Lyon, France
Ricardo merapatkan coat yang dikenakannya, menembus udara dingin di kota Lyon yang mulai senyap. Pria itu melirik jam tangannya, telah lewat tengah malam. Pantas saja keadaan mulai sepi, sekalipun markas Interpol masih dipenuhi para pegawai dan agen. Ricardo tak menampik bahwa setelah munculnya organisasi itu, Interpol menjadi semakin sibuk. Setiap informasi yang didapatkan akan segera diolah, mengingat misi ini adalah misi besar yang mempertaruhkan kedamaian dunia. Klise, namun memang itulah adanya.
"Selamat malam, Senõr Ricardo."
Ricardo dengan segera menghentikan langkahnya, merasa sebuah suara telah memanggil namanya. Ia tak membalikkan tubuhnya, namun tangan kekarnya dengan segera menggapai holster di balik coat dan menggenggam pistolnya erat. Tidak semua orang mampu menghilangkan hawa keberadaannya, dan tak sedikit dari mereka yang mampu merupakan orang-orang yang terlibat dalam dunia kriminal.
"Siapa itu?" Ricardo bertanya dengan lantang, tanpa membalikkan tubuhnya. Matanya melirik spion mobilnya—beruntung saat seseorang itu memanggilnya ia baru saja mencapai mobil yang sedari sore terparkir manis di halaman kantor—dan menemukan seseorang berdiri dengan hoodie menutupi wajahnya tepat di balik punggungnya.
"Anda tak perlu mengetahui nama saya, Tuan—cepat atau lambat Anda akan mengenali siapa saya." Terdengar suara yang berwibawa, menuturkan Bahasa Perancis dengan sempurna. "Saya hanya ingin mengajak Anda bekerja sama dengan kami."
Ricardo mengerutkan kening, masih dengan tangan menggenggam erat pistol.
"Anda pikir saya bisa dengan mudah dibujuk, Tuan?" Tersenyum sinis, Ricardo bertanya pada si misterius dengan nada meremehkan.
"Saya tak pernah berkata seperti itu, Tuan." Suara tenang itu kembali mengudara, bibir di bawah lindungan hoodie itu tersenyum. "Namun, saya bisa memastikan bahwa Anda akan memikirkan tawaran kami dengan serius."
"Wow, so we got a very confident man here." Memutar matanya, Ricardo balas menyeringai. Walaupun sindiran pria pemimpin Interpol itu sebenarnya tak mempengaruhi senyum sosok di balik punggungnya itu.
"Saya menawarkan kerjasama untuk membersihkan dunia yang penuh dengan kelicikan manusia ini." Sosok itu tersenyum dengan tenang, suaranya—pada akhirnya—berhasil menarik atensi penuh sang kepala Interpol dan membuat pria itu menoleh. "Kami mengajak Anda untuk bersama-sama membersihkan dunia dari mafia-mafia kotor itu beserta seluruh anteknya."
Dan kalimat terakhir itu sukses membuat mata sang intel profesional nan berpengalaman itu terbelalak. Apakah orang ini adalah anggota organisasi itu?
"Apa maksudmu?" Ricardo menarik mundur senyum sinisnya, berganti dengan raut ekstra serius yang serasa membekukan suasana. Orang misterius itu mundur selangkah, memberikan jarak personal dengan pemuda latin itu.
"Kami yakin, Interpol memiliki tujuan yang sama dengan tujuan yang ingin kami capai. Membersihkan dunia ini dari noda-noda yang tak diharapkan. Karena itulah, kami menawarkan kerjasama ini kepada Anda." Senyum itu mulai berubah menjadi seringai kecil, menguarkan aura tak menyenangkan di sekelilingnya.
"Heh," Ricardo terkekeh sebentar. "Interpol bukanlah organisasi yang bersedia menerima bantuan melalui pintu belakang, Tuan. Jika itu yang Anda harapkan, maka sampai kapanpun Anda tak akan mendapatkannya."
"Saya tak terlalu yakin dengan hal itu, Tuan Ricardo." Pria itu perlahan melangkah menjauh, mulai meninggalkan Ricardo dalam kegelapan malam.
"Selamat berjuang, kalau begitu." Ricardo membuka pintu mobilnya, berpikir bahwa negosiasi ini telah berakhir.
"Ah, ya. Saya melupakan sesuatu..."
Ricardo menoleh, melihat figur itu berdiri di bawah sorot lampu jalan.
Apakah ia salah lihat—atau memang pria itu memiliki iris yang berbeda warna satu sama lainnya?
"Tuan Alaude adalah salah satu agen terbaik Anda, bukan?" Senyum mengerikan muncul di wajah itu, mau tak mau mengirimkan desir tak nyaman dan degup jantung yang lebih cepat pada Ricardo.
'Apa yang ia—'
"Akan sangat disayangkan jika ia memilih masa lalunya dibandingkan bersama Anda di sini, bukan?" Kekehan terdengar, sementara wajah Ricardo mulai memucat meski tak kentara. "Bawahan yang sangat berharga, dan—"
Ricardo mencabut pistol dari holsternya, dengan cepat menodongkannya—
"—lelaki yang Anda cintai."
—pada udara kosong.
Ricardo menolehkan wajahnya ke seluruh arah, tak lagi merasakan keberadaan siapapun di sana. Menggeretakkan giginya, ia memukulkan tinjunya pada tembok terdekat. Wajahnya memerah karena amarah, sementara tangannya perlahan memasukkan kembali pistol itu ke tempatnya. Menggeram pada udara dini hari yang dingin.
"Sial!"
Title: Skylark's Days
Summary: Tampuk kepemimpinan kini berada dalam genggaman Dino, dan Hibari telah ia kirimkan pada Interpol untuk menggantikannya. Skenario telah berjalan dengan sempurna. Ya 'kan, Alaude?
Rate: T (for safe)
Disclaimer:
Katekyo Hitman Reborn belongs to Akira Amano-sensei.
Brand-brand atau merek dagang yang tercantum di bawah ini bukan milik saya.
Pairing: Dino Cavallone X Kyouya Hibari; Primo Cavallone X Alaude; slight Ugetsu X G
Warning: Shounen-Ai, Alternate Universe, OOC, OC, typo(s), Alternate Age, war scene inside, DLDR!
Chapter 7.3: The Nightmare – Inheritance
Versailles, France
Alaude menatap langit dari jendela di ruang kerjanya. Awan gelap menutupi cakrawala, tak membiarkan cahaya matahari menyusup di antara lapisan-lapisannya. Suhu telah turun beberapa derajat selama sepekan terakhir, atau setidaknya itulah yang dikatakan berita perkiraan cuaca. Perancis siap menyapa musim dingin.
Kembali sang pemuda mengalihkan pandangannya menuju meja kerja, kepada beberapa lembar dokumen yang baru saja selesai ia cetak. Mengambil selembar amplop coklat besar dari laci, ia lalu memasukkan kertas-kertas itu ke dalamnya dan menyegelnya. Setelah selesai, kembali ia letakkan amplop itu di mejanya. Menerawang ke cakrawala, ia tersenyum datar.
"Sisanya akan kuserahkan pada kalian, Kyouya, Cavallone Decimo."
Suara bambu yang bertumbukan mengisi heningnya pagi, menghias kolam di sisi paviliun Jepang pada kediaman Alaude. Di dalam ruangan yang berbatas shoji yang terbuka separuh, duduk di atas tatami, seorang pemuda Asia dengan kinagashi hitam melekat di tubuhnya. Hibari Kyouya membuka matanya perlahan, menatap sesosok pria dengan gaya rambut Elvis Presley berposisi seiza di hadapannya.
"Apa ini perintah Anii-ue?" Suara tenang Hibari mengisi udara yang hening, dibalas dengan anggukan singkat dari lawan bicaranya.
"Ya, Bocchan. Ini sesuai dengan prediksi Alaude-bocchan." Si pria, Kusakabe, menjawab dengan hormat. "Saya telah memastikan bahwa para Tetua tak mengetahui pergerakan ini."
"Mereka sudah seharusnya tidak mengetahui ini, kecuali jika kalian memang telah bosan hidup." Hibari berkata, sarkastik. Seringai khas menghias wajahnya.
"Kami hidup untuk Anda, Bocchan. Kami telah bersumpah setia untuk Anda, bukan untuk para Tetua." Kusakabe menundukkan wajahnya, menunjukkan rasa hormat yang tinggi pada sang tuan muda. Hibari memilih untuk tidak menjawab. Ia tahu betul untuk siapa orang-orang ini bekerja, dan tak ada keraguan lagi soal hal itu.
"Anii-ue akan mulai bergerak, cepat atau lambat." Hibari bangkit dari tatami, berjalan menuju koridor terbuka yang mengarah langsung ke taman yang luas. "Aku belum mengetahui persis apa yang ia pikirkan, tapi aku yakin aku ada dalam baris terdepan rencananya."
'Dan kemungkinan besar, ini ada hubungannya dengan kondisi Alfonso Cavallone saat ini.'
Yeah, sekalipun ia berpikir demikian, ia memilih untuk tidak menyatakan pendapatnya.
"Aku akan segera kembali ke Roma."
Dan demi mendengar kalimat itu, Alaude mengernyitkan keningnya. Terang-terangan menolak rencana pemuda Italia di hadapannya itu.
"Apa yang kau rencanakan?" Sang pemuda Perancis menumpangkan dagu pada temali jarinya, menatap Dino lurus.
"Jasad Cavallone Nono telah ditemukan, juga beberapa anggota kami lainnya. Kami akan mengadakan pemakaman segera dan melaksanakan upacara penobatan."
"Risiko untuk tindakanmu itu terlalu besar, kau tahu itu. Roma tak lagi aman untuk Famiglia Cavallone, terutama untukmu sebagai calon Don."
Dino mengangguk. "Aku tahu itu. Namun aku tak bisa mengorbankan keutuhan Cosca demi keselamatanku sendiri."
Alaude terdiam, berpikir sejenak. Sebelum angannya kembali ke bumi untuk menghantarkan sebuah ide brilian.
"Lakukan saja upacaramu itu di sini, lalu Cavallone Nono bisa kau makamkan di sini—atau kremasi, pilihanmu." Alaude kembali menatap sang calon Don yang terdiam di tempat, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Pardon?"
"Aku bilang, bagaimana kalau kau lakukan upacara penobatanmu itu di sini, di Versailles?" Alaude mengulang penawarannya, dengan penekanan. "Aku bisa menjamin tempat ini tak akan tercium oleh musuh. Bahkan orang-orang Interpol tak mengetahui keberadaan mansion ini—mungkin kecuali beberapa agen senior. Bagaimana?"
"Apa kau yakin? Maksudku, hei, kami ini mafioso." Dino—masih dalam keterkejutan—menatap Alaude yang mulai berpikir untuk menarik penawaran sekali seumur hidupnya itu.
"Baiklah kalau kau menolak—"
"Tidak, tidak! Aku tak menolak!" Dino dengan segera menyela kalimat Alaude, sebelum agen andalan Interpol itu teriritasi dengan sikapnya. "Grazie, Alaude."
Alaude memutar kursi kerjanya, menghadap jendela besar di balik punggungnya dan membiarkan bibirnya mengguratkan senyum penuh arti.
Palermo, Italy
"Haah... Apa yang sebenarnya laki-laki itu pikirkan?" Seorang pemuda dengan surai magenta menggerutu pelan, menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Saya rasa Alaude-dono telah memperhitungkan semua ini." Laki-laki Jepang di hadapannya tersenyum maklum, berbicara dengan sopan. "Bagaimanapun juga, Alaude-dono tetap ketua tim kita, G-dono."
"Gaaah! Aku heran denganmu!" Laki-laki yang dipanggil G itu nyaris menendang meja kafe di hadapannya, lalu berlari ke tengah piazza yang ramai seperti orang gila. "Persetan dengan semua perintahnya! Seharusnya ini menjadi masalah pribadinya, jadi tak perlu melibatkan kita!"
Masih tersenyum sopan, Asari Ugetsu menatap pemuda Italia yang nyaris berserk itu.
"Lagipula, ini akan menjadi menarik. Bukankah begitu, G-dono?"
"Terserah kau saja." G menyerah, menyambar cangkir kopinya dan meneguknya cepat, berharap kafein mampu menjernihkan pikirannya. "Rencana kita jadi gagal karena komando sialan ini."
"Jangan marah begitu, G-dono. Villamu di Marseille tak akan lari kemanapun." Tertawa geli, ia melihat G tenggelam lebih dalam pada sofanya. "Kita bisa pergi ke Marseille segera setelah masalah ini selesai."
Sebaiknya begitu, pikir G. Ia membayangkan ia bisa menikmati deburan ombak lautan Mediterania yang biru, bersama pemuda Jepang yang luar biasa sabar menghadapi setiap gerutuan dan caci maki yang keluar dari bibirnya. Setelah minggu-minggu melelahkan di Amerika Selatan bersama ketua tim yang sadisnya minta ampun, mereka berhak mendapatkan liburan romantis berdua. Dalam tanda kutip.
Dan di sinilah ia, di Palermo yang akan hancur dalam hitungan seminggu. Memikirkannya saja sudah sukses membuat tekanan darahnya naik beberapa belas digit.
"Apa pasukan keamanan sial itu sudah sampai di Palermo?" G merogoh saku coat-nya dan mencari ponsel, masih mengumpat kesal.
"Seharusnya sudah." Ugetsu membolak-balik koran di tangannya, masih dengan headline tentang menghilangnya keluarga Cavallone secara misterius setelah mansion utamanya disinyalir diserang oleh sekelompok orang tak dikenal. "Cavallone sangat berpengaruh di Italia, ya? Berhari-hari insiden yang menimpa keluarga ini menjadi sorotan utama setiap kantor berita Eropa."
"Memang begitu. Salah satu keluarga terkaya di dunia, dengan aset miliaran Euro, kerajaan bisnis yang sukses di Italia dan beberapa negara lainnya, saham yang sangat diperhitungkan di bursa saham Eropa, kepala keluarga yang berkharisma, dengan pendamping mantan aktris opera terkenal dan dua anak lelaki yang siap mewarisi tampuk kepemimpinan ayahnya. Keluarga yang sempurna tanpa skandal." G bergumam, lebih pada dirinya sendiri. "Dan keluarga mafia yang sangat berpengaruh."
"Ah, Anda mengingatkan saya kalau mereka bukan keluarga miliarder biasa." Ugetsu turut bergumam, lebih karena apa yang ia bicarakan ini sangat sensitif dan rahasia.
"Dan sayangnya, tak banyak orang tahu mengenai hal ini." G selesai mengecek ponselnya, kembali menatap rekan agen di hadapannya. "Pemerintah Italia selama beberapa dekade terakhir berjuang ekstra keras untuk menghilangkan dominasi keluarga-keluarga mafia di negara ini, dan hasilnya nol besar."
"Tidak selama bahkan para penegak hukumnya sendiri memiliki ikatan kuat dengan para mafioso." Tambah Ugetsu, tersenyum miris.
"Dan tidak selama Famiglia Cavallone masih berdiri dan masih menancapkan hegemoninya di dunia bawah tanah Italia." G menaruh beberapa lembar Euro di meja, lalu bangkit. "Pasukan keamanan Interpol telah sampai. Ayo."
Ugetsu tersenyum, dan turut bangkit. Misi berat telah menunggu mereka.
Versailles, France
Tiga hari berlalu dengan cepat. Musim dingin semakin pekat terasa di langit Perancis yang muram. Keheningan mengisi mansion Alaude yang berdiri megah di pinggir kota bersejarah itu, setelah berhari-hari tempat itu disibukkan dengan berbagai persiapan menjelang hari penobatan Don Cavallone yang baru dan hari kremasi Cavallone Nono. Jenazah Cavallone Nono dan beberapa mafioso Cavallone lainnya tiba di Versailles semalam, dengan penjagaan ketat demi menghindari kecurigaan publik.
Beberapa jam lagi acara akan dimulai, dan beberapa Consigliere Cavallone mulai berdatangan sejak kemarin. Sebagian di antara mereka sangat terkejut dengan keputusan sang Don muda untuk melakukan acara penting ini di teritori musuh—atau begitu pikir mereka. Namun tak seorangpun dari mereka yang berani menyampaikan keberatan mereka. Karena bagaimanapun juga, pemuda ini adalah pemimpin mereka sekarang dan mereka mengakui bahwa Dino Cavallone sangat cakap. Lebih dari ekspektasi mereka untuk seorang pemimpin baru dari kalangan anak muda.
Dan inilah sang bintang utama hari ini, mengurung diri sepanjang pagi di dalam kamarnya yang remang. Dino berdiri di depan sebuah cermin antik, menatap pantulan sempurnanya. Lucu memang, tapi ini adalah saat-saat paling menegangkan dalam hidupnya. Ia harus memimpin keluarga mafia terbesar di Italia dalam usianya yang masih 22 tahun. Bukan hal mudah, bukan hal ringan.
Tapi ia tak akan lari. Dino Cavallone tak pernah lari.
TOK-TOK-TOK.
Dino menoleh ke arah pintu ganda yang tertutup, bertanya-tanya siapakah yang mengunjunginya sepagi ini.
"Masuk."
Dan pintu itu terbuka perlahan, menampilkan sesosok pemuda dengan kinagashi hitam dari baliknya. Butuh satu detik penuh untuk membuat Dino tersadar bahwa itu adalah Hibari Kyouya—terima kasih pada ruangan dan koridor yang masih gelap karena matahari yang enggan muncul.
"Selamat pagi, Kyouya." Dino tersenyum lembut pada pemuda oriental itu, yang dilanjutkan dengan mempersilakan Hibari masuk ke dalam kamarnya. "Ada apa tiba-tiba mengunjungiku?"
Hibari memilih untuk duduk di salah satu sofa dan terdiam, menatap mata hazel Dino dalam-dalam. Seakan memastikan bahwa pemuda di hadapannya ini masih cukup waras untuk diajak berbicara. Dino masih tersenyum, menangkap maksud dari gelagat penerus Klan Hibari itu.
Memang benar, jarang sekali Hibari keluar dari paviliun Jepang yang khusus Alaude sediakan jika tamu-tamu penting dari pihak mendiang ibunya itu datang berkunjung. Dino sendiri selalu menyempatkan diri untuk mengunjunginya setidaknya dua kali dalam sehari, di samping kesibukannya untuk mempersiapkan upacara penobatan dirinya sendiri. Sehingga cukup mengejutkan menemukan Hibari berkeliaran di mansion lengkap dengan kinagashi yang melekat di tubuhnya alih-alih pakaian kasual yang selalu ia gunakan di Roma dan Palermo.
"Maaf semalam aku tak mengunjungimu, Padre tiba ketika aku baru saja hendak pergi ke paviliunmu." Lebih tepatnya adalah jasad Padre-nya. "Dan hari ini—"
"Hari ini adalah hari yang penting untukmu." Hibari—pada akhirnya—membuka suara. Menyela perkataan Dino seperti biasa. "Aku yakin kau tahu bahwa semua ini ada dalam skenario yang dibuat Alaude."
Dino mengangguk setuju, namun memilih terdiam dan menunggu Hibari mengeluarkan semua pemikirannya.
"Aku akui, aku tak keberatan terlibat dalam rencana yang ia buat, dan kau tidak berada dalam posisi mampu menolak rencananya." Hibari menarik napas panjang sejenak, sebelum kembali melanjutkan perkataannya. "Tapi aku perlu tahu, apa rencanamu setelah ini?"
Dino merebahkan punggungnya pada sandaran sofa yang nyaman, masih memusatkan pandangannya pada Hibari di seberang meja. "Aku akan segera kembali ke Palermo—mungkin singgah terlebih dulu di Napoli atau Roma untuk mengatur strategi di sana."
"Aku tak menyarankanmu kembali ke Roma. Lebih baik kau pergi ke Napoli. Pers dan musuh tak akan menyangka kau memilih Napoli." Hibari kembali berbicara, mengundang anggukan setuju dari sang pewaris. Ah, mengatur strategi dengan Hibari selalu terasa lebih akurat dan menyenangkan.
"Baiklah kalau itu menurutmu. Aku akan pergi ke Napoli dan menghimpun kekuatan di sana selama beberapa hari. Setelah itu—"
"Jangan terlalu lama berada di Napoli, musuh bisa mencium keberadaanmu. Himpun kekuatanmu dari sini, biarkan mereka berkumpul di Napoli dan menunggu kedatanganmu di sana."
Dino tertawa ringan. Hibari dan kebiasaannya untuk menyela pembicaraan tak pernah gagal untuk memberikannya kejutan yang menyenangkan.
"Si, si. Satu hari, dua belas jam, lalu aku akan bergerak menuju Palermo. Salah satu markas bawah tanah kami di tengah kota Palermo berhasil selamat dari serangan musuh dan tak tercium hingga saat ini." Ternyata benar apa kata pepatah, sembunyikan pohon di tengah hutan. Dino tersenyum tipis mengingatnya. "Mata-mata kami berhasil mengendus keberadaan mereka di sekitar Palermo, sekalipun katanya basis utama mereka bukan di Italia."
"Sebuah serangan kejut akan mengumpulkan atensi mereka pada Palermo. Buat mereka lengah dan biarkan mereka membongkar sendiri pusat komando itu. Segera cari informasi selama pertempuranmu, dan kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan." Hibari tersenyum, nyaris menyeringai. Oh, ini akan sangat menyenangkan.
"Tepat seperti apa yang kupikirkan." Dino memandang pemuda di hadapannya dengan mata tertarik. "Grazie, Kyouya."
Hibari mendengus pelan, menutup mata dan menikmati ketenangan pagi yang melingkupinya.
Alaude terbangun dari tidur singkatnya, mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia tertidur, di kamar Alfonso, lagi. Entah untuk yang keberapa kalinya dalam minggu ini, ia tak menghitung. Ia hanya tahu bahwa kakinya secara refleks selalu membawanya menuju kamar ini setiap malam, dan berakhir tertidur di sana.
Pemuda itu menoleh ke arah bahunya, menemukan sebuah selimut tebal tersampir di sana. Lagi-lagi, pikir Alaude. Setiap malam ia tertidur di kamar Alfonso, ia akan terbangun dengan selimut melindungi tubuhnya dari udara dini hari yang dingin. Pasti Signora Cavallone yang melakukannya. Wanita paruh baya itu diam-diam akan mengunjungi Alfonso dan selalu menemukan Alaude telah tertidur pada kursi di samping ranjang sang putra angkat. Benar-benar sosok ibu yang penuh kasih.
Lalu ia mengarahkan pandangannya pada pemuda yang kini terbaring di ranjang besar itu, masih enggan menampakkan permata hazel-nya pada dunia.
Hari-hari telah berlalu bersama hembusan angin musim dingin, dan hingga detik ini Alfonso Cavallone belum juga keluar dari status koma yang divoniskan dokter. Luka-luka luar telah berhasil disembuhkan, namun beberapa luka yang tepat menghantam beberapa organ penting masih belum bisa tertangani sepenuhnya. Ditambah lagi dengan kondisi sang Caporegime yang seringkali tidak stabil, membuat tim dokter semakin kesulitan untuk menyembuhkannya.
"Selamat pagi, Alaude." Sebuah suara lembut membawa kesadarannya kembali ke bumi. Alaude menoleh ke arah sumber suara, menemukan seorang wanita paruh baya berdiri dengan anggun di depan pintu. Dengan segera, ia berdiri untuk menyambut kedatangan wanita itu.
"Selamat pagi, Signora Cavallone." Alaude balas menyapa, sedikit membungkukkan badannya penuh hormat.
"Tak perlu berdiri, Alaude." Suara lembut itu mendekat, membuat Alaude kembali duduk di kursinya—masih dengan selimut melingkupi tubuhnya. "Seharusnya kau tak perlu memaksakan diri untuk menjaga Al, aku tahu kau lelah. Bagaimanapun juga, agen terbaik Interpol sekalipun butuh mengistirahatkan diri."
Alaude memilih untuk terdiam. Menurutnya, Signora Cavallone-lah yang seharusnya lebih banyak beristirahat. Terlebih ketika ia harus melihat orang yang amat dicintainya telah terbujur kaku. Pemuda Perancis-Jepang itu mampu melihat kesedihan di mata itu, sekalipun sang wanita selalu menyembunyikannya dengan baik. Namun harus ia akui, Signora Cavallone adalah wanita yang tegar—lebih tepat dikatakan bahwa ia berusaha untuk selalu tegar demi kedua putranya dan demi Famiglia Cavallone.
"Al pasti senang melihatmu terus menjaganya sepanjang malam." Senyum lembut terukir di wajahnya yang cantik, seakan usia tak menggerus garis-garis kecantikan itu. "Tapi tak baik terus memaksakan dirimu seperti ini."
"Saya rasa begitu, Signora Cavallone." Alaude menjawab singkat dan pelan, setuju dengan saran sang nyonya. "Anda pun begitu, kesehatan Anda sangat penting, Signora Cavallone. Dan saya turut berduka cita atas apa yang telah terjadi."
Signora Cavallone tersenyum lembut—kesedihan tergurat samar di wajahnya. "Sangat berat rasanya jika harus berpisah dengan orang yang sangat kau cintai. Aku yakin kau pernah merasakan ini, Alaude." Lalu wanita itu menarik sebuah napas panjang, berusaha menghilangkan rasa sesak di dadanya. "Namun hidup tak akan berhenti sekalipun ia pergi. Kini, aku hidup untuk famiglia ini, juga untuk Dino dan Alfonso."
Alaude tertunduk, merasakan betapa besar kemuraman yang menggantung di sekelilingnya. Tapi ia mampu melihat secercah harapan, sebuah kesempatan untuk bangkit dari kondisi ini. Secercah harapan dari dua pemuda itu.
"Jika demikian, ada baiknya kita segera bersiap, Signora Cavallone. Acara akan dimulai beberapa jam lagi. Akan sangat tidak sopan jika kita membuat para tamu menunggu, bukan begitu?" Alaude bangkit dari kursinya, tersenyum tipis dan mengajak Signora Cavallone untuk meninggalkan kamar putra angkatnya.
"Kurasa kau benar. Ayo."
Hibari kembali ke paviliunnya ketika matahari sepenggalah naik. Disambut oleh beberapa bawahannya, ia langsung menuju kamarnya untuk berganti pakaian. Kinagashi ini memang nyaman—salah satu favoritnya malah—namun akan sangat tidak lazim jika ia menggunakannya ke acara resmi, karena kinagashi seharusnya memang hanya menjadi kimono rumah. Jadi ia memilih setelan jas yang disiapkan Kusakabe untuknya kemarin untuk ia kenakan hari ini.
Ia baru saja selesai mengancingkan jasnya ketika ponselnya berdering lembut. Mengerutkan kening, ia melihat siapa kira-kira yang menghubunginya—mengingat ia telah memutuskan kontak dengan siapapun agar keberadaannya tidak terlacak musuh.
Nomor privat?
"Halo."
"Kyouya-bocchama."
Oh, Kamisama. Hibari mengumpat dalam hati. Kenapa di saat rencana mereka siap dijalankan, orang-orang ini malah masuk ke dalam panggung mereka yang nyaris sempurna?
"Ya, ini aku. Ada apa?"
"Apa maksud Anda dengan membawa tim Anda ke Perancis saat ini? Apa yang Anda rencanakan?"
'Tanyakan saja pada Alaude, jangan tanyakan ini padaku.' Hibari berkata dalam hati. Ia memilih menarik napas dalam sebelum menjawab pertanyaan salah satu Tetua ini dalam nada dinginnya yang biasa.
"Ada sesuatu yang harus kulakukan di Perancis, dan aku membutuhkan mereka. Mereka berada langsung dibawah perintahku, jadi mereka adalah orang-orang yang paling tepat untuk kubawa." Hibari berjalan keluar kamarnya, menuju koridor paviliun.
"Kami tahu apa yang akan Anda lakukan di Perancis, dan kami tahu bahwa Anda menjalin hubungan dengan salah satu anggota ini Famiglia Cavallone—"
"Ini tidak ada hubungannya dengan Dino Cavallone. Ini adalah keputusanku, dan setiap keputusanku adalah mutlak untuk Klan Hibari." Hibari tak lagi mampu menahan geraman marahnya, berhasil menarik pandangan seluruh bawahannya menuju sang tuan muda. Ini akan menjadi masalah besar, begitu pikir mereka. "Jangan pernah berpikir karena kalian semua adalah Tetua Klan Hibari, kalian bisa menginterupsi keputusanku."
Hening menggantung, menciptakan atmosfer pekat di sekeliling Hibari.
"Anda baru saja mengambil sebuah keputusan berbahaya, Kyouya-bocchama."
"Kuanggap itu sebagai pujian." Hibari menyeringai berbahaya, mengirimkan aura permusuhan ke seberang telepon. "Jika tak ada lagi yang ingin kau bicarakan, aku akan menutup telepon ini. Banyak hal yang harus kulakukan."
Dan dengan demikian, sambungan pun terputus. Hibari menggeretakkan giginya, kesal.
Alaude harus membayar untuk semua ini.
Interpol's Headquarter, Lyon, France
"Sir, pasukan keamanan Interpol hari ini akan mulai berkoordinasi dengan polisi di sekitar Sisilia untuk upaya pengamanan." Seorang pria berpakaian rapi menghadap Ricardo pagi itu, menyampaikan laporannya. Ricardo mengangguk pelan.
"Terus pantau keadaan di sana, dan terus lacak keberadaan seluruh anggota inti Famiglia Cavallone." Perintah Ricardo singkat.
"Yes, Sir!"
"Baiklah, kau boleh kembali bekerja." Ricardo baru saja hendak mengarahkan kursi kerjanya kembali ke monitor laptop-nya ketika pria itu kembali lagi ke ruangannya. "Ada apa lagi?"
"Saya hampir saja lupa, tapi ada paket untuk Anda, Sir." Pria itu meletakkan dua buah amplop di meja kerjanya. Keduanya tak membubuhkan alamat pengirim sama sekali, cukup untuk mengundang kecurigaan dan alarm siaga segera berbunyi di otak sang Kepala Interpol.
"Begitukah? Terima kasih." Ricardo tersenyum tipis, matanya segera kembali terfokus pada dua amplop itu. Yang satu memiliki alamat tertuju terketik rapi, sementara yang lainnya memiliki alamat tertuju yang ditulis tangan dengan sangat indah. Tunggu, rasanya ia mengenal tulisan ini...
...Alaude?
Tanpa pikir panjang, Ricardo segera membuka amplop itu. Hanya untuk kembali terdiam dan tenggelam dalam rasa tidak percaya.
Surat pengunduran diri?!
Dengan kasar, ia menyentuh layar ponselnya dan menelepon seseorang. Berharap bahwa ia berhasil menghubungi orang yang bersangkutan. Dan ketika panggilan tersambung, yang bisa ia lakukan hanya menggeram dalam nada yang sarat akan rasa frustasi.
"Apa maksud semua ini, Alaude?!"
Melupakan keberadaan satu amplop lainnya.
Versailles, France
Alaude berdiri tegak di hadapan cermin. Ia baru saja selesai mengenakan setelan jasnya. Kemeja putih dengan kerah yang sengaja ia naikkan dan lipat sedikit di bagian depan, jas three-pieces—tuxedo dengan warna hitam yang sempurna di tubuhnya, celana bahan berwarna senada, dasi, dan juga coat di luar jas yang satu gradasi lebih gelap dari warna jasnya.
Cukup pantas untuk dikenakan dalam sebuah upacara penting turun-temurun pada keluarga mafia terkuat di dunia, ia rasa.
Tepat ketika ia akan meninggalkan kamarnya, ia merasakan ponselnya bergetar. Telepon masuk? Di saat sepenting ini?
Alaude dengan segera mengecek siapa kira-kira orang yang meneleponnya. Dan terdiam ketika ia akhirnya mengetahui siapa yang sedang berusaha menghubunginya.
Ricardo, for God sake.
Meskipun ia telah memperkirakan bahwa atasannya itu akan meminta penjelasannya segera setelah surat pengunduran dirinya mencapai mejanya di Lyon, ia tetap tak suka melakukan ini. Tapi ia lebih dari tahu, bahwa tak ada artinya lari dari situasi ini. Karena cepat atau lambat, ia akan menghadapi Ricardo suatu saat nanti. Menghadapinya sekarang atau nanti tak akan ada bedanya, pikir Alaude.
"Halo."
"Apa maksud semua ini, Alaude?!"
"Sir, saya tak mengerti apa yang Anda bicarakan—"
"Aku berbicara tentang surat pengunduran dirimu yang sekarang ada di mejaku, Alaude!"
Oh, oke. Toh sebenarnya ia tak perlu bertanya.
"Seperti yang Anda lihat, saya mengundurkan diri dari Interpol." Alaude duduk di kursi kerjanya, menatap taman depan mansion yang mulai ramai dengan orang-orang yang baru saja datang. "Apa masih ada hal yang membuat Anda bingung, Sir?"
"Ada ribuan—tidak, jutaan hal yang harus kau jelaskan padaku, Alaude! Dan kertas ini bahkan tak membantu menjelaskan apapun!"
Bosnya marah besar, Alaude tahu itu.
"Kebetulan sekali, Sir. Sore ini saya akan pergi ke kantor untuk mengantarkan seseorang. Saya akan menjelaskan perihal pengunduran diri ini pada Anda." Alaude melirik jam tangannya, acara akan segera dimulai. Lebih baik ia muncul sekarang. "Jika tak ada lagi yang ingin Anda bicarakan, saya harus segera pergi. Sampai jumpa nanti sore, Sir."
Dan panggilan terputus secara sepihak—lagi-lagi dari pihak Alaude.
Semoga orang-orang di kantor selamat dari amukan Ricardo, pikir Alaude.
Dino Cavallone berjalan membelah kerumunan di ballroom mansion Alaude. Berjalan dengan langkah tegap, ia melangkah menuju semacam altar di bagian terdalam ballroom. Orang-orang di sekelilingnya tersenyum penuh hormat, menyambut calon pemimpin mereka yang baru. Sementara di altar berdiri salah satu anggota Consigliere Famiglia Cavallone dan sang bunda, dengan sebuah nampan platinum yang membawa jubah kebesaran Don Cavallone yang diwariskan turun-temurun sejak generasi pertama famiglia ini.
Setelah tiba di altar itu, Dino berlutut, bertumpu pada salah satu kakinya. Bersiap untuk mengucapkan sumpah setianya pada Famiglia Cavallone.
"Kami, Consigliere Famiglia Cavallone, menyatakan bahwa Dino Cavallone adalah Don kesepuluh Famiglia Cavallone atas semua kecakapan dan integritasnya pada Famiglia Cavallone." Consigliere selesai menyampaikan keputusannya, dan kini adalah giliran Dino dan sumpahnya untuk mengisi udara.
"Saya, Dino Cavallone, bersumpah untuk menjaga dan melindungi Famiglia Cavallone dengan sepenuh hati, sebagai Don kesepuluh Famiglia Cavallone." Dalam suara yang lantang, Dino mengucapkan sumpahnya. Seketika, ballroom itu terisi dengan tepuk tangan dan ucapan selamat yang melimpah ruah. Setelah itu, Dino berdiri dan Signora Cavallone maju untuk memasangkan jubah kebesaran Cavallone di pundak sang putra. Jubah itu terlihat sangat sempurna pada Dino, seakan memang sudah seharusnya jubah itu berada di sana, berkibar dengan gagah di balik punggung sang pemuda Mediteran.
"Semoga jubah ini selalu mengingatkanmu akan kewajibanmu melindungi Famiglia Cavallone, anakku." Suara Signora Cavallone yang lembut menggema di sekeliling ballroom. "Biarkan beratnya jubah ini mengingatkanmu akan beratnya tanggung jawabmu sebagai Don baru dari famiglia ini. Beratnya memikul beban seluruh anggota keluarga besar ini di pundakmu. Tapi ingatlah, bahwa kau tak pernah sendiri. Ada kami dan Tuhan yang selalu bersamamu." Sentuhan lembut sang bunda di kedua pundak Dino nyaris membuat sang pemuda menangis. Tapi tidak, ia tak boleh menangis. Ia adalah laki-laki yang kuat, seperti kata Padre-nya.
"Baik, Madre." Jawab sang pemuda singkat, mengundang senyum Signora Cavallone untuk kembali menghias parasnya yang lembut.
"Biarkan setiap sulaman benang dalam emblem Famiglia Cavallone di punggungmu ini mengingatkanmu akan kebanggaan dan kejayaan yang harus kau jaga dengan jiwa dan ragamu. Kebanggaan yang mempertahankan Famiglia Cavallone selama berabad-abad, kejayaan yang diwariskan leluhurmu untuk kau teruskan. Tapi ingatlah, jangan tenggelam dalam ketamakan—tetaplah menjadi dirimu sendiri, anakku. Dirimu yang hangat dan penuh kasih." Dan nasihat itu dibalas sang Cavallone Decimo dengan anggukan mantap.
Hibari dan Alaude terdiam di tempatnya, di salah satu sudut ruangan, dan turut terhanyut dalam ketenangan yang tercipta. Hingga akhirnya Alaude memilih untuk memecahkan keheningan di antara mereka.
"Kyouya, sore ini kau akan ikut denganku." Katanya singkat, mengirimkan pandangan penuh tanya sebagai jawaban. "Kita akan pergi ke Lyon."
Hibari terdiam sejenak, sebelum membalas perkataan sang kakak sepupu. "Apa yang sebenarnya kau rencanakan, Anii-ue?"
"Tak baik menceritakan rencanamu pada siapapun, termasuk orang-orang yang terlibat langsung dalam rencanamu." Alaude bergumam pelan. "Aku tak ingin rencana ini berakhir dengan kegagalan. Tapi tenang saja, aku tak pernah berpikiran untuk menjatuhkanmu ataupun Cavallone."
Hibari kembali memandangi Alaude. Apa yang sebenarnya tengah bergolak di dalam otak cerdas agen Interpol itu?
Acara penobatan dilanjutkan dengan pengkremasian jenazah Cavallone Nono dan beberapa anggota famiglia lainnya. Kesedihan yang pekat menggantung di udara, dengan cuaca yang terasa semakin membeku. Asap membumbung ke udara, menandakan prosesi kremasi sedang berlangsung.
Dino menatap langit Versailles hari itu, seakan tak ingin melewatkan setiap garis asap yang tak lama kemudian menghilang di cakrawala. Ayah yang begitu ia hormati kini telah tiada, meninggalkan ia, sang bunda, dan Alfonso untuk mewarisi apa yang telah dilakukannya. Ia melihat ibundanya yang masih berdiri di sampingnya, terlihat tegar menghadapi kematian suami yang begitu ia cintai. Wanita itu lebih dari mengerti, suatu saat hal seperti ini akan terjadi. Ia selalu mengingatkan dirinya sendiri untuk tetap bertahan, karena kematian dalam misi seperti ini adalah risiko yang sudah sewajarnya para mafioso hadapi. Dan menjadi Don keluarga mafia terkuat di Italia membuat resiko itu menjadi berlipat puluhan kali.
"Madre..." Dino memanggil sang bunda lirih, sementara wanita paruh baya itu tak mengalihkan pandangannya dari asap yang masih membumbung.
"Sekarang ia sudah pergi, dan kau kini bertanggung jawab penuh atas keluarga ini. Terlebih dengan Al yang masih belum juga sadar." Signora Cavallone terdiam sebentar, membiarkan hening menggantung. "Kau baru saja berusia 22 tahun, dan beban ini akan menjadi sangat berat di pundakmu."
Dino tersenyum tipis. "Sudah menjadi takdirku untuk memimpin keluarga ini, cepat atau lambat. Lagipula, aku tak semuda itu, Madre." Usia 22 tahun, dalam perhitungannya, telah cukup dewasa untuk mengambil alih tampuk kepemimpinan di tangannya. "Kyouya saja sudah memimpin Klan Hibari di usianya yang bahkan belum mencapai 19 tahun, jauh lebih muda dariku."
Signora Cavallone tertawa lembut. Benar juga, pemuda Asia itu harus mengambil alih kekuasaan yang ditinggalkan kedua orangtuanya dalam usia yang jauh lebih muda. Mungkin itulah yang menjadi salah satu pembentuk kepribadiannya yang lugas dan merciless. Lalu mereka terdiam, memandangi asap itu hingga menghilang sempurna dari langit Versailles yang mendung.
"Aku harus segera kembali ke mansion, ada rapat strategi yang harus kupimpin. Maafkan aku, Madre, tapi bisakah kau jaga Padre untukku?" Dino menggenggam erat tangan sang bunda, yang dibalas dengan anggukan penuh pengertian. Sang putra lalu memeluk Nyonya Cavallone itu dengan lembut. "Aku akan menemui Madre sebelum aku kembali ke Italia."
"Saya ingin setiap pasukan dari setiap wilayah berkumpul di Napoli terlebih dulu untuk menghindari kecurigaan musuh. Terhitung dua belas jam setelah saya tiba di Napoli, kita akan bergerak menuju Palermo. Kita akan mengandalkan relasi-relasi Cavallone untuk mencapai Palermo, secara diam-diam kita akan mempersiapkan serangan kejutan secara simultan di seluruh titik keberadaan musuh." Mata hazel yang biasanya lembut itu menatap tegas pada beberapa puluh lelaki yang terkumpul di ruang pertemuan utama mansion Alaude. "Namun, jangan biarkan pertahanan melemah. Tinggalkan beberapa pasukan di setiap wilayah, pasukan dengan kemampuan pertahanan terbaik. Jangan biarkan satupun wilayah jatuh ke tangan musuh."
"Si, Signore!" Seruan terdengar di penjuru ruangan, mengisyaratkan bahwa keputusan telah diambil dan yang perlu mereka lakukan sekarang hanya mulai bergerak dan memastikan strategi ini berjalan dengan baik. Beberapa detik kemudian, ruangan riuh dengan usaha-usaha setiap Caporegime untuk menghubungi setiap wilayah yang dipimpinnya dan mengomandokan setiap barisan untuk merapat menuju Napoli.
"Boss." Sebuah suara yang familiar di telinga mengalihkan Cavallone Decimo itu dari puluhan bawahannya. Dino tersenyum, tak perlu menoleh untuk mengetahui siapa yang baru saja memanggilnya.
"Aku lebih suka dipanggil Tuan Muda seperti biasa, Romario." Dino berkata dengan nada bercanda, mengundang senyuman untuk muncul di wajah orang kepercayaan sang Cavallone Decimo.
"Jika Anda berkata demikian, Tuan Muda." Romario berdiri tepat di samping kursi Dino, kursi pemimpin rapat yang biasanya ditempati oleh ayahnya. "Saya belum mengucapkan selamat atas penobatan Anda sebagai Don kesepuluh famiglia ini. Selamat atas penobatan Anda, Tuan Muda."
"Grazie, Romario. Untuk selanjutnya pun, aku akan membutuhkan banyak bantuanmu." Dino berdiri, berniat meninggalkan ruang pertemuan. Senyum pria di sampingnya semakin lebar, lalu ia membungkukkan tubuhnya penuh rasa hormat.
"Dengan senang hati, Tuan Muda."
"Rapat hari ini selesai, silakan kembali ke wilayah Anda masing-masing dan tunggu instruksi selanjutnya. Selamat siang."
Alaude kembali ke kamar Alfonso segera setelah upacara kremasi selesai, menatap pemuda itu dalam diam. Sekilas terbersit kesedihan dan kekhawatiran di mata biru es itu, untuk selanjutnya kembali digantikan dengan tatapan datarnya yang khas. Ia kembali duduk di kursi di mana semalam ia tertidur, matanya mengamati alat monitor detak jantung yang terus berbunyi monoton.
Ia bukan tipe orang yang melankolis, tentu saja. Ia tak akan mulai meracau pada Alfonso yang masih belum juga sadarkan diri. Ia tak akan mulai bermonolog seakan-akan Alfonso bisa meresponnya. Ia tak akan mulai berbicara sendiri seperti orang depresi yang mencurahkan seluruh emosinya pada udara kosong. Tak akan pernah.
Tapi untuk kali ini, ia merasa bahwa ia perlu mengatakan sesuatu pada si pemuda Cavallone.
"Ayahmu sudah ditemukan, dan kremasi untuknya baru saja selesai dilaksanakan." Alaude berbisik pelan, direspon dengan suara monoton dari mesin-mesin penopang kehidupan pemuda lainnya. "Adikmu kini menjadi Cavallone Decimo, siap membalaskan dendammu." Lagi-lagi, keheningan membalas kalimat mantan agen Interpol itu. "Tapi bagaimanapun juga, mereka membutuhkanmu. Dino Cavallone membutuhkanmu, Signora Cavallone membutuhkanmu, famiglia-mu membutuhkanmu."
"Aku membutuhkanmu."
Hening kembali menggantung, lebih berat dari sebelumnya. Memekakkan telinga Alaude dengan kesunyian yang terlalu pekat.
Sementara di balik pintu, Dino Cavallone berdiri, mematung. Entah telah berapa menit berlalu sejak ia berada di sana, tak sengaja mendengarkan percakapan sepihak yang dilakukan Alaude. Masuk ke dalam kamar sang kakak sekarang kedengarannya bukan ide bagus, dan pergi dari sana pun ia tak mau.
Dino terdiam. Ia tak tahu harus berbuat apa. Lima belas menit lagi ia harus berangkat, dan ia merasa bahwa ia perlu berpamitan pada kakak sepupunya itu. Tak peduli sekalipun Alfonso masih dalam kondisi koma.
"Dino Cavallone, aku tahu kau ada di sana. Masuk, atau kau akan kuusir."
Dino tersentak di tempat—secara literal. Ternyata Alaude sudah menyadari kehadirannya, dan kini ia tak tahu bagaimana ia harus menghadapi Alaude.
'Tapi ya sudahlah.' Tanpa pikir panjang, Dino membuka pintu kamar dan menemukan pemuda Perancis itu kini berdiri menghadap jendela besar yang menampakkan taman belakang mansion yang luas. "Aku rasa aku harus meminta maaf karena telah mengganggumu."
"Kupikir kau sudah berangkat." Alaude merespons singkat, memperhatikan sang Cavallone Decimo dari pantulan pada kaca yang bening.
"Tidak sebelum aku mengunjungi Al." Dino tersenyum tipis, melangkah ke arah ranjang Alfonso yang luas. "Aku pikir sudah seharusnya aku berpamitan padanya terlebih dulu. Fratello, aku pergi dulu."
Lalu sunyi selama beberapa saat sebelum Dino kembali membuka suara.
"Aku mempercayakan Al padamu."
Tak ada tanggapan berarti dari Alaude. Ia masih tak bergeming di tempatnya.
"Aku akan menghubungimu untuk menanyakan perkembangan keadaannya." Dino melangkah ke luar kamar Al, sebelum suara lain menghentikan langkahnya sejenak, mengirimkan senyum tipis ke bibirnya.
"Kau bisa mempercayakan Al padaku."
Tepat dua puluh menit kemudian, mansion kembali sepi. Semua kembali seperti sedia kala, seakan upacara penobatan Famiglia Cavallone tak pernah terjadi di tempat ini. Namun tak bisa dipungkiri, keamanan di sekitar mansion telah diperketat—terima kasih pada bantuan dari Famiglia Cavallone yang bersedia menjamin keamanan seisi bangunan.
Hibari masih di posisinya selama lima menit terakhir, duduk di salah satu sofa di ruang kerja Alaude sementara pemuda yang bersangkutan masih memeriksa beberapa berkas yang bertumpuk di meja. Banyak pertanyaan yang masih bergumul di pikirannya, menyerap setiap tetes ketenangan yang ia miliki. Dua menit lagi ia berada dalam posisi ini, ia lebih memilih segera meninggalkan ruangan ini dan menyusul Dino menuju Napoli.
Tapi tidak. Ia tahu itu tak masuk dalam skenario yang disiapkan sang kakak sepupu untuknya. Dan ia benci harus menuruti skenario ini.
"Aku mengundurkan diri dari Interpol." Tak ada angin, tak ada hujan, Alaude memulai pembicaran. Langsung menuju poinnya.
"Apa?" Hibari masih berpikir bahwa terjadi disfungsi pada pendengarannya, namun ia yakin Alaude baru saja berkata kalau ia mengundurkan diri.
"Aku sudah mengirimkan surat pengunduran diriku ke Lyon semalam, dan pagi ini Ricardo menghubungiku, meminta penjelasan." Alaude menyandarkan punggungnya pada kursi kerjanya, menghela napas pelan. Apa sebenarnya yang kurang jelas dari sebuah surat pengunduran diri? Begitu pikirnya. "Aku akan berangkat dalam setengah jam."
"Lalu, apa hubungannya denganku?" Hibari mengerutkan kening, meskipun tak tampak kentara di wajahnya.
"Aku ingin kau ikut denganku ke Lyon sebagai agen pengganti—tidak secara literal. Kau akan membantu Interpol dalam beberapa tindakan penjagaan keamanan. Nama Klan Hibari telah lama bergaung di dalam institusi itu, jadi tak sulit untukmu masuk ke sana." Alaude berjalan ke arah Hibari, lalu duduk pada salah satu sofa di hadapan Hibari.
"Aku menolak terikat dengan organisasi manapun, terlebih lagi dengan Interpol." Karena jika ia terikat dengan Interpol, akan sangat sulit baginya menemukan celah untuk tetap berkomunikasi dengan Dino. Untuk memastikan pemuda itu tetap waras, tentu saja, seperti biasa.
"Kau bisa meminta mereka menjamin keleluasaanmu, meskipun memang tak bisa sebebas yang biasa kau lakukan." Alaude meraih cangkir di atas meja, meneguk teh yang mulai mendingin. "Kau akan membutuhkan Interpol untuk mendapatkan semua informasi yang kau butuhkan untuk menjaga Cavallone dalam keadaan tak tersentuh—setidaknya hingga mereka memulai penyerangan."
Hibari terdiam. Jadi, ia bukan hanya melakukan tugas keamanan untuk Interpol, tapi juga harus melaksanakan tindakan spionase untuk Cavallone dan Alaude? Hebat sekali.
Oh, sarkasme.
"Tapi aku akan melakukan ini dengan caraku. Sebaiknya jangan sekalipun mereka berpikir aku akan melakukannya sesuai dengan birokrasi bodoh yang mereka buat." Hibari menyerah, Alaude dan rencananya yang God-only-knows-what sudah tak bisa ia cegah lagi. Alaude menyambutnya dengan seringai tipis di bibirnya.
"Bagus, ayo berangkat."
Interpol's Headquarter, Lyon, France
Senja telah tiba ketika Alaude membuka pintu mobilnya dan melangkah masuk ke dalam gedung kantor Interpol, dengan Hibari yang mengekor di belakangnya. Begitu mereka memasuki bangunan, setiap tatapan mengarah pada Alaude seakan berkata kau-ada-dalam-masalah-besar-Tuan-Muda. Pemuda Perancis itu sadar betul, namun lebih memilih untuk tak ambil pusing. Ia tahu ia ada dalam masalah, tak perlu orang-orang sekantor untuk mengingatkannya tentang hal ini.
Berdiri tepat di depan pintu ruangan Ricardo, Alaude terdiam sejenak. Menarik napas, lalu mengetuk pintu sebanyak tiga kali dan menunggu respons dari dalam ruangan.
"Masuk."
Oke, ini dia.
Alaude memutar kenop pintu dan membuka pintu dengan satu kali hentakan.
"Saya datang untuk melapor, Sir."
"Alaude!"
Hibari—yang tepat berada di balik punggung Alaude—memutar bola matanya. Oh, drama...
Naples, Italy
Petang telah berganti malam di Kota Napoli. Dino Cavallone dan rombongannya berhasil tiba di markas Napoli tanpa tercium musuh. Ia sedikit banyak bersyukur para pendahulunya selalu membangun markas bawah tanah di setiap wilayah kekuasaan Cavallone, tak peduli berapa banyak uang yang harus mereka keluarkan. Masih dengan setelan jas resmi yang ia kenakan sepanjang hari, ia memberikan perintah-perintah singkat pada setiap pasukan, setiap tim logistik, setiap tim dokter, setiap elemen demi penyerangan esok hari.
"Periksa ulang obat-obatan dan alat-alat medis yang diperlukan lalu letakkan dalam satu kelompok! Siapkan bahan peledak sebanyak yang mampu kalian temukan! Pastikan semua senjata dan peluru dalam kondisi baik dan cukup! Setelah semua selesai, segera berkumpul dan berangkat setelah lewat tengah malam! Ingat posisi tim kalian, dan pastikan tak ada seorangpun warga sipil terbunuh dalam serangan ini, mengerti?!"
"Si, Signore!"
Setelah selesai memberikan komando, Dino kembali berkeliling, mengecek persiapan setiap tim. Sesekali ia berbicara dengan Romario dan beberapa Caporegime lainnya, mematangkan strategi yang akan dijalankan. Hari semakin larut ketika seluruh pasukan berkumpul dan pengarahan terakhir selesai sang Don muda sampaikan. Dan saat itulah Dino baru merasakan lelah menyusup ke setiap sarafnya, ditambah lagi ia belum memakan apapun sejak tadi pagi.
"Tuan Muda, lebih baik Anda beristirahat dulu. Kami akan membangunkan Anda beberapa menit sebelum waktu keberangkatan." Ivan, salah satu bawahan kepercayaan Dino, berkata ketika melihat atasannya itu bersandar lelah pada kursi kerjanya. Dino membuka matanya, lalu tersenyum.
"Aku tak apa-apa, Ivan." Dino kembali membenahi posisi duduknya, sekalipun matanya sama sekali tak bisa berbohong. Ia lelah, dan tubuhnya butuh tidur.
"Setidaknya makanlah sesuatu, Tuan Muda. Saya belum melihat Anda makan apapun hari ini. Penyerangan ini tak akan berjalan dengan baik jika Anda sakit." Romario masuk ke dalam ruangan, membawa nampan berisi sebuah cangkir dan poci teh, juga sepiring spaghetti hangat. "Saya bertemu dengan beberapa anggota yang baru saja memasak, dan saya meminta sepiring spaghetti dari mereka untuk Anda. Saya katakan pada mereka bahwa Anda belum sempat makan apapun hari ini, dan mereka meminta maaf karena tak bisa memasakkan sesuatu yang lebih baik."
Dino tertegun, menjatuhkan pandangannya pada sepiring spaghetti di mejanya, masih panas. Dino mendongakkan wajahnya, bertemu pandang dengan kedua orang kepercayaannya yang tersenyum hangat.
"Anda harus memakannya, karena ini adalah bukti hormat dan cinta seluruh bawahan Anda. Spesial untuk Cavallone Decimo kami tercinta." Ivan nyengir jahil, melahirkan senyuman penuh rasa terima kasih dari atasannya.
"Baiklah kalau begitu. Bon appetite!"
Charles de Gaulle Airport, France
Hibari duduk tepat di samping jendela pesawat terbang, menatap bandara utama Perancis yang sibuk dengan aktivitas penerbangan selama dua puluh empat jam penuh ini. Insiden tadi sore masih terus terputar di ingatannya, insiden yang menyebabkannya berada di dalam pesawat kelas eksekutif ini.
.
.
.
"Saya rasa surat pengunduran diri itu sudah sangat jelas, Sir." Alaude menjawab dengan tenang, sementara seorang pria lainnya—yang Hibari ketahui bernama Ricardo dari papan nama di mejanya—masih tampak marah dan tak percaya.
"Aku tahu ini surat pengunduran diri, Alaude—semua orang yang melihatnya juga tahu kalau ini surat pengunduran diri. Tapi yang kutanyakan, kenapa kau mengundurkan diri?" Ricardo tampaknya masih ingin mempertahankan perdebatan ini.
"Masalah pribadi, Sir." Alaude menjawab singkat. "Tapi Anda tak perlu khawatir kekurangan agen."
Alaude melirik Hibari yang sedari tadi secara pasif menyimak apa yang terjadi—nyaris mati bosan dan merasa tak dibutuhkan di sini. Ricardo yang menangkap arah pandangan Alaude segera saja menemukan keberadaan pemuda Jepang itu.
"Dia sepupu saya, Kyouya Hibari."
"Hibari?" Ricardo mengerutkan keningnya, berusaha mengingat sesuatu—sebelum akhirnya menyadari sesuatu. "Klan Hibari?"
"Benar. Saya merekomendasikan Kyouya Hibari untuk menggantikan saya menangani kasus ini." Alaude meletakkan beberapa lembar kertas di meja Ricardo. "Klan Hibari telah banyak berkontribusi untuk Interpol, seperti yang Anda ketahui. Di berkas itu terdapat track record Kyouya Hibari dalam menangani kasus-kasus sebagai kepala Klan Hibari dan identitas lengkapnya."
Hibari melihat sepupunya dengan tatapan bertanya. Dari mana Alaude mendapatkan semua itu? Sejak kapan ia mempersiapkan semua ini?
"Delapan belas tahun? Aku pikir kau lebih tua!" Ricardo mengembalikan tatapannya pada Hibari yang memasang ekspresi risih. Ia memang masih muda, lalu? Toh, selama ini tak pernah ada komplain apapun dari pihak Interpol ketika mereka belum mengetahui identitas aslinya.
"Umurku bukan masalah utama di sini." Hibari nyaris menggebrak meja di hadapannya, kalau ia tak mengingat siapa yang sedang ia hadapi sekarang. "Segera menuju masalah utama atau aku akan meninggalkan ruangan ini sebelum kau selesai mengatakan 'kamikakushi'."
Hibari mengatakannya sembari menuding ke arah Ricardo, untuk informasi. Oh brilian, ia dan otak random-nya.
Ricardo dan Alaude langsung bungkam. Sebelum akhirnya Ricardo berdehem.
"Kalau begitu, selamat bergabung di Interpol. Bagaimanapun juga, kami senang menerima anggota Klan Hibari untuk menjadi salah satu di antara kami." Ricardo tersenyum, berusaha terlihat ramah.
"Jangan salah sangka." Hibari berkata dengan nada datar. "Aku memang akan menjadi salah satu bagian dari kalian, tapi aku akan melakukan semuanya dengan caraku." Menekankan pada kata 'caraku'.
Ricardo terdiam sejenak. Pemuda latin itu akhirnya bisa melihat bahwa Alaude dan Hibari bersaudara: paras dan sifat keras kepalanya terlalu mirip. Dan soal permintaan—atau ultimatum, tak ada bedanya—Hibari, ia mengerutkan keningnya. Memang benar, Klan Hibari terkenal dengan kemampuan mereka yang luar biasa dalam menangani berbagai misi yang diajukan kepada mereka. Sepanjang sejarah kerjasama mereka dengan Interpol, tak ada sedikitpun cacat pernah mencoreng nama besar mereka.
Well, mungkin tak ada salahnya membiarkan pemuda ini melakukan apa yang ia mau.
"Baiklah kalau begitu, aku sadar betul bahwa kebebasan adalah sifat dasar Klan Hibari. Tunggu sebentar, aku akan memanggil bawahanku untuk mengantarkan emblemmu dan pistol standar agen—"
"Tak perlu." Hibari dengan cepat menyela perkataan Kepala Interpol itu. Ia berdiri dengan cepat, mengeluarkan sepasang tonfa yang selama ini tersembunyi aman di balik setelan resminya, dan menyeringai. "Tonfaku sudah lebih dari cukup. Urusanku di sini sudah selesai, permisi."
Lalu pemuda Jepang itu melangkah keluar ruangan, meninggalkan Ricardo yang masih ternganga akibat perilakunya yang tak biasa.
.
.
.
Dan insiden lainnya yang melibatkan Alaude dan Ricardo setelah kejadian itu...
"Bukan urusanku." Gumam Hibari singkat, datar. Pemuda itu lalu menutup matanya, memutuskan untuk tidur sejenak beberapa saat sebelum pesawat take-off menuju Roma.
Lyon, France
Ricardo menyalakan lampu apartemennya, memasuki ruangan minimalis itu dalam langkah-langkah berat. Perlahan ia melangkah menuju ruang makan, membuka lemari es, dan mengeluarkan sebotol air dingin. Menyambar gelas dari counter terdekat, Ricardo segera meminum air dingin itu dengan cepat. Pria itu menghempaskan tubuhnya pada salah satu kursi dan melemparkan berkas-berkas di tangannya ke meja makan.
Sungguh, demi Tuhan, ia tak pernah menyangka bahwa semua akan berakhir seperti ini!
.
.
.
Segera setelah pintu ruangannya tertutup, Ricardo kembali menatap Alaude yang masih duduk di tempatnya. Ia kembali teringat, masih ada urusan yang belum terselesaikan di antara mereka—setidaknya untuk Ricardo.
"Apa yang sebenarnya terjadi padamu?" Ricardo mengacungkan surat pengunduran diri yang dibuat Alaude di tangannya. "Ini tidak sepertimu, mengundurkan diri dan membiarkan misimu tak terselesaikan."
"Ini memang bukan saya yang biasanya, Sir." Alaude menjawab, penuh teka-teki.
"Jadi apa maksudnya ini?"
"Sudah saya katakan, bukan? Itu surat pengunduran diri saya dari keanggotaan Interpol."
"Karena?"
"Urusan pribadi, Sir. Saya rasa saya sudah mengatakannya di awal pembicaraan tadi."
"Bisakah kau mengatakannya dengan lebih spesifik?" Ricardo menggeram pelan. "Bagaimanapun juga, aku ini atasanmu."
"Ya, saya tahu itu. Maka dari itu, saya menyerahkan surat itu pada Anda."
Bagus, ucap Ricardo dalam hati. Pembicaraan ini tak akan membawa mereka ke manapun.
Ricardo lalu menatap mata biru es sang mantan agen.
Oh.
Kenapa ia tak menyadari ini sebelumnya? Sorot mata itu...
"Alfonso Cavallone..."
Gumaman pelan Ricardo lebih dari cukup untuk membawa Alaude kembali ke dunia nyata—menampakkan sekilas raut terkejutnya sebelum berganti dengan ekspresi datarnya yang biasa.
"Saya rasa tak ada yang ingin Anda bicarakan lagi. Kalau begitu saya—"
"Apa ini ada hubungannya dengan Alfonso Cavallone?"
Alaude—yang baru saja berdiri dari kursinya—terdiam. Tak berniat sama sekali untuk membuka mulut.
"Katakan, apa ini ada hubungannya dengan Caporegime Cavallone?" Intonasi Ricardo naik, menunjukkan bahwa pria itu mulai tak sabar. Beberapa saat hening menguasai udara, sebelum Alaude akhirnya merespons.
"Ya."
Ricardo membeku. Dadanya mendadak sesak.
"Saya permisi."
"Apa yang kau harapkan dari laki-laki itu?! Ia seorang mafia, kau tahu itu lebih baik dari siapapun!"
"Bukan urusan Anda, Sir."
"Tentu saja ini urusanku!"
Alaude—yang baru setengah jalan memutar kenop pintu—mengarahkan pandangannya pada sang atasan yang berdiri di tempatnya. Baiklah, ini adalah batas kesabarannya hari ini.
"Apa hak Anda untuk membatasi ruang privasi saya?" Alaude memicingkan tatapannya, tajam seperti elang. "Mengapa Anda berani mengatakan hal seperti itu?"
"Karena aku mencintaimu!"
Dan demi mendengarkan itu, Alaude segera membeku di tempatnya. Lama kemudian, Alaude mengguratkan senyum sedih di bibirnya.
"Maafkan saya, Sir."
Tak lama kemudian, suara pintu tertutup kembali menggema di ruangan itu untuk yang kedua kalinya.
.
.
.
Berusaha mengalihkan pikirannya dari insiden tadi sore, Ricardo mulai mengecek berkas-berkas yang terpaksa ia bawa pulang karena tak sempat ia kerjakan di kantor. Terlalu banyak peristiwa terjadi yang sukses membuyarkan konsentrasinya hari ini.
Dan itu adalah saat ketika Ricardo menemukan amplop yang pagi ini ia terima bersamaan dengan surat pengunduran diri yang dibuat Alaude. Ah, nyaris saja ia melupakan keberadaan surat misterius ini. Dengan perlahan, ia membuka amplop coklat itu dan mengeluarkan semua isinya.
Oh, jackpot.
Amplop itu berisi beberapa lembar foto yang diambil secara diam-diam, dengan objek utama pemuda Perancis yang baru saja mampir ke otaknya (dan yang baru saja menolak pernyataan cintanya, oh melankoli) dalam keadaan sangat panik. Dengan latar belakang sebuah bukit dengan helipad dan sebuah helikopter. Ia dikelilingi beberapa pria berjas hitam, seorang wanita paruh baya, dan seorang lagi pria berjas terbaring di atas sebuah tandu dengan luka berat di sekujur tubuhnya. Beberapa orang berjas putih tengah memeriksa kondisinya.
Tunggu, rasanya ia mengenal sosok pria di tandu itu...
"Alfonso Cavallone." Geraman terdengar jelas dalam suara baritone-nya.
Lalu ekor matanya menangkap selembar kertas yang ditempeli guntingan-guntingan huruf dari majalah (atau koran?) tersusun tak beraturan.
Anda tak suka ini. Kami tahu itu, karena kami pun berpikiran sama seperti Anda
Selamat datang di organisasi kami, Senõr Ricardo. Rebut kembali apa yang seharusnya menjadi milik Anda
Dan entah setan apa yang merasukinya, Ricardo memutuskan untuk menuruti isi pesan itu.
Palermo, Italy
Fajar hampir menyingsing di Sisilia. Langit cemerlang, dengan beberapa bintang yang masih menghiasi sudut-sudutnya, mulai terkalahkan oleh semburat jingga yang hangat. Angin semilir dingin menerpa wajah Dino Cavallone yang tengah berdiri pada wilayah perbukitan di tepi Kota Palermo. Beberapa bawahannya berdiri di belakangnya, mempersiapkan serangan kejut mereka.
Sedikit lagi, pikir Dino. Saat matahari terbit di cakrawala, semuanya akan dimulai...
Langit memerah, warna darah mengisi langit. Dino meneguhkan hatinya, membuka mulutnya.
"Ledakkan!"
Satu komando, dan ledakan simultan terjadi di belasan titik, di sepanjang perbukitan Palermo. Tersenyum, Dino bergumam pelan.
"And the battle begins."
Author's Note:
7085 KATA UNTUK SATU CHAPTER! REKOR BARU, WOOHOO~~ #abaikan
Ehem. Saya meminta maaf atas ke-random-an yang terjadi di atas sana. Dan selamat, Anda telah menyelesaikan petualangan panjang pada chapter tujuh! Ini adalah bagian terakhir dari chapter tujuh, dan chapter depan akan menjadi chapter delapan. Terima kasih telah menyempatkan membaca chapter ini (apa masih ada yang setia menunggu saya yang hiatusnya demi-apa-lama-banget ini?), dan terima kasih bagi yang dengan senang hati me-review, mem-follow, mem-fave, saya ucapkan terima kasih! Oh, juga yang sudah meluangkan waktu untuk mengisi poll di profil saya, hontou ni arigatou gozaimasu! Poll-nya masih dibuka, jadi yang belum ngisi mohon mengisi ya! #dogeza
Dan berhubung ini adalah chapter yang panjang setelah hiatus panjang, saya rasa chapter ini butuh author's note yang panjang pula! #tarundoru!slapped
Saya juga nggak akan bosan-bosan mengucapkan terima kasih pada semua orang yang men-support saya selama penulisan chapter ini, mulai dari Kashiwagi Shiba, Supapa-kun, Bayangan Semeuke, dan yang lainnya (via FB), juga Carnadeite (via FB plus RL). You rock, girls!
Oh, ya! Saya kembali dari neraka ujian, para pembaca sekalian! Setelah babak belur sepanjang masa ujian (kalian pasti sudah dengar soal UN SMA yang kacau beliau, saya ini adalah salah satu survivornya) dan setelah tenggelam dalam dunia Prince of Tennis (Sanada, Yukimura, Rikkai, I love you guys so much!), saya akhirnya bisa melanjutkan big project saya yang satu ini!
UN SURVIVOR, MANA SUARANYAAA?!
Sekian episode ke-random-an saya kali ini. REVIEW? Karena kalian adalah cinta sejati saya! #ditimpuk
Last, selamat atas terbitnya manga Katekyo Hitman Reborn dalam versi bahasa Indonesia! #NP: Tenimyu Cast – BANZAI! #randomisrandom
n.b: Ada yang bersedia membuatkan artwork buat anak saya yang satu ini? Kalau ada, kontak saya ya! *wink*
Balasan Anon:
Sinister L: Saya juga udah gatel pengen bikin adegan Alfonso sadar dari komanya. Tapi berhubung kalau dia sadar sekarang plotnya bakal berantakan, jadi bersabar ya! Saya janji, saat-saat dimana Alfonso sadar bakal jadi salah satu saat-saat ter-epic di SD! #slapped
Dan ya, Hibari nggak akan pernah saya gambarkan sebagai uke yang lemah, apalagi yang moe-moe-kyun (begitu juga Alaude). Hibari itu kuat, dan semua orang tahu itu. Uke nggak selamanya lemah, no?
Dan semoga kamu suka update-an ini ya! Arigatou reviewnya dan semoga kamu menikmati chapter ini!
alwayztora: Makasih! Semoga update-annya juga tetep bikin kamu suka sama Skylark's Days ya! Yes, I can do it! Terima kasih udah mereview, dan selamat membaca chapter 7.3!
daehyun: Setuju, Alaude emang dasarnya kece, hehehe! Iya, soalnya headcannon saya bilang kalau keturunan Klan Hibari punya sistem resistensi akan emosi yang lebih tinggi ketimbang manusia normal, bukan begitu? Udah lanjut nih, makasih reviewnya dan selamat menikmati!