Disclaimer : I don't own Bleach, Always... But I do want

.

.


Minna... #lari-lari sambil bawa pengeras suara

Maaf, Gomen, Mian, Sorry Sorry Sorry #joget ala Super Junior – Plakked!

Pokoknya saya minta maaf karena terlalu lama update.

Sekali lagi, masa hiatus itu sangat mengerikan.

Saya juga minta maaf karena pasti terdapat banyak typo(s), perubahan gaya penulisan, bahkan hingga tata bahasa yang saya gunakan. Semuanya masih banyak kekurangan di sana sini.

Saya sampaikan terima kasih pada Kurosaki Rui karena sudah bersabar, bahkan meninggalkan permintaan di timeline FB saya. (Terima kasih banyak atas dukungannya)

Terima kasih tak terhingga untuk semua review dan fave add-nya. I'm so glad that you like this fiction.

Selamat membaca & jangan lupa untuk memberi review ^_^


.

.

.

Tittle : You

By : Nakki Desinta

Cast : Ichigo X Rukia X Kaien

.

.

.

Chapter 12

.

.

.


Kuchiki Byakuya melihat serpihan kaca dan pigura yang berserakan di lantai, sekilas matanya menunjukkan kesedihan yang samar, namun dengan cepat berganti dengan sorot mata tenang. "Bukan apa-apa! Ini hanya foto lama, silahkan duduk lagi!" ucap Kuchiki Byakuya tetap tenang.

Szayel yang merupakan sekretarisnya langsung mendekat dan merapikan pecahan pigura setelah meraih telepon di meja dan memanggil seseroang. Sementara Kuchiki Byakuya kembali mencari file yang ia maksud, dan akhirnya ia menarik sebuah map dan membawanya ke dekat Ichigo dan Kaien, dia membuka map dengan cepat dan menunjukkan sebuah foto pria yang telah menculik Rukia, hanya saja kali ini dalam versi remaja.

"Benar dia orangnya!" Ichigo menunjuk-nunjuk foto itu penuh nafsu.

"Jadi begitu..." Kuchiki Byakuya mengangguk dua kali sambil mengetuk pulpennya di atas foto Grimmjow Jeagerjaquez, berpikir keras sambil melihat catatan kasus yang pernah melibatkan orang itu.

"Orang ini sudah terlalu sering berurusan dengan mafia atau sindikat sejenisnya. Sekarang siapa lagi yang menyuruhnya? Orang ini begitu lihai dan cerdik dalam melakukan tindakannya. Polanya biasa terselubung, namun aksinya kemarin terlalu terang-terangan, mungkin dia memang ingin menarik perhatian sehingga kami dari kepolisian juga datang lebih cepat."

"Pak! Ini fotonya, officeboy akan membersihkan sisa pecahannya!" ucap Szayel yang duduk kembali di tempatnya.

Ichigo melihat selembar foto yang diletakkan Szayel di meja, dan matanya membelalak dengan cepat, mendapati foto seorang wanita dewasa yang berdiri di tengah padang tulip tengah tersenyum lebar dengan perut yang agak besar seperti sedang mengandung.

"Kaien!" Ichigo menyikut Kaien cepat, meminta Kakaknya juga melihat apa yang menarik perhatiannya.

"Ada apa?" tanya Kuchiki Byakuya saat adik kakak itu melihat foto yang tergeletak di meja.

Kaien memegang dadanya cepat, merasa tidak percaya dengan apa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Pandangannya bertukar antar foto di meja, Kuchiki Byakuya, dan Ichigo, persis orang yang sedang melihat pertandingan bulu tangkis sengit.

"Pak Kepala Kepolisian, maaf sebelumnya. Apakah Anda pernah melihat foto Rukia sebelumnya?" tanya Kaien seketika, namun tangannya bergerak perlahan menyibakkan rambut dari kacamatanya dengan gaya sangat feminine, membuat Ichigo jijik sendiri melihat tingkah kakaknya yang selalu tidak keberatan menunjukkan sisi yang menurut empunya 'lembut', padahal untuk Ichigo itu justru membuat perutnya mual.

"Anak perempuan yang kita bicarakan sekarang?" Pak Kepala itu bertanya, dan Kaien mengangguk kilat, mengembalikan posisi rambutnya kembali. "Belum, aku baru berencana memeriksa berkas lengkapnya siang ini!" jawab sang Kepala Kepolisian itu dengan cepat.

Kaien melirik Ichigo, bertukar pandangan tidak percaya.

"Maaf sebelumnya jika kami lancang, tapi siapa wanita dalam foto itu?" tanya Kaien hati-hati.

Kuchiki Byakuya merasa sikap kedua tamunya semakin aneh, namun akhirnya ia menjawab. "Itu foto istriku."

Deg!

Baik Kaien maupun Ichigo langsung menyambungkan benang-benang yang sudah kusut dalam benak mereka. Mereka bahkan belum tahu apakah ini semua hanya kebetulan atau hanya permainan takdir yang tidak pernah mereka inginkan.

Kaien tidak ingin mengulur waktu lebih panjang lagi, dan akhirnya ia mengeluarkan dompetnya, menunjukkan satu-satunya foto Rukia yang ia simpan dalam dompet, foto saat Rukia masuk ke sekolah. Rukia dengan seragam sekolah dan tersenyum hambar pada kamera. Ichigo sendiri kaget kalau ternyata si Melambai menyimpan foto Rukia, dia bahkan mulai berpikir bahwa kakaknya telah menjadi seorang pedofilia.

"Ini foto Rukia. Aku hanya berpikiran semua ini agak aneh," lanjut Kaien seraya menyandingkan foto Rukia dengan foto istri Kuchiki Byakuya di meja.

Mata semua orang terbuka lebar, seperti tengah mendapati mimpi buruk yang tidak pernah ingin mereka lihat. Szayel yang pertama menyadari perubahan raut wajah Kepala Kepolisan Karakura tersebut. Tidak ada lagi kekakuan, yang ada justru ekspresi lembut dan penuh kasih saat ia memandang kedua foto itu.

"Hisana..." gumam Kuchiki Byakuya tanpa sadar, dia menyentuh permukaan foto Rukia sangat hati-hati seolah tengah membelai wajah Rukia yang sesungguhnya.

"Dimana istri Anda sekarang, Pak?" tanya Ichigo tiba-tiba, membuyarkan lamunan Kuchiki Byakuya, membuat pria itu memandangnya penuh-penuh.

Kesedihan langsung menggantung di wajah pria tampan itu, dia bahkan menunduk sekali sebelum kembali duduk tegak dan memberikan tatapan kakunya lagi sambil berkata, "Hisana hilang belasan tahun lalu, saat ia mengandung anak kami."

"Lalu mungkinkah Rukia adalah..." Kaien tidak mampu melanjutkan kalimatnya saat mata pria berambut hitam pekat itu membelalak lebar seperti berada dalam ketakutan.

"Bagaimana wajah ayah Rukia?" tanya Kuchiki Byakuya seraya meraih lembaran lain dari map yang ia buka, meninggalkan catatan khusus mengenai Grimmjow dan langsung mundur beberapa lembar ke belakang, terlihat begitu cepat dan terkesan panik.

"Yang paling mencolok adalah warna rambut yang cokelat dan tampilan yang terkesan rapi. Matanya tajam, bahkan bisa-"

"Ini?" tanya Kuchiki Byakuya seraya membalik halaman map yang ia buka, membiarkan adik kakak itu melihat foto yang ingin ia tunjukkan dengan seksama.

Kaien dan Ichigo mengangguk bersamaan, mereka tidak perlu waktu lama untuk mengenali sosok mengerikan seperti ayah Rukia. Pria yang menakutkan, pria yang bahkan bisa mengatakan bahwa anaknya lebih buruk dari gelandangan.

"Ya Tuhan... Ternyata memang dia..." gumam Kuchiki Byakuya yang kemudian bersandar sepenuhnya pada sofa, seolah tengah menyesali kebodohan yang tidak ia lihat sejak lama. Dia mengutuk mata hatinya yang sudah begitu buta, mata yang bahkan tidak bisa melihat kenyataan yang begitu jelas sekalipun ia tidak memiliki bukti sama sekali. Prinsipnya sebagai seorang polisi telah menghalangi langkahnya untuk mengikuti kata hatinya. Pria berambut hitam legam itu mengusap wajahnya yang sama sekali tak berpeluh, dia menghela napas panjang dan berusaha mengisi paru-parunya yang perlahan menyempit, membuat jantungnya berdetak lambat tak berirama.

"Pak Kepala?" Szayel mencemaskan atasannya yang terlihat sangat lelah hanya dalam beberapa detik. Kekakuan seorang pimpinan tinggi kepolisian tidak lagi ia pasang, bahkan wajahnya cenderung sedih hingga terlihat akan meneteskan air mata.

"Aizen... Aizen Sousuke!" desis Kuchiki Byakuya perlahan, dia pun menegakkan badan, melihat dua orang tamu yang seharusnya memberikan informasi kepadanya, justru membuka duka masa lalu yang telah ia kubur begitu dalam.

"Pak Kepala?" Szayel kembali memanggilnya, memastikan bahwa Kuchiki Byakuya masih waras. Karena melihat Kuchiki Byakuya yang kehilangan kendali seperti ini sama sekali tidak terlihat seperti kepala kepolisian Karakura yang ia kenal.

"Szayel! Lacak keberadaan Aizen Sousuke, tanya ke bagian imigrasi, bahkan kerahkan seluruh intel pusat! Aku tidak akan membiarkan bajingan sepertinya lolos lagi!" gumam Kuchiki Byakuya seraya meraih ponselnya dan mulai menelepon seseorang.

"Kouga? Ya, aku tahu, tapi kuminta kau mencari keberadaan orang bernama Grimmjow Jeagerjaquez. Kemungkinan dia terlibat dengan mafia kelas atas." Kuchiki Byakuya mengangguk putus asa, melepas kepergian sekretarisnya dengan satu gerakan tangan cepat.

"Ini hal yang tidak bisa kutunda!" tegas Kuchiki Byakuya agak emosi, tapi kemudian dia terdiam, memberi ruang pada seseorang bernama Kouga di seberang sambungan telepon untuk meresponnya.

"Berhenti berceramah dan lakukan saja apa yang aku minta!" tandas Kuchiki Byakuya sebelum menutup sambungan telepon dengan berangnya.

Ichigo mengerutkan alis begitu dalam, dia sampai menoleh pada Kaien yang masih menganalisa perubahan sikap Kuchiki Byakuya yang begitu drastis. Ichigo sendiri merasakan aura intimitasi yang menguar dari pria itu lenyap seketika, berganti dengan kesedihan dan panik yang samar. Pria ini sangat lihai menyembunyikan emosinya, karena Ichigo menyangka jika ini memang benar seperti dugaannya, maka seharusnya pria ini sudah menangis habis-habisan karena telah menemukan anak yang tidak pernah ia ketahui pernah lahir di dunia ini.

"Kukira sekarang kasus ini bukan hanya menjadi kasus kalian!" kata pria bermata dingin itu sambil menutup mapnya dan meraih foto istrinya dan Rukia.

Kaien melirik penuh tanya pada Ichigo, namun tidak ada respon lebih dari dahi berkerut yang ia dapatkan dari adiknya yang tamperamen itu. "Emm, mengenai ayahnya Rukia. Pertama dan terakhir kali kami bertemu, dia akan berangkat ke luar negeri, kalau tidak salah ke Singapura," tutur Kaien sangat hati-hati.

"Singapura? Ternyata orang itu pernah berada di Karakura, bahkan dia tidak tinggal di Paris. Aku akan menyelidiki lebih lanjut, terima kasih atas informasinya." Kuchiki Byakuya mengakhiri pembicaraannya dan merapikan semua dokumennya, tapi Ichigo tidak merasa bahwa pembicaraan ini akan berakhir secepat ini, terlebih lagi belum ada kejelasan mengenai keberadaan Rukia, dan dia tidak akan pergi begitu saja jika pada akhirnya ia hanya menjadi pihak yang dikorek informasinya.

"Rukia juga pernah bilang bahwa ibunya telah pergi, dan tidak akan pernah kembali!" tambah Ichigo yang kemudian mendapati wajah Kuchiki Byakuya memucat.

"Terima kasih. Kami akan menyelidiki kasus ini lebih mendalam." Kuchiki Byakuya membelakangi mereka, seolah ingin menyembunyikan warna wajahnya.

"Ichigo?" Kaien sudah beranjak dari sofa dan berdiri di ambang pintu, tapi Ichigo malah melangkah mendekati Kuchiki Byakuya yang sudah mendekati lemarinya, dan meletakkan kembali foto istrinya.

"Apa yang akan Anda lakukan sekarang, Pak?" tanya Ichigo lagi, dia tidak akan pergi begitu saja.

Kuchiki Byakuya melihat kesungguhan dan kekerasan hati di sepasang mata berwarna hazel Ichigo. Sebenarnya pria berumur 40 tahun itu tidak ingin lama-lama mendiskusikan hal ini karena suasana hatinya benar-benar kacau. Perasaan antara senang, bercampur sedih dan dendam mendalam. Dia senang mengetahui bahwa ternyata Hisana berhasil melahirkan anak mereka dengan selamat, bahkan anak itu telah tumbuh besar menjadi Hisana kedua, namun ia juga sedih karena anak yang belum pernah ia temui itu sekarang diculik dan tidak diketahui keberadaannya. Semua ini berawal dari Aizen Sousuke, orang itu adalah sumber bencana dalam kehidupannya. Karena itu ia ingin menghabiskan waktu untuk memburu buronan kepolisian selama belasan tahun itu.

Ichigo sudah hendak membuka mulut lagi untuk mendesak pria paruh baya itu segera bicara, namun ia merasakan sebuah tepukan hangat di bahunya, dan ia mengetahui siapa orang yang paling suka menenangkannya dengan cara seperti ini. "Aku tahu mungkin ini terdengar aneh, tapi kami ingin dilibatkan dalam pencarian Rukia. Bisakah kami mendengar cerita semuanya dengan lengkap?" ucap Kaien yang berdiri di belakang Ichigo, mata sendu Kaien menatap penuh harap pada sang kepala kepolisian.

Kuchiki Byakuya membalas sorot mata Kaien, tidak lama, hanya sekilas pandang, namun ia sudah bisa memahami bahwa dua orang ini begitu peduli pada Rukia, sehingga mereka begitu tidak rela polisi mengambil alih semuanya tanpa memberi keterangan apapun pada mereka. "Kami harus mengumpulkan data, dan seluruh informasi. Segera setelah ditemukan titik terang, kalian akan dikabari," jawab Kuchiki Byakuya agak tenang.

"Kau dengar, Ichigo? Kita tidak bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan Polisi. Kita pulang, dan berdo'a semoga Rukia baik-baik saja, hmm?" bisik Kaien seraya meremas bahu adiknya dan menariknya lembut tanpa paksaan, mau tidak mau Ichigo luluh dan Kaien berhasil membawa pria berambut orange menyala itu melangkah menuju pintu.

Mereka berdua meninggalkan Kuchiki Byakuya yang masih berdiri tegak di dekat meja kerjanya. Pria tinggi berwajah tenang itu menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya dalam satu hembusan cepat, tapi tiba-tiba lututnya melemas, membuatnya jatuh bersimpuh di lantai. Tangannya terkepal kuat, sekujur tubuhnya gemetar menahan gemuruh yang mendera dadanya, membuatnya merintih pelan seraya memukul lantai kuat-kuat.

"Hisana... Kenapa semua jadi begini? Aku tidak pernah tahu kau masih hidup bahkan membesarkan anak kita. Kenapa? Kenapa kau tidak sekalipun memberi tanda bahwa kau masih hidup? Kau... kau... lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Anak kita... anak kita..." rintih Kuchiki Byakuya yang kemudian meneteskan air mata yang ia tahan sedari tadi.

Szayel berdiri di ambang pintu, menunduk dalam dengan tangan memegang handle pintu, menahan langkahnya untuk masuk. Ia mendengar suara rintih tertahan dari dalam ruangan, dan dia mengerti bahwa atasannya adalah seorang pria terhormat yang tidak akan rela dirinya dilihat orang lain dalam keadaan lemah seperti ini. Szayel telah ditugaskan di kepolisian Karakura sejak tujuh tahun lalu, dan dia mendengar hampir seluruh kisah tentang kepala kepolisian berprestasi itu. Bahwa ia kehilangan istrinya, dan dikabarkan diculik oleh orang yang tidak menyukai ketegasannya sebagai seorang kepala kepolisian. Sungguh dendam dalam hati manusia bisa begitu menakutkan.

.

.

.


Air mata Rukia tidak juga berhenti, isak tangisnya adalah satu-satunya suara menyedihkan dalam ruangan serba putih yang tidak ia kenal. Mata jernihnya menatap mata pisau yang mulai menekan pergelangan tangannya. Senyum senang penuh kemenangan dari orang bermata biru di hadapannya seperti bukti nyata bahwa ia tidak bisa mengiba pengampunan lagi dari pemiliknya.

"Kubilang bicara, Rukia... Aku agak tidak tega mengoyak kulit mulusmu. Aku tidak akan tega melihat perempuan yang terluka," cicit Ichimaru dengan tangan membelai-belai rambut kusut Rukia. Bukan kasih sayang yang dirasakan Rukia, justru ketakutan yang merangkak dari kaki hingga seluruh tubuhnya. Seluruh syaraf dalam dirinya memintanya untuk menyerah dan bicara, tapi dia tidak pernah ingin menyerah dan membuat ayahnya tahu.

"Anda yakin, Pak?"

Ichimaru tersenyum lebih lebar, hingga terlihat seperti senyum telah membelah wajahnya menjadi dua. "Tidak juga sebenarnya. Aku senang menyiksa Aizen, karena dengan begitu sakit dan perih akibat kehilangan dalam diriku bisa berkurang. Bahkan akan sangat menyenangkan jika aku bisa melihat wajah menderita Aizen secara langsung," ucap Ichimaru lambat dan bernada senandung mimpi buruk. Dia bicara dengan ponsel berada dekat di wajahnya, sengaja agar sang lawan bicara mampu mendengarnya.

"Aku bersumpah akan mengulitimu, jika kau berani menyentuh anakku!" geram Aizen penuh kebencian dan kemarahan tak terlampiaskan.

Ichimaru berpura-pura tuli, padahal suara Aizen terdengar jelas dari speaker ponselnya.

"Apa? Kau bicara apa, Pak Kepala Mafia?" gumam Ichimaru sambil melirik Rukia yang membelalak saat julukan untuk ayahnya keluar dari mulut manis Ichimaru.

"Bajingan! Mati kau, Ichimaru!" umpat Aizen dari balik telepon.

Rukia berusaha untuk tidak mendengar ketika dua orang dewasa yang tidak ia mengerti ini saling mengumpat dan mengancam. Dia bingung, pusing dan tidak mengerti arah dari semua drama penculikan ini. Dia tidak pernah mengetahui satu titikpun. Namun satu hal yang dipikirkan siswa bertubuh kurus ini, bahwa ayahnya tidak akan pernah mengampuninya jika ia memang bisa lolos dari tempat ini.

"Sudahlah, Aizen. Kau tahu kemana ini semua akan mengalir, jadi kau tidak perlu banyak bicara!"

"Kematian istrimu adalah kecelakaan!" seru Aizen tiba-tiba, dan seketika itu juga tangan kurus Ichimaru mencengkram leher Rukia, menghentikan aliran oksigen untuk paru-paru Rukia, membuat anak perempuan belasan tahun itu memberontak, menendang-nendang udara kosong dengan tangan mencengkram tangan Ichimaru agar melepaskannya. Suaranya hanya berupa erangan pendek dan tertahan, hingga ia sendiri tidak menyadari bahwa tangannya tergores pisau cutter akibat gerakan reflek untuk melepaskan tangan Ichimaru.

"Kecelakaan? Kau menembaknya, Keparat!" balas Ichimaru seraya menambah kekuatan tangannya, membuat Rukia semakin keras meronta.

"Apa yang kau lakukan padanya? Lepaskan dia! Bukan dia objek balas dendammu, Ichimaru!" pekik Aizen putus asa, dan seketika itu juga Ichimaru melirik Rukia, menikmati tiap detik yang terlewat dalam erangan rasa sakit dari Rukia.

Aizen menahan kemarahan dalam dirinya ketika suara penuh penderitaan Rukia kembali menyapa telinganya. Dia ingin sekali melakukan sesuatu, tapi tangannya tidak akan sampai mencengkram Ichimaru, jantungnya berdenyut sakit membayangkan anaknya, Rukia yang ringkih, dicekik sedemikian rupa oleh tangan Ichimaru. Karena dari suara tertahan Rukia saja sudah cukup membuatnya yakin tentang keadaan itu. Dia sangat mengenal suara orang yang tersiksa karena cekikan, karena sedikit banyak ia sendiri banyak menyakisikan dan melakukannya.

"Tentu saja objek balas dendamku adalah dirimu, Aizen. Seluruh dirimu! Tapi akan sangat menyenangkan jika kau menderita sedikit demi sedikit seperti kau membuat seluruh hidupkan berada dalam neraka!" geram Ichimaru.

Aizen tetap mendengarkan, tapi badan dan matanya berjelaga melihat sekeliling ruang kerjanya, dan akhirnya dia melihat alat yang ia cari. Phone Tracking. Segera saja ia menarik alat itu tanpa menimbulkan banyak suara dan menyambungkannya ke ponselnya.

"Kau tidak akan menyentuhnya, langkahi mayatku dulu, Ichimaru!" ucap Aizen untuk menyamarkan suara alat yang tengah ia setting.

"Jangan banyak berkhayal, Aizen. Aku akan banyak sekali menyentuhnya, ha ha ha!"

Alat di tangan Aizen mulai bekerja, layar ukuran 17" di mejanya mulai menunjukkan titik merah dan mulai bekerja mencari sumber sinyal.

"Semua juga karena kebodohanmu sendiri, Aizen. Menculik wanita hamil hanya karena perasaan sesaat. Kau kira aku begitu bodoh untuk kau tipu. Aku akan membalas tiap goresan luka yang kau berikan padaku. Selamat tinggal!"

Sambungan telepon terputus.

"Bangsat!" umpat Aizen seraya menggebrak meja, karena alatnya belum sampai melacak Ichimaru pada posisi yang tepat. Ia hanya mampu melihat layarnya menunjukkan titik merah di kota sebelah Karakura. Jauh sekali tempat terakhir ia bertemu Rukia. Jadi sekarang Aizen harus mencari keberadaan Rukia di sekitar distrik 9 yang berjarak hampir 150km dari kota Karakura.

Distrik 9 bukanlah daerah kekuasaan Ichimaru, terlebih lagi daerah kekuasaannya. Daerah itu jauh dari jangkauan karena polisi sangat ketat menjaganya. Distrik 9 adalah sebutan para mafia untuk tempat yang harus dijauhi dari keributan. Distrik yang terdiri dari lima kota dan penuh pengamanan yang ketat. Dan Aizen harus mulai mencari keberadaan Rukia di satu persatu tempat itu. Kepalanya berdenyut lagi. Dia hanya tidak bisa memperkirakan waktu yang ia punya sampai Ichimaru melakukan sesuatu yang buruk pada Rukia. Daerah seperti itu dijadikan tempat persembunyian oleh Ichimaru, benar-benar cerdik.

"Seharusnya aku langsung menyeret Rukia pulang, dia akan lebih aman jika kukurung dalam rumah. Sial! Aku harus mulai dari mana mencari anak itu? Hisana, kau memberikan anak yang membuat kepalaku sakit bertahun-tahun!" umpat Aizen lagi, kemarahannya tertahan kebodohan yang ia lakukan sendiri.

Ruang berwarna serba putih itu diliputi aura mencekam ketika kulit tangan Rukia mulai mengalirkan darah akibat tekanan mata pisau yang menekan semakin kuat. Wajah Rukia menunjukkan ketakutan yang amat sangat, tapi tidak satu rintihan sakitpun yang lolos dari mulutnya, matanya hanya tertutup dengan menggigit bibir kuat-kuat, dia menahan air matanya mengalir akibat sakit yang mulai menghujam kulit putih bersihnya.

Pria berambut perak dengan mata berupa garis lurus itu menikmati tiap detika yang terlewat dalam aliran darah segar Rukia, dia tetap memasang wajah bengisnya ketika mata pisau semakin panjang membuat jejaknya di kulit Rukia, yang tidak lain adalah objek balas dendamnya. Dengan begini sedikit demi sedikit dendam dalam hatinya terpuaskan, dia menanti saat-saat Aizen akan menangis melihat betapa menderitanya anak dari wanita yang begitu ia cintai seumur hidup. Persis seperti dirinya yang kelihangan istri dan anaknya dalam waktu yang sama. Ini akan menjadi cerita menyenangkan untuknya maupun istrinya yang berada di alam baka.

Ichimaru beranjak dari tempatnya, menoleh pada jendela sesaat sebelum melangkah pergi sambil berkata, "Lanjutkan sisanya. Aku harus pergi."

Grimmjow menahan tangannya begitu bos yang menyewanya pergi, dia melihat sang pimpinan mafia itu hilang di balik pintu, dan perhatiannya kembali pada anak kelas satu SMA di hadapannya. "Kau bisa tahan sampai aku mengiris nadimu?" ucap Grimmjow dengan suara kaku, tapi wajahnya menunjukkan kesenangan, tidak ada simpati sama sekali.

Rukia menggeleng dengan polosnya, mata basahnya melihat darah yang mengalir banyak di sepanjang pergelangan tangan kirinya, darah merah segar itu mengalir dari luka sepanjang hampir empat jari.

"Ah, tidak seru sama sekali!" umpat Grimmjow seraya membuang pisaunya ke atas meja, dia berjalan santai menuju gantungan baju di bagian belakang pintu sambil menyeret Rukia dengan tenaga besarnya, membuat anak perempuan berbadan ringkih itu terseok-seok mengikutinya. Dia menarik sebuah dasi berwarna biru dengan garis diagonal, dan melempar dasi tepat ke wajah pucat Rukia. "Bebat lukamu!" hardiknya seraya melangkah lagi, membawa Rukia kembali ke ruang tawanannya. Dia melempar Rukia begitu saja ke tempat tidur apak di sudut ruangan lembab.

Rukia membalut lukanya dengan dasi yang ia pegang, melilitnya dengan susah payah karena seluruh tubuhnya gemetar, tapi dia berhasil, dan setidaknya dia tidak lagi merasa perih ketika melihat lukanya terus mengalirkan darah. Dia menghapus air matanya cepat, dan bertanya-tanya dalam hati ketika sang algojo yang telah menyakitinya masih saja berdiri di seberangnya, menjaga pintu dengan mata menatap tajam.

Dalam keadaan ketakutan dan cemas atas apa yang mungkin ia alami lagi, Rukia hanya bisa menarik napasnya agar teratur dan menenangkan diri, karena hanya ini yang bisa ia lakukan setiap kali dia tidak bisa meminta tolong pada siapapun. Dia menatap lantai di hadapannya, dan seketika saja pikirannya kembali pada lantai hangat di rumah pertama yang ia dapati kehangatan keluarga. Ia ingin pulang dan melihat senyum Kaien yang menyambutnya dan omelan Ichigo yang selalu menenangkannya.

"Hei, Bocah! Jawab aku!" seru Grimmjow, menyadarkan Rukia dari pikirannya sendiri, dan pandangan mereka bertemu. Grimmjow makin tidak mengerti dengan sorot mata anak perempuan di hadapannya yang justru sekarang tidak sedikitpun menunjukkan ketakutan. "Kenapa kau sangat berkeras tidak ingin bicara sekalipun pisau sudah menggores kulitmu? Apa rasa takut dalam dirimu sudah pergi?" cemooh Grimmjow dengan tangan terlipat di dada.

Rukia hanya menatap tangannya yang terbalut dasi dan mulai berubah warna ketika warna dasi bercampur dengan darahnya. "Saya bukannya tidak pernah takut, tapi saya hanya yakin bahwa ayah tidak akan melakukan sesuatu untuk saya. Saya selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk ayah, tapi selalu ada yang tidak memuaskan ayah, jadi saya tidak akan berharap. Ini hanya takdir lain yang harus saya jalani," bisik Rukia purau.

"Eh? Kau yakin umurmu 15 tahun? Kau bicara seperti wanita tua yang sudah banyak melewati penderitaan!" lagi-lagi Grimmjow bermulut tajam dengan tatapan mengintimidasi terarah pada Rukia, tapi sayangnya Rukia tidak sedang melihatnya.

"Saya hanya tidak bisa berharap. Tapi saya berterima kasih atas dasinya, setidaknya Anda masih memiliki sisi baik," ucap Rukia tenang.

Grimmjow terkekeh seketika, menertawakan ucapan bocah di seberangnya, tidak bisa menerima ada manusia seperti ini di dunia ini, terlebih lagi anak dari kepala mafia kelas atas. "Kau akan menyesali kata-katamu, Bocah! Sekalipun ada bagusnya kau mewarisi sifat ibumu, tapi sayangnya kau harus menderita karena ayah tirimu!"

Dengan satu kalimat penutup itu, Grimmjow meninggalkan ruangan, menguncinya dari luar, membuat Rukia kembali sendirian di ruangan. Mata Rukia menerwarang menatap langit-langit dengan satu-satunya lampu yang menjadi penerangan, dan seketika juga airmatanya mengalir.

"Ibu, saya akan kuat," gumamnya seraya terpejam dalam kelelahan.

.

.

.


Ichigo berjalan lunglai menyusuri koridor kampus yang berwarna kejinggaan berkat sinar matahari sore yang memancar terang dari tiap kaca yang memagari koridor. Langkahnya terhenti sejenak, pandangannya menerawang melihat barisan awan putih yang menghalangi jejak warna jingga di langit. Detik kemudian ia menghela napas berat, entah mengapa ia mendapat sugesti kalau paru-parunya mengecil sejak lima hari lalu, sampai jantungnya terus saja kaget setiap kali mendengar suara seorang perempuan yang bicara dengan nada sopan dan penuh penghormatan.

Segalanya yang berlangsung di sekitarnya hanya membuat pikirannya semakin kacau dan tidak tenang.

Sudah tiga hari berlalu sejak mereka bertemu dengan kepala kepolisian Karakura, Kuchiki Byakuya, yang artinya, sudah empat hari Rukia hilang dan tidak ada kabar yang datang, baik itu buruk maupun baik, dan itu justru malah membuatnya semakin tidak bisa diam tenang berpangku tangan. Beda sama sekali dengan Kaien yang justru terlihat sangat bisa mengendalikan diri, dan tetap beraktivitas dengan sangat normal. Sampai mahasiswa berambut orange menyala ini merasa menjadi satu-satunya orang yang abnormal semenjak penculikan Rukia.

Toushiro dan Hinamori, dua kakak adik yang berteman baik dengan Rukia itu sering kali menghampirinya saat jam makan siang. Kecemasan di wajah mereka hanya menyebabkannya semakin tidak bisa tidur.

"Ichigo~!"

Ichigo tersentak dari lamunannya, menoleh pada sumber suara di ujung koridor, dan mata hazelnya mendapati sosok kakaknya dengan kacamata barunya berdiri dengan latar belakang cahaya jingga menyilaukan. Dia melangkah malas menghampiri Kaien, tidak ingin memulai pembicaraan yang biasanya akan Kaien arahkan pada pengalamannya selama mengajar di kelas.

Kaien melihat betapa lemasnya Ichigo melangkah ke arahnya. Dia mengetahui tingkat galau yang dialami Ichigo, tapi mau bagaimana lagi kalau ternyata memang belum ada perkembangan apapun dari pihak kepolisian. Dia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mencari informasi lengkap mengenai Rukia, keluarganya, dan terlebih lagi orang serba biru yang sudah menculik Rukia, tapi sepertinya seluruh informasi tentang anak perempuan sopan dan formal itu tersembunyi dalam sebuah lumbung yang tidak bisa ditemukan di situs Google, terlebih lagi software manapun di kota Karakura. Ichigo sudah menyerah untuk mengobrak-abrik segala macam teknologi yang ia kuasai untuk mencari informasi.

Karena hasilnya selalu... nihil.

Kaien menggaruk rambutnya yang mulai panjang menyentuh bahunya. Mata kelabunya terlihat lelah, entah lelah karena pekerjaannya atau karena pikirannya yang selalu saja dipenuhi Rukia. Anak perempuan itu hanya hadir dalam hidup mereka dalam hitungan bulan, tapi sudah memberikan warna yang lebih beragam dari pelangi. Tidak pernah ada hal yang rumit seperti ini dalam hidup seorang Kaien dan Ichigo. Mereka hanya kakak adik normal yang hidup di lingkungan normal, hanya bedanya mereka lebih tampan dari kebanyakan laki-laki di Karakura.

Ichigo tidak lantas berhenti ketika langkahnya mencapai Kaien, dia malah terus melangkah melewati kakaknya, meminta Kaien untuk mengimbangi langkahnya dalam diam.

"Kau akan kerja sambilan hari ini?" tanya Kaien seraya melambai, membalas sapaan beberapa orang yang memberi salam padanya, sementara Ichigo tetap cuek, tidak peduli beberapa orang ikut menyapanya. Wajah garang dan tak bersahabatnya membuat beberapa mahasiswa perempuan langsung minggir, tidak ingin mendekati aura angkernya.

Ichigo menggeleng menjawab Kaien, langkahnya lebar-lebar, ingin cepat meninggalkan halaman yang mengingatkannya pada kejadian empat hari lalu.

"Apa belum ada kabar juga dari kepolisian?" tanya Ichigo seraya melirik Keigo dan segerombolan murid lain dari kelas Rukia, mereka berbondong-bondong baru keluar dari arah lapangan dengan seragam olahraga mereka, sepertinya mereka terpaksa mengikuti kegiatan ekstra hari ini. Ichigo hanya mengangguk ketika pandangannya bertemu dengan Hinamori yang justru tersenyum dengan pipi merona malu.

"Belum..." jawab Kaien dengan suara merengek sedih, dan ia ikut melihat kemana pandangan Ichigo terarah, dan dia melambai ramah pada beberapa orang muridnya.

"Sial! Aku tidak pernah berpikir akan mengalami tekanan begini gara-gara bocah super sopan itu!" gerutu Ichigo penuh amarah dan kecemasan yang bercampur. Kaien mengerti kegelisahan Ichigo, hanya saja cara Ichigo bicara mencerminkan kebencian, padahal jelas-jelas Ichigo khawatir total dengan keberadaan dan keadaan Rukia. Mungkin mendengar ini, hanya Kaien yang akan mampu menalarkannya.

Kaien menarik napas panjang dan menepuk bahu adiknya pelan. "Kau dan aku sama, Ichigo. Kita tidak bisa melakukan apa-apa jika belum ada informasi yang jelas. Aku cemas dan sangat merindukan Rukia manisku..."

"Tapi kita tidak bisa terus tinggal diam, Melambai!" protes Ichigo yang berbalik dan menghardik Kaien, dia terlihat sekali tidak suka dengan keadaan berpangku tangan seperti ini.

"Jangan berteriak, Ichigo," protes Kaien seraya menutup telinganya dengan wajah cemberut kesal, Kaien mengorek telinga, seolah ada serangga besar yang menerobos lubang telinganya, dan dia melanjutkan, "Kau pikir cuma kau yang berhak marah dan cemas begini? Aku juga! Kau malah tidak pernah menujukkan kepedulianmu pada Rukia sebelum ini. Kau seperti dua sisi mata uang! Kau selalu saja seperti ini."

Ichigo tertunduk, merasa bersalah sudah membentak Kaien seperti itu, bahkan keberadaan adu mulut mereka sudah mengundang perhatian orang yang lalu lalang di halaman yayasan Karakura. Dia memandang Kaien penuh tatapan penyesalan. Tapi Kaien cukup mengerti dengan penyebab labilnya emosi Ichigo, karena itu dia mengabaikannya.

Mereka melangkah beriringan melewati gerbang, berjalan lambat menuju jalan utama yang akan mengantarkan mereka ke rumah. Tidak ada yang memulai pembicaraan, semua terasa tegang, hingga seseorang muncul dan menghadang jalan mereka.

Sosok kurus itu mengenakan seragam sekolah khusus laki-laki yang sempat Ichigo lihat tempo hari di toko serba ada milik Urahara. Kurus dengan rambut hitam legam seperti Rukia, dan sepasang mata berwarna hijau emerald yang indah namun kelam. "Boleh aku bicara dengan kalian sebentar?" ucapnya seraya mengarahkan kepala pada coffee shop yang berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri saat ini.

Kaien melirik pada Ichigo yang masih menilai keberadaan penghadang jalan mereka, tapi dia mengangguk setelah Kaien menyenggol tangannya, meminta tanggapannya atas ajakan orang ini. Jelas saja Kaien bertanya-tanya, karena dia belum pernah melihat orang ini sebelumnya, tapi Ichigo tidak terlihat kaget sama sekali, jadi dia mengambil sikap bijaksana untuk membiarkan adiknya mengambil keputusan.

Tiga sosok yang sangat menarik perhatian itu melintas menyebrang jalan, dan dengan mereka berjalan wajar saja sudah membuat para penghuni yayasan Karakura berbisik-bisik resah. Pak Kira, yang kebetulan baru saja keluar dari area parkir, memusatkan perhatiannya pada sosok kurus dan pucat yang berjalan beriringan dengan kakak beradik yang ia kenal. Matanya menyiratkan keingintahuan, tapi ia mengabaikan penasaran dalam dirinya, sekalipun melihat sosok bersurai hitam dengan wajah sendu yang tak dikenalnya itu mengingatkannya pada Rukia, sekilas mereka tampak mirip.

"Untuk berapa orang?" tanya sang pelayan, menyambut kedatangan mereka, dan Ichigo hanya memberi isyarat dengan tiga jari kanannya yang terangkat ke udara. Dengan begitu pelayan mengarahkan mereka pada satu-satunya meja yang tersisa dengan empat buah kursi, tepatnya di pojok kiri toko.

Bungkam sekian detik tidak membuat Kaien bertahan, dia pun buka suara.

"Maaf sebelumnya, tapi Anda siapa ya?" tanya Kaien dengan mata melirik Ichigo, karena sedari tadi Ichigo tidak mau membuka satu katapun tentang orang ini.

Anak laki-laki berseragam putih itu memandang Ichigo sesaat sebelum mengembalikan seluruh perhatiannya pada Kaien. "Ulquiorra, kakak Rukia," tuturnya datar dan cenderung sendu.

"Ka-?" Kaien hampir terlonjak dari kursinya, dia tidak pernah menyangka kalau Rukia ternyata punya seorang kakak yang ternyata usianya... yah, kalau dibilang tidak jauh, ya memang sepertinya jarak usia Rukia dan anak ini memang tidak terlalu jauh. Terlebih lagi sosok ini terkesan menguarkan aura yang sangat bertolak belakang dari Rukia. Perasaan tidak aman dan penuh ancaman jelas sekali dirasakan pria berhati lembut ini ketika melihat sorot mata (yang justru sendu) dari seorang Ulquiorra.

"Kau lupa? Rukia pernah cerita kami bertemu dengannya di toko Urahara?" tandas Ichigo yang sepertinya tidak ingin melanjutkan penjelasan yang membuatnya harus mengulang semua proses pengenalan yang menurutnya begitu membosankan. Dia ingin segera tahu maksud kedatangan anak dari orang yang telah menyebabkan Rukia diculik. Masih segar sekali dalam ingatannya, orang serba biru itu menyebutkan kalau mereka berurusan dengan orang tua dari Rukia, bukan Rukia langsung.

Ulquiorra menarik napas perlahan, tidak berat namun cukup panjang, seolah menyiapkan diri untuk mengeluarkan kata-kata yang tidak dia harapkan.

"Aku sudah menduga ini akan terjadi," ucapnya penuh penyesalan, dan detik kemudian dahi Ichigo berkerut dalam.

"Apa maksud Anda?" Kaien buka suara, membentangkan tangannya di depan Ichigo yang sudah bergerak bangun dari kursinya, seperti hendak menerjang Ulquiorra.

"Kalau kau tahu ini akan terjadi, kenapa kau tidak mencegahnya?" sembur Ichigo tidak sabar, bahkan tangannya mengepal kuat bersiap menghantam wajah pucat Ulquiorra.

"Ini masalah dendam," ucap Ulquiorra tenang dan datar.

Kaien berpikir sejenak, matanya meneliti Ulquiorra dengan seksama sebelum berkata dengan penuh selidik, "Anda anak pertama?"

Ulquiorra mengangguk dalam, tidak berpikir dua kali untuk menjawabnya.

Kaien justru menautkan alisnya begitu tahu jawabannya, beda dengan Ichigo yang tidak bisa melihat korelasi antara kejadian penculikan Rukia dan status anak laki-laki tanpa ekspresi di seberangnya ini.

"Jika Anda..."

"Berhenti bicara formal dengan orang yang lebih muda darimu, Kaien! Kau sudah tertular Rukia!" bentak Ichigo emosi, karena dia jadi ingat Rukia lagi, dan itu membuatnya merasakan sakit di ulu hatinya.

"Yah, aku sayang Rukia, jadi tidak ada salahnya mengikuti kebiasaan baiknya, kan?" sahut Kaien santai, namun tetap dengan nada merajuk yang membuat siapapun mengira ia sedang meminta permen dari Ichigo. "Jadi kau anak pertama, bukankah lebih menjanjikan menculikmu yang merupakan anak pertama, laki-laki dan pewaris utama keluarga? Bukankah menculikmu akan lebih membuat acara balas dendam itu tepat sasaran?" jelas Kaien yang sekaligus menjawab pertanyaan dalam kepala Ichigo sebelum membentaknya karena cara bicara yang formal.

Akhirnya mahasiswa itu mengangguk mengakui pemikiran Kaien yang masuk akal, hingga dalam benaknya dia mengakui intelejensi kakaknya, dia pantas menjadi seorang guru, sekalipun punya kepribadian melambai yang sangat tidak tepat untuk seorang guru.

Ulquiorra kembali diam, tangannya hanya mengepal lemah, dan baru berubah sikap ketika pesanan mereka tiba, membuatnya harus bergeser dan memberi ruang bagi pelayan untuk meletakkan tiga gelas cappucino hangat. Mata hijau emeraldnya menatap bosan pada permukaan gelas yang masih bergoyang, seperti potret ombak lemah di lautan.

"Seharusnya memang seperti itu, tapi sayangnya aku bukan anak Hisana."

Kaien dan Ichigo makin bertanya-tanya. Ini jadi semakin rumit ketika sebuah nama lain terlontar dari bibir tipis Ulquiorra, membuat mereka saling bertukar pandang tidak mengerti dengan arah semua penjelasan ini. Kaien dan Ichigo masih mampu mengingat dengan jelas nama Hisana. Nama itu juga pernah dilafalkan kepala kepolisian Karakura, Kuchiki Byakuya, dan dia menyatakan bahwa wanita bernama Hisana adalah istrinya, dan mungkin saja Rukia adalah...

Sekali lagi semua petunjuk membuat otak Kaien bekerja keras merangkainya, sementara Ichigo sudah tidak mampu menggunakan otaknya lagi ketika kecemasan selalu mengabut di kepalanya.

"Aku menemui kalian, karena aku yakin Rukia telah memilih kalian menjadi tempat perlindungan terakhirnya." Sebuah mobil mewah melintas di jalan, mengalihkan perhatian Ulquiorra sejenak, dan tiba-tiba saja pandangannya mengeras, menunjukkan keyakinan dan niat yang kuat.

"Bisakah kau bicara dengan lebih jelas? Jujur saja, Rukia tidak pernah bercerita banyak tentang dirinya," pinta Kaien hati-hati.

"Kau jangan membuat teka-teki, keadaan sudah cukup rumit tanpa perlu kau menambahnya!" Ichigo menambahkan penuh emosi.

Ulquiorra mengeluarkan sesuatu dari tasnya, dia meletakkan sebuah buku tebal yang bertuliskan Kalkulus untuk Siswa Menengah. Dengan cepat tangannya meraih sesuatu yang terselip di dalamnya, meletakkannya di tengah-tengah meja, membiarkan serangan jantung lain menghampiri Kaien dan Ichigo. Dia sudah bersiap untuk membuka semuanya, jika memang itu harga yang harus ia bayar untuk menyelamatkan Rukia. Dia berjanji bahwa ia akan menjaga Rukia, dan bersumpah akan melakukan apapun untuk bisa membuat Rukia terlepas dari semua jerat dendam berkepanjangan yang diwariskan ayahnya.

"Ini, adalah foto keluargaku yang sebenarnya," jelas Ulquiorra seraya menujuk foto empat orang yang berdiri berjajar di depan sebuah rumah mewah, paling kiri berdiri seorang berwajah licik yang sangat dikenal Kaien dan Ichigo sebagai seorang Aizen, yang tidak lain adalah ayah Rukia, lalu di sebelahnya berdiri seorang anak laki-laki berjas rapi dengan pandangan kosong, yang dengan cepat bisa mereka tahu adalah Ulquiorra, lalu seorang anak perempuam berdiri di sebelah anak laki-laki tadi, tangan kirinya menggenggam tangan sang anak laki-laki, sementara tangan yang lain ia gunakan untuk merenggut gaun putih seorang wanita yang berdiri di sebelahnya, begitu mirip dengannya, seolah sosok dewasa dari dirinya.

"Foto ini diambil saat aku berusia sepuluh tahun, dan Rukia delapan tahun. Saat itu Hisana," telunjuk kurus Ulquiorra menunjuk sosok Rukia dewasa. "sedang sakit parah, kanker otak. Hanya berselang tiga tahun kemudian Hisana meninggal, dan neraka bagi Rukia dimulai saat itu," tutur Ulquiorra dengan napas berat.

Kaien mengangkat pandangannya dari foto, mendapati wajah murid sekolah Hueco Mundo itu berubah sedih, setelah sekian lama memasang wajah bosan dan sendunya. Kaien merasakan ada sebuah duka dan beban berat yang juga ditanggung anak laki-laki ini. Kaien melihat dengan jelas semua itu dari sorot matanya yang melemah.

"Rukia bukanlah adik kandungku, Hisana bukanlah ibu kandungku. Itu kenyataannya, karena Hisana adalah istri dari teman baik ayahku." Ulquiorra kembali membuka bukunya dan mengeluarkan hasil cetak foto lain yang terlihat jauh lebih tua, dan lusuh.

Mata Kaien dan Ichigo seperti akan melompat keluar dari tempatnya, mereka mendapati seorang Kuchiki Byakuya muda, yang tengah merangkul pinggang seorang wanita berwajah Rukia dewasa, dan berdiri berdampingan dengan Aizen, senyum cerah di wajah mereka menunjukkan betapa bahagianya mereka bertiga.

"Kalian pasti sudah bertemu pria ini. Ya, dia Kuchiki Byakuya." Ulquiorra menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Aku bertengkar hebat dengan ayah karena aku memintanya mengembalikan Rukia pada pria ini, tapi ayah tidak mendengarku, dan mengancamku, karena itu aku keluar dari rumah dan sekolah di Hueco Mundo," jelas Ulquiorra lagi.

Ichigo mengangguk dalam. Sekarang dia mengerti, Rukia pernah bercerita tentang pertengkaran hebat kakak dan ayahnya yang menyebabkan kakaknya pergi dari rumah, tenyata semua ini karena Rukia. Sekali lagi semua alur ini kembali pada anak perempuan lima belas tahun itu.

"Tunggu sebentar. Kau benar-benar membuat kami bingung. Jadi ini semua..." Kaien tidak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri, dia tidak punya kata yang tepat untuk menggambarkan semua kondisi rumit ini, kepalanya mendadak penuh dan tidak mampu menampung cerita panjang lainnya lagi.

"Kau tahu semua ini, tapi kau tetap diam?" sergah Ichigo marah.

Ulquiorra mengendikkan bahu, bukan seperti orang yang tengah menujukkan kepasrahannya, namun lebih pada ketidakberdayaannya yang tidak mampu melawan. "Ayahku kepala organisasi mafia kelas atas. Aku juga tidak pernah berharap lahir di keluarga seperti ini, tapi inilah kenyataannya. Hisana hanya korban keegoisan ayahku, dan Rukia mewariskan semua kesialan itu. Sayangnya Rukia tidak tahu apapun tentang ini semua. Dia tidak tahu kalau dia bukan anak dari ayahku. Dia begitu sabar dan tegar, aku tidak bisa melindunginya, dan aku tidak bisa buka mulut karena moncong senapan selalu terarah pada kepalaku. Kapanpun aku buka mulut, ayahku tidak akan segan-segan menarik pelatuknya."

Kaien menekap mulutnya, kaget sekaligus tidak percaya. Dia tidak habis pikir dengan orang tua yang rela mengancam anaknya sendiri, bahkan berniat membunuhnya jika membahayakan keberadaannya. Apakah orang seperti itu masih patut disebut sebagai orang tua?

Ichigo meraih gelasnya, meneguk sedikit isinya yang sudah mulai dingin, menenangkan pikirannya yang perlahan mulai tenang dan bisa menyambungkan semua sirkuit fakta rumit tentang Rukia.

"Aku tidak perlu membuka fakta ini lagi, karena dengan munculnya berita tentang keberadaan Rukia, dengan sendirinya seluruh fakta akan terkuak. Ayahku begitu takut Rukia lolos dari pengawasannya, karena itu ia selalu mengurung Rukia dalam rumah. Aku hanya tidak mengerti mengapa dia membiarkan Rukia kabur dan tinggal bersama kalian. Semua menjadi lebih rumit karena ayahku juga memiliki dendam yang melibatkan Rukia. Aku tidak tahu apa detailnya, tapi Rukia tidak pernah aman ketika dia berada di luar rumah."

Kaien mengeluarkan sebuah buku catatan dari tasnya, meraih pulpen dan membuat beberapa coretan nama, membuat panah penghubung, membuat Ichigo mengernyit tidak mengerti dengan aksi kakaknya ini. Ulquiorra tetap sabar menunggu hingga Kaien selesai membuat rangkaian pohon alur yang berantakan dengan beberapa keterangan di sana.

"Tunggu sebentar ya... Biar aku jabarkan isi kepalaku, jika tidak, maka aku akan meledakkan kepalaku dalam hitungan detik," ucap Kaien seraya membetulkan letak kacamatanya, membuatnya terkesan jauh lebih intelek, dan aksi ini justru membuat Ichigo mencibir kesal dengan sikap kakaknya yang suka unjuk kecerdasan.

"Jadi Hisana adalah istri dari Kuchiki Byakuya?" Kaien menunjuk panah yang menghubungkan nama Kuchiki Byakuya dan Hisana, lalu mendongak, mencari konfirmasi dari Ulquiorra, dan anak laki-laki itu mengangguk dalam. Ichigo justru mengangguk lebih dari sekali.

"Aku juga mendengar kalau istri Pak Kepala Kepolisian itu diculik saat mengandung. Jadi pelaku penculikan itu ayahmu? Aizen Sousuke?" Kaien kembali menujuk sebuah nama di pojok kertas yang ia tulis dengan huruf besar.

Ulquiorra mengerjap perlahan, "Ya, dan Rukia lahir saat Hisana berada dalam tawanan ayahku," tutur Ulquiorra tenang, namun penuh nada jijik, membenci apa yang dilakukan ayahnya.

"Belasan tahun kau menyimpan rahasia ini?" cecar Ichigo dengan tangan tak terkendali mencengkram seragam Ulquiorra, sontak Kaien menarik tangannya agar segera melepaskan tindakan brutalnya dari sumber informasi mereka, tapi tenaga Ichigo terlalu besar, hingga dengan mudah menghardik turun tangan Kaien.

"Kau tidak berhak mengadiliku," geram Ulquiorra dengan tangan mencengkram pergelangan tangan Ichigo, perlahan semakin erat, membuat Ichigo meringis merasakan sakit dari aksi Ulquiorra, hingga ia menyerah dan melepas renggutannya.

"Ichigo, jangan... Kau harus tahan emosimu," bisik Kaien seraya perlahan menarik tangan Ichigo agar adiknya menghadap padanya, menalarkan dengan baik peringatannya. Ichigo hanya mendengus marah, dan melipat tangannya di dada, matanya menyala menatap Ulquiorra penuh dendam.

"Kenapa ayahmu menculik Hisana?" tanya Kaien lagi, dan insting detektifnya terbangun dengan cepat.

.

.

.

To Be Continued

.

.


Maaf karena terlalu banyak kata-kata kasar.

Apa saya pindahkan saja ke Rated M ya?

Sekali lagi maaf Minna...

:-:-:Nakki:-:-:

11-03-2013