Apa-apaan saia ini? LYFE blum slesai, oneshot Naruto jga blum slesai, tapi nekat mbuat multichap yg panjangnya bakalan naudzubillah! Readers, reviewers, senpai-tachi, ampuni daku- ;A; smoga kali ini bisa bagus daripada fic action 'pendahulu'nya, amiin! Harap bantuannya, ya! :D

.

.

.

Amethyst

A Naruto Fanfict

Disclaimer: all characters belongs to Masashi Kishimoto-sensei

Warning: OOC, rated T, AU, romance/suspense/friendship , gaje, alay, typo, abal, dan keanehan-keanehan lainnya. Segala sesuatu yang terjadi setelah membaca fic ini merupakan tanggung jawab pembaca, bukan author. Takut? Silahkan tutup browser Anda atau klik 'Back' =)

.

.

.

Chapter 1

Amethyst

Gedung Sai Corporation tampak sepi. Maklumlah, lewat tengah malam begini pasti sudah banyak pegawai yang pulang. Hanya ada sesekali satpam yang mondar-mandir di dekat pos, lalu sepi lagi. Lampu-lampu di gedung itu juga sudah separuh padam, menyisakan cahaya lampu di banner bertuliskan 'Sai Corporation'. Tempat parkir juga ikut-ikutan lengang, hanya ada satu mobil dan satu sepeda motor yang berdiri tegak di dekat gedung. Seharusnya malam ini akan menjadi malam yang tenang jika tidak ada gadis yang duduk bersilang kaki di atap gedung tersebut.

.

Tunggu...gadis? Di atas gedung? Nggak salah, nih?

.

Gadis itu menguap bosan. Udara dingin yang menerpa tubuhnya membuat ia semakin mengantuk. Jaket kulit hitam dan celana panjang hitam yang dikenakannya tidak cukup untuk membuat tubuhnya hangat kali ini. Tangannya asyik mengelap Beretta-nya, sambil menjawab panggilan dari orang di seberang dengan alat komunikasi yang terpasang rapi di telinganya.

"Ya?"

"Tumben misimu belum selesai...biasanya saja kau yang tercepat diantara kami," kata orang itu sambil terkikik, maksudnya menyindir.

"Dia belum keluar gedung...sepertinya rapatnya belum selesai. Tenang saja, aku masih yang tercepat kok," kata gadis itu tenang, tak terpengaruh perkataan dari rekannya. Iris amethyst-nya terus mengawasi pemandangan yang ada di bawahnya, berharap seseorang yang ditunggunya keluar dari gedung. Rambut panjang sepunggungnya yang berwarna indigo diikat rapi di puncak kepalanya, menyisakan anak rambut yang tumbuh liar di sekitar tengkuknya. Ia tidak perlu khawatir kalau ada angin malam yang mngacaukan tatanan rambutnya.

"Cepatlah, kalau tida-"

"Psst...dia datang," potong gadis itu sambil berbisik. Tangannya sudah bersiap untuk memegang kendali atas pistolnya. "Sebentar lagi aku selesai."

Seseorang yang tadi diajak ngobrol oleh gadis itu langsung diam, membiarkan rekannya berkonsentrasi. Sementara gadis berambut indigo itu kembali memfokuskan pandangannya ke pria yang barusan keluar dari gedung dan berjalan menuju mobilnya. Tangannya menenteng sebuah tas kerja berwarna hitam. Pria itu, Sai, adalah direktur muda yang memiliki bisnis desain visual. Namanya sudah cukup diperhitungkan bagi perusahaan lain yang ingin membuat iklan atau promosi. Kreativitas dan keuletan pemuda berusia 25 tahun itu membuat Sai Corporation semakin berkembang menjadi perusahaan ternama dan memiliki gedung tersendiri di Jepang ini.

Gadis berambut indigo itu tersenyum tipis saat melihat targetnya kali ini masih muda dan tampan. Kalau boleh jujur, sebagian kecil dari gadis itu tidak rela kalau Sai yang menjadi targetnya kali ini. Jarang sekali ia menjumpai target yang sedemikian perfect. Tapi tugas tetaplah tugas. Sambil memasang wajah serius, diarahkannya pistol miliknya ke kepala Sai yang berjarak ratusan meter dari tempatnya berdiri. Pria itu sudah akan membuka pintu mobil ketika sebuah peluru melesat ke arahnya.

DOOR!

Tanpa sempat berkata apa-apa, Sai langsung ambruk dan segera menemui ajalnya. Darah mengucur deras dari kepalanya yang sudah berlubang. Gadis berambut panjang sepunggung itu tersenyum puas melihat cairan kental itu membanjiri aspal di sekitar Sai. Setelah yakin kalau pria itu sudah mati, ia kembali menghubungi rekannya yang tadi diajaknya bicara.

"Halo? Tugasku sudah selesai."

"Bagus. Kembali ke Sarang secepatnya."

Gadis itu memutus sambungan komunikasinya. Ia mengambil sebuah batu berkilau seukuran kelereng dari sakunya, lalu melemparkannya ke arah mayat Sai. Batu itu melesat melawan gravitasi, dan berakhir tepat di samping tubuh Sai yang berlumuran darah.

Batu itu adalah...amethyst


"Ckckck...pembunuhan semakin marak di Jepang akhir-akhir ini," gumam Fugaku sambil menyeruput kopi hangatnya. Koran yang baru saja dibacanya diletakkan asal diatas meja makan, membuat meja makan yang sempit itu semakin sempit. Sekilas saja, sudah terlihat headline yang diketik besar-besar di koran itu.

SAI TEWAS TERBUNUH DI TANGAN AMETHYST

Sasuke Uchiha, bungsu di keluarga Uchiha itu menggeleng-gelengkan kepala saat mata onyx-nya melirik judul itu. Siapa sih yang tidak kenal Amethyst? Pembunuh berdarah dingin itu sudah terkenal dengan kebiasaannya yang meninggalkan permata berwarna ungu itu di samping korban. Terkadang Sasuke berpikir, apakah Amethyst terlalu kaya sampai-sampai meninggalkan batu berharga itu di tiap korban. Dari novel-novel misteri yang sudah pernah ia baca, ia baru tahu ada tipe pembunuh bayaran yang seperti ini. Tidak ada yang tahu siapa Amethyst sebenarnya, bahkan jenis kelaminnya saja tidak ada yang tahu. Korban yang menemui ajal di tangan Amethyst juga tidak terhitung lagi jumlahnya, tapi sebagian besar adalah direktur, pengusaha, anggota parlemen, atau pemimpin gangster. Intinya, orang-orang penting.

Sebenarnya Sasuke juga sedikit khawatir dengan keselamatan ayahnya. Fugaku Uchiha adalah kepala kepolisian Jepang, dengan kata lain, beliau termasuk orang penting juga. Ada kemungkinan kalau suatu hari nanti ayahnya akan menjadi buruan Amethyst, dan ia tidak mau hal itu terjadi. Sudah cukup ia kehilangan ibu dan kakak laki-lakinya karena kecelakaan, ia tak mau menjadi sebatang kara hanya karena penjagal kelas kakap itu.

"Sasuke? Kamu sudah sarapan?"

Pertanyaan Fugaku mengembalikan pikiran pemuda itu kembali ke dunia nyata. Sasuke buru-buru menjawab pertanyaan ayahnya sebelum ia sibuk membereskan bawaannya. Kebetulan hari itu hari Senin –hari yang penuh dengan kesibukan setelah akhir pekan berlalu. Sasuke memutuskan untuk lebih awal berangkat ke sekolah karena takut terlambat.

"Hn."

"Baiklah kalau begitu. Hari ini Ayah akan pulang terlambat untuk mengurusi kasus pembunuhan ini. Kebetulan kemarin ada informan yang mengatakan kalau ia melihat sosok yang dicurigai sebagai Amethyst sedang melompati atap gedung. Tidak jelas bagaimana perawakannya, karena ia memakai baju serba hitam. Ia juga mengenakan topeng yang menutupi mata dan sebagian wajahnya. Tapi dia bilang kalau rambutnya panjang sepunggung dan berwarna indigo," gumam Fugaku sambil kembali menyeruput kopinya.

"Jaga rumah baik-baik ya. Jangan keluar kalau tidak ada urusan yang penting," pesannya lagi saat Sasuke sudah bersiap untuk berangkat sekolah. Sasuke hanya bisa mengangguk pelan.

"Hn. Sasuke berangkat dulu."


Konoha High School, sekolah swasta elit yang hanya bisa dimasuki oleh orang-orang paling kaya atau paling pintar di seluruh Konoha. Sasuke sungguh sangat beruntung karena ia iamemiliki dua-duanya –otak dan materi yang mapan. Ia dan Itachi –almarhum kakaknya –telah dianugerahi IQ tinggi sejak lahir. Mudah menyerap pelajaran yang diterima tanpa membawa hawa nerd sama sekali. Soal materi? Tidak perlu ditanyakan lagi. Anak TK pun tahu berapa gaji seorang kepala kepolisian Jepang yang notabene adalah ayahnya, jadi tidak perlu dielaskan lagi. Satu bonus lagi yang membuat ia menjadi favorit satu sekolah, yaitu fisiknya yang rupawan. Rambut hitam kebiruan dengan ujung-ujungnya mencuat ke belakang tanpa bantuan gel atau spray dan kulit yang seputih pualam membuat ia diidolakan oleh lebih dari separuh gadis di sekolah ini. Tubuhnya juga tinggi dan atletis, sehingga sanggup untuk bermain di cabang olahraga apapun.

Sayangnya, pemuda Uchiha ini kelewat dingin dan tidak banyak bicara. Karena sifatnya itu, banyak yang mengira kalau Sasuke sombong dan hanya mau berteman dengan 'selevel'nya saja, padahal tidak juga. Sebagian juga sungkan dengan anak kepala kepolisian Jepang –oh ayolah, siapapun pasti tidak akan mau mencari gara-gara dengan polisi –sehingga Sasuke hanya memiliki sedikit teman yang benar-benar setia. Salah satunya adalah...

"TEMEEEE~~~ kamu sudah baca berita hari ini belum?"

Itu dia. Seorang pemuda berambut seperti durian melambaikan-lambaikan tangannya sambil berteriak-teriak dengan pedenya –ingatkan Sasuke untuk menghajar pemuda itu karena sudah membuatnya malu setengah mati –di depan gerbang sekolah. Ya, Sasuke masih berjarak sekitar lima puluh meter dari sekolah, dan pemuda berkulit tan itu sudah 'menyambutnya' seperti orang kurang kerjaan saja.

"Urusai! Kau membuatku malu, tahu!" bentak Sasuke ke Namikaze Naruto setelah ia mencapai sekolah dengan 'menebalkan' muka sambil menjitak dahi pemuda itu. Yang diomeli hanya bisa cengar-cengir tidak jelas, sehingga membuat tiga garis tipis di pipinya bergerak-gerak.

"Gomen nee, Sasu-kun~" Naruto mengusap-usap dahinya yang kelihatannya sudah membentuk benjolan. "Tapi kamu sudah baca berita hari ini, kan? Amethyst memakan korban lagi! Kali ini Sai yang meninggal."

"Hn."

Pertanyaan yang bodoh, Sasuke tahu itu. Sebagai anak kepala kepolisian Jepang, ia bahkan mendapat informasi yang lebih banyak daripada media massa yang selama ini hanya menampilkan berita yang 'aman-aman' saja. Pemerintah tidak mau mengambil resiko jika terjadi kepanikan massal karena informasi yang belum pasti.

"Tapi kalau menurutku, Amethyst keren sekali! Bekerja sebagai seseorang yang misterius, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, berhati dingin dalam menjalankan tugas, rasanya seperti pahlawan misterus yang kubaca di komik-komik..." Mata Naruto menerawang, membayangkan apa yang akan ia lakukan seandainya ia yang menjadi Amethyst.

"Semua itu tidak akan menjadi keren lagi kalau kau menjadi sasaran Amethyst berikutnya, Dobe," kata Sasuke datar, tapi terselip sedikit kekhawatiran di nada suaranya. Sama seperti dirinya, Naruto juga termasuk orang penting. Ayahnya, Namikaze Minato adalah direktur utama perusahaan elektronik, lebih tepatnya komputer. Di zaman serba canggih seperti ini, apalagi di Jepang, komputer merupakan barang yang sangat diburu oleh banyak orang. Jumlah kekayaan keluarga Namikaze sudah memberi banyak peluang bagi para pembunuh bayaran macam Amethyst.

"Iya, iya...aku tahu kok, aku kan cuma membayangkannya saja."

"Terserah."


Lorong sekolah sudah penuh oleh para siswi yang mengagumi duo sahabat yang menjadi ikon sekolah ini. Yang satu tampil rebel dengan ujung seragam dikeluarkan, jas dan dasi yang dikenakan asal-asalan, rambut pirang acak-acakan –khasnya. Satunya lagi memilih untuk konservatif. Penampilan dan manner-nya yang rapi dan teratur juga difavoritkan oleh sebagian siswi Konoha High School. Sasuke dan Naruto santai saja menghadapi fans-nya yang selalu bergerombol setiap mereka lewat –seolah memberi kesan kalau mereka adalah selebriti sekolah.

Setelah berhasil melewati lautan penuh gadis-gadis ababil yang memenuhi jalan, akhirnya mereka sampai ke kelasnya. XI-1, terkenal sebagai kelas yang berisi anak-anak pintar. Naruto dan Sasuke sungguh beruntung bisa masuk ke kelas ini, meskipun mereka mahir dalam hal yang berbeda. Dibawah didikan ayahnya yang menjunjung tinggi hukum, Sasuke jadi memfavoritkan pelajaran IPS. Sementara Naruto yang terkesan bad boy begitu justru menguasai IPA. Hapalan-hapalan di pelajaran IPS bikin ngantuk, katanya. Jawaban yang membuat Sasuke tersenyum kala itu.

"Teme-kamu sudah mengerjakan tugas Sejarah, belum?" tanya Naruto dengan setengah memelas saat mereka berdua duduk di bangku yang bersebelahan. Sasuke tahu persis, kalau gelagat sahabatnya seperti ini, tandanya pemuda berambut durian itu belum mengerjakan tugasnya.

"Sudah, memang kenapa? Mau copy-paste?" sindir Sasuke tanpa mengalihkan pandangannya dari buku yang dibacanya.

"Iya...pinjem ya, Sasu-chan~"

"Dasar pemalas...nih!" Tiba-tiba Sasuke melemparkan bukunya ke wajah Naruto. Naruto yang kaget akan diberikan dengan cara seperti itu tidak sempat bersiap diri, dan walhasil, buku itu tepat mengenai wajahnya dan jatuh di lantai.

"Ittai! Sakit, tahu!" seru Naruto setengah kesal sambil mengambil buku yang tergeletak di dekat kakinya.

"Salahmu sendiri," kata Sasuke cuek sambil tetap membaca bukunya. Penasaran, Naruto merebut buku yang sedari tadi mengalihkan dunia Sasuke. Sasuke yang tidak terima konsentrasinya terganggu jadi mengamuk dan berusaha untuk menggapa-gapai buku itu.

"Balikin!"

"Enggak, week!" kata Naruto sambil menjulurkan lidahnya. Jiwa isengnya kumat. Dengan sengaja ia membaca judulnya keras-keras dengan tangan kiri –sementara tangan kanannya digunakan untuk menahan Sasuke agar tetap berada di tempatnya.

"PASAL-PASAL DASAR NEGAR- lho, kok kamu mbaca buku beginian, Teme?"

Seisi kelas XI-1 menoleh ke asal keributan yang ditimbulkan oleh pasangan ini. Suasana mendadak membeku. Sasuke yang sadar kalau dirinya diperhatikan, cepat-cepat merebut buku itu dari tangan Naruto yang masih bengong dan menyembunyikannya rapat-rapat. Kentara sekali wajahnya memerah karena dipermalukan.

"Lho? Eh? Ada apa? Bukunya mana? Teme, kok mukamu merah gitu?" tanya Naruto beruntun setelah sadar dari bengongnya. Dilihatnya semua orang telah kembali ke aktivitasnya semula, buku yang tadi ada di tangan Naruto menghilang, dan sekarang seme (?) nya blushing-blushing tidak jelas begitu.

"Urusai."


"Ohayou, minna. Hari ini kita kedatangan murid baru. Nah, silahkan perkenalkan dirimu," kata Shizune-sensei ramah sambil mempersilahkan gadis yang ada di belakangnya untuk memperkenalkan diri. Sekilas, gadis itu terlihat kalem dan pemalu. Rona merah yang sedari tadi di pipinya semakin memerah, menandakan kalau ia sedang gugup.

"A-ano...nama saya Hyuuga Hinata, pindahan dari Tokyo High School. Yoroshiku onegaishimasu," kata gadis itu lirih sambil membungkuk hormat, sehingga sebagian wajahnya tertutupi oleh rambut indigo sepunggung yang dibiarkan terurai. Rona merah masih belum mau meninggalkan pipinya, membuat wajah innocent itu semakin manis. Kumpulan siswa pria yang sering duduk di pojok kelas bersuit-suit saat melihat 'pemandangan' baru di kelasnya, tak terkecuali Naruto yang dikenal sebagai pentolan bad boys itu. Sebaliknya, hanya Sasuke seorang yang memandang gadis itu dengan keheranan. Samar-samar ia masih bisa mengingat perkataan ayahnya tentang deskripsi Amethyst. Rambut panjang sepunggung berwarna indigo. Mungkinkah?

"Baiklah, kalian bisa mengenal lebih jauh tentangnya saat istirahat nanti. Hinata, kau bisa duduk di kursi kosong di sebelah kanan Sasuke," kata Shizune sambil menujuk bangku yang dimaksud. "Sekarang kita kembali ke pelajaran Fisika. Sudah sampai mana kita kemarin?" tanya guru muda itu sambil membuka-buka bukunya. Sementara Hinata yang masih canggung dengan situasi kelas ini berjalan ke bangkunya, tentu saja diiringi dengan lirikan penuh nafsu oleh para siswa dan tatapan penasaran dari para siswi.

Setelah sukses meletakkan pantatnya ke kursi, Naruto yang berjarak dua bangku di sampingnya sudah minta berkenalan dengan pedenya. "Namaku Naruto Namikaze, Miss Hyuuga. Senang berkenalan denganmu," katanya sambil memperlihatkan cengirannya yang paling lebar.

"Se-senang berkenalan denganmu juga, Na-Namikaze-san,"

"Oh iya, sampai lupa. Ini sahabatku, Sasuke Uchiha," kata Naruto lagi sambil menepuk bahu pemuda pantat ayam itu, sebagai isyarat untuk berkenalan. Sasuke yang sedari tadi berkelana di alam pikirannya jadi kaget dan tersadar. Gadis yang sedari tadi ada di pikirannya mendadak sudah ada di depan tangannya, lengkap dengan mengulurkan tangan pula! Dengan ragu-ragu, Sasuke menyambut tangannya dan bersalaman.

"Sasuke Uchiha."

"Hi-Hinata Hyuuga. A-ano, Uchiha-san, kenapa dari tadi Anda terus me-melihat wajah saya? A-apa ada yang a-aneh dengan wajah saya?" tanya Hinata takut-takut. Kali ini bukan hanya rona merah saja yang menghiasi pipinya, namun juga sebulir keringat.

"Hah? Tidak, tidak sama sekali! Cuma wajahmu itu mengingatkanku pada seseorang," jawab Sasuke asal.

"Ka-kalau boleh tahu, si-siapa namanya?"

"Amethyst, pembunuh bayaran yang menjadi headline berita kali ini. Kau tahu kan?" tanya Sasuke datar sambil diam-diam menyelidik perubahan ekspresi yang terjadi di wajah gadis itu. Sejujurnya, ia penasaran dengan ciri-ciri yang diberikan ayahnya tadi, namun hatinya menolak dengan tegas kalau Hinata adalah Ametyhst itu. Tapi seperti Hinata bahkan tidak tega untuk membunuh lalat. Apalagi di Jepang banyak sekali orang yang rambutnya berwarna indigo.

"Y-ya, saya tahu. Ta-tapi, darimana Anda tahu kalau wajah saya mirip dia? Bukankah wajah Amethyst tidak pernah diketahui bentuknya? Bahkan jenis kelaminnya tidak ada yang tahu."

"Kebetulan ayahku adalah kepala kepolisian Jepang. Ia barusan mendapat informasi dari orang-orangnya tentang ciri-ciri Amethyst, meskipun cuma sedikit dan tidak spesifik," kata Sasuke, berhati-hati agar informasi itu tidak sampai bocor ke orang lain. Kalau seandainya info itu salah, matilah ia karena telah menuduh yang bukan-bukan.

"Ooh...begitu. Menurut Uchiha-san, apa wajah atau penampilan saya mirip Amethyst?"

"Entahlah, aku juga tidak yakin. Banyak orang berwajah sama di dunia ini."

Hinata tersenyum manis mendengar jawaban Sasuke yaang menurutnya melegakan itu. Melihat senyum itu, tiba-tiba jantung Sasuke berdegup kencang, entah kenapa. Ia tidak pernah melihat seorang gadis tersenyum padanya semanis dan setulus itu sebelumnya. Meskipun samar, terlihat rona merah di pipinya yang pucat. Apa yang terjadi denganku?

.

.

.

~TBC~

.

.

.

Author's Gaje Notes (AGN):

Huweh...kenapa ideku kebanyakan pembunuh bayaran begini? #headdesk. Dulu aku juga sempet mbuat plot cerita tentang pembunuh bayaran juga (lebih tepatnya sweeper), cuma ada di fandom lain dan blum diselesaiin sampe skarang. Abis pundung banget ngeliat plot cerita yg asli kukarang sndiri, ternyata manga-nya jadi mirip sama plot-ku! Akhirnya karena males ngelanjutin lagi, aku pindahin sebagian idenya ke fic ini. Rada pasaran, I know, banyak banget film tentang pembunuh bayaran yang beredar di dunia ini. But believe me, fic ini benar-benar asli seasli-aslinya buatanku. Kalaupun ada yang sama, harap maklum karena pada dasarnya idenya juga sama :)

Jujur, baru pertamakali ini aku mbuat Sasuhina. Sebenarnya aku lebih suka Naruhina sih, tapi demi kepentingan cerita, aku rombak menjadi Sasuhina. Kalau nanti ke depannya fic ini jadi lebih subyektif karena keegoisan author, harap diingatkan yah! :D

Semoga aku masih bisa nglanjutin fic ini dalam bberapa hari kedepan...karna sminggu lagi sang author bandel ini mau menghadapi UAS TT_TT. Mohon doa/ripyunya yang buanyaaaak biar aku bisa melewati cobaan yang berat ini dan mengapdet fic ini secepatnya~! XD

Fic ini takkan berarti tanpa komentar/kritik/saran dari kalian =) So...review? *harapharap cemas*