Siapa?

Siapa yang hendak meminta kepadaku?

Tiga permintaan … dan akan kukabulkan ...

Kemudian, aku akan memohon untuk satu hal dari kalian …

Hanya satu. Bukankah itu tak setimpal? Tak masalah untukku.

Karena satu yang kuambil adalah hal yang paling berharga untuk kalian …


Disclaimer

Masashi Kishimoto

Pair

Sasuke. U & Hinata. H always

Warning

AU, OoC (I need it for), typo[s], and many more


ɤ ɤ ɤ

■□▫▪ Three Requests and a Sacrifice ▪▫□■

By Coklat Abu

ɤ ɤ ɤ


CRAK …

Gemericik rantai terdengar beradu di tengah malam musim dingin. Mendendangkan bahana yang terdengar sonor sekaligus menyengkak. Itulah gaung yang marak mengisi lengang sepanjang musim penurun salju. Para penduduk lekas-lekas menutup pintu dan jendela, menjadikan malam kian menyepi. Kegusaran sarat termakna dari wajah mereka tatkala nyaring rantai kian mendekat ke arah sana.

Para Ibu mendekap sang buah hati erat-erat. Tak membiarkan putera-puteri mereka mencuri lihat ke arah luar yang ditabukan.

Degup jantung silih tabuh, biji-biji peluh bercucuran.

CRAK …

"Ibu, aku takut," seorang bocah dengan surai pirang merekatkan pegangan tangannya pada punggung seorang wanita berambut sepantun mawar.

"Sst! Tenanglah Naruto, kita akan baik-baik saja selama kita tidak bertatapan dengan dia yang menyeramkan."

Di antara nuansa cekam yang dahsyat, sang kepala keluarga membiarkan sebagian wajahnya terpampang di celah sibakan tirai. Biru matanya mengedar mengerosek sesosok objek yang berada cukup jauh dari kediamannya.

"Bagaimana, Minato?" Sang wanita berdesis pelan kepada sang suami yang berjaga. Dari gemetar suaranya, ketakutan nampak jelas terasa.

Pria paruh baya bersandangkan nama Minato itu meletakkan telunjuknya di bibir. Matanya menyipit fokus pada titik perhatiannya. "Tenanglah, Kushina. Dia tak akan macam-macam selama kita tidak bertemu pandang dengannya."

CRAK …

Sebuah objek yang ditakutkan berada tepat di hadapan kediaman Uzumaki. Ia terdiam mematung di sana. Surai-surai indigo-nya berkibaran diterpa angin malam, demikian dengan kimono putih panjang setanahnya.

Minato segera menyingkir dari dekat tirai, melenyapkan bayang-bayangnya yang dapat tertangkap oleh mata orang tersebut. Sementara Kushina yang bersimpuh di dekat sana mengerti akan keadaan. Ia merasa bahwa kini ia dan keluarganya berada dalam situasi terjepit. Ia tak mau jika yang ditakuti merasa terusik dan melaju ke kediamannya. Ia resah jikalau itu sampai terjadi.

"Malam yang sunyi sepi, aku duduk di bar tadi~" nyanyian nan sumbang terdengar tiba-tiba dari luar. Sang penuai lirik yang rupanya hanya seorang pria mabuk berjanggut lebat menari-nari tepat di hadapan dia yang ditakuti adanya.

Dengan kesadaran yang tersisa separuh, ia menghentikan nyanyiannya sembari memandangi siluet seseorang berkimono yang tak bergeming dua meter dari dirinya.

"Wah~ Aku beruntung sekali malam-malam begini bertemu dengan gadis cantik sepertimu, Nona," tangannya beraksi menggapai bahu mungil sang gadis.

"Hei," suara merdu meriak, "apakah kau punya permintaan?"

Sang pria tertawa sembari mendekatkan tubuhnya pada sang gadis. "Permintaan? Tentu saja ada!"

"Katakan."

"Eh?"

"Katakan tiga permintaanmu, dan akan kukabulkan itu."

Dahi sang pria menyernyit sebelum akhirnya ia tertawa keras sekali. "Mengabulkan permintaan, katamu? Kaupikir aku akan percaya pada omongkosongmu itu, heh?"

Tak ada balasan dari sang gadis berkimono. Tatapan matanya yang dingin tak beremosi tetap terpahat pada jalanan. Mendapati pengabaian, sang pria meneguk kembali botol sake di tangannya dan berucap, "Baiklah, baiklah. Aku akan memberitahumu permintaanku."

Tiga jemari pria itu teracung, seolah absenan permintaannya terpampang di sana secara imajiner. "Pertama, aku ingin botol sake ini tetap penuh. Kedua, aku ingin bisa makan enak. Ketiga …. "

Pria itu menengadah, ia bersendawa dengan mata setengah terpejam. " … Aku ingin istriku, Kurenai, bisa sembuh dari penyakitnya. Ia mengidap depresi berat setelah dinyatakan mandul."

" … Begitu?"

"Ya, itu tiga permintaanku."

"Lihat botolmu," sang gadis menunjuk sebotol sake di tangan sang pria yang entah bagaimana dapat kembali terisi penuh. "Permintaan pertamamu kukabulkan."

Sang pria yang sebelumnya berada di bawah pengaruh alkohol mulai sadar sangkin terkejutnya. "B-bagaimana bisa—"

"—Yang kedua," sang gadis menunjuk hamparan tikar yang di atasnya telah tertata oleh begitu banyak kudapan lezat—menginterupsi reaksi terkejut dari lawan bicaranya. "Makanlah."

Sang pria menelan ludah. Menurut, dengan lahap ia menghabiskan segala panganan yang ada hingga sang gadis berkata, "Dengan itu permintaan keduamu telah terkabul."

"Kemudian," sang gadis melangkah mendekati pria tua berjanggut, "Kurenai Yuuhi, 45 tahun, yang memiliki status sebagai istrimu telah pulih dari depresinya."

"S-sungguh?" Pria itu menatap binar sang gadis.

"Ya. Tapi, ingatlah bahwa semua itu tidak gratis."

"Apa?"

"Sebagai ganti dari tiga permintaanmu, aku akan meminta satu hal darimu."

"Hah?" Sang pria terdiam lalu tertawa kembali—kali ini dengan nada mengejek, "apa yang kau inginkan dari pria renta miskin sepertiku? Tak ada yang bisa kuberikan padamu!"

"Ada. Ada satu hal yang dapat kauberikan kepadaku," gadis itu mengulurkan lengannya tepat di dahi sang pria. "Dirimu sendiri."

PYAR!

Sinar menyilaukan dengan drastis menggemerlapkan pandangan Minato dan beberapa penduduk yang juga mengintip jalannya kejadian.

Setelah cahaya itu meredup, mereka tak lagi menemukan hamparan tikar, piring-piring kosong, bahkan sosok sang pria. Yang ada hanyalah jalanan lengang dengan seorang gadis berkimono yang memejamkan mata.

Gadis itu membuka kembali sepasang kelopak pasinya, dan beranjak dari sana diiringi suara gemericik rantai di kakinya yang kian menipis ketika ia menjauh dari pedesaan.

"Minato?" Kushina mendekat pada sang suami yang tetap melekatkan pandangannya pada jalanan. "Ada apa?"

"Itu mustahil. G-gadis siluman kembali merenggut korban, Kushina."


Pagi hari yang begitu hangat di Desa Konoha, segala aktivitas penduduk berjalan dengan lancar. Mayoritas penduduk Konoha adalah petani dan buruh perkebunan, itulah mengapa mereka selalu terlihat berseliweran dengan topi jerami serta perkakas kerja mereka.

Hampir seluruh penduduk mencoba melupakan tragedi semalam yang telah melenyapkan seorang pria pemabuk yang cukup mereka kenal.

Merupakan rahasia umum di antara penduduk bahwa Desa Konoha memiliki sebuah kisah nyata mengerikan.

Sepanjang malam di musim dingin adalah saat dimana mereka untuk selalu waspada. Sebuah decrik rantai adalah alarm yang akan mengingatkan mereka untuk bersembunyi dan kabur dari sang tamu malam.

Beratus-ratus tahun mereka menjalani hari demi hari tersebut dikarenakan sebuah alasan. Pemimpin desa mereka menyegel seorang siluman dahulu kala. Sayangnya, tempat penyegelan tak juga diketahui, demikian dengan seseorang yang sanggup melepaskan segel tersebut. Jadilah, sang siluman musim dingin berkeliaran di desa mereka pada malam musim mencekam ini. Rasanya, tragedi itu tak akan pernah usai bilamana mereka tak juga menemukan titik terang.


"Anggap saja rumah sendiri, Sasuke-kun," Kushina tersenyum sembari memersilahkan seorang pemuda berparas kirana merasuk ke sebuah kamar yang beberapa saat ke depan akan ditempati oleh sang pemuda.

Pemuda itu meletakkan dua tas besar yang ia bawa di dekat pintu seraya tersenyum tipis, "Terima kasih, Obasan."

"Tentu saja. Kalau begitu, Obaasan ke dapur dulu. Santai-santailah di sini. Anggap saja rumahmu sendiri."

"Ah, baik. Oh, iya. Naruto kemana?" Pemilik oniks mengerut kening tatkala tak menemukan sesosok bocah yang akrab dengannya itu.

"Anak itu! Dia selalu bermain dengan teman-temannya sampai sore! Padahal dia selalu bilang 'rindu Sasu-niichan'!"

"Begitu, ya. Kalau begitu sebaiknya saya membenahi kamar ini terlebih dahulu."

"Ya. Jangan sungkan pada kami, ya."

Kushina melenggang pergi setelah Sasuke memutuskan untuk beradaptasi dengan kamar barunya. Ia Sasuke Uchiha. Pemuda tampan dari kota Oto sekaligus putera dari sahabat dekat Minato semasa ia tinggal di kota dahulu—Fugaku. Profesi Sasuke sebagai seorang fotograferlah yang membuat ia datang ke desa ini. Demi objek-objek alam yang hendak ia abadikan dalam sebuah figura.

Sesungguhnya, Sasuke baru dapat mewujudkan keinginannya kini karena terjegal oleh matakuliah yang mengharuskan ia untuk berpekur dalam materi dengan fokus. Matakuliah yang jauh berbeda dari pekerjaannya.

Selepas dinyatakan sebagai seorang wisudawan, barulah Sasuke hengkang dari kediamannya. Mencari banyak sumber untuk ia dan kameranya.


CKREK!

"Bagaimana menurutmu desa ini, Sasuke?" Minato tersenyum sembari menatap pemuda yang berusia jauh di bawahnya itu. Usai melaksanakan rutinitas harian sebagai seorang buruh di lahan gandum, Minato berkenan untuk menghantarkan Sasuke pada sebuah bukit yang menyuguhkan pemandangan indah di petang hari.

Sasuke tersenyum puas saat ia menatap hasil potretnya di kamera barusan. Pemandangan Konoha yang dilatari kanvas oranye membuat ia tergugah. Betapa eksotik alam di daerah ini.

"Ojisan," pemuda raven itu memanggil.

"Kenapa?"

"Aku boleh berada di sini lebih lama? Kurasa pemandangan malam di sini tak kalah menakjubkan."

Minato tersentak. Sirat cemas terlihat mengisi air muka pria paruh baya yang masih terlihat muda itu sekonyong-konyong. Ia dilemma. Ia berada dalam dua opsi yang sulit untuk ia pilih. Minato tak mungkin membiarkan Sasuke berada di sini hingga malam dan diketemukan oleh gadis siluman. Namun, Minato tahu, ia tak boleh membeberkan rahasia umum di desanya pada orang lain di luar desa, dan ia tahu bila ia melarang Sasuke untuk tetap tinggal, Sasuke akan menuntut penjelasan yang detail.

Dengan berat hati, Minato mengizinkan. "Baiklah. Tapi berjanjilah, Sasuke. Berjanjilah bahwa saat kau mendengar bebunyian rantai mendekat, kau akan bersembunyi. Jangan tanya alasannya. Kuharap kau mau mematuhi ucapanku."

Kedua kaum Adam membisu. Hingga Sasuke meyakinkan bahwa ia akan baik-baik saja.

Ya, baik-baik saja … semoga …


Tengah malam di bukit Desa Konoha. Tepat di puncak, seorang pemuda duduk bersila, tak lupa dengan sebuah kamera legam di tangannya.

Visualisasi potret alam yang keindahannya tiada tara berhasil Sasuke abadikan dalam kameranya. Ia menatap pasukan bintang saling merasi di angkasa sana, kemudian. Indah. Bahkan tanpa penerangan berarti, Sasuke merasa ia dinaungi oleh cahaya yang berpendar luarbiasa.

CRAK …

Nada-nada yang dialunkan rantai terdengar merasuk dalam gendang telinga Sasuke. Membuat Sang Uchiha menoleh untuk mempertemukan sepasang kelereng oniksnya … dengan kelereng mutiara semu di hadapannya.

"Berjanjilah, Sasuke. Berjanjilah bahwa saat kau mendengar bebunyian rantai mendekat, kau akan bersembunyi. Jangan tanya alasannya. Kuharap kau mau mematuhi ucapanku."

Peringatan dari Minato kembali menghuni alam pikirnya. Kenapa dengan rantai? Kenapa ia harus bersembunyi?

Padahal seseorang pembawa rantai itu adalah seorang gadis.

Oniks Sasuke temurun memandang kaki sang gadis yang bertelanjang. Dalam cuaca yang sanggup menggigilkan tubuh, gadis itu tak mengenakan alas kaki sama-sekali. Belum lagi tubuh sang gadis yang hanya bertamengkan lembaran kain seadanya.

"Nona? Tidakkah kau kedinginan? Kau hanya mengenakan selapis kimono tipis di malam hari," Sasuke melangkah mendekat dan lekas membalutkan jaket birunya pada punggung gadis berkristal lavender seusai ia mengalungkan kameranya di leher.

Sang gadis tak merespon apapun. Hanya ada mata dan mata yang saling tatap dalam kedamaian. Hingga mulut sang gadis terbuka beberapa saat kemudian.

"Hei, apa kau punya tiga permintaan? Aku dapat mengabulkannya jika kau mau."

Sasuke termukim tanpa bait kata. Hanya ada iris oniks yang menatap bingung pada sosok bahari di depannya. Mengabulkan permintaan?

"Kau serius dapat melakukannya?" Sasuke kembali bertanya. Sekadar memastikan bahwa ia tak salah dengar.

"Iya. Aku dapat melakukannya. Sebutkanlah permintaanmu …. "

Pemuda bersurai pekat itu terkikik setelah sebelumnya kembali membisu tak berapa lama. Setelahnya, ia menepuk bahu sang gadis perlahan. "Kurasa, aku akan mewujudkan permintaanku itu dengan usahaku sendiri. Aku tidak tahu ucapanmu bualan atau memang nyata. Tapi, maaf, kutolak kebaikanmu."

Gadis itu terpana, dan Sasuke dapat menangkap sirat tak percaya dari sang gadis. Sirat yang seolah menampakkan haru.

Selang beberapa detik usai melepaskan diri dari keterpanaannya, gadis itu menubrukan dirinya dengan tubuh sang pemuda. Melilitkan sepasang lengan miliknya di antara leher Sasuke.

"Terima kasih. Akhirnya, akhirnya aku menemukanmu!" Ia memekik di sela getaran sesenggukannya. Membuat Sasuke semakin bingung dibuatnya.

"Kau," sang gadis melepaskan pelukannya, "kaulah orang yang dapat melepasku dari belenggu segel itu!"


"Sebelah sini, Tuan!"

Sasuke melangkahkan kakinya di antara semak belukar setinggi dada. Kian lama ia kian berada di tengah hutan basah dengan hewan-hewan melata di dalamnya. Pemuda itu tak mengerti mengapa ia hingga dimintai tolong seperti ini. Apa yang gadis itu butuhkan darinya sehingga ia harus mengikuti pemilik lavender itu berjalan melewati pepohonan demi pepohonan?

Ia baru saja akan mengeluh lelah saat oniksnya berpaling pada sebuah padang lavender.

Bukanlah asal muasal dari keberadaan bunga lavender di tengah hutan basah yang membuat ia terkejut hingga tak mampu memilin kata. Melainkan karena eksistensi sesosok tubuh di tengah gundukan lavender!

Gadis bersurai indigo dengan lilitan akar pohon di sekujur tubuhnya.

"Ini tubuh asliku, Tuan. Beratus-ratus tahun yang lalu aku disegel di sini. Tubuhku tertidur di sini."

"Tapi, kau ada di depanku! Bagaimana mungkin itu terjadi?"

"Karena aku," gadis itu menyentuh pergelangan tangan Sasuke, "hanyalah hasrat yang ingin mencari seseorang untuk melepaskan segelku. Kau tak akan mengerti, Tuan."

Pemuda tampan itu menghela nafas. Ia memang paham. Sang gadis bukanlah seperti dirinya. Gadis itu berbeda dalam arti yang sebenar-benarnya. Sebuah perbedaan yang membuat ia tak akan dapat menjangkau kenyataan yang sang gadis katakan.

"Lalu," Sasuke menghampiri siluet gadis berkimono yang tengah tertidur, "apa yang harus kulakukan?"

"Kau tahu dongeng Snow White?"

"Ya, sedikit. Ibuku sering menceritakannya saat aku kecil."

"Jadi … kau tahu, bukan, bagaimana cara pangeran membangunkan Snow White?"

Tepat dengan selesainya sang gadis berucap, Sasuke berani jamin bahwa degup jantungnya kian mengonstan. Kelebatan skenario Snow White membayangi benaknya. Membuat ia berhipotesa tentang apa yang sang gadis inginkan darinya.

Hei, Sasuke! Kau tahu bukan maksud gadis siluman itu?

To Be Continued


Ini twoshots, senpai-tachi. Semoga ceritanya ga membosankan, ya. Kunjungi penpik ane yang lain juga, ya, kalo mau.

Review?