To Claim My Love
Pairing : Grimmjow Jeagerjaquez & Kuchiki Rukia
By : Nakki Desinta
.
.
.
Summary : Ada sebuah ikatan yang tak terikrarkan di antara mereka, keduanya saling melengkapi, namun yang satu tidak menyadarinya, dan yang satu tidak ingin mengakuinya. Sesungguhnya yang mereka butuhkan hanya jujur pada diri sendiri. Lalu apakah mereka tetap bisa jujur jika ada pihak ketiga di antara mereka?
.
.
Disclaimer : Bleach belong to Kubo Tite, im here just ruin his masterpieces.
.
.
.
Byakuya mengantarkan Rukia pulang setelah malam terlalu larut, dia ingin memberikan waktu sebanyak mungkin untuk Rukia bersama Grimmjow. Sebenarnya sejak lama ia melihat perasaan Rukia yang tumbuh untuk Grimmjow, tapi ia sengaja membiarkannya, agar Rukia sendiri yang menyadarinya. Dia agak kaget saat tahu Rukia pergi tanpa pamit, karena ia dengan mudah melihat penyebab kepergian Rukia.
Rukia terlelap di sisi Byakuya, tangan kepala polisi itu merangkul bahu Rukia, menjaga agar adiknya tetap bersandar nyaman di bahunya. Supir taksi yang sudah seharian ini mengantarkan kakak beradik ini melihat kedekatan keduanya seperti ikatan kuat yang tidak akan mudah runtuh, sampai tersenyum lebar saat melirik Bakuya yang menarik Rukia semakin rapat dalam rangkulan tangan.
"Kita sampai, Tuan," kata sang pengemudi dengan suara pelan begitu menginjak remnya perlahan, dia tidak ingin membangunkan nona yang terlelap dalam rangkulan tangan pengguna jasa taksinya.
"Terima kasih, bisa tolong bukakan pintunya?" pinta Byakuya.
Pintu terbuka perlahan dibuka pengemudi taksi. Byakuya langsung menyusupkan tangannya di bawah kaki Rukia, membopong Rukia dengan sangat hati-hati.
"Tunggu sebentar, aku mengantar Rukia masuk dan setelah itu kau antar aku ke hotel," kata Byakuya seraya berjalan menuju pintu gerbang rumah Toushiro yang telah terbuka, seorang pelayan sudah menunggu mereka dengan wajah cemas.
"Tuan Byakuya, hampir saja Tuan Toushiro menelepon polisi untuk mencari Anda dan Nona Rukia," kata si pelayan. Tapi Byakuya tidak menjawab dan terus melangkah masuk ke rumah, dia meminta pelayan menunjukkan letak kamar Rukia.
Rukia terus terlelap dengan kepala bersandar sepenuhnya di dada Byakuya. Terlihat begitu nyaman berada dalam perlindungan kakaknya.
Byakuya sendiri sangat rindu saat-saat seperti ini, rasanya sudah lama sekali ia tidak menggendong Rukia seperti ini. Terakhir kali ia menggendong Rukia adalah saat Rukia duduk di kelas lima, itu pun karena Rukia terjatuh saat praktek olahraga. Mendapati adik kecilnya yang bersandar sepenuhnya seperti ini justru semakin menumbuhkan rasa sayangnya. Ia tidak ingin melepas adiknya pergi jika itu hanya akan menghadirkan kesedihan dalam hidupnya, terlebih menikah dengan pria yang bahkan tega menyakitinya.
Namun sekali lagi kenyataan itu menusuknya, kenyataaan kalau Rukia cukup dewasa untuk memutuskan segala sesuatu dalam hidupnya, sekalipun itu pahit untuk dihadapi.
Byakuya membaringkan Rukia di ranjang dengan cover berwarna cream. Dia menyelimuti Rukia dan membelai rambut adiknya.
"Aku akan mengikuti semua keputusanmu, Rukia. Tapi jika itu hanya akan menyakitimu, aku tidak akan membiarkanmu," bisik Byakuya seraya mengecup puncak kepala Rukia dan meninggalkannya.
Byakuya menutup pintu kamar dengan sangat perlahan, dan saat ia berbalik ia mendapati Toushiro berdiri di ujung anak tangga, menatapnya penuh ingin tahu dan tersirat sedikit kecurigaan dalam sorot mata pria bermata perak itu. Byakuya melangkah mendekat dan berniat melayangkan serangan pertamanya.
"Anda baru pulang? Bagaimana Rukia?" tanya Toushiro masih bersikap sopan, namun Byakuya menghadang langkahnya saat akan mendekati kamar Rukia.
"Dia sudah tidur, biarkan dia istirahat," kata Byakuya dingin. "Hitsugaya Toushiro, kau sungguh-sungguh ingin menikahi adikku?" gumam Byakuya dengan mata menatap tajam.
"Kenapa Anda bertanya seperti itu?"
"Aku hanya ingin mengingatkanmu." Byakuya mendekat hingga jarak di antara mereka hanya satu langkah.
"Rukia memang baik, ia berhati lembut dan cenderung merelakan sakit hatinya untuk memberi kebahagiaan pada orang lain. Aku bisa terima keputusannya yang terkadang tidak masuk akal, tapi aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitinya. Sekali lagi kau berani menyentuhnya…"
Byakuya tidak melanjutkan kalimatnya, dia hanya menatap tajam mata berwarna aqua milik Toushiro. Sebenarnya mengancam seseorang bukanlah hobinya, sekalipun ia selalu melakukannya jika harus menginterograsi seorang tersangka, tapi yang ia lakukan sekarang hanya penekanan, ingin agar pria bernama Toushiro ini sadar kalau Rukia bukanlah wanita biasa yang bisa dengan mudah ia mainkan sesuka hati. Rukia memiliki seorang kakak yang tidak akan pernah tinggal diam pada hal buruk yang menimpanya.
Byakuya pun melangkah pergi, meninggalkan Toushiro yang membeku di tempat.
.
.
.
Hari pernikahan itu pun tiba.
Grimmjow duduk di kursi paling belakang bersama Ulquiorra, dia memaksakan dirinya tetap menghadiri pernikahan ini. Ia tidak ingin membiarkan Toushiro menikahi Rukia tanpa sorot tidak rela darinya. Ia ingin membuat pria Hitsugaya itu tidak enak saat mengikrarkan janji sehidup sematinya dengan Rukia.
Sekalipun harus berjalan dengan tongkat, ia harus datang, dia menahan sakit di kakinya yang terus saja berdenyut tanpa ampun, tapi itu semua tidak sebanding dengan sakit di hatinya.
.
.
.
Toushiro menatap seluruh tamu undangan yang menempati kursi yang telah diatur dengan sangat rapi, menempatkan setiap orang dalam posisi yang sebagaimana mestinya. Posisi duduk yang telah mereka tentukan beberapa hari lalu.
Sejenak mata aquanya bertemu dengan Grimmjow. Melihat sorot bermusuhan dengan sangat jelas di mata biru Grimmjow, dan dia sengaja memberikan senyum penuh kemenangannya untuk yang terakhir kali.
Toushiro telah berpikir berulang kali, tepat setelah melihat kerasnya sikap Rukia, menolaknya dengan sangat terang-terangan, ditambah lagi pertemuannya dengan Kuchiki Byakuya, dia kembali mengulang ingatan dan keputusannya. Namun semua itu ia lakukan bukan karena ancaman Byakuya yang tidak tersirat keraguan, yang lebih memberatkannya adalah jalan yang mungkin ia tapaki bersama Rukia nanti.
Dia mengakui bahwa dirinya adalah pribadi yang egois, dan sangat tidak keberatan melakukan apapun untuk mencapai tujuannya.
Namun apa yang telah ia lakukan pada Rukia membuatnya kembali berpikir, bahwa jika suatu saat nanti Rukia tetap menikah dengannya pun, bagaimana membuat hati Rukia menjadi miliknya? Karena pada kenyataannya hati Rukia telah dimiliki Grimmjow.
Sisa umurnya yang tidak terlalu lama hanya akan menjadi alur penyiksaan bagi Rukia terlebih bagi dirinya sendiri. Memaksa Rukia tetap berada di sisinya, dan mencintainya hanya akan menjadi momok menyeramkan bagi Rukia.
Kerelaan dalam mata Rukia adalah keterpaksaan karena Toushiro telah mengemis kebaikan hati Rukia untuk tetap berada di sisinya. Semua untuk hidupnya tidak ada kata lain selain menyedihkan.
Toushiro hampir meneteskan air matanya ketika ia ingin mengakui kalau selamanya ia tidak akan pernah memiliki seorang pun dalam hidupnya.
Orang tua yang telah membuangnya sejak ia dilahirkan, orang sekitar yang selalu mencomoohnya, bahkan Hinamori yang mencampakkannya tepat di saat ia sangat mencintai wanita itu. Sekarang ia harus menerima kenyataan pahit lain, wanita terakhir yang ia cintaipun tidak dapat ia raih…
Apakah ia akan mencaciku jika aku sudah tiada nanti? Mencaci karena aku telah memberikan penderitaan pada hidupnya. Menghujatku karena aku telah menghalangi kebahagiaannya.
Toushiro merasakan dadanya sesak, dan kepalanya berdenyut hebat saat penyakitnya kembali menyerang.
"Bertahanlah, aku mohon. Setidaknya hingga aku bisa melepasnya pergi," gumam Toushiro dalam hatinya.
Ya, dia telah memutuskan. Kebahagiaannya mungkin hal terakhir yang tak pernah ia gapai, karena itu ia sudah merelakan kebahagiaannya sendiri, menikmati penyakitnya hingga maut akan menjemputnya nanti. Sendirianpun bukan sesuatu yang begitu menyeramkan, kerena selama ini ia telah berada dalam kesendirian, berteman baik dengan kesendirian itu sendiri. Ia hanya perlu melewati beberapa waktu lagi hingga penyakit ini tidak bisa ditahannya lagi.
Toushiro menoleh ke belakang, melihat Rukia yang melangkah mendekat altar, gaun putih bersihnya membalut dengan begitu indah, menyilaukan matanya yang mulai kehilangan fokus pandangan, namun Toushiro memaksa matanya tetap melihat jelas, ia tidak ingin kehilangan saat-saat terakhir otaknya mampu menyimpan wajah cantik Rukia.
"Silahkan," kata pendeta yang akan mengikrarkan pernikahan mereka.
Toushiro tetap tenang dengan tangan terkepal kuat, ia menahan sakit yang menyerang ulu hatinya, ia ingin menjalani saat-saat ini hingga ia bisa bersanding di pelaminan bersama Rukia. Ia melihat dengan jelas wajah sedih Rukia, namun tersirat kepasrahan di antara gurat sedih itu.
Kuchiki Byakuya melangkah di sisi Rukia, menggandeng tangan mungil Rukia sangat erat, seolah tidak ikhlas melepas adiknya menikah dengan Toushiro.
Aku tahu kau tidak pernah merestui pernikahan ini, karena itupun aku tidak akan membawa adikmu pada ikrar seumur hidup ini, Byakuya.
Rukia menatap mata Toushiro sejenak sebelum mereka benar-benar berdiri berdampingan. Toushiro memberikan senyum lebar yang ia paksakan, ia ingin tampak kuat.
Pendeta berdiri di hadapan Toushiro dengan senyum kebahagiaan yang cerah, tapi Toushiro tahu senyum sang pengikrar tidak akan pernah mencapai hatinya.
"Sebelum kita mulai acara pernikahan ini. Apakah ada pihak yang keberatan jika kita melangsungkan pernikahan ini?" tanya sang pengikrar.
Seluruh ruangan sunyi senyap, Rukia tertunduk dalam dengan tangan menggenggam bunganya erat-erat, sementara itu Toushiro melakukan hal yang serupa, namun tidak seperti Rukia yang tengah menahan ketidakrelaannya, Toushiro justru menahan sakit yang tiada ampun menderanya.
Bersabarlah sebentar lagi, aku ingin melepasnya dengan senyum, bisik hati kecil Toushiro lirih.
"Tidak ada yang keberatan?" tanya pendeta lagi, menegaskan.
"Aku!" Toushiro mengangkat tangannya ke udara dengan senyum yang tak pernah luput dari bibir pucatnya.
"A-Anda keberatan, Tuan Hitusgaya?" tanya sang pendeta.
Toushiro menganggguk dalam, lalu dengan cepat ia meraih tangan Rukia.
"Aku keberatan menikah dengan wanita yang dalam hatinya tidak pernah mencintaiku," tutur Toushiro seraya meremas tangan Rukia, tindakannya mengundang bisik-bisik tidak enak dari tamu undangan. Bahkan Lilinete dan Stark sampai terlonjak dari kursi mereka.
Byakuya mengerutkan alis sangat dalam, dan menoleh pada pendeta yang membujur kaku di altar.
Rukia menatap dalam mata Toushiro, mencari makna dalam sorot mata penuh kesakitan milik Toushiro. "Toushiro, kau-"
"Aku tidak ingin menikah dengannya, sebaiknya Anda menikahkan Rukia dengan Grimmjow Jeagerjaquez," lanjut Toushiro dengan mata melirik Grimmjow yang duduk di bangku paling belakang, seolah ingin menyembunyikan dirinya dari khalayak ramai.
Grimmjow mengernyit heran dengan kata-kata Toushiro, tapi memilih untuk berdiri dan muncul di jarak pandangan setiap orang setelah Ulquiorra merangkul tangannya, membantunya beranjak dari kursi. Melihat Toushiro yang memberinya isyarat untuk maju, ia pun maju, ragu tapi tetap ia lakukan.
Toushiro tetap diam melihat Grimmjow yang semakin dekat ke altar. Setiap langkah yang diambil Grimmjow adalah perpendekan waktu untuknya, dan dia tidak pernah bisa mengurangi sedikitpun sakit di ulu hatinya begitu mengingat betapa beratnya melepas Rukia pergi.
"Rukia akan menikah dengannya, karena itu aku lebih suka pergi. Dah, selamat atas pernikahan kalian!" kata Toushiro saat Grimmjow berdiri di samping Rukia.
"Apa maksudmu?" tanya Grimmjow dengan mata membelalak tidak percaya.
"Bukannya kau memang ingin menikahi Rukia sejak lama?" tanya Toushiro mencemooh.
"Tapi-"
"Sudah, kalian menikah saja, aku mau pergi," tandas Toushiro buru-buru, ia mencegah topeng dan seluruhpertahanan dirinya luruh.
Dia membiarkan tatapan tidak percaya, takjub dan meremehkan dari semua orang jatuh padanya. Dia tetap melangkah tanpa keraguan sedikitpun, menuju mobil sportnya yang terparkir tepat di pintu keluar taman, dan Matsumoto sudah berada dalam mobil itu, menunggunya masuk.
Matsumoto membukakan pintu untuk Toushiro, dan kembali ke kursi pengemudi begitu Toushiro masuk.
"Kau yakin dengan semua ini?" tanya Matsumoto, matanya menatap Toushiro nanar, penuh iba.
Toushiro menggenggam sabuk pengamannya terlalu erat untuk melampiaskan keluh kesakitannya yang tidak bisa ia suarakan. Ulu hatinya semakin nyeri, dan dia mencegah mulutnya terbuka, atau jerit kesakitannya akan lolos dan hanya akan mencemaskan Matsumoto.
"Jalan," suruh Toushiro dalam suara pendek menggeram.
Mobil pun melaju, awalnya dengan kecepatan rendah lalu dengan cepat Matsumoto menginjak gasnya hingga kecepatan 120km/jam.
.
.
.
Rukia menatap sekelilingnya linglung, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Toushiro mencampakkannya tepat di altar pernikahan dan menyerahkannya pada Grimmjow. Pendeta yang berniat menikahkanpun terlihat saat melihat mempelai yang hadir bukan sesuai perjanjiannya. Haruskah ia menikahkan kedua orang ini?
"Lanjutkan, Pendeta…" kata Byakuya dalam suara datar, padahal ia sudah begitu lega sekarang, namun ia cukup pintar untuk menyembunyikannya. Ia hanya masih tidak percaya kalau Toushiro akan sebegini mudahnya menyerah dan membiarkan Rukia kembali pada Grimmjow.
Pendeta bergerak gelisah awalnya, namun ia menatap Rukia dan Grimmjow bergantian, mereka memang terlihat seperti sepasang insan yang saling mencintai. Wajah sang mempelai wanita terlihat jauh lebih berwarna dibanding saat mendekati altar tadi.
"Baiklah, kita lanjutkan…" kata Pendeta setelah menghela napas lega.
.
.
.
Toushiro melihat jalan yang telah ia lewati lewat spion tengah, jalan yang semakin hilang dari pandangannya yang kabur. Dia menarik napas dan berusaha memasukkan oksigen sebanyak mungkin ke paru-parunya, namun saluran napasnya sudah terlanjur tersumbat, akhirnya ia bernapas dalam tarikan pendek dan sesak, tentu saja hal ini tidak lolos dari perhatian Matsumoto.
"Kau harus ke rumah sakit, Toushiro."
"Aku tidak perlu dokter, yang aku butuhkan sekarang adalah malaikat kematian," jawab Toushiro pelan.
"Jangan bicara sembarangan!" pekik Matsumoto yang seketika menginjak remnya tanpa ampun, membuat dirinya dan Toushiro terhempas dengan muka hampir mencium kaca depan.
Toushiro tertawa miris mendengar suara Matsumoto.
"Terima kasih sudah mengantarku, Matsumoto. Kau boleh pergi," ucap Toushiro, tangannya bergerak meraih tuas pintu mobil dan melangkah keluar, membiarkan angin sore menerpa wajahnya yang terlanjur dingin.
Matsumoto bahkan tidak sadar kalau mereka sudah sampai tujuan, karena Toushiro tidak memberitahu tempat tujuan mereka. Dia melihat Toushiro menuruni anak tangga yang mengantarkannya ke tepian sungai, menatap sungai yang airnya mengalir tenang.
"Ku bilang pergi, Matsumoto! Jangan ikuti aku," hardik Toushiro sungguh-sungguh saat mendengar langkah kaki yang mendekat padanya.
"Aku tidak akan pergi!" Wanita bertubuh sintal itu tetap berkeras, ia cemas pada kondisi Toushiro.
"Aku ingin sendiri. Aku akan baik-baik saja. Lebih baik kau kembali ke kantor dan mengurus pekerjaanmu, atau pergi kemanapun yang kau mau, tugasmu sudah selesai."
Matsumoto melihat kekerasan hati Toushiro, membuatnya memutuskan tidak akan memaksa lagi. Toushiro sedih dan tidak ingin berbagi dengan siapapun, dia paling mengerti dengan hal itu.
"Baiklah, tapi telepon aku kalau kau butuh sesuatu," tegas Matsumoto.
Toushiro hanya mengagguk lemah menjawabnya, dan Matsumotopun pergi bersama ketidakrelaannya.
Pria pucat berambut perak itu menatap riak air yang terus bergerak seiring arus.
"Aku tahu ini tidak akan mudah," bisik Toushiro saat tangannya menyentuh dada, merasakan dada yang semakin sakit dan sekarang menyebar ke seluruh punggung.
Mata aquanya menatap langit yang bewarna cerah, perlahan ia merasakan hatinya lebih tenang.
"Tuhan, jawab aku. Inikah takdir yang telah Engkau tuliskan sejak aku dilahirkan di bumi? Inikah kisah hidupku? Seperti inikah aku harus berakhir? Aku hanya ingin sedikit egois dan meraih kebahagiaanku, tapi sepertinya itupun tidak bisa aku lakukan. Aku harus menerima kenyataan bahwa aku selamanya sendiri, bahkan hingga maut menjemputku."
Toushiro merebahkan dirinya di rerumputan, mengatur napasnya sebaik dan semampunya.
"Aku tidak ingin menghujat, tapi semua memang terasa begitu pahit. Kesendirianku menyiksaku, sangat menyakitiku!" seru Toushiro emosi, dia merenggut jas putihnya.
"Lalu dimana aku akan mendapatkan kebahagiaanku? Setelah aku tidak berada di dunia ini? Jangan bercanda!" Toushiro menghantam rumput yang di sisinya, menahan sakit di ulu hatinya sambil merintih kecil.
" Aku juga ingin merasa dikasihi, aku ingin seseorang berada di sisiku, menerimaku sekalipun aku ini penyakitan, seegois apapun aku!"
Air mata kesedihannyapun menetes. Ia merintihkan kekecewaannya, ia menangisi kehidupannya yang tidak penah bisa ia nikmati. Ia mengiba pada dirinya sendiri untuk lebih kuat, menjadi seseorang yang bisa menerima kenyataannya sendiri.
"Seharusnya jangan biarkan aku jatuh cinta, jangan biarkan aku berharap. Aku tidak akan seperti ini jika aku tidak terlanjur mencintainya…"
Toushiro terbatuk hebat, punggungnya nyeri bukan main, dia tahu penyakitnya sudah tidak akan menahan diri lagi. Dia pun terbaring pasrah, dingin menyerangnya, sesak terus saja mendera dan dia terpejam rapat-rapat, membiarkan seluruh sakit menyerangnya. Ia akan membiarkan maut ini menjemputnya, mengakhiri segala macam kesedihan yang ia dapatkan dari dunia ini.
"Se-lamat ting-gal Ru-kia. Se-mo-ga k-kau berba-ha-gia, ti-dak se-pertiku yang tidak pernah bisa mem-bahagiakanmu. S-satu hal yang harus kau tahu, aku… tidak pernah rela melihatmu mende-rita. Maafkan aku sudah melukaimu. Kau lihat aku su-dah dihukum Tuhan hingga se-perti ini, karena itu…bahagialah, Rukia…"
Napas Toushiro terputus, ia membayangkan wajah tersenyum Rukia dalam benaknya. Detik-detik ia lalui dalam kesadaran yang semakin tipis.
Rukia
.
.
.
Rukia menoleh ke belakang. Merasa seseorang telah memanggilnya, namun yang ia dapatkan hanya hamparan bunga mawar putih yang bergerak diterpa angin sore.
"Kenapa, Rukia?"Grimmjow merangkul pinggang Rukia mendekat padanya, meminta perhatian wanita itu sepenuhnya.
"Tidak apa-apa," jawab Rukia yang kembali larut dalam kebahagiannya sebagai seorang istri dari Grimmjow Jeagerjaquez. Ikrar sehidup semati telah mereka berikan tadi, dan dengan begini mereka resmi menjadi sepasang suami istri. Namun separuh dari benaknya masih memikirkan Toushiro, dia tidak mengerti kenapa Toushiro bisa dengan mudah melepaskannya.
Mata biru gelapnya menatap langit, dan melihat seekor burung terbang tinggi dengan sayap terkepak kuat, menjauh dari pandangannya.
"Selamat ya, sungguh diluar dugaan. Toushiro justru meninggalkan Rukia, aku tidak tahu kalau kau mencintai Grimmjow. Saat bertemu di kantorku, kalian terlihat seperti tidak saling kenal," ucap Stark dengan tangan terulur hangat.
"Terima kasih, kami juga tidak menyangka. Kami sebenarnya sudah mengenal sejak kuliah, tapi karena salah paham Rukia pergi ke London dan bertemu dengan Toushiro, dan singkat cerita inilah yang terjadi," jawab Grimmjow dengan senyum lebar menggambarkan kebahagiaannya.
Pesta pernikahan berlangsung sangat meriah, Bibi Harribel dan kedua orang tua Grimmjow langsung datang begitu dikabari Ulquiorra. Mereka menelepon beberapa kolega mereka yang berada di London untuk ikut hadir di hari berbahagia ini.
Byakuya menyentuh bahu Rukia, dan saat Rukia berbalik dia memeluk adiknya begitu erat, membiarkan sorot mata tidak percaya Grimmjow dan keluarganya berpusat padanya, karena Byakuya tidak pernah begitu jelas dalam menunjukkan kasih sayangnya pada Rukia.
"Aku rasa aku bisa melepasmu sekarang, Rukia," bisiknya perlahan.
"Terima kasih, Kak!" jawab Rukia dengan senyum mengembang.
Ponsel Byakuya berdering, membuatnya terpaksa melepas pelukannya dari Rukia, dia terdiam sejenak dan kembali mengantongi ponselnya, raut wajahnya berbeda sama sekali.
"Kenapa, Kak?" tanya Rukia cemas, tidak pernah Kakaknya sejelas ini dalam menunjukkan ekspresi.
"Kepala Kepolisian London baru saja menelepon, dan.. ada kabar tidak baik yang harus ku sampaikan padamu." Byakuya mengalihkan pandangannya dari Rukia, seolah menghindari sorot tajam Rukia yang bisa membaca hingga hatinya yang terdalam, namun selang beberapa detik kemudian dia kembali menatap wajah bingung Rukia.
"Apa itu, Kak?"
Byakuya sangat ragu untuk mengucapkan kalimat di ujung lidahnya.
"Mereka menemukan Toushiro terbaring di sisi sungai Thames, dan…" Byakuya ragu untuk melanjutkan kalimatnya, namun dengan cepat ia Rukia menggeleng berat, seolah tahu dengan jelas kalimat yang ia ucapkan.
"Bohong!" pekik Rukia histeris, membuat semua orang terdiam menatapnya. Air mata Rukia menetes dengan cepat.
Byakuya mengangguk dalam, dan meraih bahu Rukia cepat, membawa Rukia menangis dalam pelukan simpatinya.
"Itu benar, Rukia. Sepertinya dia sengaja merelakanmu karena dia sudah tahu umurnya tidak pernah mengizinkannya bersamamu. Dia sekarang berada di rumah sakit Royal NHS, ada Matsumoto disana."
"Kita harus ke sana," rengek Rukia dalam isak tangisnya, mengalihkan semua perhatian orang, menghilangkan senyum & tawa bahagia atas pernikahannya.
"Ada apa, Rukia?" Grimmjow memerhatikan wajah istinya dengan seksama, tapi Rukia tidak menjawab dan memeluk Grimmjow erat, membiarkan penyesalannya sejenak mencair dalam pelukan Grimmjow.
"Ada apa?" Grimmjow berbisik pada Byakuya tanpa suara.
"Sebaiknya kita pergi sekarang, karena mereka berencana akan langsung memakamkannya dua jam lagi," ucap Byakuya sambil membelai punggung kurus Rukia.
.
.
.
Rukia mengangkat gaun pengantinnya tinggi-tinggi, tampak tidak ingin melepaskan satu detikpun sekalipun untuk mengganti bajunya, ia ingin segera ke rumah sakit dan melihat Toushiro. Dia lega karena tidak menikah dengan Toushiro, tapi tidak bisa berpasrah tangan jika pada akhirnya Toushiro merelakannya dan memilih menghadapi maut sendirian. Ada rasa bersalah yang menohok hatinya begitu dalam.
Koridor rumah sakit terasa jauh lebih panjang dari yang ia bayangkan, langkahnya sudah cukup besar saat ia menghampiri ruangan yang bertuliskan Hitsugaya Toushiro, di sana berdiri kaku Matsumoto, menangis dalam pelukan seorang pria tinggi kurus dengan rambut berwarna silver.
"Ran…"
Rukia tidak bisa melanjutkan kalimatnya saat sorot mata menuduh Matsumoto jatuh padanya, mata yang basah oleh air mata itu menghujamnya, bermusuhan.
"Aku ingin tinggal, tapi dia memaksaku pergi hingga ia harus menemui ajalnya sendirian!" kata Matsumoto dalam suara marah yang tertahan, pria di sisinya memaksa Rangiku kembali menangis dalam pelukannya.
"Ini bukan salah siapapun…" Grimmjow mencoba membela Rukia, tapi Rukia menahan Grimmjow dengan menyentuh bahu pria berambut biru itu.
"Boleh aku melihatnya?" pinta Rukia, jauh lebih memelas dari yang seharusnya.
Matsumoto tidak menjawab dan hanya mundur sedikit untuk memberikan jalan bagi Rukia untuk masuk ke ruangan.
Rukia menjejak lantai dengan sisa sisa kekuatannya, dia bersandar sepenuhnya pada Byakuya, sementara Grimmjow berdiri di sisinya dengan tongkat penyangga tersemat di bawah lengannya. Keheningan menjadi satu-satunya pengiring mereka saat ini. Ketiga pasang mata itu memandang sesosok tubuh yang terselebung dalam peti, wajah tampan & pucat Toushiro menyapa mereka, tenang dan tentram. Tidak ada lagi kemarahan atau kebencian di wajah itu.
"Toushiro…" rintih Rukia seraya menjulurkan tangan untuk menyentuh pipi Toushiro, tapi ia tidak mampu melakukannya, sekujur tubuhnya gemetar hebat akibat tangis yang terlalu menyesakkan dadanya.
Benarkah aku bahagia diatas penderitaanmu? Inikah yang ingin kau buktikan dengan melepasku, Toushiro?
Rukia membenamkan wajahnya di dada Byakuyam, menangis sejadi-jadinya untuk pria yang pada akhirnya tetap tidak bisa mengecap kebahagiaannya.
Byakuya mengelus rambut Rukia, menenangkan guncangan hebat yang dialami adiknya. Sungguh hidup tidak pernah bisa diduga kemana akan mengalir. Kehidupan Rukia yang biasanya hanya berpusat pada kesehariannya yang sederhana, mau tidak mau harus bertemu dengan jalan seperti ini. Bertemu pria bernama Toushiro yang pada akhirnya memberikan kisah tersendiri dalam hidup Rukia.
"Kau akan menemukan kebahagiaanmu sendiri, Toushiro. Aku yakin kau akan mendapatkan apa yang tidak kau dapatkan di dunia ini. Tuhan Maha Adil dan Dia akan memberikan yang terbaik untuk ciptaanNya," bisik Rukia sebelum berbalik dan kembali menghampiri Rangiku.
"Ran…" desis Rukia putus asa, ia tidak bisa menyangkal atau membela diri jika sekarang Rangiku membencinya dengan sepenuh hati.
"Aku tahu ini tidak mudah bagi siapapun, tapi…"
Rangiku meraih bahu Rukia dan memeluknya erat.
"Aku tidak ingin menyalahkanmu, tapi aku tidak bisa menyalahkan siapa-siapa lagi. Toushiro berhak bahagia, tapi aku tahu itu tidak akan terwujud dengan memaksamu menerimanya. Maafkan aku, dan terima kasih telah memberikan Toushiro dunia yang belum pernah ia miliki sebelumnya. Dia telah merelakanmu, dan aku yakin ia melakukannya karena ia juga ingin kau bahagia. Dia sangat mencintaimu, Rukia…" bisik Rangiku yang mempererat pelukannya.
"Aku tahu…" jawab Rukia pelan seraya membalas pelukan Rangiku, dan bulir air matanya kembali turun.
.
.
.
Pemakaman Toushiro berlangsung dengan khidmat, tidak banyak orang yang hadir karena Rangiku sendiri menjalankan amanat Toushiro untuk tidak menjadikan kepergiaannya sebagai momok.
Rukia menatap pusara yang masih segar itu.
"Jika kau memang ingin aku bahagia, sekarang kau bisa tersenyum. Aku bahagia, semoga kau di sana juga, dan ku mohon maafkan aku…."
.
.
.
Rukia melihat layar televisi dengan kepala menggeleng tak percaya. Ia sudah resmi menjadi nyonya Jeagerjaquez sejak dua minggu lalu, namun media seolah tidak ingin memadamkan berita itu sama sekali.
Mereka kembali tepat setelah tiga hari pernikahan mereka, kembali ke negara asal yang menjadi awal mula cerita cinta antara Rukia dan Grimmjow.
Rukia disambut peluk hangat Isane dan canda Ichigo begitu sampai di bandara, menyukai kehangatan yang telah ia tinggalkan selama berbulan-bulan, dan seperti biasa Isane mulai mempertanyakan mengenai rencana pembuatan buku baru Rukia, tapi Rukia tidak lantas menjawabnya, ia hanya tersenyum lembut.
Ia telah memutuskan sesuatu yang jauh lebih baik dari semuanya.
"Sedang apa?"
Grimmjow mendekati Rukia yang terduduk santai di sofa, bersama laptop di pangkuannya.
"Menurutmu?" tanya Rukia dengan mata mengerling nakal.
"Kau ini, tinggal jawab saja susah sekali!" Grimmjow mencubit hidung mungil Rukia, membuat Rukia meringis kesakitan.
"Kau masih sibuk membuat buku baru?" mata biru terang Grimmjow melirik layar laptop Rukia, dan Rukia tersenyum lebar.
"Kenapa? Kau tidak suka bulan madunya tertunda?" tanya Rukia.
"Tidak sih, aku bisa tahan sekalipun tidak bulan madu selamanya. Toh kita bisa bulan madu setiap hari di rumah," bisik Grimmjow mesra, tepat di telinga Rukia, menggelitik Rukia dengan napasnya.
"Jangan mulai, Grimm," kata Rukia seraya bergeser untuk menjauh, berada di dekat Grimmjow membuatnya kehilangan konsentrasi, dan ini sering kali Grimmjow lakukan agar ia melepas laptopnya dan beranjak menuju ranjang.
"Memangnya kenapa? Tidak boleh?"
Rukia menghela napas berat dan meletakkan laptopnya di coffee table berwarna ebony di seberang sofa.
"Kau mau aku memulainya dengan kepala atau kaki?" tanya Rukia seraya menggulung lengan bajunya hingga bahu, ini justru membuat seringai Grimmjow makin lebar.
"Aku suka kalau kau mulai menantang seperti ini…"
Grimmjow langsung menerjang Rukia, membuat wanita bermata biru gelap itu tidak berkutik di sofa.
.
.
.
Tiga bulan kemudian…
Rangiku menatap pamflet yang baru saja di tempel seseorang di deretan papan pengumuman kantor Sky Net. Wanita berambut gelombang indah itu melepas kaca mata hitam yang ia gunakan, dan membaca sebaris nama yang ia kenal itu.
Buku terbaru Kuchiki Rukia…
CHASE DOWN MY HAPPINESS
Tentang seorang pria yang mengejar kebahagiaannya di antara perjuangan hidup dan matinya. Mengecap kebahagiaan menjelang ajalnya adalah impian yang ia selalu inginkan, dan ia mendapatkannya dari seseorang yang tak pernah ia sangka-sangka…
Dapatkan bukunya segera…
Rangiku tersenyum melihat foto cover buku yang menggambarkan seorang laki-laki berdiri di sisi pantai dengan matahari yang hampir tenggelam.
"Kau tidak bisa memberikannya kebahagiaan di dunia ini, tapi kau ingin memberikan kebahagiaan dalam fiksi hidup Toushiro ya, Rukia?" gumam Rangiku tersenyum lega. Berharap ia bisa melihat senyum Toushiro.
Hitsugaya Toushiro, pria dingin yang ia anggap seperti adiknya sendiri.
.
.
.
Owari
.
.
.
A/N :
To Claim My Love… judul ini saya buat bukan hanya untuk Grimmjow yang berusaha mendapatkan Rukia, tapi juga untuk Toushiro yang hingga akhir tidak bisa mendapatkan kebahagiaannya *dihajar Hitsu FC* Mereka adalah dua pribadi yang sama-sama mengharapkan cinta dalam hidup mereka, mereka harus menerima kenyataan kalau kebahagiaan harus diperjuangkan.
Yosh, akhirnya ending kan?
"Jadi begini endingnya setelah kamu membuat kami menunggu, Nakki?"
Saya membungkuk dalam untuk meminta maaf jika saya pada akhirnya hanya menyajikan fiction yang jelek dan jauh dari harapan, aku merana sekali karena ingin mengakhiri fiction ini, jadi begini deh…
Hutang saya lunas sudah, tinggal YOU yang belum saya lanjutkan.
Berjuang! Hwaiting!
Saya akan menyelesaikannya *janji pada diri sendiri*
Ok-lah kalau begitu, sampai jumpa lagi… *melambai sedih sambil mengangkat sapu tangan tinggi-tinggi*
Keep The Spirit On , Terima kasih untuk semua dukungan, review, pokoknya keren deh semuanya.
:-:-:Nakki:-:-:
08-02-2012