Warning in this story: PG-13 for kissing, hugging, language and maybe a bit making-out.

Disclaimers: J.K Rowling


"—Dia hanya kelelahan. Kau tidak perlu mencemaskan apa pun, Mr. Malfoy."

Draco Malfoy menatap secara bergantian dari arah Penyembuh St. Mungo ke sosok seorang wanita yang terbaring di atas tempat tidur di ruangan itu. Tidak satu kata pun terucap dari bibirnya saat melihat bagaimana Penyembuh-entah-siapa-namanya memeriksa wanita itu. Tidak sebuah ucapan terima kasih atau pertanyaan mengenai apa yang terjadi kepada Narcissa Malfoy—ibunya.

Draco memilih untuk tetap menutup mulutnya sampai Penyembuh wanita tersebut selesai mengayunkan tongkat sihir ke seluruh tubuh ibunya; memeriksa jika ada hal yang aneh terjadi pada wanita itu.

"Apa ada yang menjadi pikiran ibumu belakangan ini, Mr. Malfoy?" Penyembuh itu bertanya.

Draco terlihat menaikkan sebelas alis sebelum mengalihkan pandangan ke arah Penyembuh tidak jauh darinya. "Entahlah," bisiknya pelan. "Tapi belakangan ini aku memang melihat Mother lebih banyak melamun dan menatap kosong ke arah jendela. Mungkin memang ada yang sedang menjadi pikirannya tapi aku tidak tahu apa itu."

"Apa pun hal itu, kau harus memastikan ibumu tidak terlalu larut dalam depresi kalau kau tidak ingin dia kembali ke tempat ini. Kau harus mencoba mengalihkan perhatiannya dari apa yang membuatnya tertekan."

Draco mengangguk singkat. Kedua mata abu-abunya kembali menatap ke arah ibunya yang mencoba menyandarkan diri dengan bantuan seorang Penyembuh lain. Draco hanya tersenyum singkat kepada sosok wanita itu.

"Kau membuatku terkejut dengan pingsan tiba-tiba saat sarapan, Mother," kata Draco. Tangan pucat pemuda itu meremas pelan tangan Narcissa sambil mencium puncak kepala wanita itu. "Kau harus menginap di sini sampai besok baru Penyembuh mengijinkanmu untuk pulang."

"Aku baik-baik saja, Draco. Aku ingin kembali ke Manor."

Suara parau Narcissa membuat Draco mengernyitkan alis.

"Jangan membantahku, Mother. Kau akan tetap di sini, suka atau tidak. Istirahatlah sementara aku akan kembali ke Manor untuk membereskan satu dua hal. Aku juga harus menyiapkan pakaian yang pantas untukmu."

Walau awalnya wanita berambut pirang itu tampak memerotes apa yang dikatakan Draco, Narcissa akhirnya memilih untuk mengiyakan. Setelah melihat ibunya terlelap akibat meminum ramuan yang diberikan Penyembuh St. Mungo, Draco memutuskan untuk membiarkan ibunya beristirahat. Sambil mencoba tidak memedulikan tatapan orang-orang yang ia lewati ketika berjalan melintas koridor, ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling rumah sakit itu; mencoba mengingat di mana pintu keluar tempat tersebut. Langkah kaki pemuda berambut platina itu terhenti saat kedua matanya menangkap sosok yang sudah lama tidak pernah dilihatnya. Entah apa yang merasukinya, Draco melangkahkan kaki mengikuti gadis berambut cokelat yang ketika masih belajar di Hogwarts selalu terlihat bersama dengan Darah-Pengkhianat.

Salah satu alis Draco terangkat menyadari ke mana gadis itu masuk. Hanya bisa menatap tidak percaya ke arah satu-satunya tempat tidur di ruangan itu di mana sesosok pemuda tampak terbaring di sana.

Draco sempat tidak percaya dengan apa yang dilihatnya sekarang.

Potter... di St. Mungo?


Hermione Jean Granger melangkahkan kaki dengan sedikit tergesa-gesa menyusuri lorong di salah satu bagian Rumah Sakit St. Mungo. Suara dari sepatu hak tinggi yang dikenakan gadis itu menggema di sekitar koridor yang lumayan sepi. Ia berusaha keras untuk tidak memedulikan beberapa pasang mata yang selalu mengawasi setiap gerakannya di tempat ini. Menjadi orang yang cukup dikenal di masyarakat sihir sebagai salah satu Trio Emas Gryffindor setelah hancurnya rezim Voldemort memang tidak mudah. Orang-orang tentu sangat mudah mengenalinya setelah apa yang terjadi selama ini.

Dan sangat tidak heran lagi jika mendapati ia dan kedua sahabat baiknya sampai muncul di kartu Cokelat Kodok.

Gadis bermata cokelat itu kembali memfokuskan pandangan ke arah koridor di depannya. Berjalan dengan langkah lebar menuju salah satu bangsal tertutup di bagian Penyakit dan Luka-Luka Sihir; tempat yang sama dengan pasangan suami-istri keluarga Longbottom berada.

"Kau datang lebih cepat dari yang biasanya, Miss Granger. Jarang melihatmu sepagi ini di sini."

Hermione menyunggingkan senyum tipis di wajahnya yang ia tujukan kepada seorang Penyembuh yang sejak tadi sudah berada di salah satu bangsal yang ia masuki. Sembari menyematkan di belakang telinga helaian rambut cokelat miliknya yang terlepas sehingga menutupi bagian depan wajahnya, Hermione berjalan ke arah satu-satunya tempat tidur di ruangan tersebut.

"Bagaimana keadaannya?" Hermione bertanya.

Penyembuh itu melirik sekilas helaian perkamen di tangannya. "Masih sama seperti sebelumnya, Miss Granger. Tidak ada perubahan."

Satu-satunya yang bisa dilakukan Hermione hanya menghela napas panjang. Raut sedih sangat jelas sekali terlihat di wajahnya. Ia mencoba menyunggingkan senyum tipis kepada Penyembuh tersebut, namun gagal. Hanya berakhir dengan senyum yang sangat dipaksakan. Ia melangkahkan kaki mendekati tempat tidur di bangsal tersebut. Tubuhnya bergetar menangkap sosok yang terbaring seolah-olah tertidur di atas tempat tidur. Tanpa bisa dicegah, tetes air mata mengalir dari kedua mata kecokelatan itu.

Hermione tidak pernah membayangkan kalau salah satu sahabat baiknya akan terbaring di St. Mungo tanpa sekalipun pernah membuka matanya sejak empat tahun yang lalu. Sosok yang selalu terlihat dengan kacamata khas di wajahnya itu tampak dari luar memang baik-baik saja. Terlihat seperti tengah tertidur nyenyak layaknya bagaimana manusia biasanya. Namun ia tahu, sosok itu tidak sedang baik-baik saja. Bagaimana mungkin seseorang tidak pernah bangun dari tidurnya selama empat tahun?

"Kau baik-baik saja, Miss Granger?"

Gadis itu menganggukkan kepala. Tubuhnya masih bergetar dan air mata yang masih membasahi kedua pipinya. "Aku baik-baik saja. Hanya... hanya kau tahu kalau aku memang sering bersikap seperti ini jika melihat keadaannya."

Penyembuh St. Mungo itu menyunggingkan senyum prihatin kepadanya. "Tentu saja aku tahu. Mr. Potter... kami sungguh tidak tahu apa yang menyebabkan ia masih dalam kondisi seperti ini setelah sekian lama. Kami juga tidak bisa memastikan kapan dia akan sadar. Kita hanya bisa menunggu kurasa."

"Yeah. Tapi ini sudah empat tahun berlalu. Aku sangat berharap agar dia cepat sadar."

"Kami pun berharap seperti itu, Miss Granger."

Hermione menarik sebuah kursi sehingga ia bisa mendudukkan dirinya tepat di samping tempat tidur setelah Penyembuh meninggalkannya sendirian di ruangan itu. Tangannya bergerak ke arah salah satu sisi tempat tidur dan meraih telapak tangan sahabat baiknya dan menggenggam erat; takut untuk melepaskannya begitu saja.

Sosok itu masih sama seperti orang yang selama ini dikenalnya. Mungkin memang ada sedikit perubahan setelah empat tahun berlalu namun itu semua tidak terlalu terlihat sama sekali. Pemilik iris secerah batu emerald itu masih mempunyai rambut hitam yang selalu mencuat ke segala arah dan sekarang beberapa helaiannya terlihat menutupi dahi sosok tersebut. Dengan tangannya yang bebas, Hermione menyibak helaian rambut itu sehingga sebuah bekas luka di dahi orang itu terlihat jelas. Sebuah luka yang menyerupai sambaran petir. Sebuah luka yang hanya dimiliki oleh satu-satunya orang di masyarakat sihir.

Wajah pemuda itu tidak banyak berubah. Wajah sosok tersebut memang sudah bertambah dewasa, sama seperti wajahnya setelah sekian lama berlalu. Namun, tidak satu pun ada gurat kelelahan atau raut tertekan di wajahnya. Terlihat sangat tenang.

Hermione sekali lagi menghela napas.

"Harry... kapan kau akan membuka matamu?"

Sama seperti beberapa tahun terakhir, pertanyaan itu tidak pernah terjawab. Selalu dan selalu, Hermione hanya mendapati kesunyian setiap kali ia berbicara dengan pemuda yang sudah dikenalnya sejak tahun pertama di Hogwarts. Hanya kesunyian yang menemaninya setiap kali ia berkunjung ke tempat ini. Tidak ada jawaban atau tanggapan apa pun.

Harry Potter hanya terbaring diam di atas tempat tidur tanpa pernah bangun sekali saja.

Hermione masih sangat ingat apa yang menimpa Harry. Ia masih ingat kejadian ketika pemuda itu berhasil mengalahkan Voldemort; membuat penyihir hitam itu terbaring di atas tanah dengan nyawa yang sudah meninggalkan raganya. Semuanya berakhir setelah Voldemort mati, begitu pikir Hermione saat itu. Semua yang telah mereka alami selama tujuh tahun terakhir akhirnya selesai. Tidak ada lagi Pangeran Kegelapan. Tidak ada lagi Horcrux yang harus diburu. Semuanya sudah berakhir.

Akhirnya, mereka bisa menikmati kehidupan yang tenang tanpa takut bahwa masih ada penyihir hitam yang mengincar mereka.

Sayangnya, keinginan dan harapan itu tidak sepenuhnya terjadi. Ia yang saat itu membayangkan bagaimana kehidupannya setelah perang ini selesai hanya bisa memekik ketika sebuah kilatan cahaya berwarna hitam menghantam punggung Harry. Tidak jauh dari sosok itu—di dekat reruntuhan kastil Hogwarts—sosok Amycus Carrow berdiri dengan tongkat sihir teracung ke arah Harry. Seringai mengerikan terlukis di wajah penyihir itu sebelum tubuhnya dihantam oleh beberapa kutukan yang dilancarkan Kingsley Shacklebolt, Arthur dan Molly Weasley secara bersamaan.

Tidak tahu apa yang sudah mengenai tubuh pemuda itu. Orang-orang di sana hanya bisa menatap tidak percaya ke arah tubuh Harry yang perlahan merosot dengan kedua mata yang terpejam erat.

Saat itu adalah kali terakhir mereka bisa melihat senyum tipis di wajah pemuda itu.

Suara isak tangis menggema di ruangan tersebut. Hermione Granger memang bukanlah gadis yang kuat seperti yang terlihat. Setiap kali ia mengingat kejadian saat perang besar dan melihat bagaimana keadaan Harry sekarang, ia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menangis. Air mata selalu saja mengalir di pipinya setiap kali mengingat bahwa apa yang dilakukannya sejak Harry berakhir di St. Mungo tidak ada yang membuahkan hasil. Padahal ia sudah melakukan riset selama beberapa tahun untuk meneliti kutukan apa yang Harry terima sampai membuat pemuda itu seperti sekarang.

Ia bahkan sudah hampir putus asa kalau saja tidak mengingat apa arti Harry di hidupnya.

Harry sudah seperti saudaranya sendiri; saudara yang tidak pernah dimilikinya karena ia hanyalah anak tunggal. Harry sudah seperti keluarganya sendiri walau mereka tidak punya ikatan darah. Bukankah keluarga tidak harus orang yang memiliki ikatan darah, bukan?

"Well, kurasa sebaiknya aku harus pergi sekarang. Kau tentu bosan jika aku hanya berbicara terus menerus, Harry." Hermione tertawa pelan setelah berhenti menangis. Walau sudah mencoba menyeka air mata dengan saputangan yang ia bawa, masih terlihat jelas bekas tangisan di wajahnya. Ia sempat meremas pelan telapak tangan Harry sebelum bangkit dari tempat duduknya. Tubuh gadis itu tersentak saat kedua matanya menangkap sosok yang berdiri di ambang pintu ruangan itu.

"Malfoy...? Apa yang kau lakukan di sini?" Suara serak Hermione menggema di ruangan itu. Kedua bola mata cokelatnya mengamati pemuda berambut pirang yang berjalan memasuki ruangan dengan langkah kaki dan raut wajah khas para penyihir dari golongan aristokrat pada umumnya. "Kau tidak seharusnya berada di sini, Malfoy."

"Kata siapa, Granger?"

"Kau tidak mendengar apa yang kukatakan barusan?"


Draco mendecih pelan. "Jangan kira walau sekarang kau terkenal atas apa yang kaulakukan dulu bisa membuatmu bersikap seenaknya, Granger," desis Draco. "Aku tidak pernah tahu kalau sekarang seorang Darah-Lumpur sepertimu bisa memberi perintah seperti itu. Kau harusnya tidak perlu besar kepala."

Kalau saja bisa, saat ini juga Draco ingin tertawa keras melihat wajah merah Granger. Namun saat ini, ia lebih memilih hanya menampilkan raut wajah mengejeknya kepada gadis itu. Walau empat tahun berlalu setelah perang besar, tidak cukup baginya untuk merubah kebiasaan berhenti mengganggu Trio Emas Gryffindor ketika melihat dua dari tiga orang itu didepannya dengan salah satu di antaranya terbaring tidak berdaya di atas tempat tidur.

"Keluar dari ruangan ini sebelum aku memanggil Penyembuh untuk menyeretmu keluar, Malfoy." Darah-Lumpur itu mendesis padanya. Draco mengabaikan apa yang dikatakan Granger dan lebih memilih untuk mengalihkan pandangan ke arah sosok Potter tidak jauh darinya. Alisnya terangkat melihat bagaimana kondisi sang Pahlawan dunia sihir itu.

"Well, well, lihat siapa ini?" tanya Draco dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada. "Harry Potter, the Boy-Who-Lived-Twice. Pantas saja selama ini aku tidak pernah melihatnya muncul di halaman pertama Daily Prophet. Apa yang kaulakukan di sini, Potter? Bersembunyi di rumah sakit dari para wartawan yang ingin meminta Biografi-mu? Menyedihkan—"

"—Malfoy!"

Draco menyipitkan mata dan mengibaskan tangan dengan bosan kepada Granger; tidak sekalipun melirik ke arah gadis itu. "Ayolah, Potter. Mau sampai kapan kau tidur seperti ini? Bukankah sekarang waktumu untuk menyelamatkan orang-orang? Ah, aku lupa kalau kau sudah mengalahkan Pangeran Kegelapan. Setelah perang rupanya kau memilih bersantai dengan tidur seperti ini."

Suara geraman membuat Draco berhenti sejenak. Ia mengalihkan pandangannya kepada sosok Granger dan melihat gadis itu mengacungkan tongkat sihir ke arahnya. Sangat jelas terlihat Draco tidak takut dengan apa yang dilakukan gadis itu.

"Kau tidak akan berani melakukan itu di sini, Granger."

Granger kembali menggeram. "Aku bisa melakukan apa pun agar kau bisa berhenti mengganggu kami, Malfoy."

"Ah, rupanya aku mengganggu kencan kalian? Aku tidak akan meminta maaf tentang hal itu tentunya." Draco memasukkan tangan kirinya ke saku jubah sutra yang ia kenakan; menyentuh pegangan dari tongkat sihir miliknya. "Tapi, Granger, aku tidak menyangka kalau kau menjalin hubungan dengan Potter. Bukankah selama ini kau berkencan dengan Darah-Pengkhianat? Well—"

Ucapan Draco terputus saat dirinya melihat Granger membuka mulutnya dan berteriak.

"Stupefy!"

"Protego!"

Draco cukup beruntung ia merapalkan mantra Perintang sebelum mantra Granger mengenainya. Kilatan cahaya yang hampir mengenainya kini terpental dan menghantam vas bunga di atas meja tidak jauh darinya. Membuat benda itu hancur berkeping-keping. Seringai lebar terukir di wajah pemuda itu ketika melihat bagaimana raut kesal di wajah gadis itu. Ia berniat untuk meluncurkan sebuah kutukan mengingat Granger tidak membuat pertahanan apa pun sebelum derap langkah kaki terdengar mendekati ruangan. Draco memasukkan kembali tongkat sihir ke dalam saku jubahnya saat melihat beberapa orang Penyembuh muncul di ambang pintu. Ia juga melihat sosok Darah-Pengkhianat di belakang sosok para Penyembuh.

"Apa yang terjadi di sini?"

Draco mengabaikan pertanyaan yang entah ditujukan kepadanya atau Granger. Ia mengerling ke arah sosok Potter yang sepertinya tidak memedulikan apa yang baru saja terjadi.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, Potter. Tapi kau tampak menyedihkan sekali." Draco mengalihkan pandangan kepada Granger. "Kurasa sebaiknya aku pergi sekarang. Selamat siang, Granger."

Namun sebelum Draco berjalan selangkah pun, terdengar suara derit keras dari tempat tidur di belakangnya. Ia membalikkan tubuh dan hanya berakhir dengan keterkejutan di wajah ketika melihat tubuh Potter yang tersentak keras dan tampak bergetar hebat. Kedua kelopak mata yang sejak tadi tertutup, membuka dengan sentakan keras. Draco bisa melihat kedua iris pemuda itu bergerak liar. Ia tidak tahu apa yang terjadi karena detik berikutnya seseorang mendorong tubuhnya untuk meninggalkan ruangan.

Pintu berwarna putih itu pun tertutup tepat di depan wajahnya.

Belum saja Draco pulih dari keterkejutan atas apa yang baru saja terjadi di dalam sana, ia merasakan seseorang mencengkeram bahu kanannya. Dengan cepat ia membalikkan tubuh namun hanya berakhir semakin parah saat merasakan hantaman di rahang kanannya. Samar-samar ia mendengar suara derak pelan dari tuang rahangnya yang terkena tinju. Punggung Draco sempat menghantam pintu yang tertutup sebelum merosot pada lantai marmer yang dingin. Kedua matanya menatap nyalang ke arah sosok tinggi yang berdiri di hadapannya.

"Weasel." Draco mendesis sambil memegangi rahangnya. Ia mencicipi rasa asin di sudut bibirnya. Sudah bisa dipastikan kalau sekarang ini bibirnya berdarah akibat pukulan Weasel tadi. "Brengsek! Kau tidak seharusnya memukulku—"

"—Kau pantas menerimanya, Malfoy."

Weasel mencengkeram erat bagian kerah jubahnya sehingga membuat wajah Draco hanya berjarak beberapa jengkal saja dari wajah pemuda itu. Draco bahkan bisa melihat bintik-bintik kemerahan di wajah Darah-Pengkhianat tersebut. Sungguh, dipukul oleh seorang Weasel di tempat seperti ini adalah hal terakhir yang ingin dilakukannya. Dengan cepat Draco menyentak tangan Weasel dan menegakkan tubuhnya. Ia meringis pelan saat ujung jemarinya menyentuh sudut bibirnya.

"Kau benar-benar sudah gila."

Pemuda berambut merah di hadapannya mengeram pelan. "Aku justru menyebut diriku gila jika tidak memukulmu saat ini juga, Ferret. Apa yang sudah kaulakukan kepada Harry? Kalau sampai ada sesuatu yang terjadi padanya, aku akan memastikan kau memiliki tiket gratis ke Azkaban."

Dahi Draco sedikit berkedut mendengar ancaman Weasel. "Jangan membuatmu repot-repot melakukan hal itu, Weasel. Aku masih cukup waras untuk tidak berakhir di tempat itu sama seperti ayahku."

"Kau memang tidak pernah berubah, Malfoy. Aku sangat yakin kalau kau memang akan terus menyebalkan seperti ini."

Salah satu sudut bibis Draco terangkat. "Aku menganggapnya sebagai sebuah pujian, Granger," katanya sambil memperbaiki jubahnya yang sedikit berantakan. Ia tidak mengacuhkan tatapan tajam gadis yang berdiri di belakang Weasel. Saat ini, kembali ke Manor adalah hal yang ingin dilakukannya. "Well, aku tidak akan meminta maaf kalau itu maksud dari pukulanmu, Weasel. Sudah lama sekali aku tidak pernah mengganggu kalian dan ini adalah hiburan tersendiri untukku."

"Kau—"

"—Kurasa kita hanya akan termakan emosi kita sendiri jika menghadapi Malfoy sekarang, Ron." Granger menepuk pelan bahu Weasel; membuat Draco memutar kedua matanya. "Yang harus kita lakukan sekarang adalah mengkhawatirkan kondisi Harry. Aku tidak pernah melihatnya bereaksi seperti itu selama ini. Kau tidak lihat bagaimana dia tadi, bukan?"

Draco sangat ingin meninggalkan rumah sakit ini tepat ketika Granger berusaha menenangkan Weasel. Sayangnya, ia tidak tahu mengapa tiba-tiba saja kakinya menolak untuk melangkah sehingga membuatnya ikut mendengarkan apa yang dibicarakan kedua orang itu.

Dan ia cukup terkejut mendengar apa yang terjadi kepada Potter.

"Apa dia baik-baik saja?"

Suara cemas Granger memaksa Draco kembali ke realita. Ia menautkan kedua alis saat menyadari Penyembuh keluar dari ruangan tempat Potter berada. Salah satu di antara ketiga Penyembuh itu—yang juga sebelumnya menangani ibunya—terlihat menghela napas. Draco bisa merasakan atmosfer kecemasan di koridor ini.

"Mr. Potter baik-baik saja," kata Penyembuh itu. "Tubuhnya hanya sedikit mengalami keterkejutnya sehingga membuatnya seperti tadi. Tidak ada yang perlu dicemaskan."

Draco bersumpah kalau ia melihat Granger hampir menangis kembali.

"Sungguh?" Kali ini Weasel yang berbicara. "Apa Harry akan baik-baik saja? Maksudku, kita tidak pernah melihat reaksi seperti itu barusan. Apa itu artinya?"

"Well, justru itu yang ingin kubicarakan. Kalian tidak keberatan untuk mengikutiku ke dalam, bukan? Kau juga ikut denganku, Mr. Malfoy."

Draco menyipitkan mata. "Aku? Kalian sedang bercanda 'kan? Untuk apa aku harus ikut? Potter bukanlah urusanku."

"Tapi kau yang membuatnya seperti itu, Ferret. Lakukan saja atau aku akan memakai kekerasan. Aku bersumpah akan mematahkan hidungmu jika kau tidak mau ikut. Dan aku tidak main-main."

Draco bukannya takut dengan gertakan yang dilayangkan kepadanya. Tapi ketika dua tongkat sihir teracung kepadanya, ia tidak punya pilihan lain lagi, bukan? Mendengus pelan, Draco akhirnya mengikuti ketiga orang itu memasuki ruangan. Ia kembali melihat sosok Potter yang terbaring tidak sadarkan diri di atas tempat tidur.

"Jadi, apa yang ingin kaubicarakan?"

Draco yang tidak terlalu memedulikan apa yang dibicarakan ketiga orang itu hanya diam dengan tubuh yang disandarkan pada dinding. Kedua pandangannya menatap bosan ke arah jendela yang terbuka di ruangan itu. Awan berwarna abu-abu gelap terlihat menggantung di langit; bersiap untuk menumpahkan seluruh simpanan air ke bumi. Ia mendecak. Tangan pucatnya memijat pelan kening.

"—Malfoy?"

Dengan malas, Draco mendongakkan kepala ke arah Penyembuh yang baru saja memanggilnya. Ia tidak memedulikan sorot tajam dari Granger dan Weasel.

"Kau tidak mendengarkanku, kurasa," kata Penyembuh itu. "Aku ingin mengatakan padamu kalau mungkin saja reaksi yang terjadi pada Mr. Potter barusan adalah karena keberadaanmu di sini."

"Lalu apa hubungannya denganku? Aku hanya berbicara padanya. Kau ingin mengatakan kondisi Potter yang aneh itu adalah salahku?"

Penyembuh itu tersenyum. "Bukan itu maksudku, Mr. Malfoy. Yang ingin kukatakan adalah, mungkin saja keberadaanmu di samping Mr. Potter bisa membantunya untuk sembuh. Mungkin kau tidak tahu, tapi selama empat tahun, ini adalah kali pertamanya Mr. Potter bereaksi seperti itu. Tidak hanya tertidur dan bernapas tapi kali ini ia bahkan membuka matanya. Reaksi barusan bukanlah tanda yang tidak baik. Malah, aku akan mengatakan kalau hal itu adalah pertanda kalau mungkin saja Mr. Potter akan segera sadar. Jadi, apa kau mau membantunya?"

Tbc


Mudah-mudahan tidak terlalu buruk sebagai permulaan. Review sangat dipersilahkan! Sampai jumpa lagi nanti.

Shinjo