~(*^_^My Wife is Hinata^_^*)~
Chapter: 10 (End)
.
.
.
Pairing: Sasuke Uchiha x Hinata Hyuuga
Rate: T
Story by: Hikari No Aoi (Cahaya Biru)
Disclaimer: semua Chara milik Masashi Kishimoto, saya hanya meminjam tokoh-tokohnya:3
.
Warning: TYPO, EYD tidak benar, membingungkan, berpotensi menimbulkan tanda tanya karena fict ini kelamaan hiatus, aneh, jelek, gaje, dll!
JIKA GA SUKA PAIR SASUHINA, JANGAN MEMBACA YA! ^_^
You have been warned!
x
x
x
pertama-tama, Hika meminta maaf yang sebesar-besarnya atas keterlambatan fict ini yang terlalu lama. Seperti yang Hika jelasin di fict lain, kemarin. Laptop Hika kabel Fleksibelnya rusak, hingga ngeblur kaya TV hitamputih dengan layarnya yang berwarna pink. Hika benar-benar meminta maaf *bungkuk dalam-dalam* namun, Hika juga sangat berterimakasih untuk para readers yang sudah bersedia meluangkan waktunya untuk membaca fict ga jelas ini. Hika benar-benar menghargainya, terimakasih minna-san, terimakasih atas dukungan yang kalian berikan!... berkat semangat kalian, Hika bisa menyelesaikan fict ini dengan Happy ending. Semoga tidak mengecewakan..
Selamat membaca, minna ^_^
...
..
.
My Wife is Hinata
Gaara menatap Kosong Pepohonan Rindang yang berada di Seberang Jendela sana, mengamati dalam diam keadaan Di luar Ruangan yang tampak Gelap dan sunyi. Tidak ada suara Bising apapun, kecuali mahluk malam seperti Jangkrik dan Anjing menggonggong yang terdengar jauh.
Hahh… andai kehidupan itu semudah yang di angan-angankan, maka tentu semuanya tidak akan runyam begini. Pemuda berambut Merah itu hanya tersenyum tipis saat mengenang masa lalu yang masih membayangi kehidupanya. Ya, masa lalu tentang sebuah ambisi untuk memiliki seorang Hinata Hyuuga-. "Kenapa belum tidur?"
Gaara menoleh, mengamati wanita yang selama Sepuluh tahun telah menemaninya selama ini. Adalah Tayuya, nama wanita itu. Wanita yang selalu mendampinginya bagaimanapun kondisi yang tengah menimpanya. namun, ironisnya… Tayuya hanyalah ia anggap sebagai Sahabatnya. Tidak lebih dan tidak kurang. Setidaknya seperti itulah posisi Tayuya dimatanya selama ini.
"Kenapa kesini?" Gaara mengernyitkan Dahinya begitu melihat kedatangan Tayuya. Agak janggal juga mengapa Rumah Sakit membiarkan pengunjung membesuknya pada dini hari seperti ini.
"Besok kau ada Operasi, Tidurlah." Wanita berambut Merah muda itu menutup Pintu dan duduk di Kursi dekat Tempat tidur Gaara. Kedatanganya kesini hanyalah ingin memastikan supaya Laki-laki bertato 'Ai' di dahinya ini memiliki waktu istirahat yang cukup, tapi sepertinya hobi Bergadang Gaara memang susah dihilangkan.
"Berapa kali lagi?"
"Hm?" kini Giliran Tayuya yang mengernyitkan alisnya karena tidak mengerti pertanyaan yang dimaksud oleh Gaara.
"Maksudmu a-."
"Operasinya. Berapa kali lagi?"
"Oh, Ini yang terakhir." Tayuya tersenyum lembut, lalu membenarkan Selimut pemuda tersebut. "Apa Jendelanya boleh ku tutu-."
"Jangan, biarkan saja terbuka."
"Udara dinginnya tidak bagus untukmu," ujar Tayuya tidak mau kalah. "Nanti kondisimu tidak Fit menjelang Operasi."
"Aku bilang, jangan." Tayuya hanya bisa menghela nafas mengerti, bagaimanapun Gaara adalah orang yang keras kepala, jadi susah kalau ingin menang saat adu mulut denganya.
"Baiklah." Wanita itu mengalah, lalu duduk kembali di posisinya semula-disamping Ranjang Gaara "Berbaringlah. Tidak mungkin kau bisa tidur dengan posisi bersandar begitu."
Mata Jade milik Gaara menatapnya dengan tajam, seolah menganalisis sebuah kejanggalan yang ada di diri Tayuya. Apakah ada kebohongan, atau yang lain? Entahlah, Tayuya sendiri tak bisa menafsirkan tatapan mata seperti apa yang Gaara lakukan terhadapnya. "Bagaimana Jika Operasinya gagal?"
Tayuya terkesiap. Ini adalah pertanyaan yang diluar kemampuan dirinya untuk menjawabnya. Karena Tayuya tahu, Gaara telah menjalani serangkaian Operasi yang melelahkan selama Lima bulan terakhir ini, tapi mengingat Operasi kali ini yang jauh-sangat jauh beresiko tentu hal yang wajar jika Gaara bertanya demikian. Bagaimana jika… Operasinya gagal?
"Kau tahu, Di sini Dokternya Profesional."
Gaara mendengus Saat Tayuya menjawab pertanyaanya. Kesal karena jawaban yang diberikannya sangat tidak memuaskan rasa ingin tahu dirinya. "Aku tahu, tapi tetap saja tidak meyakinkaku jika presentasenya hanya 30%."
Tayuya terdiam. Gaara besok akan menjalani Operasi yang melelahkan dan Rumit. Dimana serpihan kaca yang tertancap pada punggung belakangnya akan di angkat dengan sepenuhnya, Operasi kali ini membutuhkan ketelitian yang sangat tinggi. Pecahan kaca itu ukuranya kecil memang, tapi justru itulah yang membahayakan hidup Gaara… dimana jika aliran Darah Gaara salah bergerak sedikit Saja Pecahan kaca tersebut akan langsung menembus Arteri Jantungnya.
"Pokoknya berhasil."
"Darimana kau bisa tahu?" Gaara menggerakkan tubuhnya yang mulai kelelahan, dan berbaring dengan perlahan pada Ranjang empuk VVIP miliknya. Padahal ia hanya duduk bersandar, tapi rasanya seperti sudah Back Up Ratusan kali hingga membuat punggungnya pegal. Ck, sial.
"Karena aku… aku percaya padamu." Kembali, pemuda Sabaku itu menatap lekat-lekat wanita yang ada di hadapanya. Mengapa ia begitu… menginginkan dirinya sembuh? Apakah ada alasan lain yang begitu kuat untuk mempertahankanya? Bagaimana jika nantinya Gaara malah menyerah?
"Tayuya…"
"Karena… ini semua demi tujuan Hidupmu, kan?"
"…"
"Kalau begitu… cepatlah sembuh untuk meraihnya." Gaara melihatnya, sebuah senyuman yang dipaksakan kepadanya, sekeras apapun akting Tayuya untuk menipunya, tetap tidak akan berhasil karena Gaara tahu bahwa sebenarnya Tayuya menyukainya. Dan ia terluka karenanya.
"Kau sama sekali tidak berbakat untuk menjadi Aktris," Gaara tersenyum simpul, pemuda berambut Merah Maroon itu kemudian merebahkan tubuhnya dalam posisi miring dan menatap lekat Sahabat sejak kecilnya tersebut. Matanya yang berwarna Hijau mengaggumkan memandangi dengan seksama wajah Putih Tayuya yang hanya berjarak kurang lebih Satu Meter Darinya. Atau lebih tepatnya, Gaara mengamati penampilan Tayuya saat ini. Semuanya tidak berubah, hanya saja Rambutnya saja yang berwarna Merah muda tampak lebih panjang dari sebelumnya. Ia sudah berubah, bermetafora menjadi wanita yang cantik dan dewasa sekarang. Dan... baru hari ini Gaara menyadarinya. Hah, ia memang bukan lelaki yang peka, ya?
"Jangan menggunakan Gaya rambut seperti itu, ubahlah."
"Kenapa?" Tayuya mengeryit heran karena Gaara tiba-tiba merubah topik pembicaraan.
"Entahlah, aku merasa aneh dengan Poni yang berada di tengah-tengah seperti itu."
"Selama ini kita bersama, Gayaku baru kau komen sekarang?"
"Hn?"
"Apa karena Poni ini seperti Hinata?"
"…" Gaara mulai mengerti pembicaraan ini mengarah kemana. Ia merasa bahwa Tayuya… cemburu dengan Hinata, adalah Prediksi awalnya.
"Aku tidak mau, Gaara."
"Tidak. Aku tidak menyuruhmu menjadi seperti dia."
"Oh kami-sama…"
Mata Gaara menyipit, kenapa ia malah terlibat pertikaian kecil tidak berguna seperti ini dengan Tayuya? Bukanya ia hanya meminta merubah Gayanya secara baik-baik? Kenapa ia jadi sensitif sekali saat hal ini menyangkut penampilanya? Atau... karena Hinata? "Apa masalahmu, Tayuya?"
"Seharusnya aku yang bertanya begitu, Gaara. Apa masalahmu sehingga aku harus merubah penampilanku?"
"Aku 'kan hanya memberimu saran?"
"Iya, tapi kenapa harus selalu berkaitan dengan Hinata?"
"Oh, sudahlah."
"Juhilah dia, Gaara, dia sudah bahagia!"
"Ini bukan urusanmu, Tayuya. Dan jangan pernah mengajariku."
"Kenapa memangnya? Kenapa ini bukan urusanku? Seharusnya kau tahu bahwa semua ini juga urusanku!" kemudian, Pemuda Sabaku itu mulai merasakan Atmosfer yang berbeda, semuanya terasa memanas. Ditambah lagi, ia harus bisa menjaga ucapanya agar tidak salah bicara dan melukai Tayuya, bagaimanapun juga ia adalah sahabatnya sendiri.
"Kau-."
"Kumohon…" Bahu mulai Tayuya bergertar pelan, wajahnya yang manis tersembunyi dibalik rambutnya yang menjuntai kebawah. Tayuya mendunduk… sambil menahan airmatanya yang sudah menggenang di sudut mata Indahnya, dia memohon-mohon dengan menyedihkan kepada Gaara untuk tidak melakukan hal yang mengancam Rumah tangga Sasuke dan Hinata untuk yang kedua kalinya. "Hiks… Kumohon jauhi dia."
"Aku mencintainya, Tayuya. Kau Tahu." Gaara melembutkan suaranya, ia tidak ingin menambahi Luka di Hati sahabatnya. Meski ia tahu, semua ini hanya akan melukai Tayuya, namun ia sendiri tidak bisa menghentikan perasaanya pada Hinata, meski sudah ia lakukan apapun untuk menghentikanya, Gaara tidak bisa. "Tidak ada yang bisa-."
"Kau hampir membunuhnya…" Wanita itu terisak pelan, kedua tanganya menelungkup tepat di wajahnya, menyembunyikan airmatanya yang sekarang menetes dengan derasnya dari pelupuk matanya, dan jatuh membasahi pipinya yang cekung. "Kenapa?"
"…"
Suara Tayuya semakin bergetar pilu saat mengucapkan kalimat pertanyaan yang harus dijawab oleh Gaara, mengapa sampai sekarang Gaara masih belum bisa melupakan Hinata? Kenapa Gaara belum bisa berpaling kepadanya? Kenapa…
"Hiks… dia akan melahirkan, Gaara. Kumohon jangan mengganggu mereka."
"Tidak ada yang bisa menghentikanku, Tayu-."
"Termasuk aku?" Wanita berambut sepunggung itu mengusap airmatanya dan memberanikan diri menatap Mata Jade milik Gaara. Ada rasa sakit di sana, Gaara tahu. Tapi bagaimanapun juga, ini adalah Hidupnya, bukan hidup Tayuya. Jadi dia sama sekali tidak berhak untuk mengaturnya.
"Termasuk kau." Ucapan Gaara barusan membuat Airmata Tayuya semakin menetes deras, sia-sia saja Usahanya untuk menghentikan lelehan airmatanya yang semakin menjadi. apakah ia juga tidak akan bisa menghentikan Gaara lagi untuk yang kedua kalinya?
"Gaara…"
"Aku akan mengambil Hinata kembali bagaimanapun Caranya."
"Hiks…" Tayuya membekap mulutnya dan memeluk erat perutnya menggunakan tangan Kirinya, sungguh ia tidak bisa menahan diri jika begini terus situasinya. Ia hanya ingin mencoba menyadarkan Gaara yang berambisi untuk mendapatkan kembali Hinata-cinta pertamanya, Tayuya hanya ingin… Gaara melihat keberadaanya sedikit saja. Tapi ia tidak bisa, semua ini terlalu menyakitkan baginya untuk terus bertahan.
"Pulanglah Tayuya." Pandangan mata Gaara melembut, dengan susah payah Pria pemilik Sabaku's Corp itu duduk bersandar kembali pada ujung tempat tidurnya, dan merengkuh Tayuya dalam dekapanya dengan tiba-tiba. "Pulanglah, atau kau akan semakin terluka."
Tangis Tayuya dalam pelukan Gaara semakin deras, bahu wanita itu bergetar hebat disusul dengan isakan tangisnya yang tersedu-sedu memilukan. Tayuya tahu, maksud Gaara pulang bukanlah di salah satu Rumah di Negara Kanada ini, … tapi di Sunagakure Sana. Jauh di Suna. yang berarti Gaara memintanya untuk meninggalkanya, meninggalkan kehidupan bersama mereka yang sudah Sepuluh Tahun lamanya mereka bangun bersama.
"Hiks…hiks," itu berarti pemuda ini ingin Tayuya tidak lagi mengurusi kehidupan Gaara, pemuda ini tidak ingin lagi bertemu denganya agar dia tidak semakin terluka. Pemuda itu menginginkan Tayuya untuk meninggalkan hatinya. Gaara tidak ingin Tayuya mengisi Hatinya walau sedikit saja, meski selama ini ia sudah berusaha keras dan bersusah payah. Ternyata memang Gaara tak pernah melihat keberadaanya. Sama sekali. Haha, Ironis.
"Hiks.. Gaara," suara Tayuya semakin tersengal saat tangisnya lebih deras dari sebelumnya, ia tidak bisa melakukan ini. Ia tidak bisa, ia belum siap meninggalkan Gaara. Ia… tidak mau. Sampai kapanpun. Ia tidak akan mampu.
"Kau bisa." Telapak tangan Gaara yang hangat membelai dengan lembut pucuk rambut Tayuya, matanya terpejam saat memikirkan bahwa ini adalah pelukan terakhirnya. Ya, keputusan ini sudah final. Jika Tayuya tidak bisa disampingnya sebagai sahabat yang mendukungnya, maka lebih baik ia pulang agar tidak terluka lagi. Karena sampai kapanpun, Hatinya hanya akan menjadi milik Hinata.
"Hiks. aku hamil. Putramu."
Apa?!
.
.
.
My wife is Hinata
.
.
.
"Sasuke, kau membuat Ibu pusing." Mama Mikoto memijit pelipisnya sendiri dengan tangan kananya, memperhatikan Sasuke yang sedang mondar-mandir di depanya saat ini benar-benar membuatnya pusing. Apalagi ditambah dengan jam Istirahatya yang kurang, semakin membuat kepalanya berdenyut-denyut ngilu.
"Duduklah, kau bukan anak Kecil Sasuke." Papa Fugaku bersedekap tangan dan menatap dengan Datar Putra bungsunya yang masih saja Mondar mandir di depan orangtuanya sambil menggigiti Ibu jarinya. Ia tahu posisi Sasuke saat ini, karena ia juga pernah mengalaminya. Tapi daripada mondar-mandir begini, lebih baik dia berdoa kepada Kami-sama, kan?
"Aku tidak bisa. bagaimana aku bisa tenang dengan keadaan Hinata sekarang, Kaa-chan? Tou-chan? Aku khawatir!" Sasuke kembali melihat kedalam ruang Bersalin Hinata di Pintu masuk bertuliskan 'Kamar Bersalin' yang ada kacanya, namun hasilnya tetap sama. Ia tidak bisa melihat apa-apa karena Kacanya yang berwarna Hitam dan ada satu pintu lagi di dalam yang menghalangi pandanganya.
"Dokter sialan." umpatnya sambil menjauhi Pintu berwarna Putih tersebut dan kembali mondar-mandir lagi.
"Sudahlah, Sasu-chan… Hinata akan baik-baik saja." Mikoto tersenyum, lalu menepuk kursi di sebelahnya. "Duduklah."
Si bungsu Uchiha mendesah pelan, lalu menuruti kemauan Ibunya. Ia duduk tepat di samping kanan Ibunya, sedangkan Ayahnya, duduk di samping Kiri mama Mikoto.
"Eh, Fuga-kun. Itachi sudah diberi tahu bahwa Hinata bersalin?"
"Ah, benar. aku lupa. Biar aku saja yang menghubunginya." Lalu papa Fugaku beranjak menjauh dan merogoh Ponsel yang berada di saku Celana tidurnya, menekan tombol beberapa kali, lalu menelepon Itachi yang masih berada di Luar negri.
Sasuke menyandarkan kepalanya dan menatap langit-langit di Lorong ruang bersalin Hinata. perasaan Calon ayah muda itu kalut, usia kandungan Hinata baru menginjak usia Delapan Bulan, tapi kenapa sudah melahirkan? apakah Bayi mereka Premature? Sejauh yang Sasuke tahu, bayi yang lahir jauh hari dari tanggal kelahiranya memang di sebut Premature.
"Kaa-chan, Bagaimana jika anakku Premature?" tatapan mata Sasuke berubah menjadi sendu. ia hanya menatap kosong Lampu penerangan Putih yang tepat berada di atasnya.
Mama Mikoto tersenyum menenangkan dan menepuk pundak Sasuke dengan pelan, "Dulu kau Juga Premature."
Sasuke menoleh dengan cepat. "Aku? Kenapa Kaa-chan tidak pernah bercerita?" ujarnya penasaran.
Mama Mikoto melupakan rasa pusingnya dan terkikik geli melihat Reaksi terkejut dari Sasuke. "Kaa-chan ingin bercerita setelah kamu menjadi seorang ayah."
Bingung dengan jawaban Ibunya, Sasuke megernyit. "Kenapa?"
"Supaya lebih meresapi ceritanya."
Anak bungsungnya mendengus. "Ceritakan saja, Kaa-chan. Sekarang aku sudah menjadi ayah." Jawabnya sambil memasang wajah kesal.
"Baiklah, ini juga sudah saatnya ibu menceritakan kepadamu. Hmm, kita mulai. Darimana ya? Ah ya, ibu ingat! Waktu itu… adalah Hari Minggu, ibu beraktivitas seperti biasanya. Membereskan rumah, memasak, berkebun dan sebagainya. Saat itu usiamu baru Tujuh Bulan lebih Tiga minggu, jadi ibu lebih sering banyak gerak agar waktu bersalin nanti lancar." Kenang mama Mikoto sambil mengingat-ingat. Membuka Lembaran masa lalu yang sudah tersimpan dengan usang di memori Ingatanya.
"Ayahmu sedang berada di kantor untuk mengurus perusahaan yang pada saat itu masih kecil dan baru berkembang. sedangkan Itachi, kakakmu itu... dia lebih suka tidur siang daripada bermain di panas-panasan seperti kebanyakan anak-anak lain. Nah, Ibu saat itu sedang mengepel Ruang tengah seperti biasanya dengan kain pel bergagang, tiba-tiba saat ibu hampir menyelesaikan pekerjaan ibu, ibu merasa kalau perut Ibu terasa kram, mulas dan tidak nyaman. Ibu kira hanya kontraksi biasa yang akan segera hilang, tapi dugaan ibu salah. ternyata itu adalah pertanda tahap awal pembukaan kelahiranmu."
Sasuke memperhatikan wajah ibunya dengan seksama, ia berfikir dalam-dalam saat mendengarkan penturan sang Bunda. senakal itukah dirinya sewaktu masih sangat kecil? Bakan ia belum lahir saja, sudah sangat membuat ibunya kuwalahan. Berarti ia benar-benar anak yang nakal karena sudah merepoti ibunya hingga kesakitan seperti itu, dulu.
"Ibu bahkan tidak bisa bergerak karena kamu terus kontraksi, rasanya benar-benar sakit sekali hingga ibu tidak bisa berbuat apa-apa. Hingga pada akhirnya ibu hanya bisa terduduk di lantai ruang tamu sambil berusaha meminta bantuan. Ibu ingin meminta bantuan kakakmu yang masih tertidur, tapi sepertinya dia tidak mendengar suara ibu karena Itachi masih tidur di kamarnya yang agak jauh dari ruang tamu. Ibu sudah meminta tolong, tapi sepertinya tidak ada yang mendengar suara ibu, karena ibu tidak bisa berteriak lebih keras, saat itu benar-benar terasa sakit sekali seluruh tubuh ibu. Lebih sakit rasanya jika dibandingkan dengan kelahiran kakakmu." Mikoto mengusap pipi Sasuke dengan sayang. Memori putranya saat lahir kedunia dua puluh Lima tahun yang lalu membuatnya kembali merasakan perasaan haru dalam dadanya. Dimana ia benar-benar berjuang sendirian saat melahirkan putra keduanya ini. Hanya satu harapanya saat itu, sesakit apapun rasa 'Luar biasa Hebat' yang harus ia hadapi, mama Mikoto hanya ingin melihat Putra kecilnya lahir dengan selamat ke dunia. Meski dengan Nyawanya sendiri sebagai jaminanya, ia akan melakukanya.
"Selama tiga jam, ibu hanya bisa berharap ada yang menolong ibu karena ibu tidak bisa berbuat banyak. Benar-benar tidak ada tetangga yang menolong ibu, karena mereka tidak tahu."
Tenggorokan Sasuke tercekat, tiga jam Kontraksi terus menerus tanpa bantuan medis bukanlah hal yang mudah karena saat ini Sasuke mengerti hal itu, ia sudah bisa memahami rasa sakitnya ibu yang mengandung, bahkan melahirkanya dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri demi melihat anaknya lahir dengan selamat ke dunia ini. Tiga jam, ibunya berjuang sendirian bersamanya-bersama Sasuke kecil yang nakal karena membuat ibunya kesakitan. Tiga jam bukanlah waktu yang sebentar, apalagi dengan rasa sakit yang menjalar di seluruh badan. Tiga jam kontraksi tanpa henti benar-benar bukan perkara yang mudah karena taruhanya adalah nyawa ibunya sendiri yang berharga, nyawa ibunya yang dipertaruhkan demi dirinya...
Nyawa ibunya yang berharga, dipertaruhkanya demi melahirkan Bayinya yang tak berdosa.
"Kemudian, Kakakmu terbangun karena dia merasa lapar dan ingin makan siang. tapi begitu mengetahui keadaan ibu yang sedang berjuang melahirkanmu, dia langsung cekatan menelepon bibi Kushina dan meminta pertolongan medis terdekat. Tapi, perjuanganmu untuk lahir ternyata belum sampai disitu." Mata Hitam Mikoto menatap dengan lembut Putranya yang sudah menjadi dewasa tanpa terasa, benar, dia sudah menjadi seorang ayah sekarang. Padahal, terasa seperti baru kemarin ia melahirkan Sasuke, menyekolahkanya ke bangku dasar, lulus SD dengan Ranking 2 dan masuk ke SMP Favorit di Konoha dengan menjadi juara 10 umum se-SMPnya. Tak terasa, ternyata waktu sudah cepat sekali berlalu. Sekarang Putra bungsu kecilnya yang selalu ia lindungi sudah menjadi pribadi yang dewasa, waktu benar-benar cepat sekali meninggalkan kita tanpa terasa, karena kita yang terlena dan menikmatinya.
"Okaa-san." Ibunya menatap mata Onyxs Sasuke dengan pandagan yang sendu, itulah yang membuat Sasuke merasa Hatinya semakin diiris sembilu, Uchiha bungsu itu merasa terharu dengan perjuangan ibunya yang mati-matian untuk melahirkanya kedunia Dua Puluh Lima tahun lalu. disisi lain dia juga merasa bersalah karena selama ini ia kurang menghargai ibunya yang selalu mengkhawatirkan dirinya. Sering mengacuhkan jirih payahnya, sering mengabaikan nasehatnya, sering menganggap tidak penting rasa khawatirnya, sering melakukan kesalahan yang sama hingga membuat ibunya marah dan hal kecil lain yang sebenarnya sangat penting. Semua itu sering ia lakukan hanya karena malas, malas menuruti niat baik ibunya dan memilih membesarkan sendiri rasa Egonya. Namun, Baru Sasuke sadari... bahwa selama ini, semarah apapun ibunya, sejengkel apapun ibunya, sengambek apapun ibu Sasuke padanya, mama Mikoto tetap akan tersenyum ke arahnya. Sebesar apapun kesalahan Sasuke lakukan Hingga membuat Ibunya terluka, mama Mikoto pasti selalu memaafkanya dan berada di belakangnya untuk mendukungnya, ia akan selalu berdiri tegap disisinya untuk melindunginya. Karena...
Dialah, wanita yang paling sempurna di dunia.
Ibu.
"Gomen."
Mama Mikoto tersenyum manis, lalu mengusapkan jemarinya yang lentik kedalam Rambut Raven milik Putranya dengan lembut.
"Daijoubu." Jawabnya sambil menyunggingkan senyuman tulusnya pada Putra bungsu tersayangnya.
"Nah, lanjut ke cerita yang selanjutnya. Pada saat itu, Para Dokter dan Suster yang menangani kelahiranmu di sibukkan dengan segala Persiapan di ruang bersalin. Genap Enam jam sudah ibu Kontraksi, dan menunggu tahap pembukaan selanjutnya, namun kamu belum juga bisa lahir. Akhirnya pada pukul Tujuh malam, Tim dokter setuju untuk melakukan Pacu* pertama atas izin ayahmu. Dan Setelah menunggu selama dua jam untuk reaksi obatnya, akhirnya Pembukaan selanjutnya sudah mulai terlihat. karena tidak ingin ibu kehilangan banyak Darah dan tenaga lagi, Tim Dokter pun melakukan Pacu yang kedua."
Mama Mikoto mengambil jeda sebentar untuk melanjutkan ceritanya. "Rasa sakitnya benar-benar terasa seperti meregang nyawa, kondisi ibu sempat lemas karena kelelahan, bahkan sempat terjadi pendarahan hingga mengakibatkan ibu kekurangan darah. Belum lagi rasa sakit yang seperti menyayat seluruh jaringan tubuh ibu membuat kondisi ibu benar-benar mulai drop dan hampir menyerah, putus asa. Namun, Tim Dokter terus berupaya sangat keras untuk menyelamatkanmu semampu yang mereka bisa. Dan syukurlah, persalinanya hanya memakan waktu setengah jam, tapi saat itu rasa sakitnya belum juga Hilang. Bahkan saat tim Dokter 'merogoh' rahim ibu dengan tanganya untuk membersihkan Ari-arimu dari perut ibu, ibu sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi."
Sasuke tercekat, ia hanya bisa mematung ngeri saat membayangkan bagaimana tangan Dokter memasuki perutmu pasca bersalin dan merogoh Ari-ari bayimu yang masih di dalam, Oh kami-sama…tidak, Sasuke tidak bisa membayangkanya lebih jauh.
"Kamu menangis dengan keras sesaat setelah berhasil keluar, dan tangisanmu itu membuat ibu lega. Kamu tidak apa-apa, dan hal itulah yang terpenting. Tapi karena usia kandungan ibu saat melahirkanmu baru 7 Bulan, kamu harus dirawat dengan intensif di Inkubator rumah sakit selama hampir Dua bulan. Dan syukurlah, kamu benar-benar 'sempurna.' Dan diperbolehkan pulang setelah kondisimu kuat."
Sasuke menghambur ke dalam pelukan mama Mikoto dan merengkuhnya erat. Ada rasa rasa bangga dan sedih disana, Bangga karena ibunya adalah Wanita yang tegar dan kuat dalam Hidupnya. Dan sedih karena ulahnya lah ibunya sampai harus berjuang dengan beratnya seperti itu hanya untuk melahirkanya. Apakah… apakah Hinata juga mengalami nasib yang sama?
"Mikoto-san, Sasuke!" Mikoto dan Sasuke segera melepaskan pelukan haru mereka dan menoleh ke sumber suara, ternyata ada Ten-Ten dan Neji yang sedang menyusul mereka di depan kamar bersalin Hinata dengan langkah yang lebar dan Tergesa-gesa.
Sasuke dengan kesal mengusap anak air yang menggenang di pelupuk matanya, sebenarnya Sasuke tidak keberatan jika momen berharga dengan ibunya harus berakhir, tapi ia hanya kesal dengan kehadiran si kakak Ipar yang hanya akan membuat Moodnya makin kacau. Ugh.
"Bagaimana keadaan Hinata?" Ten-Ten mengambil posisi duduk disamping Mama Mikoto dan meremas jemari Ibu Sasuke tersebut dengan cemas, Ten-Ten benar-benar khawatir dengan keadaan Hinata yang melahirkan sebelum waktunya. Sebagai ibu dua orang anak, tentu ia sangat paham resiko apa yang mengancam Bayi-Bayi yang lahir sebelum waktunya."Bagaimana bisa?"
"Ah, Neji, Ten-Ten. Kalian disini!" Papa Fugaku yang selesai menelepon Itachi langsung menghampiri keluarga besarnya tersebut lalu bercengkrama bersama. Hanya saja, topiknya pasti tak jauh dari menantunya, Hinata. "Kapan kalian datang?" ucapnya sedikit berbasa-basi.
"Barusaja, Paman." Neji berjalan mendekati papa Fugaku dan duduk di sebelahnya, disamping Sasuke. Sedangkan Sasuke semakin merasakan Firasatnya tidak enak saat Neji semakin mendekat, bagaimana jika ia dan Neji bertengkar lagi? Astaga… kenapa Neji harus datang di saat yang seperti ini kami-sama?
"Hinata-chan itu kuat," Sang kakak ipar menepuk pundak Sasuke dengan pelan, mencoba memberikan semangat kepada Sasuke bahwa semuanya akan baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Sasuke mendongkakkan Wajahnya menatap sang kakak ipar, sedikit tidak percaya kalau Neji bisa... Ramah juga.
"A-aku tahu."
.
.
.
"Kenapa kau disini?"
"G-Gaara-kun?" Hinata memincingkan matanya dan mendekati sosok Pemuda yang sedang memainkan rerumputan Hijau Konoha. Rambutnya yang Acak-acakan semakin tak karuan lagi gayanya saat Angin sepoi meniupnya dengan lembut dibawah Pohon Sakura yang sedang mekar ini. Tidak ada berubah darinya.
"Gaara-kun s-sedang apa?" Hinata mengambil posisi duduk di sebelah pemuda bertato 'Ai' tersebut dan mengamati aktivitasnya.
"Bermain rerumputan, di Suna tidak ada rumput." Gaara menatap sekilas mata Amethyst Hinata dan kembali fokus pada kegiatan yang ia lakukan.
Hinata mengangguk paham, lalu mengamati keadaan sekitar. Kalau tidak salah, Disini adalah tempat dirinya dan Gaara yang sedang bermain sewaktu kecil dulu, ia masih sangat ingat kejadian ini. dimana tiba-tiba Gaara mengunjunginya dengan hanya menaiki Bus seorang diri dari Suna ke Konoha lalu menyeretnya kemari hanya untuk bercengkrama bersama. benar-benar lelaki yang nekat. Hinata merinding, bagaimana jika saat Itu Gaara diculik? Umurnya kan baru belasan tahun! Oh Astaga...
"Gaara-kun, suka Ko-Konoha ya?" Hinata menatap takjub kota yang berada di bawahnya. Saat ini ia dan Gaara Berada di taman yang letaknya persis diatas Patung Pemimpin Konoha. semua pemandangan yang tersaji dari atas sini membuatnya benar-benar terpana karena ia bisa melihat seluruh kota yang benar-benar mengagumkan! Bahkan, dari sini ia juga bisa memandangi Aktivitas manusia sehari-hari di bawah sana. Ramai berlalu lalang dan... selalu berbeda cerita setiap harinya meskipun kegiatan yang mereka lakukan hampir selalu sama.
"Di sini tidak terlalu panas kalau malam, lumayanlah." Gaara mendesah pelan, lalu mengusap Pucuk mahkota Indigo milik Hinata dengan gemas. Gerakan tiba-tiba yang Gaara lakukan, sontak membuat Hinata menoleh dengan cepat kearahnya.
"G-Gaara-kun?" Hinata mengernyit meminta jawaban.
"Kau sendiri, suka?" kini, malah Giliran Gaara yang bertanya. Oh, Hinata baru tahu maksudnya. Nona muda Uchiha itu lalu mengangguk semangat, kemudian tersenyum lembut. "Suka. Aku harap k-kita bisa se-seperti ini terus Gaara-kun, Kau bisa Pindah ke Kono-."
"Tidak bisa."
"Eh?"
"Aku tidak bisa tinggal disini." Gaara menatap Hinata lekat-lekat setelah berhasil memotong kalimat Hinata, ia saat ini tengah berfikir bagaimana cara untu menyusun kalimat perpisahanya dengan tepat.
"Ke-kenapa?" Nona muda Uchiha itu tidak bisa menyembunyikan raut kekecewaanya terhadap jawaban Gaara barusan. Memangnya kenapa ia tidak bisa tinggal di Konoha? "Apa karena P-perusahaanmu di Suna?"
Gaara terkekeh pelan, dirangkulnya bahu Hinata hingga melekat pada dirinya. Astaga, Ia masih terlalu polos. "Well, banyak urusan hingga aku tidak bisa tinggal disini."
"Gaara-kun k-kenapa begitu? I-ini tidak adil." Mata Bulan Hinata mulai berkaca-kaca saat mengetahui bahwa Gaara tidak bisa mengunjunginya sesering dulu lagi setelah ini. Pasti semua itu karena pekerjaan Gaara yang menumpuk hingga tak bisa tinggal di sini. Ia sedih dan kecewa. Atau bisa juga, Gaara mulai menjaga jarak karena ia tidak mau merusak rumah tangga Hinata.
"Hm, mau meminta sesuatu? Anggap saja sebagai permintaan maaf dan permohonan terakhir padaku."
Hinata mendongak dengan cepat dan menatap iris Jade Gaara dengan lekat-lekat. Apa maksudnya?
"Gaara-kun M-mau kemana? Kenapa harus te-terakhir?"
"Ada saatnya kan, Hinata. Dimana Aku harus pergi."
"Ta-tapi kemana? Kenapa begitu Mendadak seperti ini!"
"Gomenasai, Hinata. tapi aku akan pergi Ke tempat yang jauh."
"K-kenapa harus pergi?"
"Karena aku, harus mengalah."
"M-mengalah kenapa?" Hinata mencengkram Kemeja Putih Gaara dengan gemetar. Apakah... apakah Gaara akan meninggalkanya? Tapi, bukankah mereka sahabat yang sudah berjanji akan selalu bersama? K-kenapa? Kenapa sekarang Gaara malah mengatakan hal menyakitkan seperti ini ini? Kenapa ia ingkar janji? "Ke-kenapa?"
Kemana Gaara akan pergi? Bagaimana caranya nanti ia akan menemukanya dan membawa Gaara kembali?
"Sudah saatnya. Sekarang Kau Harus pulang, bukankah Sasuke sudah menunggu?"
Hinata mengangguk kecil, membenarkan kalimat Gaara. Tapi... Apakah nanti ia dan Gaara benar-benar tidak akan bisa bermain bersama seperti ini lagi? Bukankah menyenangkan jika nanti keluarga mereka berdua bisa Camping atau Kemah bersama disini Dan melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama? Tidak! Ini tidak boleh menjadi salam perpisahan. Gaara tidak boleh meninggalkanya!
Airmata kepedihan mulai menetes perlahan di Pipi Chubby Hinata, ada perasaan terluka disana. Karena Gaara ternyata... akan tetap meninggalkanya, tanpa memberitahu alasanya meski Hinata sudah memohon dengan sekuat tenaga Padanya.
"A-apa setelah ini-nanti Gaara-kun ti-tidak bisa lagi bersamaku? A-aku Dan Sasuke... a-aku yakin keluargamu dan keluargaku nanti b-bisa akur. Kumohon, Jangan pergi."
"Hina-."
"K-kau harus berada disini, Gaara-kun. Kenapa harus pergi?" Hinata mulai terisak. Ia tidak bisa melepaskan Gaara yang akan pergi meninggalkanya begitusaja tanpa ada alasan yang jelas. "Kumohon, jangan pergi. Kita-Konoha, bi-bisa bersama. Bahkan teman-temanku kalian-."
"-Sstt." Jemari hangat milik Gaara mengusap dengan lembut Bibir Hinata yang bergetar. Dengan penuh kasih sayang, dibelainya sekali lagi wajah itu untuk menenangkan Hinata yang sesegukan.
"Jangan menangis."
Tidak bisa, airmatanya semakin metes dengan deras saat Gaara mengucapkanya. Semua ini terlalu menyedihkan Hingga membuat airmata Hinata tidak bisa berhenti meski ada keinginan untuk mengakhirinya. Hatinya terlalu sakit.
"Sudah, aku tidak punya banyak waktu lagi. Ayo, katakan apa yang kau inginkan dariku?" Gaara mengalihkan pembicaraanya lagi, karena ia tahu waktu yang dimilikinya semakin menipis. Dengan gerakan lembut, diremasnya jemari lentik Hinata dan menggenggamnya erat.
"Ba-banyak!"
"Baiklah, ayo sebutkan apa saja?"
"Aku.. uh-hiks, aku.. t-tidak tahu. Kumohon, Gaara-kun Ja-jangan meninggalkan aku."
"Ah, kalau yang itu tidak bisa." Gaara mendesah pelan.
"Ke-kenapa?"
"Itu bukan permintaan terakhir namanya."
"Hiks souka? L-lalu apa?"
"Kau ingin apa? Boneka, misal?"
"A-aku ingin bertemu dengan keluarga Gaara-kun, hiks. agar kita nanti b-bisa N-ngobrol, bergosip, m-masak bersama dan a-aku juga ingin tahu Kapan kita bisa bertemu-hiks lagi... dan, dan a-aku ingin uh-hiks-." Lagi, Hinata tidak bisa merangkai kata-katanya dengan benar.
Gaara tersenyum tipis saat mendengar permintaan polos Hinata, dibelainya dengan lembut Pucuk kepala Hinata dan mengusapnya dengan sayang sebagai jawabanya.
"Kau tahu? bahwa Aku mencintaimu."
Hinata terdiam, namun ia masih sesegukan sambil mendengarkan.
"Dan kau juga tahu bahwa aku akan selalu mencintaimu, meski sampai kapanpun kita tidak akan bisa bersama." Gaara tersenyum bahagia hingga menunjukkan beberapa deretan Gigi Putihnya. Dibelainya dengan penuh perasaan pipi porselen milik Hinata untuk menghapus jejak airmatanya dan menatap kedua mata Lavendernya lekat-lekat. "Tapi, Aku bahagia."
Uchiha Hinata menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangisnya yang akan pecah Saat mengetahui kenyataan ini penuh dengan ironi tragis. Perasaan sesak apa yang ia rasakan ini? Kenapa begitu menyakitkan dadanya? Apakah perasaan ini... yang dinamakan
Kehilangan?
"Hinata, ini yang terakhir." Ujar Gaara lirih. namun, ia tetap tersenyum lembut pada Hinata meski waktu yang ia miliki akan segera berakhir. Kemudian, dengan gerakan yang cepat didorongnya wajah sembab Hinata agar mendekatinya. mengurangi jarak yang tercipta antara mereka berdua. Dan mengucapkan salam perpisahanya terakhir pada Hinata.
Kecupan selamat tinggal.
Sementara Hinata yang masih belum mengerti apa yang dilakukan Gaara barusan, tersentak kaget saat bibir pemuda Sabaku itu sudah menempel-bahkan menekan lembut bibir miliknya dengan hangat. Wanita bertubuh mungil itu mengerjapkan matanya beberapa kali untuk mencerna secara pasti apa yang sedang terjadi.
Gaara menciumnya?
Karena setelah ini, aku akan menjalani kehidupan yang bahagia. Jadi berbahagialah juga dengan Sasuke.
Aku ada Disini. tidak kemana-mana. Jika mencariku, aku akan selalu ada disini. Didalam Ingatan dan Hatimu, Hinata.
Jika kau rindu dan ingin bertemu denganku, cukup jadikanlah keberadaanku sebagai bagian dari jalan hidupmu, sebagai kenangan usang masalalumu. Karena, aku akan selalu berada di sisimu... hingga ingatanmulah yang memudar dan bisa melupakan keberadaanku dalam indahnya masa-masa menjadi tua.
Aku mungkin salah langkah dalam mencintaimu, namun ketahuilah bahwa cintaku tidaklah pernah salah untukmu. Kau bahagia, aku bahagia. Karena cinta itu memang sederhana.
Aku akui, berat sekali hati ini melepasmu pergi. Tapi ternyata bukan kau, tapi aku sendiri yang harus pergi. Jadi, mau atau tidak kau ya harus mau terpaksa aku tinggalkan, Hinata. Ku tinggalkan dirimu, bersama seluruh Hatiku yang tak akan bisa ku bawa mati bersamaku.
Aku tidak pernah menyesal dalam Hidupku saat bertemu denganmu, karena bagiku, kaulah tujuan dan cahaya Hidupku. Alasanku untuk bertahan hidup. Namun saat ini, bukan kata-kata itu saja yang ingin aku ucapkan. Tetapi, aku juga ingin meminta maaf dan berterimakasih atas pengaruh besar kehadiranmu dalam Hidupku.
Maaf untuk sikap Posesifku terhadapmu.
Maaf untuk memaksamu mencintaiku.
Maaf untuk percobaan pengguguran bayimu.
Maaf untuk Luka yang kuberikan padamu.
Dan Maaf untuk... egoku yang mencoba merebutmu dari Sasuke.
Aku ingin pergi dalam damai, dan tidak ada dendam diantara kita. Begitupun dirimu yang sudah aku maafkan, aku ikhlaskan bersanding dengan pemuda Pantat Ayam itu. dan bukan denganku.
Heheh, Hinata.
Terimakasih ya, karena kau sudah mewarnai kehidupanku.
Terimakasih sudah mengajariku arti sebuah kehidupan yang berharga.
Terimakasih sudah memperkenalkanku pada perasaan baru yang dinamakan Cinta, padaku.
Terimakasih untuk semuanya.
Terimakasih untuk segalanya.
Semua yang sudah kau lakukan dalam kehidupanku. Aku sudah tenang karena bisa melihatmu bahagia.
Jadilah ibu dan Istri yang baik, salamkan juga ucapan selamatku pada Sasuke. Kau tahu? Dia akan jadi sosok ayah yang hebat! Aku ikut senang.
Berjanjilah satu hal padaku Hinata, jagalah dirimu baik-baik. Jika Putramu sudah besar nanti, ajaklah dia untuk sering mengunjungiku agar aku tidak kesepian. Atau... dia juga bisa bermain bersama Putraku dan menjadi Rival yang tangguh kelak. Aku ingin endingnya seperti itu. Semoga.
Ah Hinata, sudah ya?saatnya Aku harus pergi.
Ingatlah untuk selalu menjaga kesehatan dan jangan suka beramain di Suna saat ada badai pasir. Atau kau akan terhisap dalam Pasir mengerikan itu lagi! Ingat, Ini ancaman.
Hinata, jadilah wanita yang kuat setelah ini. Karena aku tidak akan ada disampingmu untuk menjagamu lagi, oke? Aku tidak bisa. Tapi, Sasuke bisa melakukanya untukku. Ia akan melindungimu jauh lebih baik daripada aku. Oleh karena itu, jangan pernah mengkhianatinya.
Ah, kalian berdua pasangan yang serasi juga ya setelah aku lihat-lihat. tapi jangan pernah berfikir bahwa aku melepaskanmu begitu saja kepelukanya, ya?ah... sudah, Berbahagialah, karena aku juga akan berbahagia.
Hey, Hinata.
Aku...
Aku akan selalu...
Mencintaimu.
Maka dari itu Hinata, jagalah dirimu... baik-baik.
Untukku.
"Sabaku Tayuya. Baik-baiklah juga denganya."
Karena nanti, Kita 'kan bertemu kembali.
Di Surga.
.
.
.
My wife is Hinata
.
.
.
Tubuh tegap Itachi limbung dan mulai terhuyung-huyung tak tentu arah. Kedua lutunya sama sekali tidak bisa menopang berat badanya sendiri saat ini. Aliran darahnya juga sepertinya tidak bisa bekerja dengan benar karena kepalanya terasa sangat ringan. Dan Semuanya terlihat seperti sedang berputar-putar. Tubuhnya terasa lemas.
"Itachi? Daijoubu?" Hiashi Hyuuga menepuk pelan pundak Itachi untuk menyadarkanya. Namun sia-sia, yang dilihatnya hanyalah mata Onyxs Itachi yang terlihat sayu tengah menatapnya dengan pandangan kosong sebelum benar-benar jatuh pingsan.
"D-dokter bantu aku."
Papa Fugaku dan mama Mikoto semakin terisak kencang. Semua ini benar-benar bukan hal yang mereka harapkan! Namun, dengan sekuat tenaga semua yang berada di ruangan ini mencoba bangkit dan bersikap tegar. Meski hal itu tidak mudah.
Beberapa paramedis yang masih berada di dalam ruang persalinan, dengan sigap membawa Itachi ke ruang pasien dan merawatnya dengan intensif disana, sedikit membuat keluarga Uchiha bingung karena harus menunggui yang mana. Itachi atau Hinata?
"Kau disini saja, biar aku yang menemani Itachi." Papa Fugaku mengusap lelehan airmata istrinya untuk yang kesekian kalinya sebelum mengikuti paramedis yang merawat Itachi dan meninggalkan mama Mikoto yang masih menangis.
Tangisan Mama Mikoto itu semakin terisak-isak saat Fugaku melepaskan pelukanya dan menemani Itachi di ruang perawatan, ia kehilangan tempat bersandar. semua ini begitu mendadak dan menjadi pukulan telak di dalam dadanya.
"Besan?" Hiashi mendekati Mama Mikoto dan menanyakan keadaanya. Mama Mikoto mengernyit, Kenapa disaat begini, Hiashi malah terlihat begitu tenang? Apakah ia tidak merasakan kehilangan? "Anda tidak apa-apa?"
"Hi-Hiashi-san?" mama Mikoto mengusap kedua matanya yang sembab dan membengkak dengan cepat. Bagaimanapun juga, ia tidak boleh bersikap terlalu berlebihan di depan besanya. "A-aku tidak apa-apa."
"Maafkan aku, tapi... kita harus berfikir dengan jernih." Mama Mikoto mendengarnya, suara Serak Hiashi... ada rasa sedih karena kehilangan juga disana. Siapapun yang ada di ruangan ini pasti juga merasakan hal yang sama. Hanya saja, Hiashi bisa mengendalikan emosinya dengan baik.
"Demo-."
"Sasuke yang mengajarkanku hal itu, tidak kah kau lihat menantuku yang bersikap tenang disana, Sedang menemani Hinata?" Hiashi menepuk pundak mama Mikoto pelan dan menenangkanya, dengan lembut diajaknya besannya itu untuk keluar dari ruang persalinan dan menenangkan Fikiran mereka. Ia yakin, semua ini pasti ada Hikmahnya. Ia hanya perlu percaya dan terus berdoa kepada Kami-sama.
Juga, Percaya pada menantunya, Sasuke.
Ya, kau benar. Secara medis, Hinata memang sudah dinyatakan meninggal sejak Dua Jam yang lalu. Namun tidak secara Ikatan batin. Sasuke tahu, bahwa Istrinya hanya tertidur lelap di alam bawah sadarnya sana. Ia hanya membutuhkan waktu sedikit lagi untuk bangun. Saat ini, Hinata sedang berjalan-jalan di alam lain, jadi kita hanya perlu menunggunya sebentar lagi untuk pulang. Karena pasti, Hinata akan pulang. Sasuke bisa merasakanya, bahwa sebentar lagi istrinya pasti akan kembali lagi kepadanya. Ia tahu itu.
Mama Mikoto menangis lagi saat ia berpaling dan melihat Putranya masih menunggui Hinata dengan tenang, namun gerakan halus Hiashi pada pundaknya membuatnya berfikir kembali bahwa ia harus menenangkan fikiranya seperti yang Sasuke lakukan. Bisakah ia melakukanya? Bisakah ia bersikap tegar?
"Kita keluar sebentar." Hiashi mendorong pintu persalinan dan menutupnya kembali begitu mereka sudah ada di luar, semuanya... mereka hanya perlu menenangkan fikiran agar bisa mengatur emosi dengan baik dan berpikir jernih.
Memang Semua yang berada di kamar persalinan Hinata pasti akan menangis sedih, semuanya akan berduka saat melihat kondisi Hinata yang sudah tak bernyawa saat ini. Namun, Disaat semua orang berduka karena kehilangan Hinata, kesedihan itu tidak berlaku pada Sasuke. Bahkan Itachi-yang barusaja datang Dari Paris sampai harus di bawa ke kamar pasien dan dirawat intensif disana karena Pingsan dan terpukul Hebat. Bayangkan saja, jauh-jauh Dari Paris ke Jepang menggunakan pesawat pribadi-harus menunggu selama Tiga Jam perjalanan, ditambah semalam ia lembur dan belum sempat tidur, begitu sampai... Itachi langsung mendapat kabar mengejutkan bahwa adik iparnya sudah meninggal? Terbujur kaku, dingin dan tak bernyawa? Bagaimana perasaanmu?
Sasuke tersenyum manis, Ayah muda itu kemudian mengeratkan genggaman eratnya pada jemari Pucat Hinata dan mengecupnya sesekali, ia tersenyum menatap istrinya yang sedang beristirahat. Bulu matanya yang lentik terlihat anggun saat terpejam.
"Hinata. Kembalilah." Suaranya yang lirih terdengar serak. Dengan lembut dan penuh kasih sayang, diusapnya Bibir Hinata yang mulai membiru dan terasa dingin. Memang tidak seperti biasanya yang kenyal dan ranum. Namun tidak apa-apa, semuanya baik-baik saja. Semuanya... akan kembali normal seperti sediakala, Karena Sasuke percaya.
"Sudah waktunya bangun." Naik ke Pipi isterinya yang mulai cekung, Sasuke kemudian menurunkan usapanya dan membelai pelan Leher jenjang istrinya. Sasuke sadar bahwa warna pucat dinginlah yang mulai mendominasi seluruh tubuh Hinata, namun ia tidak akan menyerah untuk berdoa dan berharap.
"Tadi, ibu menceritakan masa kecilku." Bahkan Sasuke bisa mendengar suaranya sendiri yang bergetar karena kesedihan mendalam yang ia rasakan. Namun Satu hal yang harus ia lakukan saat ini adalah; tidak boleh menangis, karena ia sekarang adalah seorang ayah-contoh teladan bagi putra pertama mereka. Berdehem pelan untuk menghilangkan suara getirnya, Sasuke kembali berusaha tenang.
"Jadi kau harus bangun kalau mau mendengarnya." Dibelainya dengan sayang Rambut Indigo kebanggaan sang istri-ah benar, rambut milik inilah yang diwariskanya untuk putra mereka. Benar-benar mirip dengan Hinata ciri-ciri fisiknya.
"Wah, putra kita sangat mirip denganmu." Mencoba mencairkan suasana agar ia tak tegang lagi, Sasuke terkekeh pelan. Kemudian, dengan lembut di pilin-pilinya ujung rambut Hinata seolah tak ada lagi mahkota paling indah di dunia ini selain surai Bitu Tua milik istrinya. Semua yang ada di dalam diri Hinata memang bisa diungkapkan dengan kata; sempurna. Meski Sasuke tahu di dunia ini tidak akan ada wanita tanpa cacat seperti itu.
"Kau mau melihatnya?" diusapnya lagi Pipi Hinata yang semakin terasa dingin, tulang pipinya yang terasa menonjol membuat Hati Sasuke semakin miris.
"Hinata sayang, kembalilah." Di genggamnya dengan erat telapak tangan Hinata yang dingin membeku dengan tangan kirinya, tidak ada kehangatan sama sekali disana.
Mengecup mesra bibir pucatnya sekilas, Sasuke membelai kembali wajah Hinata dengan lembut menggunakan telapak tangan kananya. Wajah istrinya yang kini sama sekali tak memiliki ekspresi, kemana perginya semua rona merah anggun yang selalu menghiasi wajah malu-malu istrinya itu? Kemana senyuman hangat yang ia sunggingkan untuk Sasuke seorang? Kemana semua aura kehidupan itu sekarang?
"Kembalilah." Suaranya semakin parau saat Sasuke tak mampu menyembunyikan airmatanya yang kini telah menggenang, hatinya tersayat. Sasuke tak bisa lagi menyembunyikan rasa dukanya saat ia tak menemukan lagi senyuman manis istrinya yang selalu terukir indah saat ia menggodanya. Ia adalah orang yang paling terluka atas kepergian Hinata.
Bahu Sasuke bergetar, tetesan airmata mulai membasahi Pipinya. Apakah saat ini adalah waktu bagi dirinya untuk menyerah? Apakah saat ini adalah waktu baginya untuk berhenti percaya dan menerima kenyataan?
Bahwa Uchiha Hinata telah meninggal.
"-iks..." dipeluknya dengan erat tubuh Hinata yang sama sekali tak bergeming selama dua jam terakhir. Bagaimana Jika ini adalah pelukan terakhirnya bersama Hinata? Bagaimana jika istrinya benar-benar tidak kembali? "Pulanglah padaku, sayang."
Sasuke tak perduli lagi pada suster yang menatapnya iba, ia tak perduli lagi betapa menyedihkanya tindakan yang ia lakukan sekarang. Yang ia inginkan hanya Hinata-istrinya untuk kembali lagi kepadanya, dan memberikan kesempatan kedua. Membangun keluarga kecil yang bahagia bersama-sama.
Dengan hati yang berat, Sasuke menautkan dahinya pada kening sang istri dengan erat. Dipandangnya dalam-dalam kelopak mata Hinata yang terpejam dan menyembunyikan iris bulan miliknya yang indah, sakit. Rasa kehilangan yang teramat menyakitkan seakan ingin membuat Sasuke berteriak sekeras mungkin. Hatinya meraung pilu akan kehampaan yang akan ia jalani tanpa Hinata disampingnya. Bagaimana dengan buah hati mereka berdua kedepanya?
Terisak-isak dalam, Sasuke mengecup dengan penuh perasaan kening Hinata. Adakah esok yang lebih baik jika separuh jiwanya tak menemani lagi? Adakah masa depan yang cerah jika Hinata benar-benar meninggalkanya nanti?
Ada.
Pasti ada.
Tapi entah kapan datangnya.
"Aku mencintaimu." Suaranya benar-benar terdengar parau saat Sasuke mengungkapkan isi hatinya pada Hinata, buruk sekali. Padahal Sasuke ingin memberikan ucapan paling baik untuk istrinya. Karena Mendeklarasikan cinta secara gampang bukanlah tipe Uchiha bungsu ini, Sasuke akan mengulanginya lagi, menyatakan pada Hinata bahwa hanya dialah wanita yang benar-benar Sasuke butuhkan seumur Hidupnya. Satu-satunya wanita yang ia cintai setelah ibunya.
"-aku mencintaimu." Tertohok rasa sakit akibat kehilangan, Sasuke tidak ingin menyerah meskipun sekarang ia telah babak belur dihantam kenyataan.
Kami-sama... apakah benar-benar tidak ada kesempatan kedua untuknya?
Barusaja Sasuke menemukan kebahagiaanya, membangun istana Cinta mereka berdua, secepat inikah engkau mengambil Hinata darinya?
Sasuke tahu bahwa ia tak bisa menyalahkan Tuhan, ia Juga tak bisa mneyalahkan siapapun atas Hilangnya nyawa Hinata. Hanyasaja, apakah sunguh tidak ada sedikit saja keajaiban untuknya?
Walau hanya sekecil asa?
"-aku mencintaimu-iks, Anata."
dan ia menemukan ada denyutan lemah disana. Gerakan kecil jemari Hinata yang ada di dalam genggamanya tersentak pelan. Meskipun samar dan sekilas, namun Sasuke yakin tadi ia menemukan kehidupan yang pudar milik Istirinya. "H-Hinata?"
tapi raga sang istri masih terdiam, tak ada lagi gerakan kecil yang Sasuke rasakan. Apakah barusan tadi hanyalah ilusi Sasuke saja yang merasa kehilangan? Bagaimana jika Hinata benar-benar kembali? Bagaimana jika- "DOKTER! DOKTER! KEMARILAH!" Beberapa suster yang masih memberesi peralatan persalinan Hinata, mengalihkan kegiatan mereka dan segera menghubungi Dokter persalinan terdekat dengan sigap. Beberapa dari mereka yang masih tinggal di ruangan mempersiapkan kembali alat-alat yang akan digunakan untuk memeriksa Hinata.
Tnit.
Alat pendeteksi detak jantung milik Hinata barusaja berbunyi, jelas sekali. Namun, detaknya masih jarang. Mereka harus bergergas untuk menyelamatkan Hinata agar tidak kehilangan ibu muda itu untuk yang kedua kalinya!
Sasuke membatu. Benarkah? Benarkah bahwa istrinya telah kembali? Lalu kenapa terdiam? Bukankah Sasuke harusnya memberikan semangat dan sambutan selamat datang? "Hinata-sayang? Oh kami-sama! Sayang-hiks... Hinata-aku disini, ayo kau harus kembali! Kau tahu, bahwa aku-kami... kami semua mencintaimu! Pulanglah padaku, Hinataku sayang."
Para Dokter yang barusaja tiba dengan tergesa-gesa dan Suster yang sudah bersiap, mereka langsung bergerak cepat untuk menyelamatkan nyawa Hinata. Setelah memenuhi prosedur dasar penanganan pasien yang koma, seluruh para medis di ruangan bersalin Hinata itu dengan sigap bertarung sekali lagi dengan waktu.
"Yuko, siapkan Kejut listriknya*!"
"Ya, dokter."
"H-Hinata?" Sasuke berdiri dari kursinya, lalu menggenggam tangan Hinata dengan erat. Ini... Hinata benar-benar kembali. "Hinata! Sebanyak apapun yang kau mau, aku-aku akan mengatakan bahwa aku mencintaimu. Ayah, ibu, Nii, bahkan... putra kita juga membutuhkanmu, jadi kembalilah. Pulanglah pada kami, sayang!" dan ia masih punya sebuah harapan untuk kembali.
Tnit.. Tnit...
"Kejut listrik siap, dok!" Anko si suster nyentrik mencoba menggunakan Golden Chance* ini untuk menolong Hinata. Itu berarti para dokter harus berpacu dengan waktu tanpa ada kesalahan sedikitpun.
"Hei, kau harus bertemu anak kita. Dia laki-laki." Sasuke mengusap dahi Hinata yang mulai menghangat. Suhu tubuhnya perlahan-lahan sudah kembali. Hinata akan segera bangun! "Bagaimana dengan namanya?"
"Anko, siapkan infusnya*!"
"Baik, dok!"
"Yuko, siapkan alat bantu nafasnya!."
"Hai!"
"Maaf Sasuke-san, mohon bergeser sedikit."
"Iya, ma-maaf."
.
.
.
My Wife is Hinata
.
.
.
Uzumaki Khusina mengamit dengan erat lengan suaminya, sambil berjalan beriringan di lorong koridor rumah sakit, senyuman manis tak pernah absen untuk menghiasi wajahnya sepanjang hari ini. Tentusaja, apalagi kalau bukan karena kabar Hinata yang melahirkan anak pertamanya dengan selamat? Oh perpaduan antara Sasuke dan Hinata pasti sangat 'menggemaskan' sekali hasilnya!
"Seharian ini kau sangat bahagia sekali, Kushina?" sang suami-Minato menatap istrinya dengan pandangan yang lembut sambil sesekali membenarkan hadiah yang dibawanya untuk bayi Sasuke dan Hinata tentunya.
"Ouh, Minato! Aku jadi ingin punya cucu juga!"
"Yah-uh tentu, tapi Naruto dan Sakura... setidaknya biarkan mereka menikmati masa mudanya dulu, mereka juga belum lulus kuliah kan?" seperti biasa, Minato selalu bijak dalam nenanggapi keinginan istrinya. Benar-benar terbalik sekali dengan sikap putranya-Naruto yang ceroboh.
"Ah~, demo-."
"Sstt, kita sudah sampai."
"Eh? ada Bodyguard?" Ibu Naruto itu mengurungkan niatnya untuk menyatakan keberatanya pada Minato begitu melihat 'keamanan khusus' di depan pintu kamar rawat Hinata. alis Kushina tampak saling bertaut ketika melihat Empat orang berpakaian jas lengkap tengah menatap tajam mereka berdua sambil mengisyaratkan untuk meminta kartu identitas. Umh, perlu se ketat itukah keamananya?
"Ingat, ini cucu pertama Uchiha's dan Hyuuga's Group."
"Ah, benar juga. Ya sudah, ayo masuk Minato?"
"Humm."
Setelah menunjukan kartu pengenal mereka pada 'para' penjaga, Minato dan Khusina diperkenankan masuk dengan mudah karena nama mereka sudah tercantum dalam daftar tamu. Uh, ini mau menjenguk Hinata yang melahirkan atau mau menghadiri pesta sih?
"Hinata-chaaan!" Khusina langsung menghambur memeluk Hinata yang sedang bercengkrama dengan Neji. Melihat ada tamu yang datang, sang kakak sepupu segera memberikan Ruang untuk Kushina agar bisa ngobrol lebih leluasa bersama Hinata.
"Eh, hanya kau sendiri yang di sini, Neji?" Minato mengedarkan pandanganya ke seisi kamar, namun ia tak menemukan sosok lain disini kecuali Neji yang saat ini duduk di sofa bersamanya. "Sasuke kemana?"
"Oh, aku menyuruh ayah dan ibu untuk pulang dahulu ganti baju dan Bergantian menjaga Hinata. Sedangkan Sasuke, dia sedang keluar sebentar."
"Hm, souka." Minato mengangguk paham.
"Kau sudah baikan, Hina-chan?" suara Kushina yang khawatir mengintrupsi pembicaraan Neji dan Minato, namun mereka berdua paham akan hal itu. Wanita yang usianya sebaya dengan mama Mikoto ini menggenggam telapak tangan Hinata yang mungil dengan erat, kabar mengejutkan bahwa Hinata juga sempat 'mati suri' tentu membuatnya khawatir.
"A-aku tidak apa-apa, Kushina-san. Terimakasih sudah datang kesini!" Hinata tersenyum lembut, kondisinya yang lemah memang membuat semua orang hampir jantungan karenanya. "M-maaf membuatmu khawatir."
"Ish kau ini bicara apa? Jangan berkata merepotkan begitu, bagaimanapun juga kau sudah ku anggap seperti putriku." Wajah Kushina yang keberatan membuat Hinata mengulum senyum, ibu Naruto ini memang sangat baik.
"Hihi, maaf."
"Ne, kau sudah makan?" Hinata mengangguk lemah, ditunjukkanya selang Infus yang masih bertengger dengan manis di telapak tanganya. Benar juga, Hinata mendapat asupan gizi dari benda cair itu.
"Tapi tetap saja, kau harus makan ya? Jangan hanya mengandalkan infus. Bayimu membutuhkan nutrisi yang cukup."
Hinata tersenyum lebar dan mengangguk kecil sekali lagi, ia menerima dengan senang hati setiap saran yang di berikan Kushina terhadapnya. Karena pengalaman wanita berambut Merah itu sudah banyak di banding Hinata tentunya. "I-iya, terimakasih."
"Nah, nah! Aku membawakan juga hadiah untukmu!" Kushina kemudian mengambil kado besar yang dibawa Minato tadi, lalu menyerahkanya pada Hinata. Lumayan Berat juga. "Bukalah, aku yakin kau akan senang!"
"I-ini apa, Kushina-san?" Hinata bergeser ke sisi tempat tidur lain untuk memberikan tempat untuk kado Kushina yang lumayan besar juga ukuranya. Kado itu terbungkus Oleh kertas warna-warni yang berwarna cerah dengan gambar bunga Sakura. Jangan lupakan pula Pita Putih yang terpasang manis diatas tutupnya.
"Hihi, buka saja!" Neji melirik ke mata sapphire Minato dengan tajam untuk meminta penjelasan, namun pria berambut Kuning itu hanya mengangkat bahu dan nyengir Lima jari persis Naruto. Aa.. Neji sekarang tahu darimana 'senyuman maut' Naruto itu berasal.
Tangan Hinata yang masih terbelit oleh selang-selang infus membuatnya tak bisa bergerak dengan leluasa, apalagi dengan kado sebesar ini... semakin membuatnya kewalahan walau hanya untuk membuka tutupnya. Namun, rasa penasaran dan keingin tahuanya akan isi dari kado ini sama sekali tidak bisa disembunyikan dari wajah meronanya.
"Hihi, sini aku bantu!" Kushina terkekeh geli dengan sikap menggemaskan Hinata, dengan cekatan, dibukanya hadiah yang ia berikan untuk istri Sasuke itu. Tentusaja, hadiah yang jarang di berikan oleh orang lain pada umumnya.
Tutup kado terbuka. Dan Hinata langsung terkesiap begitu melihat isi dari hadiah itu... jika sebanyak ini jumlahnya, apakah... apakah ini mimpi? Yakinkah Hinata bisa menghabiskanya?
Neji mendelik, disusul gelak tawa Minato dan Kushina secara bersamaan karena mendapati respon yang mereka harapkan dari Neji dan Hinata.
"Ku-Kushina-san! I-ini-."
"Iya, Hina-chan. Habis aku yakin kamu belum sempat membelinya." Setelah mampu menguasai dirinya kembali, pemilik Rambut merah sepinggang ini memandang lembut Hinata. Ah... kapan ya Sakura juga akan menyusulnya?
"Kau sudah jadi ibu sekarang, jadi jagalah juga Nutrisimu." Imbuhnya kemudian.
"Arigatou Kushina-san, de-demo... a-aku bagaimana aku menghabiskanya?" ya, isi kado di depan Hinata kini adalah Satu Dus penuh berisi Susu bubuk rasa Coklat untuk ibu menyusui. Jangan Lupakan Nettnya yang berbobot 1000 gram di kali 12 buah.
"Hm, kau bisa membaginya dengan Sasuke." Kemudian, Kushina tertawa geli lagi.
"Umh, Te-terimakasih Kushina-san, Minato-san! A-aku akan berusaha menghabiskannya."
"Menghabiskan apa?" Sasuke datang tiba-tiba, mengalihkan seluruh pasang mata yang ada di dalam kamar rawat Hinata. Tak terkecuali sang istri yang sedikit terkejut melihat kedatangan Sasuke dengan tiba-tiba.
"Ah, Sasuke-chan! Kemarilah, aku juga punya hadiah untukmu!" Kushina tersenyum lebar, dan membuat Neji mengernyitkan alisnya sekali lagi.
"Ada hadiah lain?"
Minato mengangguk. "Iya, hanya saja lebih kecil?"
"Apa lagi kali ini?" kakak sepupu Hinata itu mulai curiga, jangan-jangan mereka berdua memberikan kado Susu juga untuk Sasuke agar lebih kuat-ehm, ya semacam begituanlah pokoknya.
Minato menggaruk tengkuknya, di introgasi oleh Neji memang mengerikan juga ternyata, pantas saja Naruto kurang suka dan tidak mau berlama-lama denganya. "Well, yah nanti kau tahu sendiri." Katanya kalem.
"Hn? Hadiah apa?" Sasuke menaruh kantung belanjaanya di meja dekat Tempat tidur, dan duduk di sebelah Hinata. Sambil Menunggu Kushina mengambilkan hadiahnya, Onyxnya menangkap sebuah objek besar yang berada di samping sang istri. Dengan penuh rasa ingin tahu, dilihatnya isi kardus besar tersebut dan betapa terkejutnya ia melihat benda di dalam kado itu. "Susu apa sebanyak ini?!"
Hinata tersenyum gemas melihat reaksi Sasuke yang sama seperti dirinya tadi, dengan lembut, ditepuknya pundak suaminya dan menenangkanya. "Daijoubu, anata. itu hadiah dari Kushina-san dan Minato-san."
"Yah, kami memberinya persediaan, Sasuke." Minato menyahut sambil membatu istrinya untuk menemukan hadiah kecil yang terselip di Tas sang istri.
"Mina-kun, tadi di taruh dimana ya?"
"Oh ya ampun, ini memang benar-benar 'persediaan' Minato-san." Sasuke menggeleng-gelengkan kepalanya pasrah dan menatap sang istri dengan tatapan 'apa kau bisa menghabiskanya?'.
Dengan gerakan yang cepat dan tak terprediksi sebelumnya oleh Sasuke, Hinata telah menarik lehernya dan mengecup bibirnya sekilas. Dengan lembut, wanita yang sudah menjadi istri sahnya itu menatap intens kedua mata sang suami. Ada keterkejutan atas tindakanya barusan disana. Hihihi. "Da-daijoubu, sini te-temani aku."
Sasuke menyunggingkan senyuman, sekarang istrinya sudah mulai berani ya rupanya. "Wajahmu merah tuh."
"Eh? Be-benarkah?"
"Sebentar, aku simpan dulu hadiahnya." Melonggarkan pelukan sang istri di lehernya, Sasuke mulai mengangkat Susu seberat Dua belas Kilo itu dan menaruhnya di dekat Meja dengan sigap. Ya ampun, butuh berapa tahun Untuk Hinata agar bisa menghabiskanya? Ini mengerikan.
"Dimana Neji tadi?" setelah berbalik untuk berbicara dengan Neji tentang giliran berjaga, Sasuke malah mendapati tempat duduk sang kakak ipar sudah kosong. Apa dia sudah pergi? sejak Kapan?
"Eh? Nii-san ta-tadi duduk di situ." Hinata menengok ke sofa tempat sang kakak duduk. Benar, Nii-sanya sudah tidak ada disana.
"Mungkin keluar sebentar?" Kushina menatap Sasuke sekilas sebelum kembali mengobrak-abrik isi tasnya lagi. Dimana sih ia menaruh hadiahnya tadi?
"Coba di dompetmu, mungkin?" sang suami memberikan saran.
Sasuke mendesah lelah, lebih memilih untuk memperhatikan sang istri, ia akhirnya tidur di sebelahnya. Muat lah, wong kasurnya hampir berukuran king size kok. "Ingin makan sesuatu?"
Hinata menggeleng pelan sebagai jawaban penolakan halus atas niat baik Sasuke. "A-aku ingin bertemu anak kita."
Sasuke tersenyum, diusapnya pipi Hinata dengan lembut. Saat ini belum saatnya, karena bayi mereka masih harus dirawat intensif di ruang inkubator khusus. Jadi belum bisa di jenguk seenaknya. "Iya, sebentar lagi. Jika kondisimu sudah membaik, aku akan membawamu kesana. Oke?"
Hinata mengangguk, kemudian memeluk dada sang suami. "Se-seperti apa dia, Sasu-kun?"
"Rambutnya sama denganmu. bibirnya, kulitnya... rona di pipinya, dia mewarisi semuanya darimu."
"Be-benarkah?"
"Iya. Awalnya aku kira dia perempuan, karena wajahnya sangat manis sekali. Bahkan walaupun ia menangis sangat keras setelah keluar dari rahimupun, ia tetap terlihat menggemaskan."
"La-lalu?" Hinata mulai penasaran.
"Yah, andai bukan para dokter tidak memberitahuku tentang jenis kelaminya, aku benar-benar mengira putra kita seorang perempuan."
Hinata terkekeh pelan, dipeluknya semakin erat tubuh Sasuke yang memberikanya kehangatan. Ia bahagia. Kehidupanya sudah lengkap sekarang. "Ba-bagaimana dengan namanya?"
Sasuke tampak berfikir sebentar untuk mengingat-ingat nama yang sudah ia siapkan untuk putranya, sayangnya ia lupa. Uh... siapa ya? "Aku sudah punya rekomendasi nama, tapi aku lupa."
"Eh? Ke-kenapa begitu?"
Sasuke mengangkat bahu, kemudian memeluk pinggang sang istri erat. "Nanti ku beri tahu-."
"Ketemu!" Kushina mengangkat hadiahnya tinggi-tinggi begitu ia menemukanya di dalam dompetnya, ukuranya sangat kecil dibanding kado milik Hinata. Isinya apa? "Ini, Sasuke-chan! Aish, kalian ini... sempat-sempatnya bermesraan disini, dasar pengantin baru."
Hinata segera mengambil posisi duduk karena tidak enak hati, wajahnya langsung dipenuhi oleh rona merah begitu Kushina menggodanya seperti itu. Sedangkan Sasuke? Ia cuek saja sambil membuka hadiahnya dengan malas.
"APA INI?!" pekikan dari sang suami membuat Hinata menoleh dan menatap isi dari kadonya, memangnya ada apa dengan hadiah milik Sasuke? Um, apa ada yang salah ya?
"Well, aku juga yakin kamu belum membelinya. Kau harus merencanakanya juga dari sekarang Sasuke-chan." Uzumaki Kushina mengangguk puas dengan hadiah khusus yang dibelikanya untuk Sasuke, meski suaminya sedikit tidak setuju sih dengan idenya yang ini.
What the he-ehm, sekarang Sasuke sudah jadi ayah lho, masak masih mau misuh-misuh? Benar juga. Sasuke ga jadi misuh deh, walau dalam hati. Ia lebih memilih untuk menatap tajam Kushina yang masih 'stay cool' di tempatnya.
"Apa-apaan ini?" nadanya terlihat kesal. Kushina malah semakin terkekeh geli dengan sikap Sasuke yang terlihat seperti merajuk padanya. Sedangkan Hinata yang masih belum tahu duduk permasalahanya, lebih memilih untuk memperhatikan saja.
"Pokoknya, pakai saja."
"Tidak mau!" istri Minato itu langsung mendelik begitu mendengar jawaban ketus Sasuke barusan, kenapa memangnya Sasuke tidak mau memakainya? Toh hadiah yang diberikan oleh kushina juga sangat berguna.
"Kenapa?"
"Belum minat." Alat Kontrasepsi? Astaga, yang Benar saja!
"Sa-Sasuke-kun, tidak boleh begitu! Bagaimanapun juga kita harus menghargai usaha Kushina-san yang sudah bersusah pa-payah untuk membelikan kado ini untukmu." Jawaban polos dari sang istri membuat Sasuke mendesah lemah, ya ampun Hinata...
"Hinata...-ah, kamu memang sangat manis sekaliiii!" Kushina tak mampu menahan diri untuk memeluk Tubuh Hinata erat-erat, habis sikap Hinata yang menggemaskan benar-benar membuatnya gatal untuk mendekap istri unyu Sasuke ini dengan kuat. Ish, kawai sekali!
"Yah, maaf Sasuke... mungkin istriku sedikit berlebihan." Minato merasa tidak enak begitu ekspresi Sasuke terlihat ndongkol, namun istrinya malah terlihat cuek saja sambil memeluk Hinata lebih erat lagi.
"Hn, tidak apa-apa. Yah, ngomong-ngomong dimana Naruto?"
"Aa, bukankah kau tidak mengundangnya kesini?"
"Ah benar juga, untuk hari ini dan besok Hinata hanya boleh di besuk oleh para wali atau orang tua saja."
"Kalau boleh tahu, kenapa sampai kau buat 'jadwal' begitu, Sasuke?"
Kushina menghentikan aktifitasnya dan tertarik untuk menyimak alasan Sasuke mengapa kunjunganya sampai dia atur segala, di sisi lain Hinata juga merasa lega karena bisa mengambil nafas lagi dan terbebas dari 'jeratan' Kushina terhadapnya, meski Hinata menyukainya.
"Karena aku sudah mengaturnya."
Minato mengernyit. "Mengaturnya?"
"Iya, setelah Hinata sembuh nanti, aku sudah- ah, pokoknya sudah ku atur."
"Apa? Apa? Kau juga memberikan kejutan untuk Hina-chan?" mata Abu-abu keunguan Milik Khusina berbinar. Sweet sekali Sasuke ini... astaga padahal seperti baru kemarin ia membantu Mikoto untuk melahirkanya, sekarang ia sudah dewasa saja. Cepat sekali ya waktu bergulir pergi?
"Bukan, bukan kejutan kok. Pokoknya sesuatu."
.
.
.
My Wife Is Hinata
.
.
.
Dua Hari kemudian, Di Rumah Sakit.
Hinata masih memerlukan banyak istirahat untuk memulihkan kondisinya pasca melahirkan, oleh karena itu sang suami memintanya untuk tinggal sedikit lebih lama lagi dirumah Sakit sampai kondisi Hinata benar-benar fit. Selain itu, Apartemennya juga masih dalam kondisi 'renovasi' setelah Sasuke memerintahkan beberapa orang untuk mengecat dan menghias kamar baru untuk bayi kecil mereka. Sekarang apartemen itu tidak akan sepi lagi.
"Sasuke-kun?" suara lembut sang istri memecahkan lamunan Sasuke yang sedang memikirkan kemajuan saham perusahaanya.
"Hmm? Ya sayang?" merasa dibutuhkan, Sasuke mendekati sang istri yang tengah memberikan ASI pada buah hatinya. Putranya ini benar-benar anteng Sekali, dia tidak mudah menangis walau tengah ngompol sekalipun. Tidak terlalu rewel juga sewaktu terbangun di tengah malam. Anak ini Benar-benar jagoan kecil Sasuke.
"Anata, su-sudah memberikan nama?" dibelainya rambut biru Putranya yang terasa halus, Hinata harus menjaganya sekarang. Karena dia adalah anugrah dari kami-sama untuk mereka berdua, Hinata benar-benar merasa hidupnya sudah sempurna. Suami yang baik, putra yang manis, keluarga yang harmonis, kurang apa lagi? 'Terimakasih untuk semua anugrahmu pada kami semua, aku benar-benar bersyukur terlahir dalam keluarga yang sempurna ini, kami-sama. Terimakasih.'
"Sanada, Uchiha Sanada*." Sasuke meragkul pundak sang istri dan menyandarkan kepalanya pada bahu kananya, dan memperhatikan hadiah terindah tuhan kepadanya dengan seksama. Berawal dari perjodohan, pernikahan mereka yang terkesan diam-diam dan... segala masalah yang harus mereka lewati untuk sampai di titik ini benar-benar begitu melelahkan. Sasuke sungguh tidak menduga bahwa ia akan berhasil menjadi suami yang baik selama ini, ia benar-benar tidak menyangka bisa melewati semua ujian itu begitu saja dengan istrinya, Hinata. Sasuke benar-benar... merasa menjadi pria yang paling beruntung di dunia dengan memiliki istri yang hampir sempurna seperti Hinata.
"Sa-Sanada? A-apa artinya, Sasuke-kun?" Hinata menatap sang suami dengan penuh tanda tanya, namun jawaban yang ia dapatkan hanyalah sebuah senyuman manis dari Sasuke kepadanya.
"Baiklah, S untuk awalan namaku, Sasuke. A untuk akhiran namamu HinatA. dan nada... arti Nada adalah karena kehadiranya telah melantunkan melodi terindah dalam hidup kita."
"-Selain itu, Huruf depanku yang ada di awal namanya menjadi arti bahwa sebagai seorang ayah, aku akan berada di depan untuk melindunginya. Dan Huruf belakang namamu, berarti bahwa sebagai seorang ibu kau akan mendidik dan menyayanginya dengan sepenuh hati, kau juga akan menjadi tumpuanya ketika anak kita terjatuh nanti. Dengan begitu, dia akan tahu dari namanya bahwa kehadiranya memang anugrah terindah dari cinta kita berdua."
Mata Hinata berkaca-kaca begitu Sasuke selesai menjelaskan arti nama untuk putra pertama mereka, nama yang singkat namun penuh makna dan harapan kebaikan kedua orangtuanya. Hinata menyukainya, Uchiha Sanada. Benar-benar manis sekali.
Namun, senyuman kebahagiaan di wajah Hinata memudar begitu ia teringat akan satu hal.
"Jika aku bisa membuatmu hamil dan memberikanya cucu." Tanpa Hinata duga, kalimat Sasuke sewaktu ia mengunjunginya dulu kembali terngiang dengan jelas di kepalanya. Sekelebat kemungkinan yang terfikir di dalam otaknya membuat hatinya tertohok sakit. Bagaimana jika selama ini Sasuke tidak benar-benar mencintainya? Bagaimana jika semua ini hanya sebuah sandiwara untuk membantu ekonomi keluarganya? Dan... bagaimana jika selama ini Hinata malah merenggut kebebasan Sasuke yang belum tentu mencintainya?
"Sasuke-kun, apa kau... bahagia?" mata Amethyst milik Hinata berubah menjadi sendu dan ekspresinya terlihat murung. Suaranyapun terdengar lirih dan bergetar. Melihat ekspresi istrinya yang berubah secara tiba-tiba, Sasuke menatap Hinata lekat-lekat. Ada apa?
"Kenapa kau bertanya begitu, sayang? Ada masalah yang mengganggumu?" Onyxs kelamnya menatap mata Bulan Hinata dalam-dalam.
"Um, ti-tidak.. hanya saja aku..." Hinata tampak ragu untuk mengungkapkanya, hal kecil yang barusaja di fikirkanya memang tidak baik untuk dipendamnya, bagaimanapun juga sekarang Sasuke sudah menjadi suaminya, kan? Bukankah hubungan suami-istri itu sebaiknya memang tidak ada yang ditutupi? Apalagi, masalah besar tentu berawal dari yang kacil kan? Hinata tidak mau, sebaiknya ia ungkapkan saja keraguan yang melanda hatinya ini.
"Ada apa?" Sasuke merasakan kegelisahan Hinata yang ia coba untuk sembunyikan darinya. dengan lembut, diusapnya pipi Hinata dan menuntun wajahnya untuk menatap kedua matanya dan mencari jawabanya. "Katakanlah." Sambung Sasuke dengan nada yang lembut.
"A-aku... kita, kita menikah ka-karena di jodohkan. Dan... Sanada ada ka-karena aku ingin membantu ke-keluarga Sasuke-kun." Bahu Hinata mulai menegang saat teringat kemungkinan buruk yang akan ia terima, namun benarkah? Benarkah bahwa Sasuke tidak bahagia bersamanya?
"Hei, kapan aku bilang tidak menyukaimu, hm?" dibelainya Pipi kanan Hinata dengan lembut, lalu mengusap airmata yang sempat menggenang disana.
"Aku bahagia, dan semua itu karena dirimu, sayang. Aishiteru."
"Sa-Sasuke-kun,"
"Jadi jangan pernah lagi berfikir bahwa kau hanya beban bagiku, Hinata. Karena saat ini dan selamanya, aku benar-benar sudah jatuh cinta padamu. Mengerti?"
Hinata mengangguk bahagia, setetes airmata tetap terjatuh di kedua pipinya karena rasa haru yang tak bisa ia bendung. Sungguh, ia benar-benar sangat bahagia, dan sempurna.
Oh, arigatou Kami-sama, hontou ni Arigatou!
Sasuke tersenyum hangat, di rangkulnya tubuh Sang istri ke dalam dekapanya dengan erat. Ia bersumpah, tidak akan pernah lagi membiarkan siapapun untuk mengambil Hinata dari sisinya. Ia akan melindungi keluarga tercintanya ini dengan sekuat tenaga, sampai mati.
"Ssst, jangan menangis. Sekarang kau sudah jadi ibu, jadi berjuanglah dengan sekuat tenaga demi Putra kita, oke?"
"H-hai!"
.
.
.
My Wife Is Hinata
.
.
.
Lima Tahun Kemudian
"Kaa-chan, apa masih jauh?" mata Onyx Sanada berbinar-binar saat melihat pemandangan yang tersaji. hanya saja, perhatianya akan pemandangan Kota Konoha yang ada di bawahnya sedikit terusik akan kondisi kedua orangtuanya yang terlihat sedikit kepayahan. Mereka berdua kepanasan. "Apa kita tidak istilahat sebental?"
Sang ibu mengusap Rambut Indigo Putranya yang lebih tinggi darinya, memakai topi yang kebesaran milik ayahnya, Hinata yakin bahwa Sanada tidak apa-apa. Memang cuacanya agak panas Hari ini. "Sanada-kun gerah ya?"
"Sana-chan mau turun?" Sasuke sedikit mendongakkan kepalanya untuk melihat putra semata wayang yang tengah ia gendong, astaga... tidak ada raut kelelahan di wajah tampanya. "Wah, kelihatanya semangat sekali ya?"
Sanada menggelengkan kepalanya, lalu menangkupkan kedua telapak tanganya yang mungil ke atas Rambut Raven sang ayah. "Kaa-chan dan Tou-chan kelelahan, Sanada tidak mau ka-kalian sakit,"
Sasuke terkekeh geli dengan sikap Sanada yang benar-benar perhatian seperti ibunya. Yosh, ia tidak boleh menyerah jika Jagoan kecilnya ini sangat mengkhawatirkanya, kan? menggenggam kedua kaki sang anak yang ada di lehernya, Sasuke Tersenyum lebar. "Yosh, Sanada! Bagaimana kalau kita berlomba dengan ibu, siapa yang cepat sampai duluan?"
Hinata sedikit tersentak dengan ajakan Suaminya barusan, tidak masalah jika medanya landai, masalahnya...
"Sa-Sasuke-kun! Tunggu, ini jalanan menanjak! Se-sebaiknya janga-,"
"Kyaaa! Kaa-chan jangan sampai teltinggal!"
Terlambat.
Sasuke dan Sanada sudah Lima meter jauhnya di hadapanya, mereka sudah berlari meninggalkanya. Haah, mau bagaimana lagi? Menggenggam keranjang kecil yang ada di tanganya lebih Kuat, Hinata hanya bisa tersenyum sambil meneruskan Langkahnya menaiki 20 anak tangga lagi sebelum mencapai puncak.
Angin sepoi yang berhembus pelan sedikit memberikan udara segar pada tubuhnya. Yah, setidaknya jika ada angin, maka mereka tidak akan terlalu kepanasan.
Menjadikan pegangan tangan yang sudah di sediakan sebagai tumpuan, Hinata menapakkan kakinya dengan lebih mantap. Untung saja ia menolak tawaran Sasuke untuk mengajak seorang Baby sitter ikut bersama mereka, kasihan dia kalau harus naik turun gunung seperti ini. Lagipula, Hinata masih kuat untuk membawa tas kecil Sanada yang berisi cemilan ringan dan sebotol Minuman mineral.
Mengingat putranya yang akan berusia genap Lima Tahun bulan depan, Hinata kembali merekahkan senyumnya. Yah ia harus merencanakan pesta kecil-kecilan untuk Sanada mulai sekarang, mungkin dirayakan di Rumah kakek Hiashi atau di restoran tidak masalah? Hanyasaja, Putranya itu benar-benar duplikat Dirinya, apakah Putranya mau berada di tengah keramaian mengingat tahun-tahun lalu pesta ulangtahunya hanya dirayakan oleh anggota keluarga saja? Terlebih lagi, Hinata masih belum menyiapkan segala sesuatunya, Termasuk kado untuk Sanada.
Tapi...
Mengusap perutnya yang masih rata, Hinata yakin bahwa calon adik Sanada ini akan mengagetkan seluruh keluarganya. terlebih lagi, Sasuke juga belum ia beritahu akan kehamilanya yang kedua ini. Jadi... hal inilah yang akan Hinata jadikan sebagai kejutan untuk Sanada selain hadiah peralatan sekolah nantinya.
Bagaiamana reaksi mereka, yah?
"Kaa-chan! Kaa-chan!" Hinata sedikit tersentak dari lamunanya karena teriakan Riang Sanada padanya. setelah tersadar, ia segera mengedarkan pandanganya untuk mencari sosok Putranya dan Sasuke. Namun yang ia temukan hanyalah Sanada yang tengah berlari ke arahnya bersama seorang anak laki-laki yang seumuran denganya. Tunggu, dia siapa?
"Sana-kun, kenapa lari-lari?" Hinata berjongkok agar bisa menyamai tinggi Putranya. dengan lembut, diusapnya keringat yang mengalir di pelipis Sanada menggunakan punggung tanganya.
"Hihi, Sanada dapat teman balu!" tak perduli dengan topi yang selalu melorot menutupi matanya, Sanada tetap tidak mau melepaskanya, bahkan setiap kali topi itu menghalangi pandanganya, Sanada akan selalu membenarkanya.
"Teman baru? Wah, anak yang manis ini yah? Kok ibu gak di kenalin, sayang?" mata Amethyst Hinata menelusuri anak laki-laki yang Hinata perkirakan sebaya dengan Sanada, Rambutnya Merahnya yang acak-acakan, kulitnya yang putih dan perangainya yang malu-malu membuat Hinata merasa seperti Deja Vu.
"Sasoli, kaa-chan! Namanya Sasoli!"
"Sasori-kun? Senang bertemu denganmu," Hinata mengulurkan tanganya, dan disambut dengan hangat oleh anak bersama Sasori itu, sepertinya ia tidak terlalu pemalu.
"Se-senang bertemu dengan anda, u-umm..."
"Hinata, panggil saja bibi Hinata, aku Kaa-sannya Sanada. Hihihi, mainlah dengan akur sama Sanada ya?"
Anak laki-laki berpipi Chubby itu mengangguk senang, ia sangat gembira karena mendapatkan teman baru di Kota ini. "I-iya! Telimakasih banyak bibi!"
"Iya, Hihi. Oh iya, Sana-kun dimana Tou-sanmu?" Hinata menurunkan tas Ransel warna Biru milik Sanada yang berada di punggungnya, kemudian mengeluarkan isinya. "Ini, dimakan bareng sama Sasori yah?"
"Tou-san disana, sama seseolang, kaa-chan?" Telunjuknya yang mungil mengarah ke Pohon Sakura yang terletak tak jauh dari Hinata berdiri, benar saja, disana Sasuke sedang berbincang dengan seseorang. Siapa?
"I-itu Kaa-chanku, bibi." Hinata kembali menoleh pada Sosok Sasori yang sedang melahap Roti Coklatnya bersama Sanada.
"Oh, baiklah. Bibi akan menemuinya, kalian mau ikut atau makan siang di sini dulu?"
"D-disini saja, Kaa-chan," Sanada mengunyah rotinya dengan lahap, ia sangat senang sekali menghabiskan semua bekalnya, karena yang memasak adalah ibunya. "Kaa-san mau?"
"Nanti saja, Kaa-san mau menemui ayah sebentar. Janji Sanada jangan nakal yah? Saso-kun, bibi titip Sanada ya? Jangan diajak lari-lari, juga... ga boleh naik turun tangga yang ada disana, oke? Pokoknya kalau mau kemana-mana bilang dulu sama bibi, ya?"
"Siap, bi!"
Barusaja Hinata mau beranjak dari tempatnya, sebuah telapak tangan yang tak asing lagi baginya, menepuk pundaknya dengan pelan.
"Sa-Sasuke-kun?"
"Mau kemana? Disini saja." Sang suami kemudian mengambil tempat untuk duduk di sebelahnya, kemudian menggenggam telapak tanganya. "Aku ingin memperkenalkanmu pada seseorang."
Mengalihkan pandangannya pada sosok wanita berambut sepunggung di hadapanya, Hinata mengernyitkan alisnya. "Etto, an-anda kaa-sanya Sasori?"
"Kaa-chan, kaa-chan! bibi Hinata membeliku loti, kaa-chan mau?" Tayuya kemudian memangku Sasori yang masih asyik menawarinya Roti, sebagai jawabanya ia hanya tersenyum lembut sambil menggeleng pelan. "Ibu kenyang sayang, hayo, harus bilang apa sama Bibi Hinata dan paman Sasuke?"
"Um, Te-terimakasih Bibi, Paman..."
"Hihi, sama-sama Saso-chan! Dihabiskan ya makananya sama Sanada?" Sasuke tersenyum lembut sambil mengacak-acak rambut merah Sasori dengan gemas.
"Tou-san, A-apa Tou-san juga mau?" Sasuke mengalihkan pandanganya pada Sanada yang tengah membuka sebotol minuman mineral, ia tampak kesusahan mebuka segel botolnya.
"Baiklah, sini jagoan Tousan, biar tousan saja yang membukanya?" alih-alih membukakan Sanada minuman mineralnya, Sasuke malah mengusap pipi tembem sang Uchiha kecil dengan gemas. "Belepotan tuh, hihihi."
"T-tou-san Nakal,"
"Hinata... sudah lama tidak bertemu, ya?" Tayuya tersenyum hangat.
"Gomen ne, a-apakah kita pernah bertemu sebelumnya? A-aku tidak begitu ingat, summimasen."
"Hihi, yah... kita memang tidak bertemu secara langsung. Tapi aku mengenalmu, kok."
"A-apa anda rekan Sasuke-kun?"
"Bukan sayang, dia salah satu sahabatku yang baru pindah dari Suna." Hinata menatap heran suaminya yang saat ini tengah sibuk membersihkan selai Coklat yang ada di pipi Sanada, Hinata tidak mengerti.
"Ah, kalau begitu kita ulang dari awal. Namaku Tayuya, senang bertemu denganmu, Hinata-san." Tayuya mengulrkan tanganya, dan Hinata langsung menyambutnya.
"W-wah anda tahu namaku, sedangkan aku... tidak, ma-maaf Tayuya-san."
"Eh? Daijoubu Hinata-san."
"Demo-,"
"Sayang... apa kamu tahu siapa dia?" Sasuke melingkarkan tanganya pada pinggang ramping Hinata, lalu mengisyaratkan padanya Untuk menatap Sasori lekat-lekat. "Mirip seseorang, kan?"
Mata Lentik Hinata mengerjap beberapa kali, mencoba untuk mengingat memori tentang Tayuya dan Sasori dalam otaknya. Namun, hasilnya... tidak ada, ia sama sekali tidak menemukan petunjuk apa-apa.
Menggeleng pelan sebagai jawabanya, Sasuke mengusap pucuk kepala sang istri lalu tersenyum lembut. Memang semenjak 'Insiden' yang dilakukan Gaara terhadap Hinata dulu, ia menyembunyikan kebenaran itu rapat-rapat. Dan sekarang, adalah waktu yang tepat baginya untuk mengungkapkan semuanya pada Hinata. Menceritakan semuanya.
"Mereka adalah Sabaku. Sabaku Tayuya dan Sabaku Sasori."
Hinata tersentak.
.
.
.
Selesai
.
.
.
Special thanks to:
, Orenji Fokkusu, Hinatauchiha69, arisakajitani143, luluk Minam Cullen, Aisanoyuri, Virgo 24, Alta0sapphire, IntaNaTsuNaegi, hana37, 10690, Uchiha Hanaruhime, Melly Zain, Dindachan06, nn, Tanzylamalik, Tyuya, B
YAAAAYYYY! Akhirnya lunas sudah Hutang Hika yang ini, tinggal yang DCDSJ, anata, dan Ghoosebumps, yang lainya Hika delete kali yah? . soalnya ga ada semangat buat nglanjutin blas! *dibunuh*
Yare-yare, Hika meminta maaf yang sedalam-dalamnya karena HIATUS YANG KELAMAAN, author macam apa saya ini T_T hiks, demo... hika nerima dengan lapang dada kok Flamenya. ^^'a
Hika hanya berharap Chap Final ini ngga bikin minna-san kecewa, arigatou atas dukunganya!
Terimakasih atas semangatnya, sarannya, dan semuanya yang sudah minna berikan pada Hika supaya Hika bisa bangkit dan nglanjut ngetik lagi. Semua ini salah Hika yang ga bisa mengemban kepercayaan minna : ( maaf...
Melihat chap ini yang happy end Hika berencana membuat epilog keluarga Sasuke, hanyasaja... di FFN ga ada Sanada yah?
Aa iya, Pacu* itu kata ibu Hika adalah semacam obat yang diberikan untuk merangsang kelahiran supaya lebih cepat, tapi sekarang dilarang karena efeknya yang bikin rambut rontok, Sakit dll pasca melahirkan.
Golden Chance: kesempatan emas buat menolong manusia di saat ia sedang kritis.
Sanada: coba minna buka di Google, nanti akan nemu OC yang perawakanya mirip Hinata, jika di naruto anak SasuSaku namanaya Sarada, di FFN anak SasuHina namanya Sanada, tapi KATA INFO lho ya, duluan Sanada daripada Sarada. Entahlah, Hika ga tau benar apa tidak, mungkin minna bisa mencari tahu lebih dalam lagi :D tapi Hika benar-benar ga menerima Complain soal Sanada atau sarada yah? ^^ peace Hika damai all pair, minna.
Akhirkata, TERIMAKASIH! ^_^ hontou ni arigatou...
Sampai ketemu di cerita selanjutnya!^_^