya demi memata-matai Kakashi-sensei tentang buku ini!" ceracau Naruto dengan penuh semangat.

"Ta-tapi, Na-Naruto...bu-buku itu kan untuk anak diatas umur 17 tahun..."

"Ah~ Hinata, kau memang tidak mengerti dunia laki-laki. Di dunia ini, wajar jika laki-laki seusiaku mengkonsumsi konten-konten seperti ini. Itu normal. Sebaliknya, jika ada laki-laki yang tidak pernah melihat atau membaca hal-hal ini, dia harus dicurigai. Bisa jadi dia gay, lho," jelas Naruto tak sabar.

"Ta-tapi..."

"Ssh...tenang saja. Asal aku tidak 'mempraktekannya', semua akn baik-baik saja. Apa kau mau jadi kelinci percobaanku berdasarkan buku ini?" goda Naruto. Hinata menggeleng kuat-kuat, tapi wajahnya kentara sekali memerah. Ia jarang mendiskusikan tentang seks, apalagi dengan teman sendiri. Sementara Hinata berada di perpustakaan yang sepi ini, tepat di pojok ruangan, dan bersama teman lawan jenisnya yang menggenggam buku porno. Mungkin kalau Naruto tidak kuat iman, pemuda itu bisa 'melakukannya' sekarang juga.

"Bu-bukan itu!" potong Hinata. "Aku hanya heran, apa buku porno ini termasuk buku yang dipinjamkan oleh perpustakaan?"

"Tentu saja tidak, Hina-chan...ini buku pribadi Kakashi-sensei sendiri. Lihat saja, tidak ada label apapun di buku ini. Guru prevert itu hanya menyembunyikannya di perpustakaan supaya ia bisa membacanya di sekolah tanpa ada yang tahu."

"Oh..."

"Nah, aku akan mencari buku Icha-Icha paradise yang lain. Kalau tidak salah, aku pernah melihat Kakashi-sensei menyembunyikannya di rak sebelah sini. Sebentar..." Sembari iris sapphire Naruto menelusuri judul buku yang diletakkan berbaris di rak, tangannya ikut membuka barisan-barisan rapat itu, mencari celah kecil seukuran novel yang kemungkinan kuat adalah Icha-Icha Paradise. Pemuda blonde itu tidak sadar kalau Hinata sudah tidak ada di sampingnya lagi.


"Fuh~ akhirnya, aku bisa bebas juga," gumam Hinata sambil berjalan menuju kursi yang berada di dekat jendela. Perpustakaan itu memiliki meja dan kursi panjang yang diletakkan berderet di sebelah kiri ruangan, berfungsi untuk membaca buku-buku yang baru dipinjam. Sementara rak buku terleak di samping kanan ruangan. Hanya ada beberapa anak di ruang baca itu. Meskipun mayoritas mereka membaca, namun ada juga siswa yang tertidur pulas, dengan meja kayu jati itu sebagai alas tidurnya. Sekilas, Hinata mengenalinya sebagai Shikamaru, siswa terpintar di kelasnya, namun kebiasaan tidurnya itu jauh sekali dari kata 'pintar'. Ia mengedarkan iris amethyst-nya ke seluruh ruangan. Dilihatnya seorang siswa laki-laki berambut biru gelap sedang serius membaca buku tebal. Hinata memperhatikannya dengan lebih teliti. Rambut itu...seperti pantat ayam.

Sasuke?

Dengan cepat Hinata mendekati pemuda itu. Saat gadis itu duduk di sebelahnya, pemuda yang dianggap Sasuke itu tidak bergeming. Iris onyx-nya bahkan tidak mau repot-repot untuk melirik siapa yang telah berada di sampingnya.

"Sasuke?"

"Hn?" gumam Sasuke balik. Hinata tersenyum senang, ternyata pemuda ini memang Sasuke. Siapa lagi yang suka bergumam tidak jelas artinya 'ya' atau 'tidak'?

"Kau sedang baca apa?"

"Buku."

"Buku apa?"

"Hukum."

"Oh... Apa aku tidak mengganggumu, Sasuke?"

"Tidak, jika kau tetap diam."

Jleb. Kata-kata ala Uchiha yang dingin dan tidak berperasaan itu secara spontan meluncur dari bibir Sasuke. Sungguh, ia tak bermaksud untuk menyakiti gadis rapuh itu, tapi kali ini konsentrasinya terganggu. Sekarang ini Sasuke hanya berharap, Hinata tidak mempermasalahkan hal ini, jadi ia tak perlu susah-susah meminta maaf. Hey, mau dikemanakan harga diri sang Uchiha yang dikenal tegas dan dingin itu?

"Gomen nee, Sasuke. Kalau begitu aku menemanimu saja," kata Hinata sambil tersenyum lembut.

"Tidak sambil membaca?"

Ups. Sejak kapan Sasuke Uchiha perhatian dengan orang lain? Pemuda dengan style rambut seperti pantat ayam itu tak habis pikir. Sepertinya berduaan dengan gadis ini membuat dirinya selalu out of character. Jantungnya berdebar semakin keras, menunggu respon dari heiress Hyuuga.

"Ku-kurasa tidak. Aku hanya memandangi Sasuke-kun membaca saja."

Pemuda beriris onyx itu tersenyum lega, namun debar jantungnya tak mau berhenti juga. Aneh...padahal sedari tadi aku bisa membaca buku dengan tenang, batin Sasuke heran. Perlahan-lahan, huruf-huruf yang dibacanya menjadi buram. Tangannya yang digunakan untuk membalik halaman buku jadi bergetar. Mendadak ia menjadi gugup saat bersama gadis ini.

Sasuke melirik sedikit ke arah Hinata. Gadis itu hanya duduk dengan manis, iris amethyst-nya terus menatap ke arahnya. Buru-buru Sasuke memalingkan wajah, berharap Hinata tidak sempat melihat rona wajahnya.

"A-ada apa, Sasuke-kun?"

"Ti-tidak ada apa-apa!" potong Sasuke cepat, lalu berusaha mengembalikan konsentrasinya yang telah lama buyar. Namun hal itu tetap tidak berhasil, selama ada Hinata yang terus memandanginya dengan perhatian. Iris onyx-nya mencari-cari hal-hal yang menarik di sekelilingnya. Sebuah kepala kuning terlihat dari kejauhan, sedang mengenggam sebuah buku oranye. Perlahan-lahan sosok itu mendekat ke arah Sasuke. Sorot matanya diliputi kebencian, sesuatu yang belum pernah Sasuke lihat sebelumnya.

"Ah~ Hinata, di sini kau rupanya! Aku sudah mencarimu kemana-mana loh...ternyata kau ada disini," sapa Naruto riang, seperti biasa. Tapi...senyum lebar yang selalu ditampilkan pemuda itu dengan tulus itu sepertinya berbeda dengan sekarang. Sapaan riang Naruto seperti dibuat-buat. "Ayo, Hinata, kita kembali ke kelas sekarang. Sepertinya bel masuk baru berbunyi."

Dengan cepat tangan pemuda itu menarik lengan Hinata paksa, membuat gadis itu mengaduh pelan. Sasuke yang awalnya tidak peduli, mendadak jadi tidak terima atas perlakuan kasar Naruto ke Hinata barusan. Pemuda berambut pantat ayam itu ikut-ikutan berdiri.

"Eh~ ada Sasuke toh ternyata. Aku pinjam Hinata dulu ya, nanti dia tersesat kalau ia pulang sendirian ke kelas. Bisa-bisa nanti dia terlambat untuk pelajaran berikutnya," kata Naruto, masih mempertahankan senyum palsunya. Padahal baik Hinata maupun Sasuke sendiri bisa melihat, kalau iris sapphire itu diliputi kemarahan. Tanpa menunggu jawaban dari pemuda berambut biru gelap itu, Naruto kembali menarik tangan Hinata menjauh. Meninggalkan Sasuke yang menatap mereka berdua dari kejauhan dengan perasaan marah yang sama seperti Naruto. Cemburu...

.

.

.

~TBC~

.

.

.

Author's Gaje Notes (AGN):

Finally...akhirnya rikues dari Nerazzuri terkabulkan juga! Maafkan daku, Konohamaru, kau sudah kubunuh di chapter ini karena kau sudah menjadi informan dadakan tentang Amethyst :p #dilemparkelaut. Kali ini saya dapet buanyaaaaak...konkrit, thanks again to him (or her? Nerazzuri-san, Anda ini cewek apa cowok?). Makanya chap ini sedikit-demi sedkit diperbaiki, terutama di EYD-nya. Mungkin...kalau saya masih punya banyak waktu, saya bakalan edit lagi EYD di chap sbelumnya :D

Big Thanks to (buat yang nggak login):

n | za chan uchiha | blue night-chan | RK-Hime Unlogin | Sasuhina-caem |

Oh iya...kali ini saya udah banyakin romance-nya. Dan kali ini pula, isi hati Hinata bakal lebih keliatan, meskipun gak sinkron sama perbuatan -_-" Saya cuma mau ngingetin lagi, kalo saya sangat terbuka terhadap konkrit. Konkrit lho ya, bukan flame. Dan saya akan lebih senang lagi kalo kalian me-review pake akun, soalnya saya repot mbales kalo lewat fic ini. Makannya pertanyaan" kayak 'kenapa Hinata jadi pembunuh bayaran?' 'siapa partner Amethyst?' 'kenapa romance-nya kurang?' 'kenapa agak pendek', dsb itu tidak saya jawab, karena saya ngetik ini pas lagi offline. Which means, saya tidak bisa memasukkan pertanyaan-pertanyaan kalian kesini. Paling saya cuma bisa ngedit 'Big Thanks for'nya doang. Tapi khusus pertanyaan 'kenapa Hinata jadi pembunuh?', saya bakal jawab: 'Tunggu aja, pasti saya munculin kok ;)'

Oke, sekarang serius. Saya serius minta review dari kalian maksudnya :p